Bab 1 — 25 Juli (Minggu) Asamura Yuuta
Secangkir kopi dan sepiring roti
panggang telah disiapkan di meja makan. Sambil memegang piring itu, aku
berkata,
“Kemarin, aku tidak bisa
belajar sebanyak yang aku harapkan. Aku ingin belajar sebelum berangkat kerja
paruh waktu, jadi aku akan membawa ini.”
Karena aku sibuk meneliti lebih
lanjut mengenai lokasi untuk piknik barbekyu yang dikirim oleh Yomiuri-senpai
melalui internet, jadwalku jadi sedikit terganggu. Meskipun sekarang masih
bulan Juli, aku tidak ingin lengah.
Ketika aku mengatakan itu, ayahku
yang sedang membaca koran di tabletnya sedikit mengernyitkan dahi.
“Kamu hanya memakan itu saja?
Memang bagus jika kamu berusaha keras dengan belajarmu, tapi tidak baik juga
untuk kesehatan jika kamu melewatkan sarapan.”
“Ah, ya, aku akan berhati-hati.”
“Satu roti panggang saja sudah
cukup? Apa kamu ingin membawa sesuatu lagi?”
Ayase-san yang sedang makan di
hadapan ayah juga memandangku dengan keprihatinan.
“Di dalamnya ada keju dan ham
juga kok. Jika aku makan terlalu banyak, aku akan merasa ngantuk, jadi porsi
segini saja sudah cukup. Aku akan mencuci piringnya nanti.”
“Terima kasih. Itu tidak
seberapa jadi tidak usah, biar aku yang mencucinya nanti. Semangat belajarnya,
ya.”
Ketika dia tersenyum padaku dan
menyemangatiku seperti itu, aku juga merasa termotivasi dan lebih bersemangat.
Namun, semangat saja tidak akan
mengejar ketertinggalan jadwal. Meskipun aku sudah menyadari bahwa cakupan
ujian masuknya mencakup seluruh materi yang diajarkan di SMA dan hanya dengan
mengulang kembali materi yang diajarkan selama satu tahun saja sudah sangat
sulit. Dan ketika aku mulai mempelajarinya kembali, aku menyadari bahwa aku
sudah melupakan banyak hal.
Selain itu, walaupun aku
memahami soal perhitungan matematika dan fisika, tetapi tanpa berlatih dan
mengasah kemampuan secara berulang-ulang, aku tidak akan mampu menyelesaikannya
dalam waktu yang ditentukan.
Meskipun aku seharusnya bisa
berkonsentrasi di kamp belajar, aku sudah menjadwalkan acara barbekyu sebelum
itu. Sebelum aku mengkhawatirkannya, mungkin lebih baik untuk mengatur pikiran
di sini.
Setelah kembali ke kamarku, aku
mematikan ponselku dan menyimpannya ke dalam laci meja. Aku melirik pada jam di
samping bantal, Oke, mari fokus selama
satu jam, pikirku sambil memperkuat semangatku.
Sambil mengunyah roti panggang,
pertama-tama aku mulai membalik halaman buku kosakata dan menghafal kata-kata
bahasa Inggris.
Hari ini, aku mencoba mengingat
kata-kata bahasa Inggris yang (seharusnya) aku pelajari kemarin dari sisi
bahasa Jepang. Ketika aku membuka halaman yang ditempelkan dengan kertas
bergaris, aku menemukan kata “成果” (hasil) dan mulai menggali
ingatanku.
“Umm, kata ini, '成果'...
mungkin 'Outcome'? Dan ejaannya
adalah...”
Aku berbisik pelan sebelum melanjutkan
membalik halaman buku kosakata.
Yup, jawabanku benar. ‘成果’
berarti ‘hasil’ atau ‘outcome’. Tapi tunggu, apakah ‘hasil’ juga bisa diartikan sebagai ‘result’? Meskipun tertarik, mencari
setiap kata di kamus akan memakan waktu tanpa henti. Berikutnya... 課する
“Impose. Ejaannya adalah...”
Saking fokusnya aku sampai tak
sadar kalau aku sudah selesai makan roti panggangnku. Kukuku membentur piring
di atas meja, dan ketika aku melihat ke bawah, hanya ada remah-remah yang tersisa.
Ah, sudah habis ya, pikirku sambil
menyimpan buku kosakata.
Selanjutnya, aku mulai
mengerjakan kumpulan soal matematika. Sambil menyeruput perlahan kopi yang
sudah dingin, aku mencoba menyelesaikan soal-soal dalam batas waktu yang
ditentukan, lalu memeriksa jawabannya berulang kali. Persoalan tentang sinus,
kosinus, dan tangen berputar-putar di kepalaku. Aku akan merasa senang jika
bisa menyelesaikan soal dengan benar, namun aku merasa kesal jika waktunya
habis sebelum selesai. Namun, karena semuanya bisa diselesaikan setelah melihat
jawabannya, dalam artian itu, belajar matematika menjadi hal yang menyenangkan.
Saat aku mengatakan ini kepada Maru, ia mengatakan sesuatu seperti, ‘Itu karena di sekolah hanya diberikan
soal yang bisa diselesaikan,’ begitu katanya. Bahkan, aku pernah diberitahu
hal seperti itu.
Setelah aku kehilangan konsentrasiku
untuk kesekian kalinya, aku melihat jam dan menyadari bahwa sudah hampir siang.
Meskipun aku sudah mengurangi jam kerjaku, aku tetap mengisi hari liburku dengan
pekerjaan paruh waktu selama sebulan penuh di bulan Juli. Kurasa sudah waktunya
untuk bersiap-siap pergi.
Aku merasa seolah-olah mendengar
suara langkah kaki saat aku hendak membawa piring dan cangkir kosong ke dapur.
“...Saki?”
Tidak ada jawaban sama sekali.
Meskipun aku membuka pintu, masih
tidak ada siapa-siapa di sana.
Mungkin
aku salah dengar? Aku merasa seperti ada seseorang yang baru saja
berada di sana. Aku tidak tahu siapa orang itu, tapi ayahku pasti akan mengetuk
pintu tanpa ragu-ragu...mungkin tadi adalah Ayase-san.
Aku mencuci piring dan cangkir
di wastafel sambil memikirkan apa tadi hanya imajinasiku saja. Setelah itu, aku
membersihkan piring dan cangkir dengan lap kering sebelum menyimpannya di
lemari dapur.
Waktunya menunjukkan sedikit
sebelum pukul 12. Ayahku mengatakan bahwa ketika Akiko-san bangun, mereka akan
pergi makan siang bersama di luar. Lap kain tidak akan digunakan dalam waktu
dekat, jadi jika dijemur sekarang, kemungkinan akan kering saat digunakan nanti.
Baiklah,
kalau begitu
“Yuuta-niisan, apa kamu sudah
siap?”
Ayase-san, yang baru saja
memasuki dapur, memanggilku.
Aku melihat tidak ada yang aneh
dengan sikapnya.
“Uhm, begini....”
"Hm?”
“Tidak, bukan apa-apa. Oh, aku
juga siap untuk pergi sekarang.”
Kami berdua menuju ke toko buku
tempat kami bekerja paruh waktu seperti biasa.
Pada saat itu, sepertinya aku
benar-benar melupakan bahwa aku merasa ada kehadiran orang di balik pintu
kamarku tadi.
◇◇◇◇
Dalam perjalanan menuju toko
buku tempat kami bekerja. Aku dan Ayase-san berjalan berdampingan, di jalan
yang sama seperti kemarin. Sinar matahari terasa sangat terik. Cuacanya masih secerah
kemarin. Suhu udaranya mungkin sudah melebihi 30 derajat Celsius, dan sinar
matahari yang menyengat mungkin lebih kuat daripada kemarin.
“Hari ini juga lumayan panas ya.”
“Yeah.”
Aku mengangguk, dan melirik ke
samping. Pemandangan yang kulihat membuat detak jantungku berdegup kencang.
Tetesan keringat yang berkilauan
terlihat di tengkuk leher Ayase-san saat dia mengangkat lengannya dan mengelap
belakang lehernya dengan handuk kecil. Desahan pelan terdengar. Napasnya
mengisyaratkan bahwa dia merasa panas. Meskipun seharusnya aku sudah terbiasa
melihatnya dalam pakaian sehari-hari, tapi pemandangan tulang selangka cantiknya
yang menyembul dari balik atasannya anehnya menarik perhatianku.
Meskipun seharusnya aku sudah
biasa melihat Ayase-san dalam keadaan seperti ini karena kami tinggal serumah,
tapi hanya dengan melihatnya bercucuran keringat, nafasnya yang mendesah, dan
bahkan gerakan sekecil apapun seperti menyeka keringatnya saja sudah membuat
detak jantungku berdebar-debar.
Mungkinkah aku sedang
memikirkan sesuatu yang sangat tidak pantas?
“….ya.”
“Eh?”
Maaf,
aku tidak mendengarnya. Ketika meminta maaf begitu, Ayase-san
menatapku dengan ekspresi heran.
“Aku hanya mengatakan bahwa
cuacanya panas, kok?”
“Ah, ya, betul. Benar sekali,
cuacanya cukup panas.”
Astaga. Percakapan ini sama
sekali tidak memberikan informasi apa-apa. Yang bisa kukatakan hanyalah cuaca
panas.
Meskipun aku merasa gugup di
dalam hati, aku mengalihkan pandanganku ke depan. Aku khawatir bahwa jika aku
terus menatapnya, aku akan membayangkan sesuatu yang lebih tidak pantas.
Aku baru sadar kalau kemarin
kami berjalan sangat berdekatan hingga punggung tangan kami saling bersentuhan,
namun hari ini kami agak berjauhan.
Ayase-san melirik sekilas ke
arahku seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.
Apa tatapannya itu
menyalahkanku karena ada jarak yang tercipta?
Atau malah menyalahkanku karena
tidak pengertian dan meminta jarak yang lebih?
Aku tidak tahu. Ya, mana
mungkin aku bisa mengetahuinya.
Aku berhenti berjalan dan
berkata,
“Tunggu.”
Kata-kata tersebut membuat Ayase-san
juga berhenti.
“Eh?”
Ayase-san memandangku dengan
wajah kaget.
“Aku hanya ingin memastikan
sesuatu.”
“Uh, ya. Apa?”
“Karena hari ini cuacanya cukup
panas. Jadi aku sengaja menjaga jarak sedikit karena tidak ingin terlihat
berkeringat di depan Ayase-san. Bukannya karena ada maksud lain.”
“Eh? ...Ah.”
Ayase-san mengukur jarak di
antara kami dengan matanya dan untuk beberapa alasan, mengayunkan tangan
kanannya yang bebas. Jadi begitu rupanya,
hanya itu yang diucapkan oleh bibirnya.
Dia tersenyum pahit seolah
memahami maksduku, lalu melambaikan tangannya.
“Enggak apa-apa, kok. Aku tidak
keberatan sama sekali. Aku juga tidak ingin terlalu dekat dengan Asamura-kun
saat aku berkeringat, dan di musim seperti ini, mau tak mau aku merasa
kepanasan jika kita bertingkah terlalu lengket di luar.”
“Yah, jadi begitulah adanya.”
“Tidak apa-apa. Itu tidak akan
berubah menjadi sesuatu, jadi jangan khawatir.”
Karena area di sekitar kami
mulai semakin ramai, jadi dia berbicara dengan suara pelan. Kami sudah mendekati
jalan utama di depan stasiun.
Aku menghela napas lega ketika
dia tersenyum padaku. Bahkan hal kecil seperti ini harus dilurusi terlebih
dahulu. Aku merasa lega setelah berhasil melewati krisis.
Kami berhenti di depan zebra
cross setelah melalui kerumunan orang.
Ini adalah persimpangan yang
berada tepat di depan toko buku tempat kami bekerja.
Aku secara tidak sengaja
melihat patung anjing Hachiko yang terkenal di depan stasiun Shibuya. Di
belakang patung tersebut, ada sepasang kekasih yang duduk berdampingan di
bangku pipa yang terdiri dari dua batang besi sejajar. Mereka duduk begitu
rapat, bahkan pipi mereka saling menempel saat mereka berbicara dengan suara
pelan, tanpa menyentuh tangan satu sama lain. Meskipun ada sedikit pepohonan
hijau di sekitar mereka, tempat duduk mereka tidak memberikan banyak bayangan,
jadi sinar matahari langsung mengenai kulit mereka. Aku bertanya-tanya mengapa
mereka bisa duduk begitu rapat meskipun mereka pasti berkeringat. Memangnya
mereka tidak keberatan dengan keringat satu sama lain?
Namun, di suatu tempat di lubuk
hatiku, aku merenungkan hal ini. Ayase-san mengatakan kalau dia tidak ingin
dekat denganku saat dia berkeringat. Mungkin pendapat Ayase-san telah
mempengaruhi pandanganku terhadap pasangan itu.
Jika Ayase-san memberitahuku
untuk tidak menyentuh tangannya saat sedang berkeringat ketika kami berbicara?
──
Bagaimana perasaanku saat melihat pasangan itu jika Ayase-san pernah mengatakan
hal tersebut padaku?
Lampu lalu lintas berubah
menjadi hijau dan kami melintasi penyeberangan pejalan kaki.
“Cuacanya panas ya.”
Kali ini, aku menjawab dengan “Iya
nih” atas perkataan Ayase-san yang entah sudah berapa kali dia ucapkan.
Ketika kita sedang berbaikan,
kita memerlukan kata-kata yang berasal dari hati. Namun, tidak semua orang
dapat dengan pasti memahami perasaan mereka sendiri.
Aku memang tidak suka saat
dikatakan bau keringat, itu memang perasaan sejatiku. Namun, bukan berarti aku
tidak ingin bergandengan tangan. Aku berkeringan cukup banyak setelah berlari sekuat
tenaga di Pantai Palawan. Pada waktu itu, aku merangkul erat-erat Ayase-san dan
bahkan menciumnya.
Kalau ditanya apa perbedaannya
dengan saat itu, aku hanya merasa sedikit lebih tenang sekarang.
Ah,
begitu ya.
Mungkin pasangan itu sedang
merasakan momen yang menggembirakan saat ini.
Entah karena masuk ke dalam bangunan
yang ber-AC atau apa, aku merasa sedikit lebih tenang dan melihat segalanya
dengan lebih jernih.
Pertama-tama, aku akan berusaha
keras di tempat kerja paruh waktuku.
◇◇◇◇
Pak manajer memberitahu kami
berdua bahwa kami boleh istirahat sebentar.
Waktunya sekitar pukul 3 sore.
Waktu yang cukup bertepatan ketika Yomiuri-senpai dan Kozono-san seperti
kemarin-kemarin selesai dengan shift mereka.
“Apa kasirnya tidak terlalu
sibuk?”
“Sekarang pengunjungnya sudah
mulai sepi. Kalau terjadi sesuatu, anak-anak dari shift berikutnya juga sudah
siap, jadi kalian bisa istirahat sekarang.”
Setelah mendengar perkataan pak
manajer, baik aku maupun Ayase-san mengangguk mengerti.
Ketika kami berdua hendak pergi
ke kantor, Kozono-san yang sudah siap pulang, mendatangi pak manajer dan
bertanya, “Boleh saya pergi berbelanja
dulu?”
Setelah berbicara sebentar dengan
pak manajer, Kozono-san mendekati kami dengan langkah kecil ketika kami tak
sengaja menontonnya. Ah, tingkah lakunya
benar-benar mirip seperti binatang kecil.
“Asamura-senpai, boleh minta
waktunya sebentar?”
“Eh, aku?”
“Ya. Ehmm, aku ingin Senpai
ikut menemaniku sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku minta ajarkan.”
Aku hampir secara refleks
mengarahkan pandanganku ke arah Ayase-san.
Sambil menahan diri, aku
menganggukkan kepalaku ke arah Kozono-san.
“Minta tolong diajarin apa?”
Tentu saja itu bukan hal
terkait pekerjaan paruh waktu. Jika dia ingin saran terkait pekerjaan,
seharusnya dia bisa bertanya saat jam kerja, bukan setelah jam kerja.
Setelah aku bertanya demiikian,
ternyata dia ingin meminta saran terkait persiapan untuk pergi berkemah.
“Walaupun disebut berkemah, aku
tidak tahu apa saja yang harus dipersiapkan.”
“Tidak, tidak, karena kita hanya
berkemah sehari saja, jadi kamu tidak perlu terlalu khawatir begitu.”
“Berkemah sehari?”
Ah, sepertinya Kozono-san masih
belum sepenuhnya paham. Yah, aku juga hanya memiliki pengetahuan dangkal
setelah mencari tahu di internet.
“Iya, maksudnya itu berkemah
satu hari. Persiapannya lebih mudah daripada berkemah semalaman.”
“Oh, begitu ya. Dia memang
bilang kalau kita tidak akan bermalam juga.”
“Iya, betul.”
Salah satu tempat yang
disarankan dalam materi yang dikirim oleh Yomiuri-sempai untuk berkemah sehari
berada di Prefektur Tochigi.
Ketika aku mengakses situs dari
URL yang dilampirkan, sepertinya tempat itu sangat cocok untuk dijadikan lokasi
pesta barbekyu.
“Jadi begitu ya. Tapi, aku pasti
perlu menyiapkan sesuatu, ‘kan? Hmm, aku ingin sekali tahu buku atau majalah
yang sebaiknya dibaca, jadi tolong beritahu aku, Asamura-senpai.”
Aku menggali ingatanku. Buku
yang berisi pengetahuan yang diperlukan untuk pemula. Meskipun ini perkemahan
sehari, tapi tetap saja namanya juga berkemah...
“Mungkin ada di buku atau
majalah yang berhubungan dengan kegiatan luar ruangan. Lokasinya... Aku pikir
kalau Kozono-san pasti sudah mengingatnya.”
“Ah, iya. Aku tahu di mana
letak bukunya. Tapi, aku tidak tahu buku seperti apa yang direkomendasikan
untuk pemula. Itulah sebabnya aku ingin senpai memilihkannya untukku….. Karena
sepertinya senpai tahu banyak tentang hal semacam itu. Jadi aku bisa
mempercayai rekomendasi dari Asamura-senpai.”
“Aku tidak setahu itu...”
Aku ingin menolaknya, tetapi Kozono-san
menatapku dengan pandangan memohon di matanya.
“Ehm...”
Aku memalingkan pandanganku dan
melihat Ayase-san.
“Asamura-kun. Aku kebetulan sedang mencarinya juga, jadi bisakah kamu memberitahuku?” kata Ayase-san sambil berdiri
di sisi yang berlawanan dengan Kozono-san.
Ayase-san
juga, ya...
Apa
boleh buat.
“Baiklah, nanti aku akan
mengirimkan materinya ke grup LINE, dan kurasa kamu juga bisa melihat artikel
online atau video di YouTube.”
Sambil merasakan suasana yang
agak aneh di antara mereka berdua, aku mulai berjalan menuju rak yang memiliki
papan bertuliskan 'Hobi/Outdoor' setelah
mengucapkan kata-kata tersebut.
“Aku merasa kalau informasi
dari buku jauh lebih dapat dipercaya,” ucap Kozono-san, mungkin sebagai tanggapan
terhadap perkataanku tadi.
Aku tahu bahwa banyak orang
belakangan ini lebih memilih menggunakan informasi dari internet, jadi aku
tidak pernah menyangka bahwa Kozono-san begitu perhatian terhadap buku.
Meski demikian, aku sendiri
lebih suka membaca informasi yang tertulis di buku karena itu lebih mudah
diingat.
Ayase-san yang berjalan di sebelah
kiriku juga mengatakan, “Aku lebih suka membaca yang tertulis di kertas,”
sepertinya Ayase-san adalah tipe yang sama denganku.
Sesampainya di depan rak, aku
memilih beberapa buku panduan berkemah
(Aku memastikan ada bagian tentang berkemah harian setelah melihat sekilas
daftar isi) dan majalah outdoor.
Ayase-san juga memegang
beberapa buku dan majalah yang sama.
Saat hendak membayar di kasir,
aku menyadari bahwa Yomiuri-senpai masih berada di sana dengan seragam tokonya,
tampaknya dia lupa untuk menyelesaikan tugas slip pembayaran ketika hendak pulang.
Yomiuri-senpai tersenyum senang
saat melihat buku dan majalah tentang berkemah yang diletakkan Kozono-san di
atas meja kasir.
“Sikap serius dalam bermain!
Nilaimu cukup tinggi. Bagus, bagus! Apa jangan-jangan buku ini mungkin dipilih
olehmu, Kouhai-kun?”
“Yah, begitulah.”
“Begitu rupanya. Yup, kamu
memang punya penilaian yang bagus dalam memilih buku, Kouhai-kun. Kamu juga
setuju ‘kan, Erina-chan?”
“Ya, aku juga berpikir begitu!”
“Yup, oke. Kalau gitu, aku akan
melihat harganya dulu, ya.”
Setelah Yomiuri-senpai memeriksa
mesin kasir dan menyerahkan buku itu, Kozono-san memberi hormat dan mengucapkan
terima kasih sambil kepalanya dielus oleh Yomiuri-senpai dari seberang kasir.
“Asamura-senpai, terima kasih
banyak. Kalau begitu aku akan pulang sekarang.”
Kozono-san pergi dari toko
sambil melambaikan tangan. Segera setelah itu, Ayase-san mengambil tempat di
depan kasir.
“Oh? Saki-chan juga mau membeli
itu?”
“Eh, ah, iya.”
Ayase-san menunjukkan buku dan
majalah yang sama persis dengan yang dipilih Kozono-san.
“Oh, Saki-chan juga membelinya.
Hehe~, ternyata sama ya. Semua orang begitu antusias dengan berkemah, Onee-san jadi
merasa senang sekali.”
“Oh, ya. Ah, tapi... aku masih
sedang bekerja.”
Meskipun sedang istirahat, tapi
kami masih dalam jam kerja. Sepertinya dia menyadari bahwa seharusnya tidak
membayar di kasir saat masih bekerja.
“Maafkan aku. Sepertinya lebih
baik kalau aku membayarnya nanti.”
“Kamu sedang istirahat, jadi
tidak perlu terlalu kaku begitu. Pak, manajer, ini tidak masalah, ‘kan?”
Pak manajer tentu saja
mengiyakan, tapi Ayase-san mengatakan kalau dia sudah mengingat bukunya dan dengan
patuh kembali ke rak untuk meletakkan buku yang sudah diambilnya.
Kemudian Yomiuri-senpai berkata
sambil melihat punggung Ayase-san yang semakin menjauh.
"Memilih buku yang sama
dengan yang dipilih Kozono-san. Aha~, jadi begitu ya~ begitu rupanya~.”
“Yah, karena aku sudah diminta.”
“Tentu saja. Pastinya begitu.”
Dia lalu tersenyum sambil
menatapku.
“Baiklah, kalau begitu sudah
waktunya aku beneran pulang sekarang.”
“Oh, kamu sudah selesai dengan
tugasmu, Senpai?”
Seperti yang diharapkan dari
seseorang yang sudah ditawari pekerjaan tetap di toko setelah lulus. Dia mampu
menyelesaikan pekerjaan administratif yang berat dalam sekejap mata.
“Fufufu. Aku jadi sangat menantikan
perkemahan nanti! Rasanya masa muda banget!”
Yomiuri-senpai kemudian pergi
setelah mengucapkan beberapa kata misterius.