Penerjemah: Maomao
Prolog
Sebuah momen penting dalam
kehidupan. Hari ini akan menjadi hari seperti itu. Upacara masuk sekolah,
upacara kelulusan, upacara kedewasaan. Upacara sering kali berarti hal semacam
itu. Dan, pernikahan juga salah satunya.
☆☆☆
Di ruang tunggu gedung
pernikahan.
“Saya memohon kerjasama Ayah
dan Ibu mertua untuk hari ini.”
“Arata-kun, kamu sudah bekerja
keras untuk persiapan pernikahan, ya? Kami berharap hari ini akan berjalan
dengan baik.”
“Wah, dipanggil Ibu mertua itu
terdengar baik sekali! Arata-san, kami juga berharap kerjasama darimu.”
Mereka saling memberikan salam.
Setelah selesai bersiap-siap
sebagai pengantin pria, Ayah dan Ibu mertua datang mengunjungi tempatku, dan
setelah kami bertukar salam, Ibu mertua menempatkan tangannya di pipi dan
melanjutkan dengan ekspresi yang tampak cemas.
"Barusan aku melihat
keadaan Himeno, tampaknya dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
persiapannya. Kira-kira, apa dia bisa selesai tepat waktu tidak ya?"
Aku melirik jam yang tergantung
di dinding.
Himeno yang disebut oleh Ibu
mertua adalah putri dari kedua orang tua tersebut dan juga tunanganku, Fujisaki
Himeno-san.
Himeno-san, sebagai pengantin
wanita, telah datang ke tempat upacara lebih awal dariku untuk persiapan
pakaian dan riasan. Masih ada waktu sebelum upacara dimulai, namun kita harus
melakukan pemotretan keluarga dan gladi bersih, sehingga tidak banyak waktu
yang tersedia.
"Aku bertanya-tanya apa
yang terjadi dengan Himeno-san..."
Aku mungkin saja mengatakan, “Sebenarnya,
gaun sebelumnya lebih cantik daripada gaun ini.”
Aku bisa dengan mudah
membayangkan keadaan tersebut dan perutku terasa sedikit sakit.
Gaun pernikahan itu telah
dicoba beberapa kali dan akhirnya dipilih setelah banyak pertimbangan, namun
satu minggu sebelumnya dia berubah pikiran dan meminta untuk mendapatkan gaun
lain secara mendadak.
“Kemungkinan dia menjadi gugup
menjelang pernikahan. Aku bisa mengerti perasaannya yang ingin memperhatikan
setiap detail.”
Namun, pernikahan adalah momen
yang datang hanya sekali dalam seumur hidup. Pasti ada keinginan untuk membuat
momen penting itu menjadi yang terbaik.
Aku ingin sebisa mungkin
memenuhi keinginannya. Kupikir itulah tugas dari seorang pasangan.
“Arata-san sungguh orang yang
baik hati sekali, ya. Aku sangat senang memiliki anak laki-laki yang baik sepertimu.
Benar kan, Seiji-san?”
“Ya, itu benar. Kami sungguh
merasa beruntung karena memiliki Arata-kun sebagai menantu pertama kami, dan
kami benar-benar bersyukur untuk itu.”
“Saya ucapkan terima kasih.
Namun, itu adalah kata-kata yang terlalu berlebihan untuk saya. Saya akan
berusaha keras untuk menjadi seseorang yang layak sebagai bagian dari keluarga
Fujisaki."
“Kami yang meminta pertunangan
ini, jadi kamu sudah cukup layak. Rasanya begitu menyenangkan melihatmu begitu
bersemangat, tapi kamu tidak perlu terlalu keras pada dirimu sendiri. Meskipun
anak kami mungkin memiliki beberapa kekurangan, jika ada masalah, kami akan
mendukungmu, jadi jangan sungkan untuk meminta bantuan. Mulai hari ini, kita
adalah keluarga.”
Ayah dan Ibu mertua tersenyum
lembut.
Setelah upacara pernikahan ini selesai,
aku akan menjadi bagian dari keluarga Fujisaki dan akan mengambil nama keluarga
mereka. Namun, perubahan nama saja tidak membuat seseorang menjadi keluarga
hanya di atas kertas.
Aku ingin meluangkan waktu
untuk menjadi bagian dari keluarga mereka, sebagai balasan atas kepercayaan
yang mereka berikan kepadaku.
“Kalau begitu, kami akan pergi
dulu. Kita bertemu lagi nanti.”
☆☆☆
“Hey, hari ini ada eksekutif
dari Seiko Holdings yang akan datang,
tapi tidak ada masalah dengan urutan tempat duduk, ‘kan?”
“Iya, tidak ada masalah. Aku
sudah menanyakan tentang itu sebelumnya.”
“Jangan lupa, ada
ketidakharmonisan antara direktur eksekutif SG Industry dan direktur pelaksana
Tomizawa Heavy Industries karena ada masalah dalam transaksi sebelumnya. Kamu
sudah tahu bagaimana menempatkan kedua orang ini, ‘kan?”
“Iya, semuanya sudah diatur
dengan baik.”
Pria yang bernama Ichinose
Osamu itu adalah ayah kandungku. Menanggapi konfirmasi dari ayah, aku
memberikan jawaban yang sudah aku persiapkan. Dari sana, percakapan yang terasa
seperti komunikasi bisnis yang kering berlanjut.
Ayahku sepertinya merasa puas
dengan jawabanku, jadi ia menghembuskan nafas dari hidungnya dan mengatakan, “Dengan
ini akhirnya ada gunanya aku membesarkanmu. Jangan sampai membuatku malu."
dia memberikan peringatan dan pergi. Aku yang lelah berhadapan dengan ayah
hanya bisa menghela nafas.
“Kakak ipar.”
Suara kecil dari ketukan pintu
diikuti oleh suara yang indah seperti bel berdering.
Hanya ada satu orang yang
memanggilku 'Kakak ipar'.
“Silakan, kamu tinggal masuk
saja.”
“Permisi.”
Seorang gadis muda yang rambut
hitamnya indah masuk dengan gerak yang anggun.
Pada pandangan pertama, dia
tampak bersih dan sopan, namun di dalam rambut hitamnya terdapat aksen warna
merah, memberikan kesan tiga dimensi saat dia mengatur rambut hitamnya sehingga
warna merah terlihat di beberapa tempat.
“Kakak ipar, pakaian tuxedo itu
sangat cocok untukmu. Kamu terlihat keren.”
Dia adalah seorang gadis yang
sangat baik, berperilaku sopan dan penuh perhatian. Bahkan kepada seseorang
sepertiku, dia tidak lupa untuk memberikan ucapan sopan.
“Terima kasih. Nene-chan juga
sangat cocok dengan gaun itu.”
“Benarkah? Fufu, terima kasih.”
Gadis itu, yang menutup
mulutnya dengan tangan sambil menunjukkan senyuman anggun yang ia warisi dari
ibu mertuaku, adalah Fujisaki Nene. Dia adik dari Himeno-san, calon
pengantinku, dan seorang gadis kelas tiga SMA yang akan menjadi adik iparku.
Dia mengenakan gaun merah tua,
dan di lehernya terikat kalung ketat satin hitam yang membuat tampilannya
semakin menarik sekaligus menambahkan kesan elegan.
Mata yang diperindah dengan
lensa kontak merah dan tahi lalat kecil di dekat matanya yang membuat kesannya
semakin menonjol.
“Sejak hari dimana aku bertemu
dengan Kakak ipar di atas jembatan, aku sama sekali tidak membayangkan hari
seperti ini akan datang.”
“Aku juga tidak pernah
membayangkannya. Aku berpikir kalau hari ini merupakan berkat dari Nene-chan
juga.”
Keterlibatanku dengan
Himeno-san sebagai tunangan adalah karena pertemuanku dengan Nene-chan tiga
tahun yang lalu. Setelah itu, aku mendapat kesan baik dari orang tua pihak
wanita, dan mereka mengajukanku sebagai calon tunangan Himeno-san.
Aku tidak pernah menyangka
bahwa pertemuan itu akan berkembang sampai ke titik ini.
“Kakak ipar, selamat atas
pernikahannya. Semoga kamu bisa menjadi bahagia selamanya.”
Nene-chan memberikan selamat
dengan senyumnya, tapi aku merasakan ada raut wajah kesedihan di dalam ekspresinya.
Mungkin dia merasakan sesuatu
karena kakaknya, Himeno-san, akan menikah.
Setelah itu, Nene-chan memberi
hormat dan meninggalkan ruangan. Sementara itu, aku menunggu Himeno-san sambil
kembali memeriksa jalannya acara.
☆☆☆
“Sekarang sudah waktunya untuk pengantin
wanita masuk. Bagi para tamu hadirin dimohon untuk berdiri.”
Pastor maju depan, dan para
tamu pun berdiri. Aku, yang berdiri di altar, menoleh. Ketika pintu terbuka, Himeno-san
berjalan bersama ayahnya, Seiji-san, dalam balutan gaun pernikahannya yang
putih bersih.
Kami hampir kehabisan waktu,
tapi untungnya kami berhasil tepat waktu.
Mereka bedua berjalan perlahan
di lorong menuju altar, langkah demi langkah, seolah meresapi setiap detiknya.
Sambil memandangi mereka, aku
merenungkan segala yang telah terjadi.
Seiji-san adalah presiden dari
konglomerat bisnis di Jepang, Fujisaki Group. Fujisaki Group adalah perusahaan
yang mewarisi kepemimpinan secara turun-temurun kepada pria di keluarga. Namun,
mereka kesulitan karena tidak memiliki pewaris laki-laki. Itulah sebabnya aku
dipilih.
Ternyata ayahku dan beliau
saling mengenal, dan tiba-tiba segalanya berjalan dengan cepat.
Aku ingat itu adalah pertama
kalinya aku menerima pujian dari ayah. Sejak itu, dia mulai secara rutin memeriksa
apakah hubunganku dan calonku baik-baik saja.
Himeno-san dalam balutan gaun
pernikahannya terlihat sangat cantik, sungguh layak disebut sebagai pengantin
wanita. Aku merasa senang telah meluangkan waktu untuk memilih gaun pernikahan
tersebut.
Kemudian, acara upacara
berjalan lancar.
Dan, tepat sebelum pengantin
wanita menjawab “Saya berjanji―”
sebagai tanggapan atas pertanyaan sumpah dari pastor, tragedi terjadi.
“Tahan dulu pernikahan itu!”
Bersamaan dengan suara keras
yang tidak cocok dalam suasana hidmat pernikahan, pintu kayu terbuka dengan
kuat. Waktu yang tepat seolah-olah telah diatur dengan sengaja. Karena kejadian
mendadak itu, pandangan semua orang di tempat itu tertuju pada pemuda tersebut.
Apa-apaan ini? Apa ini semacam
hiburan buruk yang meniru penculikan pengantin yang sering terjadi di dalam fiksi?
Jika aku hanya duduk dan menyaksikan dari kursi tamu, mungkin aku bisa
menikmatinya sedikit. Tapi, aku sendiri justru berdiri di altar sebagai
pengantin pria.
Bahkan jika itu hanya sekedar
lelucon, tidak menyenangkan berada di sisi yang dikerjai. Secara sederhana,
rasanya sungguh tidak begitu nyaman.
Tampaknya ini bukan ulah dari
sedikit teman yang aku miliki. Aku tidak mengenal siapa pun yang akan melakukan
hal jahat seperti ini. Jadi, mungkin itu teman dari Himeno-san? Aku menoleh ke
arahnya dengan mataku.
Himeno-san menutupi mulutnya
dengan kedua tangan dan terlihat tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, “Minato-kun,
kenapa kamu bisa...” Suaranya yang kecil terdengar gemetar, dan matanya
berkaca-kaca.
―Jangan
bilang kalau ini bukan sekedar prank...
Sementara aku sampai pada
pemikiran itu, pemuda itu berlari menaiki karpet merah.
Seolah-olah dengan sengaja
menginjak-injak jalan yang baru saja dijalaninya dengan serius bersama ayahnya.
Entah karena menganggap ini hiburan atau karena terkejut, tidak ada yang
bergerak untuk menghentikannya.
“Apa yang kamu lakukan, pernikahan
sedang berlangsung, tahu?”
Aku melangkah maju dan berdiri
di depan pemuda itu.
Jika ini dalam cerita, aku
pasti akan terlihat seperti penjahat atau pria saingan.
Walau aku hanya melakukan apa
yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang bertunangan, entah mengapa
pikiran semacam itu melintas di kepalaku.
“Maaf, tapi aku punya urusan
dengan Himeno! Minggir!”
“Kalau kamu punya urusan dengan
Himeno-san, bisakah kamu menunggu sampai nanti?”
“Tidak, ini harus sekarang! Ini
pembicaraan yang hanya bisa dilakukan sekarang!”
Aku ingat sikapnya yang tidak
mau mendengarkan orang lain dan tidak mengerti situasi.
Dia adalah pemuda yang pernah
memotong makan malamku dengan Himeno-san dan mengatakan, “Kamu tidak pantas
untuk Himeno!”
Namanya, jika aku tidak salah,
adalah Umino Minato. Seorang teman dari masa kuliah Himeno-san, dan sepertinya
mereka masih sering keluar bersama.
Dia sudah merepotkanku waktu
itu, tapi ini kali ini adalah acara pernikahan. Apa sih yang orang ini
pikirkan?
“Minato-kun, kenapa kamu ada di
sini?”
Itu
adalah pertanyaan yang wajar, pikirku, ketika tiba-tiba aku
merasakan dorongan keras di pinggangku.
Tunggu, aku didorong oleh
Himeno-san? Aku?
“Kenapa katamu? Tentu saja aku
datang untuk menjemputmu, Himeno.”
“Tapi Minato-kun, bukannya kamu
seharusnya ada janji kencan dengan Mizuki-chan...”
“Oh, itu. Karena sepertinya aku
terlihat murung. Ketika aku bilang hari ini ada pernikahan Himeno. Mizuki marah
dan mengatakan, Apa yang kamu lakukan!
Cepatlah pergi menjemputnya!”
Minato menggaruk pipinya sambil
tersenyum malu-malu. Pria ini, ia meninggalkan janji kencannya dengan gadis lain
dan datang ke sini. Yang datang pun begitu, tapi yang mengizinkannya pergi juga
sama sama-sama punya otak yang agak sableng.
“Itu sangat menggambarkan
Mizuki-chan sekali...”
“Iya kan? Aku benar-benar
selalu ditolong oleh dia. Dan ketika aku berlari tanpa pikiran, hanya Himeno
yang terbayang di kepalaku. Aku menyadarinya, ini adalah cinta sejati.”
Cinta sejati? Apa yang pria ini
bicarakan?
“Minato-kun...”
Dengan kata-kata dingin seperti
itu, pasti Himeno-san akan merasa kesal————
Dia tidak kesal!? Malah
wajahnya memerah dan tampak bahagia!?
Apa-apaan ini, aku tidak bisa
memahami keadaan yang terjadi.
“――Aku menyukaimu, Himeno.
Tolong menikahlah denganku.”
Yang dikeluarkan pemuda itu
adalah cincin mainan.
“Itu adalah...”
“Aku akhirnya ingat. Ternyata kamu
adalah gadis yang dulu berjanji menikah denganku pada hari itu.”
“Cincin yang kuberikan pada
hari itu... Kamu masih menyimpannya, ya?”
“Tentu saja. Mana mungkin aku bisa
melupakannya.”
Bukannya ia baru saja bilang
kalau dirinya baru mengingatnya. Apa-apaan dengan pemandangan yang sedang
kulihat ini?
“Sudah cukup. Ini hari penting
bagiku dan dia, hari pernikahan kami.”
Karena sudah kehilangan
kesabaran, aku berbicara dengan tenang.
Namun, reaksi yang kuterima
datang dari arah yang tidak kuduga.
“Arata-san itu selalu tenang
ya? Bahkan saat pengantin wanita hampir direbut, dia tidak mengeras suaranya. Cintanya
tidak terasa.”
Kenapa justru aku yang
disalahkan?
“Apa maksudmu?”
“Kamu memang seperti yang dibilang
Himeno, kamu mirip seperti robot, rasanya sulit memahami apa yang kamu
pikirkan.”
Aku tidak bisa membiarkan
kata-kata itu berlalu begitu saja, suara tercekik keluar dari tenggorokanku.
Apa Himeno-san selalu
membicarakanku seperti itu”
“Arata-san, pada awalnya, aku
pikir kamu itu terlihat keren, tapi wajahmu tidak banyak berekspresi dan
ekspresi emosimu jarang keluar, ditambah lagi kamu tinggi dan terkesan
mengintimidasi, jadi rasanya agak menakutkan. Dibandingkan denganmu, Minato-kun
memiliki daya tarik yang menawan, ekspresi emosinya selalu terlihat, dan jujur
saja, dia lebih menyenangkan untuk dijadikan pasangan daripada seseorang
sepertimu.”
Aku sangat menyadari kalau aku
memiliki aura yang sulit didekati. Aku tinggi dan pandangan mataku terlihat
tajam. Aku memakai kacamata untuk sedikit meredakan kesan itu, tapi aku tidak
yakin apakah itu berhasil. Selama masa sekolah, tidak jarang aku mendengar
orang berbisik dari kejauhan tentangku. Sebaliknya, Umino memiliki wajah yang
ramah dengan mata lebar yang menarik.
Dirinya memiliki tinggi badan
yang ideal, dan sepertinya tidak menakutkan orang lain. Ia mungkin sering
ditanya arah oleh orang lain. Sedangkan aku, aku tidak pernah ditanya arah oleh
siapapun. Ada kalanya aku ditanya arah, lalu orang itu langsung kabur.
Namun, aku merasa sangat
direndahkan. Aku hanya tidak pandai mengekspresikan emosi, bukan berarti aku
tidak memiliki emosi. Aku mulai merasa sedih.
Sementara itu, orang yang
dipuji terlihat cukup bangga.
"Himeno, bagaimana? Apa
kamu bersedia menerima cincin ini?”
“―Iya, dengan senang hati.”
Setelah mendengar jawabannya,
Umino memasangkan cincin ke jari manis kiri Himeno-san. Sementara terpesona
menatap cincin tersebut, Himeno-san bergumam...
“Cantiknya...”
“Tapi kamu jauh terlihat lebih
cantik, Himeno.”
“Duhh Minato-kun! Sudahlah!”
Meninggalkanku yang terpaku
karena terkejut, dunia mereka berdua terus bergerak maju.
“Ayo, kita pergi.”
“Tunggu sebentar, Minato-kun.”
Saat Umino hendak menarik
tangannya dan pergi, Himeno-san berhenti dan berbalik ke arahku.
“Terakhir, Arata-san, aku akan
mengembalikan ini kepadamu.”
Benda yang dia serahkan
kepadaku adalah cincin pertunangan yang pernah kuberikan sebelumnya.
Ini adalah cincin penting yang
diwariskan dari ibuku, dan maksud dari pengembaliannya ini berarti dia
benar-benar serius. Apa kegembiraannya yang dia tunjukkan tadi adalah bohong?
Rasanya seakan-akan ada sesuatu
yang hancur di dalam diriku...
“Dengan ini, aku membatalkan
pertunangan kita.”
Seharusnya aku membantah, tapi
mulutku tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa.
Begitu ya, aku tidak dipilih
lagi. Aku memang orang yang tidak dibutuhkan.
“Ah! Itu dia, pria itu! Tangkap
dia!”
Beberapa petugas keamanan
muncul dari pintu yang terbuka. Baru pada saat itu, semua orang di ruangan itu
sadar ini bukan hanya hiburan dan suasana menjadi riuh.
“Ayo, kita lari dari sini!”
“Iya, selama bersamamu, aku
akan pergi ke mana saja!”
Umino menarik tangan Himeno-san
dan mulai berlari menuju keluar.
Pasti dalam kepala mereka
berdua terdengar musik yang ceria seperti akhir dari sebuah drama, bahkan saat
mereka mendorong petugas keamanan yang berusaha menghalangi, mereka terus
berlari.
Aku yang ditinggal sendirian di
altar hanya bisa diam sembari menatap punggung mereka yang menjauh.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya