Bab 2 — Rumah yang Tidak Nyaman
Waktu
pulang ke rumah sedikit lebih lambat dari biasanya berkat perhatian yang diberikan oleh rekan
sealiansi. Dengan papan nama [Tsujikawa] terukir di pintu, aku membuka kunci
pintu rumah baruku dengan perasaan yang agak berat.
Aku ingin
menahan nafas dan langsung menuju ke lantai atas tanpa ketahuan... tapi seperti
yang kuduga, aku memastikan untuk menunjukkan wajahku di ruang tamu.
“……Aku
pulang.”
“Selamat
datang kembali.”
Ibuku,
yang sedang menulis naskah di tabletnya yang tersebar di meja ruang tamu,
mendongak dan menyapaku ketika aku pulang.
“Selamat
datang kembali, Kouta-kun. Terima kasih atas kerja kerasmu dalam bekerja paruh
waktu.”
Dan pria
yang menyambutku bersama ibuku adalah Tsujikawa Akihiro-san.
Pria yang
menjadi ayah baruku dan suami baru ibuku.
...Ia
pasti sibuk dengan pekerjaannya, tapi ia adalah orang yang baik menyambutku
seperti ini.
“Aku akan
membuatkan secangkir kopi untuk Makiko-san sekarang, apa kamu juga mau ?”
“Ah…..um,
tidak usah, aku baik-baik saja. Terima kasih.”
“Begitu
ya. Yah karena sudah malam sih.”
Tanpa
terlihat tersinggung, Akihiro-san menyeduhkan secangkir kopi untuk ibuku.
“Kalau
begitu...aku akan kembali ke kamarku. Selamat malam.”
“Ya.
Selamat malam juga. Selamat beristirahat, ya.”
Untuk apa kamu muncul di ruang tamu? Tanpa mengungkit hal itu atau menyinggungku dengan
cara tertentu, Akihiro-san membiarkanku pergi begitu saja saat aku menuju ke
lantai atas ke kamarku.
...Ia
benar-benar orang yang baik.
Saat aku
berinteraksi dengan Akihiro-san, aku benar-benar merasakan demikian.
Aku masih
seorang bocah. Dan aku masih merasa bersalah karena belum terbiasa dengan
mereka, dan bahkan melarikan diri dari mereka.
────Mau sampai kapan kamu terus mengecewakanku?
“...Ah...sialan.
Aku jadi mengingat sesuatu yang buruk.”
Suaranya
kembali terngiang-ngiang di kepalaku.
Sebuah
kenangan yang tidak bisa aku lupakan bahkan sampai sekarang, yang terukir dan
melekat jauh di dalam diriku.
“Dasar
Ayah sialan itu…”
Aku
benar-benar sudah tidak waras. Aku tidak bisa dengan jujur memanggil pria baik
seperti Akihiro-san dengan sebutan 'Ayah',
tapi aku masih bisa memanggil bajingan itu dengan sebutan 'Ayah'.
Pada saat
seperti ini, mau tak mau aku jadi sangat menyadarinya.
Aku
menyadari bahwa keberadaan 'ayah'
lebih tertanam dalam diriku daripada yang kuduga. Pengaruh orang itu masih
bersemayam di hatiku.
...Aku harus cepat-cepat mandi dan pergi tidur...tidak. Kurasa
aku akan menonton fil dulu sebelum tidur? Ketika
aku pulang ke rumah, Kazemiya segera mengirimkan beberapa nama film di ponselku
sebagai 'rekomendasi langsung'. Aku membuat keputusan itu dalam hati dan hendak
berjalan cepat menyusuri lorong di lantai dua.
“Selamat
datang kembali, Nii-san.”
Pemilik
suara yang menyapaku adalah seorang gadis yang satu tahun lebih muda dariku.
Tubuhnya yang sedikit lebih kecil dibalut dengan pakaian santai berwarna terang. Rambutnya yang sebatas pinggang terlihat rapi, dan sikap serta tingkah lakunya memberikan kesan rapi dan anggun.
“Ah...ya.
Aku pulang, Tsujikawa.”
Aku
berhasil membalas sapaannya, tapi aku tahu itu hanya sekedar basa-basi semata.
Dia
adalah adik tiriku, dan namanya adalah Tsujikawa Kotomi, dan sebagai kakak
tirinya, aku seharusnya memanggilnya dengan namanya, ‘Kotomi’. Tidak ada kakak laki-laki yang memanggil adik
perempuannya dengan nama keluarganya. Terlebih lagi, dia sekarang memanggilku ‘Nii-san’ dan mendekatiku, meski padahal
sampai saat ini aku adalah orang asing baginya. Jika itu diriku, aku pasti akan
merasa canggung.
“Sayang
sekali. Jika kamu memanggilku dengan santai 'Kotomi',
aku akan memberikan sepuluh poin adik tiri padamu, loh.”
Meskipun
ada keraguan tentang apa itu 'poin adik tiri', tapi ini adalah bentuk perhatian
khas Tsujikawa.
Aku
mengerti bahwa dia dengan sengaja bersikap ceria agar tidak menambah beban
bagiku yang tidak bisa berperilaku sebagai kakak yang baik, atau merasa nyaman
sebagai anggota keluarga. ... Karena aku mengerti, aku merasa begitu
menyedihkan. Aku merasa begitu menyedihkan dan hina karena telah membuatnya
khawatir seperti ini.
“Hari
ini, kamu pulang lebih lama dari biasanya, ya?”
“Maaf.
Aku mengantar temanku pulang ke rumah sebentar.”
Aku
segera memanfaatkan keuntungan aliansi yang baru saja terjalin.
“Teman?
Apakah itu Inumaki-senpai yang terkenal?”
“Bukan,
tapi teman yang lain.”
“Teman
yang lain... Apa jangan-jangan seorang gadis?”
Pertanyaan
tajam darinya membuatku tercekat dan tak bisa berkata apa-apa. Melihat
reaksiku, Tsujikawa tersenyum manis dengan ekspresi menawan.
“Fufufu.
Kurasa itu pertanyaan yang kurang sopan ya. Memang benar, wajar saja kamu akan
pulang terlambat, bukan?”
“... Aku
sudah bilang kan. Dia hanya temanku. Hubungan kami tidak seperti yang kamu
pikirkan.”
“Baiklah.
Aku akan membiarkannya begitu dan tidak akan memberi tahu ibu atau ayah. Untuk
perhatian terhadap kakak ... aku memberikan sepuluh poin adik tiri untukku.”
Meskipun
berperilaku sebagai adik tiri yang ceria, Tsujikawa melirik ringan ke tangga
yang menuju lantai bawah di mana ibu dan ayah berada.
“Aku mengerti
situasinya, tapi tolong beri kabar sedikit saja ke depannya. Ibu sangat
khawatir, lho.”
...Ibu,
ya.
Tsujikawa
sungguh luar biasa. Aku bahkan belum bisa memanggil Akihiro-san secara langsung
sebagai “ayah”. Itulah sebabnya rasa
hina dan penyesalanku muncul di lubuk hatiku.
“Maaf.
Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang.”
“Menurutku
itu bagus. Aku akan memberikan lima poin adik tiri kepada Nii-san yang dengan
jujur merenungkan
omelan adik tirinya.”
Setelah
mengatakan itu, Tsujikawa berbalik dan kembali ke kamarnya sendiri.
“Nii-san...
aku mengerti perasaanmu, tetapi demi ayah dan ibu juga, tolong, setidaknya,
sebisa mungkin tetaplah di rumah. Bersama-sama menjadi keluarga yang 'normal'
dengan semua orang berkumpul bersama.”
Aku tidak
bisa mengatakan apa-apa untuk menanggapi perkataan Tsujikawa.
Karena
aku merasa ragu untuk membuat janji yang sepertinya tidak bisa aku tepati dari
awal. Mungkin Tsujikawa juga tidak mengharapkan balasan. Setelah itu, tanpa
berkata apa-apa lagi, pintu kamarnya tertutup.
Rasanya
seolah-olah aku baru saja menyelesaikan pertarungan bos besar. Saat aku
menghela nafas lega dan hendak kembali ke kamarku—— tiba-tiba aku berpikir
dalam hati.
Aku
bertemu Tsujikawa di lorong. Dengan kata lain, Tsujikawa pasti ingin turun ke
lantai bawah.
...Kalau
begitu. Apa sebenarnya yang ingin dilakukan Tsujikawa setelah keluar dari
kamarnya?
Dengan
meninggalkan sedikit misteri, malam itu pun berlalu dengan cepat.
☆☆☆
Keesokan
paginya.
Ketika
aku memasuki ruang tamu setelah selesai mencuci muka, aku disambut dengan aroma
anggun yang berpadu dengan segarnya udara pagi.
“Selamat
pagi, Kouta-kun.”
“…
Selamat pagi juga.”
Baiklah.
Dengan ini, kuota salam pagiku berhasil terpenuhi. ...Aku mulai membenci diriku
sendiri karena merasa terpaksa melakukan ini.
“Selamat
pagi, Kouta. Ayo, segera duduk di meja juga. Sarapan pagi hari ini juga dibuat
oleh Kotomi-chan, tahu?"
Di atas
meja terdapat nasi putih dengan ikan salmon panggang kecap, sup miso, dan
sayuran seperti sawi.
Ini seperti
contoh sarapan pagi yang baik. Ketika aku hanya tinggal bersama ibuku dulu,
biasanya sarapannya hanya roti panggang. Ibuku sering begadang karena
pekerjaannya, jadi sarapan biasanya sederhana. Tentu saja, aku tidak pernah
merasa keberatan. Malah aku berpikir bahwa aku tidak ingin membuatnya kerepotan
demi diriku. Karena itu, setiap kali sarapan yang begitu spesial disajikan, aku
selalu sedikit terkejut.
“Itadakimasu.”
Aku duduk
di meja dan bersyukur bisa menikmati sarapan pagi.
“Wah,
rasanya enak sekali. Bahagia sekali rasanya bisa menikmati sarapan seperti ini
setiap hari.”
“Terima
kasih, ibu. Apa ada makanan yang tidak kamu sukai?”
“Tidak
ada, tidak ada. Apapun masakan yang dibuat oleh Kotomi-chan, semuanya pasti
enak. Benar, ‘kan, Kouta?”
“Eh, ah,
iya. Semuanya enak.”
“Aku
senang mendengarnya. ...Astaga, ayah juga harus belajar sedikit dari mereka
berdua, oke? Aku masih tidak menyangka kalau ayah masih tidak bisa memakan
paprika.”
“Ugh.
Tapi, mau bagaimana lagi karena rasanya pahit.”
“Kamu
bukan anak kecil lagi, tau.”
“Aku
benar-benat tidak bisa membantahnya...”
Mungkin
dari sudut pandang orang lain, ini adalah adegan keluarga yang hangat. Mungkin
saja.
Namun,
aku tahu. Percakapan di keluarga ini berusaha menghindari topik tertentu sebisa
mungkin. Jika harus diberi perumpamaan, rasanya seperti berjalan hati-hati
melintasi ladang ranjau yang terlihat. Begitulah rasanya. Dan karena aku
menyadari bahwa aku sendiri yang menciptakan ladang ranjau tersebut, rasa
bersalah dan ketidaknyamanan mengganggu pikiranku.
“Ngomong-ngomong,
Kotomi. Apa kamu sudah terbiasa di SMA?”
“Iya.
Tidak ada masalah khusus.”
“Nampaknya
kamu belum ikut bergabung dengan klub manapun ya... kamu tidak perlu
sungkan-sungkan, tahu?”
“Sebenarnya,
aku sudah diundang dari berbagai klub... tapi aku masih belum memutuskannya. Aku
memang ada keinginan untuk mencoba sesuatu sih.”
“Begitu
ya. Kalau begitu pikirkan dengan matang ya. Aku yakin kalau itu Kotomi-chan,
apapun yang kamu pilih, kamu pasti akan berhasil...”
Pada saat
itu, ucapan ibuku terputus. Wajahnya seakan-akan menunjukkan kalau dia tidak
sengaja menginjak ranjau darat.
“Benar
juga. Aku yakin kalau Tsujikawa pasti akan melakukannya dengan baik, apapun
yang kamu lakukan. Jadi, lebih baik pikirkan dengan tenang tanpa tekanan.”
Apa aku
bisa melanjutkan ucapan ibuku yang terputus dengan lancar?
Aku
bahkan tidak ingin bertanya kepada keduanya tentang hal itu.
“Terima
kasih atas sarapannya.”
Aku
menyantap sarapan dengan penuh rasa syukur, lalu membersihkan peralatan makanku.
“Aku
pergi duluan ya. Aku berangkat.”
“Eh, iya.
Hati-hati.”
Aku
meraih tasku dan meninggalkan rumah. Meskipun aku harus berangkat ke sekolah
lebih awal dari biasanya, tapi tidak apa-apa.
Aku
merasa seakan-akan menjadi penghalang di tengah kehangatan keluarga ini.
☆☆☆
————
Singkatnya, aku adalah anak yang tidak bisa memenuhi harapan ayahku.
Baik
dalam olahraga maupun belajar, aku tidak pernah mencapai standar kepuasan
ayahku. Itulah yang menjadi alasan ibuku bercerai.
Dan untuk
pasangan baru ibuku, Akihiro-san, dia memiliki putri bernama Tsujikawa Kotomi
yang sempurna dalam segala hal.
Aku yang
cacat, dan adik tiri yang sempurna.
Meskipun
tidak diungkapkan secara langsung, ibuku yang menikah lagi dengan Akihiro-san
dan menerima Tsujikawa Kotomi sebagai putri yang sempurna, pasti telah membuat
keputusan di dalam hatinya.
Dia pasti
tidak akan mengungkit pembicaraan yang memicu perasaanku sebagai anak yang
ditinggalkan oleh ayah.
Misalnya,
jangan membandingkan antara kakak dan adik.
Misalnya,
jangan terlalu memuji keunggulan adik.
Misalnya,
jangan membicarakan kemampuan individu.
Ketika
berurusan denganku, topik-topik tersebut dianggap sebagai kata-kata terlarang.
Tentu
saja, Akihiro-san juga pasti mengetahui alasan perceraian itu.
Itu
adalah perhatian dari ibuku. Aturan sebagai keluarga baru.
Tetapi
itu juga aturan yang merugikan pujian yang seharusnya diterima oleh Tsujikawa
Kotomi sebagai adik tiriku.
Kupikir
itu hal yang cukup sulit. Bagaimana perilaku orang tua yang memiliki anak
laki-laki yang gagal dan adik ipar yang sangat baik.
Namun... 'perhatian' semacam itu selalu terasa
olehku.
Ketika
menyadari bahwa aku diperhatikan, suasana hati pun menjadi tidak nyaman.
Namun,
ibuku tidak bisa disalahkan. Akihiro-san juga tidak bersalah. Tsujikawa Kotomi
tidak bersalah.
Lantas,
siapa yang bersalah? Itu sudah jelas.
Hanya
satu orang yang bersalah, yaitu Narumi Kouta.
Orang
yang merusak suasana harmonis keluarga baru tersebut tidak lain adalah diriku
sendiri.
“Karena
aku menyadari hal itu, itulah sebabnya aku merasa tidak nyaman di rumah itu...”
☆☆☆
Aku
melarikan diri dari suasana pagi yang muram dan pergi ke sekolah, tapi pada
saat istirahat siang aku sadar akan sesuatu.
“Ah
sialan. Aku lupa membeli makan siang.”
Biasanya
aku membeli makan siang di minimarket di tengah jalan, tapi hari ini pikiranku
penuh dengan keinginan untuk melarikan diri dari rumah yang tak nyaman sehingga
aku melupakannya.
“Oh
begitu ya. Jadi gimana? Mau ke kantin?”
“Kalau
pergi sekarang pasti ramai, ya... Aku akan membeli roti di warung saja deh.”
“Aku ikut
ya.”
“Kamu kan
sudah membawa bekal.”
“Tentu
saja, aku akan memakannya juga kok? Tapi aku ingin membeli sesuatu untuk
camilan sore nanti.”
“Ada
camilan pagi juga?”
“Pagi ini
aku punya Baumkuchen. Aku membelinya di minimarket dekat sekolah, rasanya manis
karena telurnya enak banget, tahu.”
“Itu
sebabnya kamu sibuk dengan sesuatu selama jam pelajaran ya.”
...Yah,
aku mengerti bahwa sebagai seorang cowok SMA yang sama-sama sedang dalam masa
pertumbuhan, perut sering kali menjadi lapar.
“Aku juga
mau sekalian membeli jus di sana. Aku ingat ada yang versi terbatas nih.”
“Kalau
enggak salah yang rasanya soda wortel itu, ‘kan? Kamu ini benar-benar suka
tantangan, ya.”
“Iya.
Habisnya itu bikin penasaran, iya kan? Kouta biasanya minum soda melon biasa
kan?"
“Aku sih
bukan tipe penantang sehebat kamu. Selain itu, mesin penjual yang menjual soda
melon itu langka. Sudah begitu, pasti kamu ingin merasakannya kan.”
Setelah
berhasil mendapatkan roti untuk makan siang dan soda melon, aku segera kembali
ke kelas.
“Eh? Ada
apa ya?”
Saat aku
kembali ke tempat dudukku sambil membawa roti, aku menyadari bahwa suasana di
kelas sedang ramai.
“Oke,
baiklah. Ayo kita adakan diskusi kelas pada Jumat minggu ini!”
Suara
anak cowok yang berada di tengah-tengah kelas membuat teman sekelasnya dengan
antusias memberikan respons.
Sawada
Takeru... tinggi badannya melebihi 170 cm, wajahnya yang segar menampilkan
kesan kesegaran musim panas. Dari sikap dan aura yang dipancarkannya, sebutan
“pangeran” secara alami muncul di pikiran.
Dia
adalah pemain andalan dari klub basket di Akademi Hoshimoto yang memiliki
prestasi tinggi. Selain itu, ia juga memiliki reputasi yang baik di antara
murid dan guru karena prestasinya.
Berbeda
dengan Kazemiya, di sekolah ini dia adalah pangeran dan pahlawan yang terkenal.
Bahkan aku yang kurang peduli dengan gosip pun tahu tentangnya.
“Diskusi
kelas ya. Tahun lalu bukan di kelas kita, ‘kan?”
“Sebenarnya
apa sih diskusi kelas itu?”
“Kita
makan camilan bersama dan bersenang-senang bersama. Karena banyak orang,
mungkin kita akan karaoke atau sesuatu seperti itu.”
Jadi intinya
mirip seperti pesta ya.
Ini
adalah acara yang disukai oleh pangeran yang berada di puncak kasta sosial.
Dari yang
aku lihat, sepertinya acara ini diputuskan secara spontan baru-baru ini.
Sepertinya perbedaan dalam keberanian bertindak sedang terlihat dengan jelas.
“Oleh
karena itu, bagi yang ingin ikut, kalian bisa memberitahu di grup kelas ya.”
Pesan-pesan
yang menyatakan keikutsertaan satu per satu mulai mengalir ke dalam grup
aplikasi pesan, bersama dengan detail reuni kelas.
“Kamu mau
ikutan juga, Kouta? Kamu lagi tidak ada jadwal kerja, ‘kan?”
“Aku
tidak ikut. Aku sudah mengambil cuti untuk hari itu agar bisa di rumah. Kadang-kadang
perlu membuat waktu untuk hal-hal seperti ini untuk menyesuaikan diri, agar
tidak membuat ibu kesal.”
Terlebih
lagi, ada masalah pagi ini. Sedikitnya aku harus membuat ibu merasa tenang...
Sambil memikirkan hal itu, aku segera mengirimkan pesan bahwa aku tidak akan
ikut dalam grup.
“Kalau
begitu, aku juga tidak akan ikut.”
“Seharusnya
kamu ikut juga enggak masalah kali. Kamu suka hal-hal seperti ini, ‘kan?”
“Iya sih,
tapi sebenarnya pada hari yang sama aku diundang oleh anak-anak lain untuk bermain,
jadi aku merasa bimbang antara dua pilihan. Karena Kouta biasanya bekerja paruh
waktu, jadi kalau kamu ikut dengan acara kelas, kupikir aku akan ikutan juga...
tapi jika kamu tidak datang, mungkin lebih baik bermain dengan anak-anak dari
kelas lain untuk memperluas pergaulan.”
Mungkin
berkat efek Pangeran Sawada, selain aku dan Natsuki, sebagian besar teman
sekelas sudah menyatakan keikutsertaannya.
“Kazemiya-san.”
Saat
Sawada memanggil namanya, suasana di sekitar kelas tiba-tiba menjadi damai
sejenak. Namun, kalau dilihat-lihat, ada kehangatan yang terpancar dari banyak
orang yang ditujukan kepada dua teman sekelas tersebut.
...Aku
tahu nama dari kehangatan yang terpancar dari pandangan ini.
Itu
adalah... rasa ingin tahu.
“Ada
apa?”
Kazemiya
melepas headphone putih dan peraknya, lalu bertanya balik kepada Sawada yang
mendekati kursinya. ...Sekarang aku mengerti. Itu karena dia sedang menonton
film di ponselnya.
“Kita
akan mengadakan acara kelas pada Jumat setelah sekolah, apa Kazemiya-san juga
mau ikutan datang?”
“Aku
tidak akan datang.”
Kazemiya
dengan tegas menolak ajakannya.
Tampaknya
undangan dari pangeran dan karakter utama di sekolah ini tidak terlalu menarik
baginya.
“Maaf karena
sudah memutuskannya begitu mendadak. Apa karena kamu sudah ada rencana
sendiri?”
“Ini tak
ada kaitannya denganmu.”
Bukan
hanya sekedar ketus, suaranya bahkan sudah mencapai nol mutlak. Rasa tidak enak
mulai terpancar dari gadis yang tampaknya adalah penggemar Sawada.
“Baiklah,
aku mengerti. Jadi, kamu tidak akan ikut racara kelas. ... Oh ya, boleh aku
minta alamat kontakmu? Ketika ada sesuatu di kelas seperti kali ini, akan lebih
nyaman jika bisa berkomunikasi dalam grup.”
Sekadar
informasi, jumlah anggota dalam grup kelas adalah 34 orang, sedangkan total
siswa Kelas 2-D adalah 35 orang. Berdasarkan perhitungan, seharusnya ada satu
orang yang tidak bergabung dalam grup ini.
Dan orang
itu adalah Kazemiya Kohaku. ... Teman-teman
sekelasnya mungkin akan menanyakan pertanyaan tentang adiknya lagi, jadi dia
mungkin memilih untuk tidak bergabung dalam grup semacam ini sebagai langkah
perlindungan pribadi.
“Kupikir
aku sudah menolaknya sebelumnya.”
“Aku pikir
kamu akan berubah pikiran.”
“Tidak,
aku takkan berubah pikiran.”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita bertukar kontak pribadi? Jika kamu merasa
terganggu dengan notifikasi grup, aku bisa menjadi perantara dalam komunikasi.
Jika ada acara kelas selanjutnya, cukup beri tahu aku, dan aku akan sampaikan
ke semua orang.”
Hebat. ...Tanpa sadar pikiranku memberi
pujian dalam hati.
Tawaran
tersebut sudah mempertimbangkan bahwa Kazemiya akan menolak dari awal. Selain
itu, ada manfaat tersendiri bagi Kazemiya dengan mengkonsolidasikan notifikasi
grup yang berbelit-belit.
"Tidak
perlu. Lagipula aku tidak tertarik dengan acara kelas atau semacamnya.”
...Namun,
tampaknya hal itu tidak menarik bagi Kazemiya. Bagi seseorang yang mungkin
sering dimanfaatkan karena menjadi adik dari seorang selebriti, dia mungkin
ingin membatasi pertukaran kontak dengan orang lain sebaik mungkin.
“Baiklah.
Tapi, jika kamu berubah pikiran, kamu bisa memberitahuku kapan saja.”
“Iya
kapan-kapan saja.”
Tanpa
mengubah sikap dinginnya, Kazemiya mengakhiri percakapannya dengan Sawada.
Bahkan
Sawada sang pangeran kelas dua, tidak bisa menaklukkannyaa. Sungguh menakjubkan
sekali, Kazemiya Kohaku.
“Apa-apaan
sih dia itu... sombong banget.”
“Padahal Sawada-kun
sudah bersusah payah mengajaknya.”
“Dia
merasa sombong karena kakaknya terkenal?”
“Itu bisa
jadi. Mungkin karena dia Kazemiya-san?”
“Enak
banget ya, punya kakak selebriti. Bisa berbuat seenaknya.”
Meskipun
mereka sudah berusaha berkata dengan pelan, suara-suara di belakang tampak
sedikit keras. Meskipun mereka merasa bisa didengar oleh orang tersebut,
percakapan di dalam ruang kelas yang tertutup terasa terdengar jelas.
Meskipun
Kazemiya sendiri sudah memakai headphone dan tenggelam dalam dunia film, sikapnya
pun tampaknya mengganggu bagi orang lain. Pandangan yang ditujukan ke arah
Kazemiya jelas terasa menusuk.
Mungkin
ini adalah langkah pertahanan diri dari Kazemiya.
Menolak
siapapun yang mendekat, menolak, dan menghabiskan waktu sendirian sambil
mendengar gosip. Kekuatan untuk memilih kesendirian... Hal itu sangat
mengesankan bagiku.
“……”
Sambil
mengunyah roti, aku membuka aplikasi pesan di layar ponsel.
Di daftar
kontak yang tidak terlalu banyak, terdapat nama akun “kohaku” milik Kazemiya
dengan gambar ikon kucing putih. Aku mengetuknya dan membuka layar obrolan.
● Kouta: Apa lebih baik jika kalian tidak bertukar kontak?
...Apa
sih yang sedang kulakukan. Ini sih sudah terlalu ikut campur.
Aku
hampir langsung menyesal dan ingin menghapus pesan itu, namun pada saat yang
sama---
● Kohaku: Aku tidak akan melakukannya
Sebelum
aku sempat menghapusnya, pesan balasan sudah masuk. Kupikir dia akan marah
karena aku ikut campur atau hal sejenisnya, tapi sepertinya dia terlihat tidak
marah.
● Kouta: Mungkin lebih mudah jika kalian bertukar kontak,
siapa tahu akan ditanyakan lagi?
● Kohaku: Tetapi jika kami bertukar kontak, akan merepotkan
untuk berkomunikasi melalui pesan.
● Kohaku: Selain itu, aku nanti bakalan dicemburui dari gadis
lain.
● Kohaku: Jika masuk ke dalam grup kelas, akan banyak
permintaan pertemanan yang datang.
● Kohaku: Jika menolak, akan mendapat kebencian, jika
menerima, akan merepotkan untuk berkomunikasi melalui pesan.
● Kouta: Jadi, tidak peduli pilihan yang kamu terima, itu
merugikanmu?
● Kohaku: Ya, begitulah.
● Kohaku: Selain itu, jika aku terlalu terlibat dengannya,
● Kohaku: Tanpa disadari bisa dijauhi dan dianggap sebagai
pasangan tanpa seizin.
● Kohaku: Kemudian aku akan dianggap kasar, menjadi musuh
bersama, dan sebagainya.
Mungkin
dia memiliki pengalaman serupa di masa lalu sehingga sampai membuatnya waspada
terhadap hal-hal seperti itu.
Memang
lebih mudah jika menolak semuanya dari awal.
Penampilan
Kazemiya sangat menonjol di sekolah, dia begitu cantik sehingga tidak heran
jika disebut sebagai seorang idola. Mungkin itulah sebabnya dia sering
mengalami masalah semacam itu sejak dulu.
● Kouta: Maaf jika aku tiba-tiba mengirim pesan aneh.
● Kohaku: Tidak apa-apa jika itu dari Narumi.
● Kohaku: Aku tidak berniat memberikan kontakku kepada orang
lain selain kepada Narumi.
...Jadi
aku diterima olehnya. Apa standarnya?
● Kouta: Karena kita bersekutu?
● Kohaku: Karena kita bersekutu.
● Kohaku: Selain itu
● Kohaku: Karena mengobrol dengan Narumi terasa menyenangkan
────Aku
juga senang berbicara denganmu, Kazemiya. Aku hampir mengetikkan itu, lalu
menghapusnya.
Rasanya
agak memalukan untuk mengungkapkannya langsung. Jadi aku mengirim stiker
karakter kucing yang lucu secara sembarangan untuk mengalihkan perhatian.
● Kohaku: Apa-apaan dengan stiker itu?
● Kohaku: Tunggu
● Kohaku: Terlalu imut
● Kouta: Tenang dulu napa
● Kohaku: Aku juga akan membelinya.
Setelah
beberapa saat kemudian, stiker yang baru saja dibeli segera dikirim kepadaku.
● Kouta: Cepat ya.
● Kouta: Seberapa banyak kamu menyukai kucing?
● Kohaku: Sebanyak ini.
● Kouta: Jangan dikirim terus-terusan.
● Kohaku: Enggak mau.
Stiker
LINE terus dikirim secara beruntun. Sepertinya dia sangat menyukainya.
──── Terakhir, gimana kalau kita bertukar kontak?
Tiba-tiba,
percakapan semalam kembali terlintas di pikiranku.
Kalau
dipikir-pikir, Kazenomiya lah yang menawarkan pertukaran informasi kontak
duluan, yang bahkan Sawada tidak bisa mendapatkannya.
“────Ta.
Ko────”
Apa ini
berarti aku dianggap cocok sebagai sekutunya?
“Ko────
Ko────”
Nomor
kontak yang bahkan tidak bisa didapatkan pangeran kelas, ada di sini.
Hanya dengan
memikirkannya saja sudah membuat smartphone-ku yang baru berusia sekitar satu
tahun mulai sedikit panas..
● Kohaku: Sejak tadi namamu dipanggil, tau.
Pesan
dari Kazemiya datang lagi. Dipanggil? Apa dia sedang membicarakanku?
Sebenarnya
siapa yang memanggilku────
“────Kouta.”
“......!?
Na-Natsuki?”
“Iya. Aku
memanggilmu sejak tadi tapi kamu sama sekali tidak menyahut.”
Natsuki
menggembungkan pipinya kesal. Bahkan gerakan ini, jika dilakukan oleh orang
lain, akan terlihat manis secara tidak perlu.
“Ah, iya.
Maaf. Aku sedang melihat HP jadi aku aku tidak menyadarinya.”
“Sepertinya
begitu. Kamu terlalu asyik sampai tidak menyadari suaraku juga.”
“Sudah
kubilang aku minta maaf ya. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Mengenai
ini, nih.”
Natsuki
mengeluarkan sesuatu yang tampaknya adalah tiket pra-penjualan film. Bahkan ada
dua lembar.
“Kouta,
dulu kamu pernah bilang kalau kamu tertarik dengan ini, ‘kan? Aku mendapatkanya
dari teman, jadi aku akan memberikannya padamu.”
“Terima
kasih banyak, tapi kamu yakin, nih? Apa kamu tidak ingin menonton sendiri?”
“Aku juga
mendapatkannya. Tapi aku terlalu banyak mendapatkannya, jadi agak kewalahan.
Saat memiliki beberapa teman yang berhubungan dengan dunia film, hal seperti
ini bisa sulit, kan?”
“Aku baru
menyadari betapa luasnya lingkaran pergaulanmu.”
Siapa
sangka, tidak hanya di kalangan pelajar, dirinya bahkan memilikir beberapa
kenaan di kalangan pekerja, apalagi memiliki beberapa orang yang terlibat dalam
dunia film. Lingkaran pergaulan macam apa itu?
“Mumpung
ada dua tiket, bagaimana kalau kita menontonyan bersama?”
“Itu
adalah tawaran yang sangat menarik, tapi kali ini aku akan menolak.”
“Tumben
sekali. Biasanya kamu yang mengajakku duluan.”
“Aku
memang ingin melakukannya kali ini. Tapi mumpung ada kesempatan begini,
mendingan kamu undang saja teman barumu.”
“Hah...”
“Mengapa
aku bisa tahu? Aku tahu, setidaknya sejauh itu. Kita sudah saling kenal sejak
kecil. Menurutmu sudah berapa tahun kita bersama? Apalagi, jika kamu terlihat
begitu senang saat berinteraksi dengan ponselnya, tentu saja aku akan tahu
bahwa 'kamu telah mendapat teman baru'.”
Tanpa
sadar, aku menekan pipi sendiri dengan tangan. Apa aku begitu mudah dibaca oleh
orang lain?
“...Memangnya
aku terlihat sangat senang?”
“Ya, kamu
tampak bersenang-senang.”
Natsuki
memang cerdas. Aku ingin percaya bahwa aku tidak mudah terbaca olehnya.
“Hyaahh,
sejujurnya aku merasa senang. Karena kamu tidak punya banyak teman. Jadi aku
senang melihatnya kalau lingkaran pergaulanmu semakin meluas.”
“Maaf
banget ya kalau temenku sedikit.”
“Tapi aku
benar-benar senang. Kamu yang hanya bisa melarikan diri dari rumah yang tidak
nyaman, akhirnya bisa mendapat tempat baru. Meskipun agak disayangkan bahwa itu
bukanlah aku.”
Ternyata
Natsuki lebih khawatir tentangku daripada yang aku bayangkan.
“Makasih
banyak ya, Natsuki.”
“Sama-sama.
Semoga kamu menikmatinya.”
Tiket
pra-penjualan yang diberikan oleh Natsuki adalah film remaja berlatar belakang
olahraga basket, yang membuatku tertarik karena pratinjauannya terlihat menarik.
Berdasarkan tanggapan di media sosial, film ini tampaknya mendapat reputasi
baik dan dari sinopsisnya terlihat menarik.
(Kalau tidak salah film ini adalah seri. Film-film sebelumnya
dari seri ini juga tercantum dalam daftar rekomendasi yang diberikan oleh
Kazemiya. Setelah pulang hari ini, mungkin aku akan menonton film-film
sebelumnya ini. Ini bisa menjadi pengulasan yang bagus sebelum menonton film
baru.)
Aku
melipat tiket dan menyimpannya di sampul pnselku. Meskipun hanya dua lembar
kertas yang kudapatkan, entah mengapa rasanya aku lebih tidak sabar menunggu
waktu pulang sekolah hari ini.
☆☆☆
Setelah
selesai bekerja paruh waktu hari ini, aku langsung menuju restoran cepat saji
dalam perjalanan pulang. Aku menerima pesan dari Kazemiya sebelum bekerja kalau
dirinya sudah pergi duluan (dengan
stempel kucing yang baru dia beli).
Setelah
memasuki restoran dan duduk di meja biasaku, sesuatu terasa berbeda hari ini.
Aku melihat 'meja biasa' di restoran dan dia ada di sana. Rambut emas cerahnya
yang mencolok, mengenakan headphone putih dan perak sambil menonton film di
ponselnya.
Penampilannya
mencolok, tapi hanya dengan duduk di sana, dia terlihat seperti lukisan hidup
yang mempesona.
“Ah, kamu
sudah datang, ya.”
“Yah
begitulah.”
Aku dan
Kazemiya baru saja mulai akrab kemarin (?) meskipun sebelumnya kami tidak
begitu dekat. Kami benar-benar seperti orang asing. Sikap kami saat
berinteraksi, suasana hati kami, atau tingkat keceriaan kami saat bersama masih
belum sepenuhnya aku pahami.
“Kenapa
kamu kaku begitu?”
“Aku agak
bingung bagaimana caranya berinteraksi setelah hanya berbicara lewat layar
obrolan.”
“Ah, aku
agak memahaminya.”
Rupanya
Kazemiya juga merasakan hal yang sama. Siapa sangka kami bisa samaan sampai
sejauh itu.
“Kenapa
tidak dibawa santai saja? Kita tidak perlu khawatir jika berada di tempat
seperti ini, ‘kan?”
Meskipun
aku sudah berhati-hati di rumah, aku segera menyadari nuansa 'Kita tidak bisa terus-terusan seperti
ini'."
“.....
Bener banget. Aku tidak bisa terus
memikirkan hal-hal seperti ini di tempat seperti ini.”
“Benar.
Kita berdua berada dalam aliansi, iya ‘kan? Jika kita saling sungkan, aliansi
kita nantinya akan menjadi sia-sia, bukan?”
Aku
membuka menu sambil mengangguk mendengar kata-kata Kazemiya.
“Oh,
rupanya sedang diadakan Festival
Anggur edisi terbatas, ya.”
“Kamu
suka anggur?”
“Tidak
terlalu. Tapi aku biasanya
merotasi menu-menu standar. Jadi, hal-hal
terbatas seperti ini membantuku dalam mengubah rasanya.”
“Memang,
jika kita selalu makan hal yang sama, kita pasti merasa jenuh, iya ‘kan?”
“Kupikir
masalahnya juga ada di pihak kita yang
terlalu sering datang ke sini... Yup.
Karena ini makanan penutup, jadi ini untuk
setelah makan. Untuk saat ini, mungkin aku
akan memesan pasta untuk makan malam hari ini.”
Setelah
memesan dengan tambahan minuman dari menu minuman, aku menuangkan soda melon ke dalam
gelas dan kembali ke tempat duduk.
“Dari
pertama kali kita bertemu, kamu selalu memilih minuman itu, ya. Apa itu semacam aturan pribadimu?”
“Eh,
benarkah? Aku tidak menyadarinya...”
“Ahaha.
Tanpa disadari ya. Seberapa besar kesukaanmu
dengan soda melon, sih?”
Ketika aku
melihat wajah tertawanya di hadapanku, apa hanya perasaanku saja yang merasa
bahwa wajahnya terlihat lebih lembut daripada kesan yang aku miliki di kelas?
“Kazemiya sendiri... biasanya minum apaan?”
“Macam-macam sih. Oh, tapi mungkin aku lebih sering minum teh.”
“Kamu tidak
menyukai kopi?”
“Bukan
begitu masalahnya. Aku juga sering minum kopi di
kedai-kedai... Ehh, kenapa ya?”
“Lah bukannya
kamu juga sama saja tidak menyadarinya!?”
“Yeah, benar juga.”
Begitu
rupanya, jadi Kazemiya suka minum teh, ya.
Dari dulu aku penasaran apa yang biasanya dia minum sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka bahwa
suatu hari aku akan mengetahuinya.
Pada saat
itu, tepat ketika seseorang yang kemungkinan baru saja menuangkan kopi dari
sudut minuman, berjalan
melewati meja kami.
“Ah,
begitu ya. Entah mengapa sepertinya aku sudah
menemukan jawabannya.”
Mungkin
aroma kopinya sampai tercium
oleh Kazemiya juga.
Dengan
sedikit mengejek dirinya, dia menatap punggung
orang yang baru saja lewat.
“Aku tidak
menyukai aroma kopi, karena itu membuatku merasa seperti di
rumah.:
Mungkin
kakak perempuan atau orang tuanya biasa meminum
kopi.
Ya, itu
tidak ada hubungannya denganku. Aku
tidak akan ikut campur urusan rumah tangga orang
lain.
Dalam
artian tertentu, itulah aturan pribadiku. Hal
tersebut takkan berubah meskipun aku mendengarkan keluhan orang lain.
“Begitu ya.”
“Tanggapanmu
terlihat masa bodo begitu.”
“Nyatanya,
aku memang tidak peduli.”
“...Seriusan deh, kamu gampang sekali bersikap seperti itu, Narumi.”
“Maksudnya
yang seperti itu?”
“Bagian
dirimu yang tidak berusaha ikut campur dengan urusan keluargaku.”
“Kurasa kamu
sudah mengharapkannya sebagai orang yang
mendengar keluhanmu
“Alangkah
baiknya jika seluruh umat manusia seperti itu.”
Wajah Kazemiya terlihat kelelahan. Ditambah
lagi, dia bahkan tampak agak gelisah... Apa ini jangan-jangan... Ya,
sepertinya begitu.
“....Jika
kamu ingin mengeluh, aku akan mendengarkannya sebisa mungkin.”
“...Seriusan? Wahhh,
tak disangka kamu benar-benar mengerti kalau aku ingin mengeluh.”
“Karena aku sering mendengarkan keluhan
rekan-rekan kerja paruh waktuku, jadi aku mulai bisa merasakan kehadiran
semacam itu.”
“Kehadiran?”
Seolah-olah
ada sesuatu yang dianggapnya konyol. Kazemiya tertawa terbahak-bahak.
“Pada
dasarnya, begitulah
aliansi kita.”
“Itu sangat
membantu. Seriusan. Sepertinya penilaianku tidak salah ketika
memilihmu, Narumi.”
Setelah
mengatakan itu, Kazemiya menjatuhkan diri di atas
meja dengan helaan napas
yang panjang dan berat.
“Haaa...
serius, rasanya
sangat-sangat melelahkan. Memintaku untuk bertemu dengan Onee-chan, atau ingin
mengetahui nomor konyaknya, atau
bahkan ingin tanda tangannya...
Bahkan setelah menjadi siswa kelas dua,
hal-hal seperti itu mulai muncul lagi. Ngejengkelin.
Nyebelin banget. Aku harap mereka tidak berbicara denganku.”
“Memangnya masih
ada orang yang menanyakan
hal semacam itu di kelas kita?”
“Jika dari
kelas kita sih sudah tidak ada lagi. Biasanya dari kelas
lain... Dan yang paling banyak adalah siswa kelas satu.”
“Begitu ya.
Jika mereka siswa baru, tentu saja mereka tidak akan tahu apa-apa... Sulit
ya."
“Ya,
seriusan deh, itu sulit
banget. Aku sudah menceritakan sedikit tentang hal ini
lewat pesan... Terutama hari ini, meladeni
Sawada sangat melelahkan. Kamu
pasti melihatnya juga,
‘kan?”
“Yah,
aku memang melihatnya tapi...”
“Apa-apaan
sih orang itu. Padahal sedari awal aku
sudah tidak tertarik pada acara kelas, dan sekarang dia malah
meminta kontak secara pribadi, membuat gadis-gadis yang lain menatap sinis
padaku...”
“Yah, Sawada
memiliki banyak penggemar, sih. Dia
adalah pangeran yang dibanggakan oleh siswa kelas dua.”
“Orang
seperti itu tidak memikirkan bagaimana pendapat penggemarnya tentang
tindakannya, sungguh pangeran yang luar biasa.”
Dia cukup
terganggu... Tidak mengherankan. Selain harus menghadapi penggemar kakak perempuannya, dia juga
harus berurusan dengan pengikut pangeran, wajar saja
dia melelahkan.
“Narumi, apa
kamu bisa memberitahu kepada Sawada? Katakan padanya untuk
mengatur penggemarnya sendiri.”
“Jangan
minta yang tidak masuk akal.”
“Kalian berdua sama-sama laki-laki, kan?”
“Jangan
bandingkan orang yang seperti penguasa puncak kasta dengan rakyat jelata yang hanya merangkak di
dasar. Satu-satunya kesamaan yang kami
miliki adalah kami sama-sama
memiliki anggota tubuh dan bisa bergerak. Jangan sampai salah
bicara seperti itu. Jika ini dunia yang benar-benar keras, kamu akan langsung dihukum dalam dua detik.”
“Apa-apaan itu... Haha.”
Pasta
yang kupesan diantarkan kepadaku pada saat Kazemiya lagi-lagi merasa geli secara
misterius.
“Selamat
makan.”
“Narumi
selalu mengucapkan 'selamat makan' dan 'terima kasih' dengan
baik, bukan?”
“Memangnya
kelihatan aneh ya?”
“Kupikir
kamu mempunyai sopan santun yang
bagus.”
“Aku
tidak melakukannya untuk sopan santun. Karena aku tinggal bersama ibuku sampai baru-baru ini. Aku
sengaja melakukan itu sebagai bentuk perlindungan diri agar orang lain tidak berkomentar tentang keluarga
single-parent atau
bahwa ibuku tidak mendidikku
dengan baik.”
“Hmm.
Sepertinya kamu juga memiliki banyak hal yang harus dihadapi.”
“Asal kamu
tahu saja, aku bahagia dengan keadaanku sendiri. Ibuku juga
tampak bahagia setelah menikah lagi.”
"Jangan
khawatir. Aku tidak merasa kasihan padamu maupun
punya niat untuk melakukannya.”
Meskipun
Kazemiya mengatakan bahwa aku bisa bersikap acuh dengan, tapi sikap Kazemiya yang seperti itu membuatku merasa
nyaman.
“Hmm...”
Saat aku
diam-diam melanjutkan makan malam, ada panggilan masuk dari ibuku.
“Maaf.
Boleh aku mengangkat
teleponku?”
“Iya, tidak
apa-apa.”
Setelah
mendapat izin, aku menjawab
panggilan telepon.
“Halo
Bu?”
“Kouta.
Kamu sekarang ada di mana?”
“Aku baru saja pulang dari pekerjaan paruh waktuku.”
“…Kamu mengambil jalan
memutar lagi?”
“Yah.
Bisa dibilang, begitu.”
Saat aku
bertanya-tanya apakah kami akan mengulangi percakapan yang sama seperti
kemarin, aku mendengar suara samar napas ibuku di ujung sana.
“……Maaf.
Ibu melakukan hal seperti itu pagi ini...”
“Eh?”
“Karena
aku mengatakan sesuatu seperti ‘orang itu’... itu tidak benar. Bukannya aku
memihak Kotomi-chan atau merasa
kecewa padamu...”
“Aku sudah tidak peduli tentang itu.”
Tampaknya
kejadian pagi tadi masih
membekas di dalam benak ibuku.
“Itu
sebabnya kamu terlambat lagi hari
ini, ‘kan? Kamu
pulang lebih lambat dari biasanya kemarin...Aku mulai berpikir kamu mungkin
tidak akan pulang sama sekali.”
“Itu sama sekali tidak benar. Aku bertemu
dengan seorang teman kemarin dan kami mengobrol
tentang banyak hal...karena
dia seorang perempuan, jadi aku
mengantarnya pulang. Ibu paham sendiri,
berbahaya untuk membiarkannya
berjalan sendirian, bukan? Hari ini juga sama. Kami
sedang mengobrol di toko, jadi itu sebabnya aku pulang terlambat...”
“Kamu
tidak punya teman perempuan, ‘kan?
Kamu tidak perlu repot-repot berbohong seperti itu. ......”
“Aku sama
sekali tidak bohong!”
Ada
beberapa bagian yang kututupi,
namun sebagian besar tidak bohong. Memang benar aku
mengobrol dengan gembira bersama Kazemiya, dan aku bahkan mengantarnya pulang.
Tapi, ibuku sepertinya tidak
mempercayaiku. ...Kurasa itu waajr saja.
Faktanya, aku memang tidak mempunyai teman
perempuan sampai aku
membentuk aliansi dengan Kazemiya.
Saat aku
memutar otak tentang bagaimana membuatnya memercayaiku, Kazemiya menepuk bahuku
dengan jarinya.
“Apa kamu mau biar aku saja yang menjawabnya?”
“Eh?”
“Aku yakin
dia akan lebih mempercayaimu
jika aku yang meneleponnya.”
Jika dipikir-pikir lagi, itu memang benar,
tapi... percuma. Aku
tidak bisa memikirkan solusi lain.
“Maaf. Aku
minta tolong padamu.”
“Serahkan
saja padaku.”
Pada
akhirnya, yang bisa kulakukan hanyalah mengandalkan sekutuku dengan jujur.
“Halo.
Orang yang menelepon sudah diganti.
Izinkan aku memperkenalkan diri, namaku Kazemiya,
teman sekelasnya
Narumi-kun.”
“...Iya.
Aku minta maaf soal kemarin. Ia
begitu mengkhawatirkanku sehingga mengantarku
pulang. Dan juga, aku minta maaf karena meminjam putramu hari ini juga... Ya.
...Ya. Kalau begitu, aku permisi dulu.”
Setelah
kami membicarakan berbagai hal, Kazemiya
mengembalikan ponselku, dan aku kembali berbicara dengan ibuku.
“…Halo.”
“Kamu...sejak kapan kamu
mulai berteman dengan perempuan?”
“… Mungkin baru belakangan ini?”
“Begitu ya…
aku minta maaf. Aku selalu bersikap aneh dan
curiga. Ini tidak baik. Aku tahu aku harus melanjutkan
hidup dan tidak terikat dengan 'pria itu' lagi. ......”
“...Aku
sama sekali tidak peduli, jadi jangan khawatir. Selama
ibu bahagia, itu saja sudah cukup.”
“……Ya.
Terima kasih.”
Sepertinya
dia sudah tenang. Syukurlah kalau begitu.
Pertama-tama,
aku bertanggung jawab atas kekhawatiran dan pemikiran ibuku yang terlalu berlebihan seperti
ini.
Jadi aku tidak ingin dia terlalu khawatir
atau memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Terakhir, 'Sampaikan salamku kepada Kazemiya-san. Pastikan kamu mengantarnya pulang
ke rumah' katanya lalu menutup telepon.
“Apa aku terlalu ikut campur?”
“Sejujurnya,
itu sangat membantu. Makasih banyak.”
“Pada
saat-saat seperti inilah gunanya aliansi kita... Aku
tahu aku ikut campur juga. Maaf ya.”
“Memintamu
menelepon ibu, sebenarnya aku malah
merasa sangat terbantu.”
“Kalau
begitu, aku senang mendengarnya.”
Setelah itu, kami memesan parfait anggur setelah menghabiskan makan malam, lalu
setelah sedikit mengobrol, kami berdua kemudian
meninggalkan restoran.
“Oh
ya, aku sudah menonton film yang kamu rekomendasikan, loh.”
“Cepet banget.
Eh, kamu sudah menontonnya?”
“Orang
yang merekomendasikan malah bertanya balik.”
“Iya,
tapi kemarin sudah terlalu malam.”
“......
Aku hanya ingin mengalihkan suasana hati.”
Pada saat
itu, aku teringat dengan
ayahku dan merasa tidak nyaman.
“Begitu ya. Aku senang kalau itu bermanfaat. Jadi,
apa yang kamu tonton?”
“'Double
Cat'.”
Itu adalah salah
satu film yang direkomendasikan oleh Kazemiya.
Sebuah film animasi bertema detektif dengan dua kucing, kucing hitam dan putih,
yang berperan sebagai detektif dan memecahkan
kasus di kota tempat hewan-hewan tinggal. Karakter-karakter yang muncul dalam
film tersebut adalah hewan yang diubah menjadi manusia dengan gaya deforme yang
lucu dan menarik, menjadikannya sangat
populer di kalangan keluarga... begitulah garis besarnya yang aku baca di
internet. Rencananya ada film sekuel yang akan segera rilis dalam
waktu dekat.
“Bagaimana
menurutmu?”
“..................
Boleh aku berkata jujur?”
“..................
Silakan saja.”
Setelah
hening beberapa saat menanggapi anggukan Kazemiya,
aku mengutarakan pendapat jujurku.
“Itu
sangat menarik.”
“Nah, benar, ‘kan.”
Wajah Kazemiya yang sebelumnya begitu tegang, sedikit mengendur.
“Adegan
aksinya keren banget, dan alurnya seperti cerita klasik
yang penuh semangat seperti manga shounen.
Terutama saat Treff si kucing putih diserang oleh petinggi musuh setelah Try si
kucing hitam ditangkap oleh organisasi, kamu
ingat adegan di mana Treff membulatkan tekadnya dan
berusaha bangkit kembali? Menurutku
itu adegan yang terbaik.
Adegan yang paling kusuka.”
“Paham banget. Aku juga suka bagian itu.”
“Item
pembalikan yang dipegang di situ, benda itu
sudah ada petunjuknya di awal, bukan?”
“Iya.
Di kantor detektif, ‘kan?”
“Betul sekali. Aku
hampir berseru saat menyadarinya.
Padahal waktunya sudah malam hari.”
“Aku juga
sama hampir berteriak saat pertama kali melihatnya. Aku
menahan diri dengan menutup mulut dengan tangan... hehe.”
“Hmm?
Ada apa?”
“...Entah kenapa, rasanya menyenangkan
sekali.”
Raut wajah
Kazemiya yang tertawa sambil
mengatakan itu membuatnya terlihat sangat bersenang-senang. Bahkan di tengah-tengah dunia dimana matahari telah
terbenam dan dunia telah jatuh ke dalam kegelapan, dia tampak bersinar.
“Satu-satunya
alasanku menonton film adalah untuk
menghabiskan waktu di luar rumah. Sejujurnya, aku
bahkan tidak ingin membicarakan
kesanku dengan siapa pun. Sebenarnya, aku tidak pernah merekomendasikannya
kepada temanku.... tapi ketika aku benar-benar berbicara tentang
kesanku, itu cukup menyenangkan. Entah kenapa rassanya jadi agak lucu.”
“Jika
kamu baik-baik saja denganku, aku akan menjadi orang yang bisa diajak bicara
kapan saja.”
“Benarkah?”
“Aku juga ingin membicarakan tentang kesan-kesanku
setelah menonton film tersebut.”
Aku tidak
memiliki hobi tertentu sehingga aku tidak memiliki kegunaan khusus
untuk uang yang kuperoleh
dari pekerjaan paruh waktuku.
Makanya
aku sedikit iri dengan Kazemiya yang hobinya menonton
film.
“...Ah.
Ngomong-ngomong soal film...”
Aku
hampir melupakannya. Aku
mengeluarkan tiket yang sudah aku selipkan
di buku catatan ponselku.
“Aku
mendapat tiket pre-sale dari temanku.”
“Apa itu
film bola basket yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini?”
“Katanya sih
begitu. Jika kamu tidak keberatan, apa kamu mau pergi melihatnya bersamaku?”
“Eh?
Kamu yakin?”
“Aku
diberi dua tiket. Aku bisa saja menontonnya sendiri dua kali,
tapi aku juga bisa membaginya dengan
seseorang. Selain itu, sepertinya kamu menyukai film
semacam ini, Kazemiya.”
“Sepertinya
kamu paham aku betul, ya.”
“Entah
bagaimana, aku merasa begitu.
Jadi, gimana?”
“...Terima
kasih. Aku mau menontonnya.”
Setelah
membuat janji dengannya, aku menyerahkan tiket terlebih dahulu
dan memeriksa kalender di smartphone-ku.
“Jadi,
kapan kamu akan melihatnya?”
“Aku
akan menyesuaikan dengan jadwalnya denganmu,
Narumi. Lagipula aku tidak punya pekerjaan
paruh waktu.”
“...Maaf. Sejujurnya, itu membantu.”
Aku
tidak pernah menyangka dampak negatif dari bekerja paruh waktu akan muncul di
sini.
“Hmmm, lusa...bagaimana
kalau hari Kamis? Jam kerjaku tiba-tiba berubah, jadi aku bisa menggunakan waktu sepanjang hari sepulang sekolah.”
“Oke.
Aku akan menantikannya. Aku sudah lama
penasaran dengan film ini.”
“Aku malahan terkejut karena kamu belum menontonnya.”
“Ada film
lain yang ingin kulihat, jadi aku menontonnya terlebih
dahulu. Selain itu, bukannya film yang itu bagian dari serial? Kupikir
aku akan kembali dan mengulas film sebelumnya sebelum menontonnya.”
“Ah.
Kalau begitu, apa kamu lebih suka menontonnya
nanti.”
“Aku
kebetulan baru saja menontonnya, jadi tidak
apa-apa. Narumi sendiri bagaimana, kamu yakin
tidak masalah?”
“Yah...aku mungkin akan menontonnya hari ini atau
besok. Film ini juga ada di daftar
rekomendasimu, jadi aku berencana menontonnya dari awal.”
“Kamu
tidak perlu memaksakan diri untuk menontonnya,
tau? Karena kamu baru selesai
bekerja paruh waktu.”
“Aku
tidak memaksakan diri untuk menontonnya, kok. Aku
dan Kazemiya sepertinya memiliki minat yang sama. Jika itu
rekomendasimu, aku yakin kalau itu film yang bagus,
jadi aku sangat menantikannya.”
“...Jika
itu masalahnya...ya. Aku juga menantikannya. Kamu
juga harus merekomendasikan sesuatu, Narumi.”
“Maksudmu
tentang film?”
“Itu juga
boleh, tapi selain itu juga
tidak masalah. Apa kamu tidak punya hobi lain?”
“Ini
sebenarnya bukan hobi sih, tapi
kalau harus mengungkit sesuatu sih...
mungkin game?”
“Kalau
begitu beritahu aku game apa saja yang kamu rekomendasikan. Aku akan membelinya
juga.”
“Hmm biar
kuingat-ingat dulu. Akhir-akhir ini, game yang aku mainkan
adalah────”
Dalam
waktu singkat, kami tiba di dekat rumah
Kazemiya dan membubarkan diri untuk hari
itu.
Dalam
perjalanan pulang, aku
memikirkan apa yang terjadi ketika aku
sampai di rumah.
...Aku
mungkin mencoba mengalihkan perhatiannya dari kenyataan bahwa aku akan pulang
terlambat, tapi sekarang aku merasa ibuku akan menanyakan berbagai pertanyaan
tentang Kazemiya.
Ya tapi.
Daripada mudah muak dengan ketidaknyamanan... kurassa
masalah itu mungkin jauh lebih
baik.
☆☆☆
“Jadi,
hubungan seperti apa yang kamu miliki dengan
Kazemiya-san?”
“........”
Pagi
berikutnya bukanlah waktu untuk berkumpul bersama keluarga di meja makan seperti biasa, melainkan waktu interogasi yang takkan terelakkan
bagiku.
“Kazemiya-san? Apa yang sedang kamu bicarakan?”
“Sepertinya
Kouta punya pacar.”
“Oh,
pacar ya? Kouta-kun, rupanya kamu lumayan hebat juga ya.”
“Aku
juga terkejut. Dasar anak
ini, selama ini ia tidak pernah membicarakan hubungan romantisnya. Padahal
aku sangat ingin mewawancarai hubungan
percintaan anak SMA.”
Ibuku, mungkin karena profesinya sebagai penulisnya, selalu tertarik pada
hal-hal yang berpotensi menjadi bahan cerita menarik. Namun, sejak bercerai, bagian kepribadiannya yang seperti itu berangsur-angsur
semakin berkurang. Bahkan, dia mulai menahan diri
karena mengkhawatirkanku.
“Aku
sudah mengatakannya, ‘kan? Kami berdua cuma
teman biasa.”
“Hmm~. Cuma
teman biasa
ya... tapi suaranya kok terdengar cukup manis, ya.”
“Hanya
suara saja, ‘kan? Ibu
selalu punya imajinasi yang tinggi sekali.”
“Aku
‘kan seorang penulis.”
Sejujurnya,
bagi remaja laki-laki di masa
pubertas seperti diriku, rasanya agak
menjengkelkan, tapi suasananya
tidak begitu buruk.
Rasa bersalah
yang kurasakan dan
ketidaknyamanan yang kumiliki di rumah. Karena sudah
sering membuat ibu khawatir dan memberikan beban padanya, mungkin ada kalanya aku perlu melucu untuknya.
(...Kalau dipikir-pikir, ini mungkin baru pertama kalinya)
Mungkin itu
baru pertama kalinya sejak kami pindah ke rumah ini.
Momen di
mana aku bisa duduk di meja makan tanpa merasa bersalah. Benar-benar terasa seperti momen berkumpul dalam keluarga.
“Oh iya,
hari jumat nanti kammu tidak
ada jadwal kerja paruh waktu ‘kan,
Kouta-kun? Kalau kamu mau
pergi kencan, silakan saja. Kalau kamu butuh
uang, aku akan membantumu.”
“Aku
menghargai tawarannya, tapi
sayangnya aku hanya akan pulang langsung ke rumah.”
Selain
itu, Akihiro-san────aku bisa berbicara normal
dengan ayah baruku.
Sarapan
pagi yang biasanya kumakan dengan cepat, sekarang bisa kumakan dengan santai. Rasanya seakan-akan aku di bawah pengaruh rapalan
sihir.
(Kekuatan Kazemiya sungguh mengerikan)
Aku tidak
pernah menyangka bahwa hanya dengan satu telepon dari Kazemiya, suasana di rumah berubah menjadi begitu membaik.
......Yah, ini mungkin hanya sesuatu
yang bersifat sementara. Mana mungkin aku bisa
membicarakan tentang Kazemiya
selama 24 jam dan 365 hari. Namun, meskipun begitu.
Meskipun hanya untuk sementara, suasana di rumah telah membaik, jadi mungkin
lebih baik mengucapkan terima kasih kepada Kazemiya.
“Kotomi
juga sama, jika kamu punya
kesempatan untuk pergi bersama teman-temanmu,
kamu tidak perlu sungkan untuk
pergi. Sedikit mampir juga
tidak masalah...”
“Aku
baik-baik saja. Aku akan menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah ini.”
Kalau
dipikir-pikir, aku tidak
pernah melihat Tsujikawa pergi bersama teman-temannya.
Setidaknya
sejak aku pindah ke rumah ini, dia selalu
pergi keluar pada hari libur bersama ibu dan Akihiro-san, dan dia juga selalu
berbelanja keperluan pribadinya.
Berbeda
dengan diriku, Tsujikawa Kotomi selalu
bersama keluarganya.
“Meski demikian,
Kazemiya-senpai, ya... fufufu.”
“...Apaan sih, Tsujikawa?”
“Aku
tidak pernah menyangka kalau 'teman'-nya Nii-san sebenarnya
adalah Kazemiya-senpai.”
......
Kalau dipikir-pikir, di malam hari ketika aku membentuk aliansi dengan Kazemiya, apa aku membicarakan sesuatu
dengan Tsujikawa?
“Kotomi-chan,
kamu mengenal Kazemiya-san?”
“Dia
sangat terkenal, bahkan siswa kelas satu pun sudah membicarakan gosipnya.”
Rumor. Gosip. Orang terkenal. Ketika mendengar kata-kata tersebut, rasanya ada sensasi yang menggetarkan inti
tubuhku.
Perkataan
Tsujikawa sama sekali tidak
bohong. Kazemiya memang orang yang terkenal di sekolah. Salah satunya karena keberadaan
kakak perempuannya, 'Kuon'.
Dan satu hal lagi. Termasuk gosip buruk yang
mengelilingi Kazemiya.
Jika hal itu dibahas di sini, itu akan
menjadi masalah lagi. Mungkin itu akan
membuat ibu khawatir juga. Tapi, lebih dari itu... jika dia menyuruhku untuk menjauhi
Kazemiya atau menjaga jarak dengannya, itu
akan menjadi lebih rumit bagiku...
“Hee~,
gosip yang seperti apa?”
“Ada
gosip yang beredar kalau ada seorang
senpai yang sangat cantik dari kelass 2. Saat
pertama kali melihatnya, kupikir dia
adalah model atau idola, atau bahkan selebriti.”
“Wah~ benarkah? Jadi tipe gadis yang seperti itu benar-benar ada
di dunia ini, ya. Mungkin
suatu saat nanti aku ingin
melakukan wawancara dengannya.”
“Fufufu.
Mungkin suatu hari Nii-san
akan mengundangnya ke rumah ini.”
“Aku akan
sangat menghargainya jika itu terjadi pada hari libur. Karena aku punya pekerjaan pada hari kerja.”
Tanpa
menyentuh rumor yang beredar tentang Kazemiya
atau masalah kakak perempuannya,
waktu pun berlalu. Akihiro-san
pergi terlebih dahulu ke kantor, sementara aku berdiri di depan pintu kamar
Tsujikawa.
“......”
Setelah
beberapa saat, aku mengetuk pintu kamarnya.
“Tsujikawa,
ini aku.”
“Nii-san?”
Sepertinya
hal ini juga tak terduga baginya. Karena di
balik pintu yang terbuka, Tsujikawa terlihat terkejut.
“Ada apa?”
“Kamu pasti tahu persis tentang gosip-gosip yang beredar
tentang Kazemiya, kan?”
“......Yah, kurang lebih.”
——Gosip
yang tidak jelas kebenarannya
seperti berjalan-jalan keluar sampai larut
malam atau bergaul dengan orang-orang yang kurang baik.
Aku kembali
mengingat perkataan Natsuki. Jika kita menghilangkan faktor bahwa dia adalah
adalah adik perempuan dari
penyanyi ‘Kuon’, Kazemiya Kohaku adalah gadis yang mempunya posisi semacam
itu di sekolah.
Jadi, aku
selalu mengira bahwa berkaitan dengan orang semacam itu tidak akan baik.
“....Gimana ya.
Aku benar-benar berterima kasih atas segala hal.”
“Kalau
kamu mau berterima kasih padaku, apa itu berarti Kazemiya-senpai memang seburuk yang digosipkan?”
“Tidak, kamu salah.”
Baru
beberapa hari aku mulai berbicara dengan seorang gadis yang bernama Kazemiya Kohaku. Sampai
saat itu, aku
hanya mengenalnya sebagai pelanggan tetap di restoran keluarga yang sama.
Jika
ditanya apa aku
benar-benar mengenalnya dengan baik, aku
akan menjawab 'Tidak'. Jadi aku tidak bisa memastikan apakah
gosip itu benar atau hanya kebohongan semata.
Namun, meskipun begitu.
Ketika
Tsujikawa bertanya, aku dengan
tegas menggelengkan kepala dengan maksud
yang jelas.
“Jika
itu yang dipikirkan Nii-san,
kurasa itu baik-baik saja. Setidaknya,
karena itu yang kupikirkan,
jadi itulah sebabnya aku tidak
mengatakan apa-apa di situ. Ayah dan ibu juga terlihat senang. Selain itu...”
“Selain itu?”
“Kita
semua tertawa bersama di meja makan dan terlihat
seperti 'keluarga biasa'. Selama itu yang
terjadi, aku tidak
peduli dengan siapa Nii-san berteman.”
Sejenak, aku
bisa merasakan sedikit kedinginan
dalam kata-kata tersebut.
“...Dan yang lebih penting lagi, 'adik
perempuan yang merespons dengan hangat terhadap lingkungan pergaulan kakaknya'. Dengan
ini, aku bisa mendapatkan 20 poin tambahan sebagai adik perempuan.”
Dan
segera setelah itu, dia tersenyum seperti anak nakal tanpa memedulikan apa pun.