[LN] Anti-NTR Jilid 3 Bab 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1

 

“Aku mau ke kamar kecil dulu sebentar.”

Pagi-pagi, Ayana berkata begitu lalu pergi ke toilet.

Hari ini adalah hari kerja biasa, jadi seperti biasa kami harus berangkat sekolah, tapi aku mulai terbiasa melihat Ayana yang seharusnya tidak berada di sana.

“Ayana-chan menyelesaikan semua pekerjaan rumah ... Aku merasa seperti tidak perlu berada di sini,” kata ibuku.

"Ahahaha ...”

Ibuku mengeluh seolah-olah tugasnya telah diambil.

Tentu saja dia hanya berlebihan, sebenarnya dia tidak merasa seperti itu. Ibuku tertawa ceria dan melanjutkan.

“Kamu benar-benar mendapatkan pacar yang baik, ya?”

“Ya.”

“Ooh, kamu langsung mengangguk begitu cepat ya, Towa.”

Sambil berkata begitu, ibuku menyenggolku dengan nada menggoda.

Ayana adalah gadis yang baik, itu sudah pasti, dan tentu saja dia adalah pacar terbaik ... ‘kan? Jadi aku hanya mengangguk dengan tulus tanpa harus berpura-pura.

“Apa yang akan kamu lakukan hari ini, Bu?”

“Hmm ... Meskipun hari kerja, hari ini aku lagi libur jadi aku akan bersantai.”

“Jika kamu bisa istirahat, pastikan untuk istirahat dengan baik. Aku tidak ingin ada yang terjadi pada ibu yang kusayangi.”

“Towaaaaaaaaa!!”

“Ugh!?"

Ibuku menyerbu ke arah perutku dengan kekuatan seperti rudal.

Aku menahan diri agar tidak membuat situasi ini menjadi sebuah kecelakaan yang mengerikan, meskipun aku cukup terguncang hingga membuat sarapan pagiku hampir keluar dari perutku.

“B-Bu ... kenapa kamu tiba-tiba melakukan itu?”

“Karena aku merasa sangat senang!”

Ibuku tersenyum cerah ... bukan, seharusnya aku tidak merasa senang saat dia melompat ke arah perutku dengan begitu cepat.

“Lalu bagaimana dengan ini?”

“Eh?”

Saat aku hendak melepaskan tubuhku, ibuku dengan lembut memegangi kepalaku.

Tempat yang dia arahkan adalah dadanya sendiri, dan meskipun aku merasakan sentuhan bahagia di pipiku, tetap saja aku tidak merasa gugup karena dia adalah orang tuaku sendiri.

“Fufu, Towa tuh benar-benar manis banget ya ♪”

Ketika aku mendongak, aku melihat ibuku tersenyum bahagia padaku.

Yukishiro Akemi—ibu Towa, dan bahkan bagi diriku yang hampir menyatu dengan jiwa Towa, sudah tidak merasa aneh untuk memanggilnya ibu.

(...Sial, kasih sayang semacam ini membuatku semakin terbiasa)

Kasih sayang ibu memang sedikit berat... Aku semakin merasakannya belakangan ini.

Fakta bahwa aku satu-satunya keluarga yang tersisa setelah kematian ayahku mungkin merupakan salah satu alasan mengapa ibuku sangat mencintaiku.

“Towa.”

“Yeah?”

“Ini tentang Ayana-chan...”

Setelah suasana sebelumnya langsung berubah, ibuku terus melanjutkan dengan serius.

“Aku senang Ayana-chan dan kamu resmi berpacaran. Aku tahu Towa serius dengan Ayana-chan, dan yang terpenting, aku juga menyukainya.”

“Aku tahu betul kalau ibu sangat menyukai Ayana.”

Aku berkata begitu dan ibu tersenyum getir.

Aku bisa menebak kata-kata selanjutnya, tapi aku ingin mendengar pendapat ibu, jadi aku hanya mendengarkan tanpa berkomentar.

“Tentu saja Ayana ingin bersamamu, tapi dia juga berkata kalau dia ingin bersamaku... Dia benar-benar gadis yang sulit dimengerti, bukan?”

“Gadis yang sulit dimengerti... Haha, memang begitu ya.”

“Benar sekali, ‘kan? Aku senang mendengarnya mengatakan itu... tapi, menurutku keadaan yang seperti sekarang ini tidak bisa terus berlanjut.”

“…Ya, benar juga.”

Benar sekali, keadaan seperti ini tidak bisa terus berlanjut.

Aku telah mendengar tentang Seina-san dari Ayana tanpa menyebutkan secara langsung, tapi untungnya hubungan kami tidak sampai pada tingkat tidak mungkin untuk diperbaiki.

Meskipun percakapan kami sangat buruk saat bertemu di jalan terakhir kali sebelumnya, keputusan Ayana untuk melangkah maju dan memandang ke depan, termasuk hubungan kami, telah sangat mengurangi rasa kebencian yang merasukinya.

[Terlepas dari ibu... Aku tidak tahu tentang Kotone-chan atau Hatsune-san. Aku pikir aku bisa berinteraksi dengan mereka dengan tenang, tapi jika ada kata-kata yang melampaui batas, aku akan meledak!]

Ngomong-ngomong, menurutku itu bukan halusinasi ketika Ayana mengatakan dia akan meledak dan seolah-olah aku bisa melihat bayangan setan di belakangnya.

Seperti yang terlihat dari komentarnya, meskipun ini mungkin hanya angan-angan saja, aku merasa bahwa jika ada kesempatan, aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Seina-san.

“Nah, bu.”

“Apa~?”

Ah, dia sangat lembut... Tidak, bukan begitu!

Aku menjauh sejenak dari ibu dan memutuskan untuk memberikan balasan atas apa yang dia katakan dengan berbagi pemikiran yang sudah aku pikirkan.

“Aku ingin mengatakan bahwa Ibu tidak perlu khawatir tentang Ayana. Tapi ini masalah yang cukup sulit, dan aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk bisa mengatasinya—tapi aku ingin Ibu mempercayakan masalah Ayana padaku.”

Itulah satu-satunya hal yang bisa aku katakan sekarang.

Aku akan terlihat keren jika bisa mengatakan bahwa ibu tidak perlu khawatir dan bahwa aku bisa menangani semuanya dengan baik... tapi...

Ibu terkejut sejenak, tapi kemudian mengangguk.

“Ibu mengerti. Menurutku tidak ada orang lain yang bisa menandingi Towa jika menyangkut Ayana-chan.”

Itu sih sudah pasti!

Saat aku mengangguk penuh semangat, ibuku menatapku sambil tersenyum dan menepuk kepalaku seolah-olah memperlakukan seperti anak kecil.

Aku sudah menjadi siswa SMA, tapi aku yakin di mata ibuku, aku akan selalu terlihat lucu tak peduli berapa usiaku... Aku selalu sadar bahwa keluarga tetaplah hal yang sangat berharga setiap kali aku memikirkan hal seperti ini.

“Meskipun aku bilang 'serahkan padaku', tapi jika terjadi sesuatu, aku ingin membantu juga.”

“Baiklah, Ibu mengerti. Kamu selalu bisa mengandalkanku, oke? Yah, aku juga berencana untuk berbicara dengan ibu Ayana jika ada kesempatan!”

“...Ibu pasti bisa melakukannya dengan mudah.”

Apakah ini hanya imajinasi saja aku bisa dengan mudah membayangkan gambaran seperti itu karena ini tentang ibuku?

Gambaran ibuku yang menyeringai dan melingkarkan tangannya di leher Seina-san yang kebingungan seolah-olah ingin mengejeknya…... mungkin itu adalah pemandangan yang mustahil, tapi sebaliknya terasa cukup menghibur.

“Tentu saja aku tidak akan pernah memaafkan mengenai apa yang terjadi di masa lalu. Tapi karena anakku sendiri melihat masa depan dengan wajah ceria, aku tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu, bukan?”

“...Ibu memang sangat kuat.”

“Tentu saja. Seorang ibu memang harus kuat.”

...Ya.

Itu benar sekali.

“Aku kembali... Oh, momen yang begitu berharga.”

“Selamat datang kembali, Ayana-chan.”

“Selamat datang kembali, Ayana.”

Momen yang begitu berharga... Yah, aku tidak akan menyangkalnya.

Setelah Ayana kembali, aku meninggalkan ibuku dan bersiap-siap pergi ke sekolah.

“Aku berangkat.”

“Kami berangkat dulu, Akemi-san.”

“Ya, hati-hati di jalan, kalian berdua.”

Setelah berjalan sebentar dari rumah, Ayana mengulurkan tangannya padaku, dan aku pun memegang tangannya.

Awalnya tangan kami hanya saling terhubung secara biasa, tapi segera berubah menjadi gandengan tangan yang lebih erat, seperti yang dilakukan oleh sepasang kekasih.

“...Fufu ♪”

Saat Ayana tersenyum, aku pun ikut tersenyum.

“Oh iya, Towa-kun.”

“Hmm, ada apa?”

“Akhir-akhir ini... aku terlalu dimanjakan. Jadi kurasa aku akan pulang ke rumah hari ini.”

“Oh... begitu ya.”

Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Ayana yang terlalu mendadak.

Meskipun begitu, rasanya tidak aneh jika Ayana mengatakan hal seperti itu, dan aku merasa lega karena sebelumnya aku juga merasa khawatir tentang situasi sekarang... tapi aku merasa sedikit kesepian.

“Sepertinya kamu merasa kesepian karena itu, bukan?”

“Yeah... mungkin begitu. Meskipun pulang ke rumah itu hal yang biasa, tapi belakangan ini aku selalu bersama Ayana sepanjang waktu, jadi mungkin karena itu alasannya.”

Meski bukan itu masalahnya, aku akan selalu merasa kesepian tanpa Ayana.

Aku merasa agak tidak percaya diri, tapi aku akan teguh dengan keyakinan bahwa Ayana adalah kekasihku yang sangat berharga.

"Meskipun belum begitu lama kita bersama setiap hari, tapi apa ada alasan tertentu mengapa kamu tiba-tiba mengatakan itu?”

“Iya. Sebenarnya, aku mendengar pembicaraan tadi...”

Oh... begitu ya.

Ayana meminta maaf karena mendengar pembicaraan tanpa izin, tapi sebaliknya aku merasa bersalah karena membuatnya merasa seperti itu.

“Tolong jangan membuat wajah seperti itu. Sebenarnya, aku hanya melarikan diri ke rumah Towa-kun untuk menghindari kekacauan yang terjadi sejak awal.”

“...Ayana, aku...”

“Tentu saja, pertama-tama kita harus berbicara terbuka sebagai keluarga... dan jika aku membutuhkan bantuan, aku pasti akan memberitahunya padamu.”

“Tentu saja. Jika kamu meminta bantuan, aku akan datang secepatnya, bahkan jika harus terbang ke sana.”

“Tentu!”

Janji untuk selalu datang jika ada masalah yang terjadi bukanlah kebohongan.

Ayana tersenyum dan mengangguk senang ketika mendengar kata-kataku, kekuatan genggamannya pada jari-jariku juga semakin kuat.

“Naa, Ayana?”

“Ya"

“Jumlah orang di sekitar kita mulai semakin ramai...”

“Oh, apa itu masalah bagimu?”

Sambil berkata demikian, Ayana menatapku dengan ekspresi menantang.

Kami berjalan di jalur sekolah, jadi semakin dekat dengan sekolah, semakin banyak siswa yang berada di sekitar kami... Jadi, meskipun tidak terlalu mencolok, tindakan kami yang saling bergandengan tangan pasti akan menarik perhatian.

(Kamu ingin mengatakan kalau aku melepaskan tangan karena malu, itu mirip seperti kalah? Provokasi yang agus, Ayana.)

Sungguh, aku merasa aneh dengan semangat persaingan yang tumbuh di dalam diriku.

Aku memperkuat genggaman tanganku dengan tekad yang kuat untuk tidak melepaskannya sama sekali. Aku tidak akan kalah darinya... tapi aku tidak ingin menyakitinya.

“Towa-kun tuh suka sekali bersaing, ya.”

“Memangnya kamu berhak bilang begitu?”

“...Aku tidak bisa membantahnya.”

“Nah, ‘kan?”

“Memang sih.”

Kami tertawa bersama dan melanjutkan perjalanan kami menuju sekolah.

 

▽▼▽▼

 

“Yo~, kalian berdua masih saja mesra setelah beberapa hari ya?”

Setelah masuk kelas dan berpamitan dengan Ayana, temanku Aisaka langsung memanggilku.

“Selamat pagi, Aisaka. Yah, karena kita baru saja pacaran, jadi wajar saja dong.”

Sebagai sepasang kekasih baru yang belum merasakan masa bosan, wajar saja kalau kami bertingkah mesra. Hanya saja... entah kenapa aku jadi merasa sedikit sedih karena membayangkan kata “masa bosan”. Tidak mungkin hubungan kita bisa menjadi dingin... tidak mungkin, tidak mungkin!

Ketika aku menggelengkan kepala sambil menyatakan bahwa mana mungkin kami akan mengalami masa bosan. Aisaka langsung bertanya apa yang terjadi.

“Kenapa kamu tiba-tiba begitu?”

“Tidak….aku hanya memikirkan apa yang akan terjadi jika aku dan Ayana mengalami masa bosan.”

“Memangnya kamu dan Otonashi-san mengalami masa bosan?”

Aisaka meminjam kursi dari barisan depan dan duduk dengan keras sambil membuka percakapan.

“Jika hubunganmu dengan Otonashi-san benar-benar dingin, aku benar-benar ingin melihatnya. Ah, jangan salah sangka dulu, aku hanya penasaran bagaimana rasanya melihat hal yang tidak mungkin terjadi. Jika itu terjadi, dunia pasti sudah berakhir.”

“Memangnya sampai perlu mengatakannya sejauh itu?”

“Tentu saja. Karena jika melihat tingkah kalian berdua sehari-hari, rasanya tidak mungkin.”

Dari sudut pandang Aisaka, hal semacam itu tampaknya mustahil terjadi, jadi ia mengangguk-angguk dengan yakin.

Begitu ya…. Kurasa aku tidak perlu tahu bagaimana orang lain melihat hubungan kami, tapi jika mereka melihatnya seperti itu, aku merasa terhormat.

“...Oh.”

“Yeah?”

Saat kami sedang asyik mengobrol, Aisaka tiba-tiba berbisik dan menatap ke arah tertentu.

Aku mengikuti pandangannya dan melihat Shu di sana... ia sepertinya baru saja datang ke sekolah dan langsung menuju ke mejanya.

Setelah tiba di kursinya, Shu terlihat merunduk di atas meja dan tidak bergerak sama sekali, tampaknya sepenuhnya terisolasi dari orang-orang di sekelilingnya.

“Tuh orang pasti sangat terguncang... Ia sudah lama bertingkah begitu, ‘kan?”

“...Ya”

Sudah banyak yang mengetahui bahwa aku dan Ayana mulai berpacaran.

Meskipun aku tidak secara terbuka mengumumkan hal itu, teman-teman dekat seperti Aisaka mulai menyadari hubungan kami yang tampak lebih intim dari sebelumnya, termasuk Shu yang merasa terganggu karena patah hati.

Setelah beberapa saat memperhatikan Shu, Aisaka berkata kepadaku dengan penuh perhatian.

“Ya, wajar saja kalau kamu khawatir karena kalian berdua teman masa kecil. Tapi mau bagaimana lagi, patah hati adalah bagian dari hubungan percintaan juga.”

“Haha... Aku tidak menyangka kalau kamu mengkhawatirkan hal seperti itu.”

“Karena aku peduli sebagai teman. Aku tahu kamu tidak akan berlebihan, tapi jangan terlalu sungkan karena Otonashi-san,oke?”

“Aku tidak akan sampai ke titik itu. Malah, kalau begitu, Ayana yang akan marah padaku.”

Meskipun ada banyak hal yang terjadi dengan Shu, tapi seperti yang sudah aku katakan berkali-kali, aku tidak membencinya.

Aku berharap seiring dengan berkembangnya hubungan antara aku dan Ayana, kami dapat membawanya ke arah yang lebih baik...karena ia juga merupakan teman masa kecil Ayana.

“Aku tahu bahwa Shu menyukai Ayana... Tapi setelah mengetahui itu, aku menyatakan perasaanku pada Ayana dan kami menjadi sepasang kekasih. Aku tidak menyesalinya, dan aku  merasa kalau pilihanku tidak salah.”

"Ya, aku tahu... Yah, aku tidak khawatir kok!”

Aisaka menghiburku dengan menepuk-nepuk punggungku sambil berkata begitu.

Sambil mengatakan 'Jangan pukul-pikul terus, sakit tau’, aku mencoba menghentikan pukulannya dan bertanya padanya,

“Kamu sendiri bagaimana? Terakhir kali kita membicarakan orang yang kita sukai, kamu tersipu ketika kata Kouhai muncul, kan?”

“Eh... b-bukan urusanmu!'”

Aisaka mengatakan begitu dan segera melarikan diri.

Reaksi Aisaka yang terlalu jelas membuatku merasa seolah-olah aku telah menemukan mainan, tetapi siapa sebenarnya junior yang membuat Aisaka tertarik... Hmm, suatu hari aku ingin mengungkapkannya.

Aisaka melarikan diri, dan aku kembali terbenam dalam pikiran. Karena masalah Ayana sebagian besar telah teratasi, jadi dia lebih sering tersenyum di sekolah dan dalam kehidupan pribadinya, dan meskipun dia memiliki pacar seperti aku, dia masih sering mendapat surat cinta.

[Aku benar-benar dalam masalah... Meskipun aku menerima surat cinta, aku tidak akan menanggapi perasaan mereka... Bahkan jika dia datang langsung untuk memanggilku, aku akan tetap menolak... Hah, menyebalkan.]

Dia sangat tidak menyukainya sampai-sampai sisi gelap Ayana muncul sedikit. Selain ada banyak cowok yang mengincar Ayana, tetapi juga ada sejumlah gadis yang merasa iri pada Ayana yang terkenal. Namun, setelah melepaskan beban pikiran, Ayana tanpa sadar semakin menunjukkan daya tariknya.

(... Selanjutnya adalah Shu)

Aku kemudian melirik ke arah Osamu yang masih terkulai dengan wajah tertunduk seperti biasa. Seperti yang dikatakan Aisaka, belakangan ini Shu selalu menghabiskan waktunya seperti itu, dan bahkan teman-teman dekatnya selain aku dan Ayana sepertinya tidak banyak berbicara dengannya.

Tetapi, aku melihat Shu berbicara dengan Iori, yang sering datang untuk memanggilnya, dan Mari, yang secara aktif memanggilnya ketika mereka bertemu, jadi itu mungkin sedikit melegakan.

“...Hmm?”

Ketika aku merasa bahwa mungkin jam pelajaran pagi akan segera dimulai karena guru akan segera tiba, aku merasakan tatapan tajam yang menusukku—itu berasal dari Shu.

Ia mengangkat kepalanya sedikit dan menatapku, tetapi segera setelah pandangan mata kami bertemu, ia langsung membuang muka dan menundukkan kepalanya lagi.

“...Hadeuhh, ya ampun...”

Meskipun banyak hal telah terjadi, hubungan persahabatanku dengan seseorang yang sudah menghabiskan banyak waktu bersama menjadi renggang... Mau tak mau aku menghela nafas karena merasa ini cukup merepotkan.

Walaupun aku merasa seperti itu, waktu tetap berjalan seperti biasa.

Setelah makan siang bersama Ayana saat istirahat makan siang, aku segera bertemu dengan mereka berdua.

"Oh, Yukishiro-kun.”

“Ah, Yukishiro-senpai!”

Honjou Ioro dan Mari Uchida. Mereka adalah dua Heroine yang mengenal Shu melalui Ayana, dan berhasil melarikan diri dari takdir yang kejam setelah kegelapan dalam hati Ayana menghilang.

(... Semuanya sudah baik-baik saja, ‘kan?)

Meskipun Ayana tidak lagi berencana untuk melakukan sesuatu yang jahat di belakang layar, mau tak mau aku masih merasa cemas karena aku mengenal gadis-gadis tersebut dari game.

“Selamat siang, Honjou-senpai, dan Mari juga.”

Karena kenangan yang hanya kuketahui tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan mereka, aku berusaha untuk tidak menunjukkan kekhawatiran terhadap mereka saat mendekat.

“Kalian berdua sedang apa?”

“Aku bertemu Uchida-san setelah kembali dari ruang guru. Jadi, kami sedang mengobrol sebentar.”

“Iya! Aku bertemu Honjou-senpai secara kebetulan!”

Ternyata mereka berdua bertemu secara kebetulan.

Iori memintanya untuk jangan meninggikan suaranya dengan ekspresi yang bermasalah, sementara Mari meminta maaf dengan senyum lebar.

“Bagaimana dengan Yukishiro-kun?”

“Aku hanya berjalan-jalan tanpa tujuan.”

“Jadi kamu hanya berjalan-jalan tanpa tujuan dan turun ke lantai bawah?"”

“…Hmm, ya.”

Aku merasa sedikit kesulitan ketika mereka menyoroti hal itu... tapi memang benar juga sih.

Mereka memandangku dengan heran karena aku kesulitan menjawab, tetapi Iori tiba-tiba tersenyum licik seolah-olah dia punya ide menarik, dan diam-diam mendekat ke arahku.

Mau tidak mau aku memandangi rambut hitamnya yang panjang dan indah seperti Ayana, tapi aku tidak bisa membiarkan mataku beralih dari matanya yang tajam namun lembut...... Maksudku, Iori memang cantik, sih.

“Menurutku akhir-akhir ini kamu dan Otonashi-san terlalu bermesra-mesraan hingga kamu jadi kelihatan lembek.”

“... Akhirnya ditanya begitu juga, ya?”

Mengatakan hal seperti itu tentang keadaanku sekarang... tapi mungkin tidak sepenuhnya salah ya? Aku ingin berpikir bahwa aku tidak begitu berbeda dengan sebelumnya... Tapi ada kalanya aku tersenyum sendiri ketika sendirian.

“Saat melihat Yukishiro-senpai dan Ayana-senpai, kalian berdua terlihat sangat mesra! Teman-temanku bahkan mengatakan kalau mereka ingin berpacaran dengan pria seperti Senpai!”

Seolah-olah ingin memberikan pukulan terakhir, Mari mengatakan hal itu juga.

Berbeda dengan Iori yang berbicara dengan nada menggoda, aku merasa kesulitan untuk menjawab Mari yang selalu menatapku dengan mata yang tulus dan bersinar…… Yah, meskipun Iori mengolok-olokku tanpa ada niat jahat, tapi tetap saja membuatku merasa malu.

“Oh, aku harus segera kembali! Sampai jumpa lain waktu, Senpai!”

“O-Oke...”

“Ya, terima kasih, Uchida-san.”

Mari melambaikan tangannya dan berlari pergi... tunggu, dia seharusnya tidak boleh berlari seperti itu di depan guru.

“Anak itu... meski tidak terlihat begitu, tapi dia kelihatannya tidak sabar, atau kurang tenang.”

“Kamu ingin mengatakan kalau dia terlihat seperti anak kecil?”

“Ya, begitulah.”

“jadi kamu tidak membantahnya, ya.”

“Karena memang begitulah adanya.”

Iori berkata sambil tersenyum.

Sekarang... meskipun aku datang ke tempat ini karena keadaan tertentu, aku tidak pernah membayangkan akan berduaan dengan Iori di tempat seperti ini.

Aku tidak sedang membuat Ayana menunggu dan juga masih punya banyak waktu... bahkan Iori juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera pergi.

“Apa kamu ingin lari?”

Higu!?”

“...Apa kamu terkaget? Atau kamu terkejut karena aku menebaknya?”

Ehm... dua-duanya mungkin.

Aku sendiri tidak pernah menyangka bahwa aku akan terkejut dan langsung mengatakannya, tapi aku kaget karena Iori bisa menebak apa yang sedang kupikirkan.

“Jadi kamu punya nyali untuk ingin lari dari depanku?”

“...Memangnya kamu itu ratu!?”

Jika dia membawa cambuk di tangannya, dia pasti akan mengayunkannya dengan tegas... dan karena Iori terlihat memiliki sifat sadis, sepertinya gambaran itu bakalan cocok sekali baginya.

Iori tetap mempertahankan sikapnya yang mengolok-olokku sebagai adik kelas, namun dia tiba-tiba menghela nafas seperti ingin mengubah suasana.

“Yukishiro-kun. Bolehkah aku berbicara sedikit denganmu?”

“Tentu saja, tidak masalah.”

Aku mengangguk, karena aku sudah bilang sebelumnya bahwa aku tidak punya rencana untuk sisa istirahat siang ini.

Meski begitu, masih ada sisa sekitar lima belas menit lagi sebelum istirahat siang selesai, jadi sepertinya kami bisa berbicara di sini tanpa perlu bersusah payah pergi ke suatu tempat... dan entah bagaimana, aku sudah bisa menebak apa yang ingin dia bicarakan.

"Sejak kamu dan Otonashi-san mulai berpacaran, Shu-kun jadi berubah.”

“...Ya, memang begitu.”

Yup, sudah kuduga, ini pasti tentang Shu.

Aku tahu bahwa Iori tidak bermaksud mengeluh bahwa Shu yang disukainya telah berubah karena aku, dan dia terus melihatku dengan tajam saat melanjutkan ucapannya.

“Aku menyadari bahwa Shu-kun memiliki perasaan terhadap Otonashi-san, meskipun aku mengetahui itu tapi aku tetap mencoba mendekatinya. Aku mengenal Shu-kun melalui Otonashi-san, tetapi aku benar-benar menyukainya ketika berbicara dengannya.”

“............”

Iori... sepertinya dia memang benar-benar menyukai Shu dari lubuk hatinya.

Mau tidak mau aku terpesona dengan ekspresi melankolis di wajah Iori saat dia memainkan rambut di sekitar telinganya.

[Towa-kun?]

Pada saat seperti itu, aku merasa seolah-olah mendengar suara Raja Iblis…. Tidak maksudku, suara Ayana di benakku, tapi aku ingin berpikir kalau itu hanya imajinasiku saja.

Sekarang aku harus fokus pada pembicaraan Iori!

“Aku tidak pernah menyukai seseorang sebelumnya... tapi waktu yang kuhabiskan bersama Shu-kun benar-benar menyenangkan bagiku. Tidak ada anak laki-laki lain yang bisa membalas kata-kataku atau bersaing denganku seperti dia. Ya, benar... itu benar-benar menyenangkan.”

“........”

“Itulah sebabnya, kupikir situasi yang sekarang baik untukku dan untuk Uchida-san. Tapi Shu-kun tidak pernah melihat siapa-siapa selain Otonashi-san. Ia selalu menunduk, terus menggerutu seperti marah pada seseorang...”

“...Jadi begitu ya...”

Aku merasa lega karena Iori sering datang untuk memanggil Shu dan ia selalu meresponsnya, tapi sepertinya Shu masih terpaku pada masalah Ayana.

Namun... meskipun aku mendengar ceritanya, aku sama sekali tidak menyesal dan tidak merasa kasihan... karena itulah yang namannya cinta.

“Tidak peduli apa yang kulakukan atau katakan, Shu-kun tidak pernah melihatku... dan itu membuatku merasa sedikit kehilangan semangat.”

“Itu sih…. Mungkin begitu juga dengan Mari?”

“Gadis itu juga mengatakan hal yang sama. Sepertinya dia masih mencintai Shu-kun, tapi dia ingin menjaga jarak untuk sementara waktu.”

Hmm begitu ya... jadi Mari memutuskan untuk menjaga jarak dari Shu.

Aku melihat Shu masih berbicara dengan mereka, meskipun aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Dari pembicaraan Iori, kelihatannya Shu terlalu terpaku pada Ayana dan bahkan membicarakannya di depan mereka... pasti itu membuat Iori dan Mari merasa kesal.

“...Kalau Ketua sendiri gimana?”

“Aku... ya. Aku tidak merasa ingin menjaga jarak, tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, rasanya terasa hampa. Aku akan merasa lega jika ia bisa bergantung padaku tanpa banyak pikiran... tapi aku yakin itu tidak akan membawa kebahagiaan.”

“..........”

“Cinta itu sangat sulit, ya?”

Iori tersenyum sambil berkata begitu.

Meskipun dia menyebutkan kalau dirinya hampa, menyakitkan, dan ketiadaan kebahagiaan, dia tidak terlihat terpukul sama sekali. Iori benar-benar kuat dan sepertinya tidak perlu dikhawatirkan.

“Aku akan melanjutkan hubunganku dengan Shu-kun sambil memikirkannya dengan hati-hati. Jadi jangan menunjukkan wajah seperti itu, Yukishiro-kun."

“...Eh?”

“Kamu terlihat seperti menyesal, tau?”

“...Serius nih?”

Aku sebenarnya tidak berniat menunjukkan ekspresi seperti itu... tapi tiba-tiba Iori menyentuh pipiku dengan lembut dan tersenyum...!!?

“Ap-Apa yang kamu lakukan?”

“Mungkin karena kelihatan memerah dan terlihat sedikit sakit? Tapi begitu rupanya.”

Setelah menatapku sejenak, Iori mengucapkan sesuatu seperti ini.

“Yukishiro-kun memang tampan, tapi ada momen di mana aku ingin merawatmu. Bahkan aku merasa terpikat olehmu... apa Otonashi-san merasakan hal yang sama saat dia berada di dekatmu?”

“...Entahlah.”

“Fufu♪.”

Iori tersenyum manis sekali lagi.

Setelah berpisah dengan Iori yang mengatakan bahwa dia akan segera kembali, aku pun kembali ke dalam kelas.

“Selamat datang kembali, Towa-kun.”

“Hah!?”

Begitu aku memasuki kelas, aku disambut oleh Ayana dengan senyum lebar di wajahnya.

Terlepas dari kenapa dia berdiri di pintu masuk, tapi ekspresi wajahnya yang begitu kuat itu... apa yang sedang terjadi?

Saat aku mengalihkan pandanganku dari Ayana dan melihat ke dalam kelas, aku masih bisa melihat teman-teman Ayana menatapku dengan tertawa riang. Tapi yang membuatku heran adalah bagaimana para cowok tiba-tiba mengalihkan pandangan mereka seperti melihat sesuatu yang menakutkan.

“Ayana...-san?”

“Iya ♪”

Apa itu hanya ilusi saja saat aku melihat ada efek api yang muncul di belakang senyumnya!?

Seperti terpengaruh oleh suasana para anak cowok lainnya, aku pun mulai melihat Ayana dengan rasa takut... tapi, aku penasaran apa yang sebenarnya terjadi?

“Apa ada sesuatu yang terjadi?”

“Tidak, tidak, bukan apa-apa kok, bukannya karena aku merasakan bahwa Towa-kun terpesona dengan wanita lain saat aku tidak ada ♪”

“...........”

“Loh, loh~? Kenapa kamu menunduk begitu, Towa-kun?”

Nye-Nyeremin bangetttttttttt!?!?!

Kata-kata Ayana benar-benar tepat sasaran, dan aku bahkan mengalami halusinasi pendengaran dimana aku mendengar suaranya bergema di kepalaku...Eh? Apa Ayana seorang cenayang atau semacamnya?

“Canda, aku hanya bercanda kok, Towa-kun.”

“.....Fyuh”

“Aku akan bertanya lebih detail setelah pulang sekolah nanti.”

“......Oke.”

Bagiku, dia seakan menjadi Raja Iblis.

Meskipun percakapan itu terasa mengerikan bagiku, tapi bagi teman-teman sekelasku, sepertinya kami mungkin terlihat seperti pasangan yang sedang bercanda, dan para gadis memandang kami dengan tatapan hangat.

“Kalau gitu, sampai jumpa lagi, Towa-kun.”

“Yeah, tentu.”

Setelah itu, aku kembali ke tempat dudukku, dan tidak lama kemudian pertempuran melawan kantuk dimulai saat jam pelajaran siang dimulai. Meskipun baru-baru ini aku sering menghabiskan waktu dengan Ayana di malam hari, aku sebenarnya tidak berniat begadang dan merasa sangat mengantuk keesokan harinya.

Meskipun begitu, aku mencoba untuk tetap terjaga dengan mencubit pipiku atau paha untuk menghindari tertidur, dan sekarang aku sedang mengikuti pelajaran olahraga, jam pelajaran terakhir hari ini.

“Aku lelah...”

“Fufu, kamu sudah berjuang keras.”

Aku membersihkan peralatan olahraga bersama Ayana. Meskipun pelajaran olahraga dilakukan di luar ruangan untuk laki-laki maupun perempuan, Ayana menawarkan diri untuk membantu beres-beres bersamaku.

(Berduaan bersama Ayana di gudang olahraga... ini seperti adegan yang biasa terjadi ya.)

Dalam manga atau anime komedi romantic, adegan di mana tokoh utama terjebak di gudang olahraga dengan seorang gadis merupakan adegan klise yang umum terjadi, tapi menurutku, di dunia nyata, hal seperti itu tidak mungkin terjadi.

“Ini... Bukannya ini mirip seperti adegan yang sering terjadi di komik, bukan?”

“Benar sekali... Lah, apa aku mengatakannya dengan keras?”

“Tidak, kok? Jadi Towa-kun juga memikirkan hal yang sama, ya?”

Tentu saja aku memikirkannya, karena situasinya seperti ini.

Biasanya dalam adegan tersebut, ada momen si mesum beruntung atau momen mendebarkan, tapi kami tidak membutuhkan momen si mesum beruntung seperti itu... tapi mungkin aku ingin mengalaminya sedikit.

 

“Baiklah, sekarang sudah waktunya...”

Saat aku hendak mengatakan bahwa kita harus kembali, tiba-tiba---pintu gudang tempat kami berada tertutup dengan keras.

“...Eh?”

“...Ara?”

Aku dan Ayana sama-sama menoleh ke belakang. Pintu masuk tempat kami berada sudah tertutup rapat, terkunci dengan suara yang bergemerisik. Kejadian ini tak terduga membuat kami berdua terdiam dan linglung sedikit.

“...Ah.”

“...Hah!”

Pada akhirnya, kami berdua berlari mendekati pintu dengan panik.

Karena kami bergerak terlalu lambat, jadi tidak ada tanda-tanda orang di luar pintu, dan tidak ada yang merespons meskipun aku memanggil.

“...Seriusan nih?”

“Jadi hal yang seperti ini benar-benar terjadi, ya...”

Kami sedang membicarakan situasi terjebak di gudang olahraga, dan aku mengatakan bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata, tapi seketika itu juga kami langsung benar-benar mengalaminya, hal itu membuatku kebingungan.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“...Hmm”

Sekarang jam pelajaran sudah selesai, jadi tidak mungkin ada orang di sekitar. Meskipun ada jendela kecil yang memancarkan cahaya, ukurannya hanya cukup untuk dilewati seseorang dengan susah payah, jadi aku tidak berniat untuk mencoba melarikan diri dari sana... Yah, cara itu bisa menjadi pilihan terakhir.

“Mereka akan menyadari kalau aku dan Ayana tidak ada pada jam wali kelas terakhir. Kalaupun tidak, setidaknya pasti ada seseorang yang menyadarinya saat klub dimulai.”

“Benar juga ya... hehe.”

“Ada apa?”

"Maaf. Karena Towa-kun ada di sini, aku merasa bahwa setiap insiden akan terasa menyenangkan."

Aku hampir mengatakan bahwa dia adalah gadis yang sungguh bermasalah, tapi aku juga merasa hal yang sama.

Ayana sudah memutuskan untuk bersantai sampai menunggu kedatangan seseorang, dan duduk di atas tumpukan peti lompat yang bertingkat.

“Bagaimana kalau Towa-kun juga duduk?”

“Yah, benar juga, kurasa aku juga akan bersantai.”

Aku dengan ringan membersihkan debu dari matras dan berbaring.

Karena aku melakukan olahraga, rasa kantuk yang seharusnya sudah hilang dari tubuhku tiba-tiba kembali, dan aku menguap lebar-lebar sampai membuat Ayana tertawa.

“Kamu terlihat sangat ngantuk, ya?”

“Ah... Sejak sekitar jam pelajaran kelima, aku sudah mengantuk parah.”

“Seharusnya kamu tidak begadang terlalu larut malam... tapi, terkadang kita bisa merasa ngantuk meskipun sudah tidur cukup, jadi itu bukanlah hal aneh."

“Memang... hoaammm.”

Saat aku bersantai, mataku hampir saja terpejam... hal tersebut menunjukkan seberapa ngantuknya diriku.

Karena tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu, aku mencoba untuk tidur dengan santai, namun tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang berbaring  di dekatku—dan ternyata itu adalah Ayana.

“Ehehe, mungkin aku juga akan berbaring sebentar. Aku ingin melihat wajah Towa-kun dari dekat.”

“...Itu sama sekali tidak menarik, bukan?”

“Ini bukan soal menarik atau tidak, aku hanya ingin melihat wajah orang yang kusukai saat tidur."

Ayana menatapku dengan penuh seksama.

Aku pikir itu juga tidak masalah untuk tidur sambil dilihat olehnya, jadi aku menutup mataku... dan sepertinya aku tertidur sebentar.

Ketika aku membuka mataku lagi, pintu gudang olahraga terbuka.

“Sudah kuduga kamu ada... di sini...”

“Ayana! Kamu baik-baik….. saja?”

Aku tidak melihat ke arah pintu, tapi aku tahu siapa yang berbicara dari suaranya.

Suara laki-laki itu pasti Someya yang pernah bermasalah dengan Shu, dan suara perempuan itu pasti Toudo-san yang selalu akrab dengan Ayana.

“Towa-kun, bantuan sudah datang.”

“...Yeah”

Meskipun aku hanya tidur sebentar, kepalaku masih terasa sedikit pusing.

Ayana membantuku bangun, dan disitulah aku akhirnya melakukan kontak mata dengan Someya dan yang lainnya yang sedang menatapnya dengan wajah agak memerah.

(Kenapa mereka... ah)     

Seketika pintu gudang terbuka, hal yang pertama kali terlihat adalah pemandangan seorang pria dan wanita yang saling menatap sambil berbaring... meskipun kami tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh, tapi memang ada sedikit ruang untuk berimajinasi.

“...Aku jadi malu karena menunjukkan sesuatu yang buruk seperti ini.”

“Padahal kita tidak melakukan apa-apa, sih. Sekarang, Towa-kun, apa kamu bisa berdiri?”

“Yeah”

Kami segera berdiri, lalu Ayana dan aku langsung meninggalkan gudang olahraga.

“Terima kasih, Someya.”

“Tidak apa-apa kok... tapi, aku merasa lega karena kamu tidak sedang melakukan sesuatu yang mesum.”

“Ya mana mungkinlah.”

Someya tertawa sambil berkomentar tentang reaksiku yang cepat.

Ngomong-ngomong... percakapan seperti ini juga terjadi di belakang kami.

“Syukurlah tidak terjadi apa-apa.”

“Ara, apa kamu mengharapkan ada sesuatu yang terjadi?”

“Ya enggaklah!!”

“Ufufu~♪”

...Apa, dia mengharapkan sesuatu?

Memang sih, aku harus memahami situasi dan tempat... atau itulah yang ingin kukatakan. Tapi, dalam ingatan Towa, ada momen di sekolah ketika aku melakukan hal-hal seperti itu dengan Ayana, jadi mungkin aku juga tidak begitu yakin...

“Bagaimanapun juga, aku merasa lega. Aku bahkan siap menunggu sampai waktu aktivitas klub dimulai.”

“Setsuna yang pertama kali menyadari bahwa Otonashi-san tidak ada di sana. Saat itulah aku menyadari bahwa kamu juga tidak ada di sana.”

“Hee~”

“Karena ini mengenai kalian berdua, jadi kupikir kalian sedang melakukan esek-esek.”

“...Apa kamu yang mengatakan itu?”

“Bukan, bukan! Itulah yang dikatakan oleh Setsuna!”

Reaksi paniknya kok agak mencurigakan ya?

Saat aku menatap Someya dengan tajam, ia dengan putus asa menggelengkan tangannya di depan wajahku, seolah-olah ingin menegaskan kalau dirinya tidak mengatakan itu... hmm.

“Meskipun sebelumnya kita jarang berinteraksi, kamu sebenarnya cukup menyenangkan saat diejek ya, Someya.”

“Tapi aku sama sekali tidak senang!!”

Cara Someya menyangkal sangat mirip dengan Aisaka, dan itu cukup menggemaskan.

Ketika pertama kali berbicara dengannya, aku tidak memiliki kesan yang baik tentang dirinya, tetapi sekarang Someya tidak memiliki aura nakal seperti dulu, dan ia tidak mengganggu Shu sama sekali.

“Sepertinya kamu lumayan dekat dengan Toudo-san, ya?”

“Yeah! Baru-baru ini kami pergi keluar bersama... tidak, bukan apa-apa.”

“Oh~?”

Aku penasaran dengan sikap Someya ini... tapi mungkin lebih baik aku tidak bertanya lebih lanjut.

Ngomong-ngomong, Toudo Setsuna yang namanya sempat disebut-sebut adalah gadis yang datang mencarinya bersama Someya, dan merupakan gadis di kelas yang bisa dikatakan paling dekat dengan Ayana.

Beberapa waktu sebelumnya, Toudo-san lah yang mengajak Someya pergi karaoke saat ada masalah dengan Shu.

(Oh ya, aku mendengar sedikit dari Ayana bahwa hubungan Someya dan Toudo-san sepertinya cukup dekat.)

Meskipun aku tidak terlalu akrab dengan Someya atau Toudo-san, aku suka melihat Ayana bercerita dengan senang tentang teman-temannya.

“Aku berdoa semoga semuanya bisa berjalan dengan baik. Aku senang bisa melihat Ayana bahagia bercerita tentang teman-temannya.”

“Begitukah... hehe, aku akan berusaha.”

Saat kami hendak masuk ke dalam kelas sambil berbicara seperti itu, tiba-tiba aku bertabrakan dengan seseorang.

“Ups, maaf”

"Tidak apa-apa..."

Orang yang hendak bertabrakan denganku... adalah Shu.

Shu terlihat panik dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tapi begitu dia menyadari bahwa orang yang ditabraknya adalah, tatapan matanya menajam dan penuh dengan permusuhan.

Padahal ia tidak perlu menunjukkan sikap bermusuhan seperti itu... tapi aku merasa bahwa menegurnya sekarang akan berdampak buruk, jadi aku memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Namun, Someya berbeda.

“Padahal kalian berdua saling menabrak, tapi kurasa ia tidak perlu menunjukkan sikap seperti itu.”

“Tidak apa-apa. Saat ini adalah waktu yang sensitif."

Setelah aku mengatakan itu, Someya juga ikut terdiam.

Jika ia mengenal Shuu sebagai teman sekelasnya, dia seharusnya tahu apa yang menyebabkan perilaku Shu, sama seperti Aisaka. Dan jika dia dekat dengan Toudo-san, ia mungkin juga tahu lebih banyak.

“Jadi, tolong jangan terlalu mempermasalahkannya.”

“Baiklah. Aku tidak akan berkomentar tentang itu lagi.”

Meskipun tidak tepat untuk menganggapnya sebagai ungkapan terima kasih, aku mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam kelas.

Setelah itu, langsung ada jam wali kelas terakhir dan tibalah waktunya untuk pulang.

“Towa-kun, ayo pulang.”

Aku mengangguk kepada Ayana yang datang mendekat sambil memegang tasnya, lalu kami keluar dari kelas.

Hari ini aku berencana akan pulang langsung ke rumah dan santai, sementara Ayana akan pergi langsung ke tempatnya setelah merapikan barang-barangnya.

Dia akan pulang... meskipun aku merasa sedih, tapi karena itu sesuatu yang sudah diputuskan, jadi tidak ada gunanya terlalu berkecil hati.

“Jadi, Towa-kun.”

“Hmm?”

“Kamu ingat tentang siang tadi, ‘kan?”

“Siang tadi?”

“Ya.”

Ayana yang berjalan di sampingku tersenyum manis dan mengingatkanku pada kejadian siang tadi.

“Ini mengenai aku yang sepertinya merasakan tanda-tanda kalau Towa-kun terpesona dengan gadis lain ♪.”

“Ah...”

Aku yakin kalau wajahku pasti terlihat bodoh saat ini.

Meskipun Ayana hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa, tapi hawa kehadirannya menimbulkan rasa takut padaku, sama seperti yang kurasakan saat siang tadi... tidak, tidak, aku sama sekali bukannya takut, tapi perasaan mengintimidasi ini... mirip seperti Raja Iblis!!!!

Aku menguatkan diri.

Ibarat seorang pahlawan yang tidak pernah takut meski menghadapi Raja Iblis, meski tidak memiliki senjata, aku akan tetap menjadi harapan bagi orang-orang dan menunjukkan keberanian!

"Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal bodoh dan menyerahlah dengan cepat ya~”

“Baiklah.”

Aku langsung dikalahkan!

Aku memperbaiki posisi tubuhku dan menceritakan semuanya yang terjadi saat istirahat siang, karena tidak ada yang perlu aku sembunyikan.

“Jadi begitu rupanya. Jadi kamu membicarakan hal itu dengan Honjou-senpai dan Mari-chan...”

“Oleh karena itu…. begitulah yang terjadi...”

Setelah aku menceritakan kejadian siang tadi, Ayana juga sepertinya memiliki sesuatu yang ingin dia sampaikan.

Dia mengajakku untuk melanjutkan berjalan, dan dalam perjalanan pulang, Ayana melanjutkan pembicaraannya.

“Lagipula bagi Shu-kun, itu hanya masalah patah hati. Kita berdua tidak perlu terlalu khawatir tentang hal itu. Tapi sebenarnya, aku juga merasa bertanggung jawab karena membuat gadis-gadis itu terlibat dalam urusan Shu-kun dari yang seharusnya... Jadi, dalam hal itu, aku mempunyai beberapa pemikiranku sendiri.”

Namun, setelah mengatakan itu, Ayana melanjutkan lagi.

“Sejujurnya, pada tahap ini aku rasa tidak perlu khawatir. Ketika aku memutuskan untuk meninggalkan jalan yang telah kulalui... menurutku itu bukan hal yang buruk.”

“Haha... ya, mungkin begitu.”

Memang, pada tahap ini, Ayana sama sekali tidak bersalah.

Jika segala sesuatunya berjalan sesuai dengan skenario aslinya, tindakan Ayana seharusnya menjadi awal dari hal-hal yang buruk, tetapi dalam situasi ini, itu hanya membantu memperluas pergaulan Shu.

“Ini mirip seperti pembukaan kembali. Kalau dalam hubungan biasa, pasti orang akan khawatir dengan keadaan Shu-kun sekarang. Tapi dalam kasus kita, semuanya sudah menjadi rumit... Jadi, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah menunggu waktu menyelesaikannya sendiri.”

“Kurasa ada benarnya juga...”

Aku mungkin terlalu serius memikirkannya.

Aku harus lebih fleksibel dalam memandang segala hal, seperti yang dilakukan Ayana. Sepertinya lebih baik jika aku santai dan berpikir bahwa waktu akan menyelesaikannya... Baiklah, aku akan mencoba seperti itu.

“Hidup memang tidak selalu sesuai rencana, ya?”

“Kok tiba-tiba jadi tua?”

“Ngomong begitu pada cewek itu nggak boleh loh, Towa-kun.”

“Maaf.”

“Aku sudah memaafkanmu.”

Kami berdua tertawa bersama-sama karena keakraban kami.

Setelah berbicara lagi dengan Ayana, rasanya ada beban yang hilang dari dadaku... Terima kasih, Ayana.

“Baiklah, kalau begitu, sekarang mari kita bicara tentang bagaimana kamu terpesona dengan Honjou-senpai."

“Kupikir urusan itu sudah selesai!?”

“Masih belum selesai kok~”

Pada akhirnya, topik ini terus diperbincangkan sampai kami sampai di rumah... Hah.

Dan...

“Kalau begitu, Towa-kun, sampai jumpa.”

“Ah... aku jadi merasa kesepian.”

“Tidak apa-apa. Kita kan bisa bertemu di sekolah dan bahkan bisa berkencan di akhir pekan.”

“Kita bisa berkencan setelah sepulang sekolah juga, ‘kan?”

“Tentu saja~ ♪”

Setelah aku dan Ayana berpelukan erat di pintu depan, Ayana meninggalkanku sambil tersenyum dan pulang ke rumah, meski aku merasakan rasa penyesalan.

Setelah tidak bisa melihat punggung Ayana lagi, aku kembali ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu yang terasa lebih luas dari biasanya.

“Aku merasa ruangannya jadi lebih besar. Apa ini yang disebut kesendirian?”

Hanya dengan kepergian Ayana, aku menyadari seberapa penting kehadirannya.

“Mungkin ibu sedang berbelanja? ... Hm, rasanya sunyi sekali.”

Karena tidak ada kegiatan lain yang ingin kulakukan, jadi aku menyalakan  TV dan menontonnya sembari menghabiskan waktu.

Dalam acara TV tersebut, para komedian terkini memamerkan cerita mereka, namun waktu berlalu dengan linglung tanpa ada tawa kecil.

“Rasanya sungguh damai.”

Aku merasa kesepian tanpa adanya Ayana, tapi aku merasa sangat terharu saat memikirkan bahwa waktu yang kosong dan membosankan ini adalah hasil dari upayaku untuk terus memegangnya.

Setelah menghabiskan waktu santai selama sekitar satu setengah jam, saat aku kembali ke kamar, aku menemukan sesuatu.

“Eh...?”

Barang yang ada di meja belajarku—itu adalah smartphone Ayana.

Benda itu mana mungkin ada di sini karena dia tidak ada di rumah. Pada saat itu, aku menyadari bahwa dia pasti lupa membawanya.

"...Pasti merepotkan, jadi apa yang harus aku lakukan?”

Mungkin saja dia akan kembali untuk mengambilnya jika menyadari di tengah jalan, tapi seperti yang diharapkan, tidak ada tanda-tanda dia akan kembali…... mungkin saja Ayana belum menyadarinya.

“…...”

Aku memikirkan betapa merepotkannya kehilangan ponsel... dan aku membuat keputusan.

“Kurasa aku harus mengantarkannya ke rumah Ayana.”

Setelah mengirimkan pesan kepada ibuku bahwa aku akan keluar sebentar, aku memasukkan smartphone Ayana ke dalam saku dan meninggalkan rumah.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama