Houkago, Famires de Volume 1 Bab 1 Bahasa Indonesia

 

Penerjemah: MaoMao

Bab 1 — Aliansi Restoran Keluarga

 

 

Kelas 2-D SMA Hoshimoto, pelajaran pertama pada hari Senin adalah Matematika.

Setelah menikmati liburan akhir pekan, hari Senin merupakan hari yang mungkin dimana performa siswa dan pekerja mencapai titik terendah, dan anak-anak dari kelas 2-D harus berhadapan dengan deretan angka. Mengeluh tentang kurikulum setan yang diatur oleh sekolah, dimana pelajaran pertama di hari Senin adalah Matematika, merupakan topik pembicaraan yang lumrah di kelas kami.

Setelah susah payah melewati momok menakutkan yang bernama ujian tengah semester dan kini sedang menikmati kedamaian, sebagai seorang pelajar, yang sebenarnya ingin kita lakukan adalah mengalihkan pandangan dari kewajiban belajar dan mengambil nafas lega, itulah perasaanku yang sebenarnya.

“Selamat pagi, Kouta.”

Di tengah-tengah kelas yang penuh kejenuhan pada pelajaran Matematika di senin pertama, ada seorang teman sekelas yang menyapaku dengan senyuman cerah dan menawan. Senyumnya yang ramah sangat mengesankan, dan tinggi badannya sedikit di bawah rata-rata siswi SMA laki-laki. Bahkan posturnya yang berada sedikit di bawah rata-rata jika diurutkan berdasarkan tinggi badan pun seolah terasa menarik.

Sambil tersenyum, ia tampak menunggu sapaan balasanku, bagaikan seekor anjing yang mengibaskan ekornya.

“Yo, selamat pagi juga, Natsuki.”

Inumaki Natsuki.

Ia adalah teman masa kecilku sejak TK, dan kebetulan juga sekelas denganku. Sejak TK, kami tidak pernah sekalipun terpisah ke kelas yang berbeda. Bahkan sekarang, sebagai siswa SMA kelas dua, rekor itu masih berlanjut, dan dia sendiri yang mengatakan, “Sekarang setelah kita sampai sejauh ini, aku ingin kita tetap bersama sampai lulus SMA.”

Jika ditambahkan, ia sering menggurau, “Kalau punya teman masa kecil, seharusnya yang cantik dong!” tapi sebenarnya, itulah kata-kata yang ingin kukatakan.

“Hei, Kouta, ayo kita nongkrong kemana gitu setelah sekolah hari ini?”

“Maaf ya, aku ada kerja paruh waktu lagi hari ini.”

“Eh, ada kerajaan lagi? Sejak jadi anak kelas 2, kamu jadi sering banget ya kerja paruh waktu.”

“Yah, karena aku menambah jam kerja paruh waktuku.”

“Alasannya kamu nggak mau pulang ke rumahmu, ‘kan?”

“…..”

Aku terdiam karena ucapannya benar-benar tepat sasaran, dan tanggapan diamku lebih banyak menjawab daripada kata-kata.

“Jadi kamu masih belum bisa akur dengan keluarga barumu, ya?”

Setelah terbaca sampai sejauh ini, diamku tidak lagi berarti. Dengan pasrah, aku mulai berbicara.

“Jujur saja, aku masih merasa tidak nyaman di rumah. Aku belum bisa terbiasa dengan ayah tiriku dan adik perempuan tiriku yang lebih muda satu tahun dariku...lebih tepatnya, aku bahkan masih belum bisa menganggap mereka seperti keluarga. Itulah yang membuatku benci pada diriku sendiri.”

“Jadi itu sebabnya kamu sengaja mengambil banyak-banyak kerja paruh waktu, dan menghabiskan waktu di restoran keluarga setelah kerja paruh waktu... sungguh usaha yang mengharukan. Adik perempuan tirimu itu bukan anak yang buruk, kan? Malahan katanya dia anak baik.”

“Adik tiriku itu juara kelas yang sangat pintar. Cobalah kamu mengerti perasaan memiliki adik yang terlalu sempurna.”

───Pada liburan musim semi sebelum naik ke kelas 2 SMA, ibuku menikah lagi.

Pasangannya adalah seorang karyawan kantor yang bekerja di perusahaan pembuat mainan terkenal.

Pria itu bukan orang jahat sih. Sebaliknya, aku justru berpikir kalau ia orang yang baik. Aku tidak memiliki keluhan tentang orang yang dipilih ibuku. Ibuku sudah membesarkanku sendiri, jadi aku benar-benar ingin dia menemukan kebahagiaannya, dan aku dengan tulus mendoakannya.

Karena itu, aku dan ibuku pindah ke rumah pasangannya.

Sebelumnya kami tinggal di apartemen, tapi sekarang kami pindah ke sebuah rumah dua lantai yang cukup bagus. Menurutku, secara keseluruhan tingkat hidup kami meningkat. Ayah tiriku adalah orang yang baik dan ia bersikap baik juga padaku. Itulah kebahagiaan. Aku yakin kalau aku adalah orang yang beruntung.

Namun, ada dua masalah yang muncul.

Yang pertama, ia memiliki seorang anak perempuan. Terlebih lagi, putrinya itu adalah adik kelasku di SMA Hoshimoto yang baru masuk musim semi ini, satu tahun di bawahku. Dia berprestasi akademis dan serba bisa dalam olahraga. Bahkan, dialah yang memberikan pidato perwakilan siswa baru.

Hidup di bawah satu atap dengan lawan jenis seumuran. Sejujurnya, aku masih bingung bagaimana cara bergaul dengannya.

Dan masalah kedua adalah... sederhana saja, aku merasa tidak nyaman di rumah itu.

Aku belum bisa beradaptasi dengan keluarga baru dan rumah itu.

Karena itulah aku merasa enggan untuk pulang, jadi aku mengambil lebih banyak shift kerja paruh waktu, dan mampir ke restoran keluarga setelah kerja untuk menghabiskan waktu.

“Aku beneran minta maaf kalau terlalu kepo, tapi apa kamu baik-baik saja dengan itu? Kalau kamu mulai kerja paruh waktu lebih banyak dan pulang terlambat setelah keluarga barumu memulai kehidupan baru, aku rasa mereka juga akan khawatir.”

“Aku tahu, dan aku merasa bersalah kepada ibuku dan ayah tiriku juga. Tapi... walau begitu, aku masih merasa tidak nyaman...”

Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Aku tahu apa masalahnya, dan aku juga berpikir bahwa aku harus mengatasinya, tapi kenyataannya, aku masih belum bisa melakukannya.

“Hmm, begitu ya. Ada hal-hal yang memang sulit untuk diubah, ya kan?”

Sikap Natsuki yang tidak memaksa dan seolah mengatakan “Berusahalah untuk bergaul baik dengan mereka!” adalah salah satu hal yang aku suka darinya.

“Kerja paruh waktu dan mampir ke restoran keluarga itu bagus, tapi kalau kamu ingin menghabiskan waktu, datang saja ke rumahku. Mari sesekali kita main bersama~”

“Ya. Aku akan memanfaatkannya saat itu nanti.”

Mungkin itulah yang ingin dikatakan Natsuki.

Bahwa dirinya akan selalu menjadi tempat pelarianku.

Aku bersyukur. Terutama karena Natsuki tahu tentang ayahku yang sebelumnya, dia adalah satu-satunya orang yang bisa aku ajak bicara dengan santai.

“Hei, Kazemiya-san. Ada sesuatu yang ingin aku minta.”

Tiba-tiba, aku mendengar percakapan beberapa siswi di kelas.

“Apa?”

Meskipun baru di kelas dan belum terbiasa dengan teman-teman baru, sikap Kazemiya-san terkesan acuh bahkan dari yang kulihat. Memang, dia selalu terkesan dingin atau memiliki semacam aura penyendiri, tapi bahkan tanpa itu, sikapnya tetap terasa acuh tak acuh. Dia juga tidak melepaskan pandangannya dari layar smartphonenya. Di dalam kelas, dia biasanya memakai headphone dan menonton video sampai pelajaran dimulai (sepertinya motif nekomimi di headphone itu bisa dilepas, dan dia melepasnya ketika di kelas). Sekarang juga, dia mungkin sedang menonton video. Smartphone-nya tergeletak di atas meja dalam posisi menyamping. Dari headphone yang tergantung di lehernya, sepertinya dia baru menyadari ada yang menepuk bahunya dan dengan enggan... mungkin mendengarkan apa yang ingin dikatakan. Siswi yang memanggilnya juga mungkin merasakan penolakan dari Kazemiya-san, namun dia tetap bertahan dan melanjutkan.

“Jadi, kakak perempuanmu itu adalah penyanyi kuon, kan?”

Siswi yang bertanya itu tampaknya sedikit bersemangat. kuon yang dia sebutkan adalah penyanyi (tepatnya, penyanyi sekaligus penulis lagu) yang sangat populer di kalangan pelajar SMA masa kii.

Kuon. Nama aslinya adalah Kazemiya Kurone. Dia adalah kakak perempuan Kazemiya-san yang dua tahun lebih tua. Fakta ini diketahui oleh hampir semua siswa di sekolah ini, dan karena itu, adik perempuan Kuon menjadi semacam selebriti. Tentu saja, ada alasan lain mengapa dia terkenal di sekolah ini.

 

“Iya. Lantas, ada apa dengan itu?”

“Aku ini penggemar Kuon-san. Jadi... Aku mohon! Bisa enggak kamu kenalin aku dengan kakakmu?”

“Tidak mau.”

Kazemiya-san dengan tegas dan cepat menolak permintaan teman sekelasnya.

Permintaan seperti ini pasti sudah dia terima berkali-kali, dilihat dari penolakan yang sangat efisien itu.

“Coba deh dipikirkan lagi... Ah, atau setidaknya minta tanda tangannya saja... Aku ini penggemar Kuon-san sejak dia debut!”

“Apa kamu tidak dengar?”

Suara Kazemiya-san terdengar semakin dingin.

“Aku sudah bilang kalau aku tidak mau, kan?”

“..........”

Mungkin inilah yang disebut tekanan. Gadis yang berbicara dengannya tadi langsung terdiam sepenuhnya dan berbalik meninggalkan Kazemiya-san, dan kembali ke tempat duduknya.

Setelah melihat kepergiannya, Kazemiya-san kembali memasang headphone dan kembali ke dunia videonya. “Apa-apaan itu tadi?” “Sikapnya songong banget.” bisik-bisik dari siswa lain mungkin terdengar atau tidak oleh Kazemiya-san. Tanpa disadari, siswa lain di kelas yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka kembali ke obrolan masing-masing, seolah-olah menganggap tidak terjadi apa-apa.

“Wah, benar-benar menyegarkan melihat seseorang dengan begitu jelasnya menginjak ranjau darat, ya?”

“Ranjau darat?”

“Iya. Kelihatannya Kazemiya-san enggak suka kalau ada yang ngomongin tentang kakaknya loh. Tahun lalu kayaknya ada banyak kejadian serupa, dan sepertinya cukup merepotkan buat dirinya.”

“Eh, aku sama sekali enggak tau.”

“Yah karena waktu itu kita beda kelas, sih. Aku juga cuma dengar-dengar dari orang lain. Lagipula, sebenarnya ada gosip lain tentang Kazemiya-san.”

“Oh... Gosip yang itu ya?”

Aku juga mengetahuinya. Rumor tentang gadis bernama Kazemiya Kohaku yang aku dengar lebih sering adalah tentang itu.

“Katanya dia sering keluyuran malam-malam atau nongkrong dengan orang-orang yang nakal, macam-macam rumor yang nggak jelas kebenarannya. Aku sih nggak terlalu suka dengar cerita begitu. Kadang aku sampai pengen pakai headphone kayak Kazemiya-san biar nggak denger gosip-gosip itu.”

Kalau Natsuki sampai berbicara seperti ini, mungkin artinya gosip tersebut Cuma angin lalu saja ya?

Natsuki punya banyak kenalan. Jadi, ia mendengar lebih banyak gosip daripada orang lain. Dirinya tidak percaya begitu saja pada satu sumber, tapi ia juga membandingkan info dari beberapa orang, dan kadang bahkan mencari tahu sendiri kebenaran di baliknya. Ia tipe orang yang seperti itu.

“Yah, terlepas dari gosipnya yang beredar, buat aku sih nggak terlalu penting."

“Ahaha, bener juga, Kouta mungkin memang begitu. Kamu kan orangnya nggak suka ikut campur urusan orang lain.”

“Siapa pun juga begitu, ‘kan?”

"Enggak, enggak. Ada banyak orang yang karena rasa penasaran pribadi dan keingintahuan, mereka seenaknya melangkahi masalah rumah dan keluarga orang lain. Seperti anak tadi itu.”

Komentar yang cukup pedas tentang siswi tadi.

Mungkin Natsuki juga punya pendapat sendiri tentang interaksi yang baru saja terjadi.

“.........”

Kazemiya-san terus menonton video di smartphonenya dengan sikap yang sama tenangnya.

Tidak ada perbedaan dengan sikapnya saat di restoran keluarga di malam hari.

Seolah-olah dia sudah melupakan interaksi dengan siswi tadi... atau setidaknya, itulah yang terlihat di mataku.

“Ah, belnya berbunyi.”

Suara bel yang bergema memotong lamunanku, dan Natsuki serta teman sekelas lainnya mulai berhenti berbicara dan duduk di tempat masing-masing. Kazemiya-san juga melepas headphone dan mulai mempersiapkan diri untuk pelajaran.

(......Ah, sudahlah, lagian nggak penting juga.)

Apa pun yang dipikirkan Kazemiya-san, bagaimana hubungannya dengan keluarganya, itu tidak ada hubungannya denganku. Aku juga sama sekali tidak tertarik.

Aku tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga orang lain.

Aku saja sudah kelebihan beban dengan urusan rumahku sendiri, jadi aku tidak punya banyak waktu luang mengurusi urusan orang lain.

 

☆☆☆☆

 

Sepulang sekolah.

Sama seperti biasa, setelah menyelesaikan pekerja paruh waktuku, aku langsung menuju “Restoran Keluarga Langganan”, yaitu Flowers.

“Maafkan kami. Mohon tunggu sebentar.”

Namun, ruangan di dalam tampaknya sedang ramai dengan para pengunjung. Walaupun biasanya cukup banyak pengunjung, tapi tidak pernah sepadat ini.

Saat mengintip ke dalam, tampaknya beberapa rombongan pelanggan datang secara kebetulan.

Karena tidak terduga menemukan situasi seperti ini. Tidak tahu apakah ini keberuntungan atau sebaliknya. Bagiku yang hanya ingin menghabiskan waktu, tidak masalah berapa lama pun harus menunggu.

Setelah menekan tombol “Dewasa: Satu Orang” di layar sentuh terminal di dalam, mesin tiket mencetak sebuah kertas yang mirip dengan struk dengan nomor “26” di atasnya. Aku mengambilnya dan dengan tenang menunggu giliran.

“Nomor dua puluh enam.”

Dipandu oleh pelayan, aku berjalan melewati kerumunan rombongan pelanggan yang meriah di dalam restoran.

Biasanya aku duduk di mana saja yang aku suka, tapi hari ini, karena kepadatan konsumen, tampaknya itu tidak mungkin. Tempat duduk yang biasa aku pakai sudah ditempati oleh sekelompok wanita asing yang sepertinya sedang mengadakan pertemuan dengan tablet di atas meja mereka.

“Silakan duduk di sini.”

“Ah, ya.”

Melewati "tempat duduk biasa" itu, aku sampai di tempat yang diarahkan. Sepertinya meja ini baru saja selesai dibersihkan. Selain bekas lap di meja, tidak ada yang berbeda. Aku duduk di kursi sofa yang cukup empuk tanpa banyak berpikir.

“........”

Setelah duduk, aku baru menyadari.

Di sebelah tempat dudukku, dengan jarak yang cukup untuk seseorang lewat, ada seorang gadis berambut pirang yang sama seperti pagi ini, memakai headphone dan menonton video di smartphonenya. Dia adalah Kazemiya Kohaku.

Aku terkejut dan tanpa sadar menatapnya, tapi segera sadar dan membuka menu untuk menyembunyikan kekagetanku.

Tidak ada yang perlu dikejutkan. Aku hanya di arahkan ke meja sebelah. Hanya itu saja.

Sebenarnya, aku sudah hampir menghafal semua menu karena sering mampir, jadi tidak perlu benar-benar membukanya, tapi rasanya sedikit malu terlihat seperti pelanggan tetap. Jadi, aku pura-pura memeriksanya dengan cepat. Kadang-kadang, ketika aku belum memutuskan apa yang akan dipesan, melihat foto-foto makanan di menu bisa membangkitkan selera makan.

Kali ini juga begitu. Aku melihat foto nasi omelet berwarna kuning yang cantik di menu itu, entah kenapa, menu tersebut menarik perhatianku. Aku pun menekan tombol untuk memanggil pelayan.

“Satu nasi omelet dengan saus spesial dan satu minuman isi ulang, ya.”

Setelah selesai memesan, aku mengisi gelas dengan cola dan kembali ke tempat dudukku.

Kazemiya-san masih asyik menonton video di smartphonenya dengan headphone yang terpasang.

(Kira-kira dia sedang menonton video apa ya?)

Dengan piemkiran seperti itu, aku kembali ke tempat dudukku.

Setelah bermain-main dengan smartphone-ku sebentar, pesanan nasi omelet yang kupesan sudah tiba.

“Itadakimasu!”

Di bawah lapisan telur yang kulepaskan dengan sendok, ada keju yang meleleh karena panas yang terjebak di antaranya, menciptakan rasa manis yang pekat dan berdansa di lidah. Saus spesial yang dituang di atasnya benar-benar sempurna, membuatku tidak merasa bosan sampai suapan terakhir.

“Terima kasih atas makanannya.”

Aku akhirnya selesai menyantap hidanganku.

Sebagai seorang siswa SMA, lebih baik kalau porsinya sedikit lebih banyak.

Biasanya, aku akan beristirat sebentar sebelum pulang, tapi karena merasa tidak nyaman di rumah, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sini. Saat aku membuka akun media sosialku untuk melihat apakah ada sesuatu yang baru...

“Hmm?”

Layar smartphonku berubah menjadi pemberitahuan panggilan masuk.

Peneleponnya adalah Ibu. Aku punya alasan kenapa dia menelepon.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Setelah menenangkan diri agar suaraku tidak terdengar aneh, aku menekan tombol untuk menjawab panggilan.

“Halo, Ibu?”

“Kouta, kamu sekarang lagi ada di mana?”

“Aku lagi di jalan pulang karena habis kerja paruh waktu, bu.”

Aku tidak berbohong.

Memang benar bahwa aku telah selesai bekerja paruh waktu dan restoran keluarga ini juga ada di jalan pulangku.

“Jadi, kamu akan pulang sebentar lagi, ‘kan?”

“Mungkin butuh waktu sedikit lebih lama. Aku juga berniat makan malam di luar sebelum pulang.”

Sebenarnya aku sudah selesai makan, tapi kalau aku memesan hidangan penutup, maka yang aku katakan tadi bukanlah kebohongan.

“Kalau untuk makan malam, kamu tidak perlu makan di luar, kan?”

“Aku kan lapar setelah kerja paruh waktu. Aku juga mau cepat makan sesuatu.”

Itu juga bukan kebohongan... seharusnya. Memang benar aku merasa lapar setelah bekerja.

“Ya sudah, nanti pulangnya hati-hati ya. Akihiro-san dan Kotomizu-chan juga menunggumu.”

“Iya. Ah, tidak usah repot-repot menungguku. Lebih baik kalian makan saja dulu. Itu pasti lebih nyaman untuk kalian dan Tsujikawa-san.”

Tsujikawa adalah nama belakang dari pasangan baru ibuku. Tsujikawa Akihiro adalah ayah tiriku, dan Tsujikawa Kotomizu adalah adik perempuan tiriku.

Karena usia adik tiriku hampir sebaya denganku, tidak ada jaminan kalau tidak ada dampak apapun pada kehidupan sekolahnya jika tiba-tiba ada yang mengetahui kalau dia memiliki kakak laki-laki tiri yang satu tahun lebih tua. Apalagi dia baru saja masuk SMA, jadi ini adalah masa-masa yang sensitif dalam membangun hubungan sosial.

Jadi, meskipun dalam catatan sipil namaku sudah diganti “Tsujikawa”, aku memilih untuk menggunakan nama keluargaku yang dulu “Narumi”. Aku juga merasa lebih nyaman dengan cara itu. Mengenai situasi ini, aku hanya memberitahu kepada orang-orang yang dapat dipercaya dan yang dapat menjaga rahasia (dalam kasusku, Natsuki), dan itu saja.

“Baiklah, aku akan menyampaikannya nati. Pokoknya, sekarang sudah gelap, jadi hati-hati saat pulang ya.”

“Iya. Aku akan memutuskan sambungan sekarang.”

Aku mengumumkan bahwa aku akan memutuskan sambungan dan mengakhiri panggilan.

“Fyuuuh...”

Tanpa sadar, aku menghela napas lega.

Bukan berarti aku tidak akur dengan ibuku. Sebaliknya, hubungan kami cukup baik. Aku bahkan membaca naskah yang ditulis ibuku yang seorang penulis dan memberi tanggapan, jadi hubungan kami sebagai orangtua dan anak cukup baik.

Namun, hanya dengan melakukan panggilan yang tidak sampai lima menit, aku sudah merasa sangat lelah.

“......Kurasa aku harus pesan hidangan penutup.”

Ya, benar. Itu terdengar bodoh bahkan bagi diriku sendiri. “Bukan kenyataan tapi juga bukan kebohongan.” Jadi aku membuka menu lagi hanya demi mendapatkan alasan yang tidak masuk akal itu.

Bagiku, pengorbanan semacam ini diperlukan demi bisa memberikan ketenangan pikiran, tapi dari sudut pandang orang lain, hal semacam ini mungkin terlihat seperti pemborosan.

Untuk sementara, aku memesan es krim coklat yang relatif murah di antara pilihan hidangan penutup. Tapi setelah memesan, aku menyesal dan berpikir seharusnya aku memesan parfait yang pasti akan memakan waktu lebih lama untuk disiapkan.

“Apa kamu tidak akur dengan keluargamu?”

Tida-tia, aku mendengar suara yang indah.

Dan setelah satu ketukan lebih lambat, aku menyadari bahwa suara indah itu ditujukan kepadaku, dan aku berbalik tanpa sadar. Yang bertanya itu adalah Kazemiya-san  yang duduk di sebelahku.

“Eh...”

Tubuhku membeku seperti batu sebagai respons atas pertanyaan yang tidak aku duga.

Kazemiya Kohaku, gadis itu, yang pertama kali muncul di pikiranku ialah kesan “kesendirian”-nya.

Dia terlihat keren, sedikit acuh, namun cantik. Seolah-olah ada kilau kesendirian yang tidak membiarkan orang lain mendekat.

Itulah gambaran Kazemiya Kohaku dalam pikiranku.

Aku belum pernah melihat dia memulai percakapan dengan orang lain. Tentu saja, aku juga baru menjadi teman sekelas dengan Kazemiya-san setelah naik kelas dua, jadi sebenarnya kami belum begitu mengenal satu sama lain.

Selain itu, aku hanya melihatnya di restoran keluarga ini, dan dalam pengamatanku, aku tidak pernah melihat dia berbincang dengan teman atau bahkan berbicara di telepon. Kecuali mungkin saat memesan dari pelayan.

“Kamu... sedang menanyakan itu padaku?”

“Memangnya siapa lagi?”

Ya, itu benar. Kazemiya-san duduk di sudut restoran, dan di sebelahnya hanya ada aku.

“......Ah, maaf. Aku tidak sengaja mendengarnya. Aku baru saja melepas headphone setelah menonton video, dan aku mendengarnya.”

“Tidak, itu salahku juga karena bicara di telepon di tempat seperti ini...”

Sebenarnya aku mengira kalau Kazemiya-san tidak akan mendengarnya karena dia sedang memakai headphone dan menonton video... tapi tampaknya, dia baru saja selesai menonton pada waktu yang aneh.

“Hubungan keluargaku... dengan ibuku... tidak terlalu buruk, atau begitulah anggapanku. Kupikir hubungan kami sebagai orangtua dan anak cukup baik."

“Dengan ibumu, ya.”

Tanpa sadar, aku berkata “sialan” dalam hatiku sambil berkeringat dingin.

Dengan cara penyampaian seperti itu, seolah-olah aku mengakui bahwa “Aku tidak akur dengan semua anggota keluarga lain selain ibuku.”

Bisa dibilang, hubunganku dengan ayah tiri dan saudara tiri perempuanku tidak buruk. Aku bisa merasakan bahwa mereka mencoba mendekat, dan hanya aku yang belum bisa menanggapinya.

Namun, Kazemiya Kohaku ternyata... cukup peka.

Meski itu karena ketidaksengajaanku, dia dengan tepat menangkapnya.

“Maaf ya, karena aku tiba-tiba bertanya hal aneh.”

Mungkin dia menyadari kehati-hatianku. Kazemiya-san tersenyum pahit sambil meminta maaf.

“Tidak apa-apa kok. Memang benar hubunganku dengan anggota keluarga selain ibuku sedikit rumit.”

“Begitu ya.”

Setelah beberapa detik sunyi, Kazemiya-san mulai berbicara lagi.

“……Sebenarnya, aku juga tidak terlalu akur dengan keluargaku.”

“Eh?”

Aku terkejut karena topik yang kusangka sebagai “ranjau darat” bagi dirinya mendadak muncul, jadi mau tak mau aku berseru kaget. Ketika melihat reaksiku, dia sepertinya mengerti banyak hal.

“Tadi kan aku bertanya tentang keluarga. Aku merasa tidak adil jika hanya aku saja yang bertanya.”

“Seharusnya kamu tidak perlu khawatir tentang itu.”

“Tapi akulah yang khawatir. Aku punya prinsip untuk tidak mencampuri urusan keluarga orang lain.”

“Aku juga begitu,” balasku secara tidak sadar.

“Ah, benarkah?”

“Aku saja sudah kewalahan mengurus masalah rumahku sendiri, mana mungkin aku punya waktu untuk ikut campur dalam urusan rumah orang lain.”

“Ahaha, rupanya alasan kita sama ya.”

──Kazemiya-san, jadi dia bisa tertawa seperti itu ya.

Aku terkejut pada diriku sendiri karena baru menyadari hal itu. Tapi memang benar, ekspresi yang ditunjukkan Kazemiya-san tadi adalah sesuatu yang belum pernah kulihat di kelas, dan memang benar itu menarik perhatianku.

“Heh... begitu ya. Ternyata Narumi juga sama, ya?”

“Eh? Namaku...”

“Tentu saja aku tahu. Kita kan teman sekelas.”

Aku terkejut.

Aku mengira Kazemiya-san merupakan gadis yang selalu memakai headphone dan tidak peduli dengan sekitarnya. Aku menyangka kalau dia bahkan tidak terlalu tertarik untuk mengingat nama teman sekelasnya.

...Aku sendiri, sebenarnya, agak ragu-ragu apakah aku masih ingat nama beberapa teman sekelas atau tidak. Tapi lebih baik aku diam tentang itu. Mengakuinya di depan Kazemiya-san terasa terlalu canggung.

“Ditambah lagi, kalau ada seseorang yang selalu duduk di tempat yang sama di restoran langganan dan itu teman sekelas, siapa saja pasti akan mengingatnya, ‘kan?”

“Ah, betul juga.”

Bahkan jika Kazemiya-san tidak terkenal di sekolah, kupikir aku akan mengingatnya.

Selalu duduk di kursi yang sama, anak itu yang biasa. Jika dia teman sekelas, hal semacam itu pasti akan meninggalkan kesan.

“...Jadi, alasanmu datang ke restoran ini juga sama?”

“Yup. Mungkin, aku pikir itu sama.”

““Karena merasa tidak nyaman di rumah, jadi lebih baik menghabiskan waktu di restoran.””

Kami berdua mengatakan itu secara bersamaan. Kami berdua tidak bisa menahan tawa. Dan ternyata, Kazemiya-san juga sama.

“Kita cocok, ya?”

“Ya, kita cocok.”

Tanpa sadar kami berdua tertawa dengan sendirinya. Aku tidak pernah menyangka ada siswa lain yang menghabiskan waktu di restoran yang sama karena merasa tidak nyaman di rumah.

“Maaf sudah menunggu. Ini pesanan es krim coklatnya.”

Pada saat itu, es krim yang kupesan dibawa ke meja.

“Sip, sudah datang. Hidangan penutup sebagai alibi.”

“Aku pikir itu benar-benar pemborosan.”

“Itu bukan pemborosan. Bagi kita, itu adalah biaya yang diperlukan untuk memberi ketenangan hati, bukan?”

“....Benar, kita memang cocok.”

Percakapan dengan Kazemiya-san terus berlanjut hingga es krim coklatku habis.

Mungkin karena aku lebih banyak bicara daripada makan dengan sendok, es krimku mencair lebih cepat daripada biasanya. Aku tidak melihat waktu dengan tepat, tapi rasanya aku butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk menyelesaikannya.

“Aku harus segera pulang sekarang.”

“Kalau begitu, mungkin aku juga akan pulang.”

Kami berdiri bersama-sama dan mengantri di kasir dengan membawa slip pembayaran. Kali ini tidak ada yang saling memberi dan menerima. Saat kami keluar dari toko, tentu saja hari sudah gelap, dan kota terlihat bercahaya seakan melawan kegelapan yang mengepung.

“Kebetulan, apa kamu bersedia mengantarku sampai ke rumah?”

Aku bukanlah orang dongo yang tidak memahami maksud dari usulan tersebut.

“Itu akan membantu memperpanjang waktu pulangku.”

“Aku juga.”

Kazemiya-san mungkin keluar dari toko pada saat yang sama denganku karena mempertimbangkan hal itu.

Kami berjalan berdampingan di jalanan yang berlawanan dari jalur pulangku yang biasa.

Jalur pulang yang tidak familiar. Gedung-gedung yang tidak familiar. Berjalan di jalan yang mungkin tidak pernah kulalui sampai kemarin, bersama dengan Kazemiya Kohaku, memberikan perasaan yang aneh.

Ah, memang. Rasanya sungguh aneh.

Siang tadi, aku hanya menganggap Kazemiya-san sebagai orang yang “penyendiri”.

Seseorang dari dunia yang berbeda dariku.

Seseorang yang kupikir takkan pernah berhubungan dengannya hari ini, besok, atau kapan pun.

Tapi sekarang, dia begitu dekat denganku.

Dengan sedikit keberanian, aku bisa merasakan dia sebagai seseorang yang sangat dekat denganku.

Itu pasti karena ─── aku merasa lega.

Tidak terlalu akur dengan keluarga. Sebegitu tidak ingin pulangnya ke rumah hingga lebih memilih menghabiskan waktu di restoran keluarga hingga malam.

Orang yang terikat dengan belenggu keluarga yang tidak bisa dihindari hingga mati.

Ada orang lain seperti diriku. Dan itu membuatku merasa sangat lega.

“Narumi, kalau pulang ke rumah terlambat begini, kamu biasanya ngomong apaan dengan keluargamu?”

“Seperti yang sudah kubilang di telepon tadi, aku biasa bilang kalau aku makan setelah kerja paruh waktu, atau aku istirahat karena lelah setelah kerja paruh waktu... Yah, macam-macam deh.”

“Tapi itu, kalau dilakukan terus menerus, bukannya bakal terasa berat?”

“Sebenarnya aku juga mulai merasakan batasannya. Kalau boleh tau, gimana dengan situasimu?”

“Aku selalu bilang, 'Ini urusan pribadiku, kan?' dan itulah alasan yang aku gunakan untuk menangkisnya.”

“Sepertinya kamu cukup tangguh juga ya...”

“Kalau tidak begitu, aku enggak bakal kuat. Sudah begitu dari dulu. Bahkan kalau aku jalan-jalan di siang hari pun, mereka selalu curiga kalau aku sedang melakukan sesuatu yang aneh. Aku merasa seolah-olah nggak pernah benar-benar dipercaya. Yah, kalau aku terlibat dalam masalah, itu akan merepotkan kakakku, jadi tidak ada pilihan lain.”

Bukan karena sering keluar malam hingga kehilangan kepercayaan, tapi mungkin yang sebenarnya adalah kebalikannya.

Karena tidak dipercaya, akhirnya menjadi kebiasaan untuk berada di luar rumah hingga malam...

...Kalau memang begitu, aku bisa merasakan kenapa harus memaksa menjalani kehidupan seperti itu.

“Kelihatannya situasimu jauh lebih sulit, ya.”

“Mungkin sih. Tapi, perasaan tidak nyaman di rumah itu sama, ‘kan?”

“Aku setuju mengenai itu.”

“Kamu, besok akan ke restoran keluarga lagi, ‘kan?”

“Iya. Besok aku masih ada pekerjaan paruh waktu.”

“Hmm... begitu ya...”

Percakapan kami terhenti sejenak karena Kazemiya-san tampaknya memikirkan sesuatu.

“Kalau begitu, aku punya usulan.”

“Usulan?”

“Kalau memang begitu, bukannya jauh lebih menyenangkan kalau kita mengobrol seperti hari ini untuk menghabiskan waktu? Kurasa kita cukup klop untuk jadi lawan bicara... dan itu juga memudahkan membuat alasan, kan?”

Memang benar. Aku harus mengakui bahwa hari ini, aku merasa cukup cocok ketika berbicara dengannya.

Dan entah kenapa, waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya.

...Sejujurnya, menghabiskan waktu berjam-jam sendirian juga bisa jadi cukup menyulitkan. Jika ada seseorang untuk diajak berbicara, mungkin hal itu jauh lebih berarti daripada hanya menghabiskan waktu sendirian dengan melihat sosial media atau menjelajahi situs.

“Ditambah lagi... kupikir aku bisa berbicara dengan Narumi. Tentang keluhan dan segala macam."

“Keluhan? Tentang apa?”

“Macam-macam lah! Tentang sekolah, hal-hal pribadi...───dan mungkin juga tentang keluarga.”

Aku tak bisa menahan tawa saat itu.

“Keluhan tentang keluarga, ya? Mungkin itu memang ada bagusnya.”

“Kenapa kamu malah tertawa?”

“Maaf. Aku tidak pernah kepikiran tentang itu.”

Rasa bersalah terhadap keluarga. Rumah yang tidak nyaman.

Meskipun terkadang aku berbicara dengan Natsuki, tetap saja masih ada kesulitan tersendiri untuk menceritakannya.

Seorang teman yang bisa diajak curhat mengenai semua keluhanku───mungkin hanya Kazemiya-san yang bisa mengerti perasaan tidak nyaman di rumah itu.

“Bagaimana kalau kita saling curhat dan mendengarkan satu sama lain? Tidak perlu lebih dari itu... gimana?”

“Iya, itu bagus. Cocok dengan prinsip kita.”

“Oke, kalau begitu, kita sepakat ya?”

“Ya. Ini seperti perjanjian sekutu.”

“Sekutu, ya? Itu bagus. Gimana kalau kita kasih nama juga?”

“Mirip seperti Aliansi Satsuma-Chōshū?”

“Kenapa Aliansi Satsuma-Chōshū?”

(TLN : Persekutuan Satsuma-Chōshū (薩摩長州同盟 , Satsuma-Chōshū dōmei), atau Persekutuan Satchō (薩長同盟 , Satchō dōmei) adalah suatu persekutuan militer antara domain feodal Satsuma and Chōshū yang dibentuk pada 1866 yang bertujuan untuk memulihkan Kekaisaran Meiji dan menggulingkan Keshogunan Tokugawa dari Jepang.)

“Itu yang terlintas di pikiranku sih. Mungkin di kehidupan sebelumnya aku hidup di zaman Bakumatsu.”

“Zaman Bakumatsu, ya?”

Kazemiya-san tiba-tiba tertawa kecil.

“Narumi itu lebih lucu dari yang kubayangkan, ya?”

“Yah, tinggalkan dulu soal zaman Bakumatsu. Kalau kita harus memberi nama untuk aliansi kita... bagaimana dengan 'Aliansi Restoran Keluarga'?”

“Kedengarannya bagus. Sederhana dan mudah dimengerti.”

Aliansi Restoran Keluarga. Dengan adanya label yang dapat menggambarkan hubungan kami dalam satu kata, rasanya semuanya menjadi lebih masuk akal... setidaknya itulah yang kurasakan.

“Di sini tempatnya.”

Tidak sampai lima menit setelah kami keluar dari restoran, Kazemiya-san berhenti di depan sebuah gedung apartemen tinggi.

“Terima kasih ya, sudah mau mengantarku.”

“Sama-sama... Menakjubkan, ternyata kamu tinggal di tempat yang bagus ya.”

“Meskipun begitu, rasanya tidak terlalu nyaman jadi tidak ada artinya.”

“Ya, bisa jadi begitu.”

Aku memeriksa waktu di smartphoneku, dan ternyata sudah lewat jam 10 malam.

Jika aku pulang sekarang, waktuku untuk sampai dirumah pasti lebih larut dari biasanya.

“Sepertinya aku akan kena omelan kalau pulang sekarang. Kalau itu yang terjadi, kamu akan bilang apa sebagai alasan?"

“Kalau aku, mungkin 'Aku ngobrol dengan teman di restoran keluarga dan jadi terlambat pulang'... kira-kira begitu.”

“Hmm kalau aku sih bisa bilang 'Aku mengantar teman perempuanku pulang sampai-sampai aku terlambat'... kira-kira begitu. Kalau kamu tambahkan 'Aku pulang bareng teman, jadi tidak perlu khawatir terlibat dalam masalah yang aneh', bagaimana?”

“Itu bagus. Aku akan memakai alasan itu.”

Tentu saja, hanya karena kami berdua bukan berarti kami bisa lengah, dan tidak ada jaminan bahwa kami tidak akan terlibat masalah. Namun, itu jauh lebih baik daripada membiarkan gadis SMA berjalan sendirian di malam hari. ...Tidak perlu kujelaskan tentang itu.

“Sebelum kita berpisah, apa kita bisa tukeran nomor kontak?”

“Iya, barangkali akan diperlukan nanti.”

“Kalau ada sesuatu, aku bisa menelpon ibumu.”

“Tolong jangan, deh.”

“Aku hanya bercanda, kok.”

Ternyata Kazemiya-san juga bisa mengatakan candaan seperti itu.

Sambil berpikir begitu, kami bertukar nomer kontak.

“Narumi, kamu tidak pakai gambar profil, ya?”

“Aku sih enggak terlalu peduli soal itu. Kazemiya-san.”

Akun Kazemiya Kohaku ditambahkan ke aplikasi pesan. Ikon yang muncul di samping namanya adalah gambar kucing yang berwarna putih bersih.

“....Kamu suka kucing?”

“Suka sih. Aku bahkan ingin memeliharanya juga, tapi Mamaku nggak mengizinkan, jadi aku hanya puas dengan menonton videonya saja.”

“Yang selalu kamu tonton di kelas atau di restoran itu ternyata video kucing ya?”

“Video kucing hanya aku tonton di rumah. Wajahku jadi melunak kalau nonton itu.”

Aku langsung membayangkan ekspresi dinginnya yang biasa itu tiba-tiba melunak. Aku jadi sedikit ingin melihatnya.

“Yang aku tonton di kelas atau di restoran biasanya film.”

“Heh, kalau ada rekomendasi, kasih tahu ya. Aku butuh alasan untuk mengurung diri di kamar.”

“Rekomendasi, ya... Baiklah. Nanti aku pikirkan sesuatu setelah sampai di rumah.”

“Terima kasih. Sepertinya, sudah waktunya kita berpisah.”

“Iya.”

Aku masih ingin berbicara dengannya. Entah Kazemiya-san juga merasakan hal yang sama atau tidak, tapi ada suasana yang sedikit keengganan di antara kami.

“Kalau begitu, selamat malam, Narumi.”

“Ah, selamat malam juga, Kazemiya-san.”

“───Besok setelah sekolah, kita bertemu lagi di restoran biasa, ya.”

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama