Hanayome wo Ryakudatsu Jilid 1 Bab 1 Bahasa Indonesia

Bab 1

 

“Baiklah, kalau begitu, aku akan mandi dulu.”

Seorang gadis cantik berpakaian seragam mengucapkan kata-kata tersebut dengan tenang lalu menghilang ke dalam kamar mandi.

Tak lama kemudian, aku bisa mendengar suara kain bergeser terdengar dari ruang ganti.

Di dalam ruangan, tercium aroma manis khas seorang gadis muda.

Mungkin itulah sebabnya suasananya menjadi sangat tegang.

Untuk memahami bagaimana hal ini terjadi, mari kita sedikit mundur ke belakang.

 

◇◇◇◇

 

Pagi hari setelah calon pengantinku dibawa kabur.

Seolah-olah mencerminkan perasaanku, cuaca dengan awan tebal menutupi langit dan hujan lebat turun tanpa henti seakan-akan menyampaikan kesedihannya.

“Sungguh menyedihkan sekali.”

Aku berbaring di tempat tidur dan bergumam pada diriku sendiri.

Meskipun aku tidak ingin mengingatnya, kenangan tentang kejadian kemarin terus terngiang-ngiang di pikiranku.

Setelah kedua orang itu pergi dari tempat upacara pernikahan, semuanya menjadi kacau.

Pertama-tama, situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya membuat kehebohan di tempat pernikahan. Karena ketidakhadiran pengantin wanita, upacara pernikahan pun terpaksa dibatalkan.

[Kami meminta maaf atas keadaan yang tidak terduga ini meskipun telah mengundang Anda semua]

Setelah itu, aku menyampaikan permintaan maaf kepada para tamu satu per satu.

Reaksi mereka cukup beragam. Ada yang merasa kasihan padaku, ada yang memberi kata-kata penghiburan, dan ada yang marah karena datang dengan sia-sia.

Aku bahkan mendengar suara tawa yang menyindir bahwa mungkin juga ada kesalahan dari pihak yang direnggut.

Rasa putus asa karena dikhianati, kesedihan, dan berbagai emosi lainnya memenuhi hatiku.

Namun aku berhasil menekan perasaan itu ke dalam lubuk hatiku, menahan keinginan untuk muntah, dan terus-menerus bersikukuh menundukkan kepada untuk terus meminta maaf kepada para tamu undangan.

Setiap kali aku menundukkan kepala, mau tak mau aku jadi melihat wajahku yang terpantul di lantai marmer, itu sangat menyakitkan. Ekspresiku terlihat lelah dan mengerikan.

Selanjutnya, aku juga meminta maaf kepada staf yang telah membantu di tempat pernikahan. Aku harus meminta maaf kepada pihak penyelenggara pernikahan yang dengan sabar menghadapi keraguan Himeno-san di menit-menit terakhir, para koki yang sebisa mungkin menerima permintaan Himeno-san yang suka pilih-pilih. Selain itu, masih ada para pengiring pengantin, pembawa acara dan fotografer.

Aku menyadari sekali lagi bahwa ada banyak orang yang terlibat dalam mewujudkan acara hari ini.

Saat aku kembali ke ruang tunggu, ayahku masuk dengan marah-marah, “Apa yang sudah kamu lakukan sampai mempermalukan diri di depan banyak orang! Kamu benar-benar tidak berguna sampai akhir!” dia berteriak dan mengucapkan kata-kata pengucilan, “Kamu memang bukan bagian dari keluarga Ichinose.”

Dan kemudian ia tanpa ampun menyatakan, “Mulai hari ini, kamu dipecat,” lalu berjalan pergi sambil membanting pintu dengan keras sampai-sampai pintunya hampir rusak.

Ketika aku duduk dengan linglung dan tercengang, Ayah dan Ibu mertuaku dari keluarga Fujisaki datang untuk meminta maaf,

“Putri kami telah melakukan kesalahan yang sangat memalukan,” ucap mereka berdua sambil berlutut di atas tanah dengan menundukkan kepala mereka.

Mereka memberitahuku bahwa mereka akan membayar biaya pengganti yang telah dikeluarkan untuk pernikahan dan kompensasi atas penderitaan mental yang aku alami di depan umum.

Aku menolak uang mereka dan meminta mereka untuk berhenti meminta maaf karena mereka sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun.

“Kami tahu uang tidak akan mengubah segalanya. Ini hanya sedikit kompensasi untukmu, jadi tolong terimalah.”

Karena mereka sangat memohon padaku, akhirnya aku menerima uang tersebut agar situasi bisa diselesaikan.

Masih ada banyak hal yang harus ditangani setelah itu. Pembatalan acara pesta kedua, pembuangan hadiah-hadiah pernikahan yang sudah dipesan, pengembalian uang hadiah, dan sebagainya.

Aku menangani semuanya sendiri. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan itu karena aku ingin melarikan diri dari kenyataan.

Itu pasti pemandangan yang sangat konyol ketika aku meminta maaf sambil mengenakan tuksedo.

Saat aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan kembali ke rumah, waktunya sudah cukup larut malam.

Meskipun aku sangat kelelahan, tapi aku tidak bisa tidur dan akhirnya malah menyambut pagi seperti ini.

:Apa yang seharusnya kulakukan untuk menjalani hidup selanjutnya?”

Aku memejamkan mata dan memikirkannya dalam kegelapan.

[Aku minta maaf karena sudah merepotkanmu sampai saat ini. Mulai sekarang, kamu bebas melakukan sesuatu  yang kamu sukai, Arata. Jadi, carilah kebahagiaanmu, Arata...]

Tiba-tiba, kata-kata ibuku muncul di pikiranku.

“Melakukan sesuatu yang aku sukai... ya.”

Aku memiliki sejumlah uang yang cukup lumayan. Karena sibuk dengan pekerjaan dan tidak memiliki hobi, aku hanya menabung uangku tanpa menggunakannya.

Dengan investasi yang telah kubuat, aku bisa hidup tanpa harus bekerja keras hanya dari keuntungannya.

Meskipun dengan asumsi kalau aku harus menjalani hidup sederhana.

“Kurasa menjalani hidup dengan tenang dan sendirian juga tidak buruk.”

Menemukan hal-hal yang disukai dan hobi untuk menjalani hidup dengan santai juga tidak buruk, aku mungkin bisa melakukan hal-hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya dan merasakan kembali yang namanya masa muda.

Meskipun masih kabur dan samar-samar, aku merasa bahwa arah hidupku mulai terbentuk, pada saat itu….

 

Ding-dongg...

 

Suara bel interkom terdengar di dalam rumah.

“Siapa yang datang pagi-pagi begini?”

Aku bangun dari tempat tidur, melihat monitor pintu, dan di sana terpampang seorang gadis cantik berambut panjang berwarna hitam dengan mengenakan seragam sekolah.

Aksen dalam warna merah dari innerwear-nya bersinar di antara rambut hitam panjangnya, telinganya yang biasanya kosong kini dipenuhi dengan banyak anting-anting perak, dan di lehernya terdapat kalung ketat kulit hitam.

“Selamat pagi, Kakak ipar.”

Suara jernihnya bisa terdengar dengan jelas melalui speaker.

Hanya ada satu orang yang memanggilku dengan panggilan kakak ipar.

“Selamat pagi, Nene-chan. Ada apa pagi-pagi begini?”

“Umm, jadi begini. Ibu memintaku untuk membawa makan siang untuk kakak ipar, jadi aku membawakannya sebelum pergi ke sekolah.”

Apa? Ibu mertuaku?

Orang itu sangat lembut dan baik hati, jadi aku penasaran apa dia mengkhawatirkanku dan sengaja membuatkanku kotak makan siang. Aku minta maaf karena membuatnya bertindak seolah-olah dia berutang sesuatu padaku.

Namun, aku sudah menjadi orang asing bagi keluarga Fujisaki, jadi lebih baik menghindari keterlibatan lebih lanjut. Aku sudah menerima permintaan maaf dari mereka berdua. Jadi lebih baik kalau aku tidak menerima apapun lagi.

Oleh karena itu, aku harus menolaknya.

“Maaf, aku sangat bersyukur, tapi—”

“Nee, boleh aku menumpang mandi?”

“Menumpang mandi?”

“Yeah, aku kehujanan ketika membawa bekal kesini. Tolong ya.”

Ketika aku melihatnya melalui monitor pintu, aku bisa melihat kemeja seragam menempel pada tubuhnya.

“Tapi, tidak, itu...”

“Nene mungkin akan masuk angin kalau terus begini.”

Saat aku masih merasa ragu-ragu, aku mendengar suara bersin yang imut.

Di tengah hujan lebat ini, dia datang membawa bekal ke rumah om-om tua atas permintaan ibunya, meskipun sebenarnya dia mungkin tidak ingin datang.

Aku tidak tega jika Nene-chan sakit karena hal tersebut.

Meskipun dengan enggan, aku memutuskan untuk membiarkannya masuk.

Selain untuk menghormati kebaikan yang telah dia tunjukkan dengan repot-repot datang kemari hanya untuk membawa bekal di tengah hujan begini, aku juga tidak ingin mengabaikan kebaikan ibu mertuaku dan berusaha membantunya untuk tidak kena masuk angin karena basah kuyup.

“Permisi, aku masuk ya. Kakak ipar, lihat deh, aku jadi basah banget."

Saat Nene-chan masuk ke dalam rumah, dia merentangkan kedua tangannya seakan-akan menunjukkan dirinya yang basah.

Aku secara refleks memalingkan pandanganku ketika menyadari bahwa bra hitamnya sedikit terlihat melalui kemeja seragam yang melekat pada tubuhnya yang membentuk lekuk tubuhnya.

“Ak-Aku tau. Cepatlah mandi sana dan pergi ke sekolah.”

Apa dia tidak merasa malu jika dilihat dalam keadaan seperti itu?

Tidak, dari sudut pandang seorang gadis yang berusia 18 tahun, seorang pria berusia 27 tahun seperti diriku mungkin tidak dianggap sebagai pria.

“Lihat, bahkan kaus kakiku juga basah kuyup.”

Sebelum aku menyadarinya, dia sudah melepas kaus kakinya, dan kakinya yang indah, ramping, dan putih mencuat dari balik rok pendeknya.

“Mengapa kamu melepas kaus kaki?”

“Karena mana mungkin aku bisa masuk ke dalam rumah dengan kaki basah, ‘kan?”

Itu memang benar. Dia tidak melakukan hal yang salah.

Nene-chan duduk di ambang pintu masuk, mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, dan mengelap kakinya sampai kering sebelum masuk ke dalam rumah.

“Kamar mandinya ada di sebelah sana. Handuknya juga ada di sana, jadi kamu bisa menggunakannya sesuka hatimu. Aku akan meminjamkan ini sebagai baju ganti sementara sampai pakaian seragammu kering.”

Aku sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Nene-chan sebelum dia datang dari pintu masuk.

Aku harus menghindari situasi di mana aku bertemu dengan Nene-chan yang telanjang di ruang ganti, jadi aku pergi ke sana untuk memberikannya pakaian ganti.

Nene-chan menatap kaos yang kusodorkan dan membeku.

“Aku yakin kamu mungkin merasa tidak nyaman karena itu pakaian santai milikku, tapi tolong bersabar sebentar sampai seragammu kering.”

"I-Iya... Aku akan bersabar. Terima kasih."

Dia menganggukkan kepalanya sambil menerima pakaian itu dengan hati-hati.

Aku tidak suka jika gadis seusiaku memakai pakaian yang dikenakan pria yang lebih tua.

Aku yakin kalau gadis remaja seperti dirinya pasti tidak suka mengenakan kaos yang biasa dikenakan om-om.

Tapi, mau bagaimana lagi, tapi mendapat reaksi seperti itu agak mengejutkan.

“Oh iya, ini bekal makan siangnya.”

Seolah tiba-tiba tersadar, Nene-chan mengeluarkan kotak bento dua tingkat dengan karakter lucu tercetak di atasnya dari tas sekolahnya.

Bukannya selera ibu mertuaku agak terlalu muda?

Yah, penampilan orang itu terlihat seperti orang yang berusia dua puluh tahunan. Tapi, tak kusangka kalau seleranya pun masih muda.

“Terima kasih.”

“Baiklah, aku akan mandi sebentar.”

Dan begitulah yang terjadi sampai saat ini.

Aku yang ditinggal sendirian, meletakkan bekal yang aku terima di atas meja, dan duduk di kursi sambil menyilangkan tanganku.

Aku sangat berterima kasih untuk bekal makan siang hari ini, tapi aku harus memberitahu Nene-chan bahwa bekal seperti ini tidak cocok untuk Ibu mertua. Ya, mendingan begitu.

Selain itu, aku harus mengembalikan kotak bekal ini.

Aku bisa saja mencucinya dan mengembalikannya besok, tapi lebih baik menghindari hubungan yang berlanjut terlalu lama.

“Kalau gitu, kurasa aku harus memakannya sekarang, ya?”

Aku belum makan apapun sejak kemarin dan kebetulan aku sedang lapar.

“Baiklah, mari makan.”

Ketika membuka kotak bekal, isian di tingkat pertama terdapat nikujaga (kentang dan daging), shiozuke (cumi asin), dashimaki tamago (telur dadar dengan daun bawang), dan lainnya. Di tingkat kedua, nasi dengan taburan shiso merah dan semuanya adalah makanan kesukaanku.

Aku langsung membawa nikujaga, hidangan favoritku, ke dalam mulutku.

“...Rasanya lezat.”

Saat aku menyantap bekal yang pernah dibuat Himeno-san untuk kencan pertama kami dulu, rasanya begitu sangat lezat, tapi rasa kali ini jauh lebih membuatku terkesan.

Begitu rupanya, jadi rasa ini adalah warisan dari ibu mertua, ya?

Setiap hidangan yang kumakan begitu lezat dan halus, sehingga aku sampai tahu kalau hidangan ini disiapkan dengan begitu hati-hati. Aku tidak bisa berhenti makan karena rasanya yang lezat dan menghangatkan hatiku.

Ketika aku hampir menghabiskan bekal makan siangku...

“Kakak ipar, terima kasih sudah diperbolehkan untuk numpang mandi. Eh, ada apa?”

Segera setelah Nene-chan selesai mandi dan berganti pakaian menjadi pakaian santai, dia keluar dengan suara yang cukup keras, yang biasanya tidak dia lakukan.

“Meski kamu bertanya ada apa, aku hanya habis selesai memakan bento saja, kok?”

“Aku bisa mengetahuinya hanya dengan melihatnya. Yang ingin aku tanyakan adalah mengapa kamu menangis?”

“Eh?”

Baru setelah dia menyebutkan itu, aku menyadari kalau aku sedang menangis.

“Maaf ya. Apa rasanya tidak enak? Apa ada sesuatu yang aneh di dalamnya?”

“Tidak, bukan itu. Malah rasanya terlalu enak...”

Sambil mengusap pipi sendiri, aku melanjutkan.

“Mungkin karena sudah lama sejak terakhir kali aku menyantap makanan yang membuatku merasakan kehangatan dari orang lain.”

Aku tersenyum sambil meminta maaf, “Aku minta maaf karena sudah menunjukkan sesuatu yang aneh,”.

Meskipun aku mencoba untuk meringankan suasana menjadi lebih ceria, Nene-chan hanya menatapku.

“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk tersenyum,” katanya dengan ekspresi wajah yang sangat kesakitan.

Ah, aku merasa sangat menyedihkan sampai membuat seseorang yang lebih muda dariku mengkhawatirkanku.

“Benar juga. Ayo keringkan seragammu menggunakan pengering di kamar mandi. Atau masukkan ke dalam kantong plastik dan gunakan pengering rambut. Kita harus segera mengeringkannya atau kamu akan terlambat ke sekolah.”

Saat aku berdiri dan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan agar terlihat santai, tiba-tiba pandanganku menjadi kabur. Segera setelah itu, tubuhku serasa mengalami goncangan yang kuat.

“Eh, Kakak ipar! Kakak ipar!”

Aku bisa merasakan Nene-chan berlari mendekatiku dengan panik.

Suara dan langkah kakinya yang terburu-buru merupakan hal terakhir kali yang kudengar sebelum kesadaranku mulai memudar.

 

◇◇◇◇

 

“Arata benar-benar anak yang baik, ya.”

“Benarkah, bu?”

“Iya, benar.”

Kepalaku dielus dengan begitu lembut. Tangannya itu terasa hangat dan sangat nyaman.

Aku merasa bahagia seperti melayang-layang dengan perasaan bahagia yang lembut.

“Bukannya aku anak yang tidak diinginkan?”

Untuk sejenak, ekspresi rumit muncul di wajah ibuku, tapi ekspresi tersebut segera menghilang, dan digantikan dengan senyum penuh kasih saat dia memelukku.

“Kamu bukan anak yang tidak diinginkan. Kamu adalah putra yang kubanggakan, Arata.”

“Aku senang! Aku akan menjadi anak yang lebih baik lagi!”

Ini adalah kenangan indah dari masa kecilku.

Tapi, ibuku sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Aku harus bangun dari mimpi ini.

— Arata-san, cup, cup. Kamu sungguh anak yang baik.

“Uhm .....hmm?”

Aku perlahan-lahan membuka mataku.

Meskipun penglihatanku masih kabur, sepertinya aku sudah bangun dari mimpi.

“……!”

Ada suara keras yang bergema.

“Apa! Apa yang sebenarnya terjadi!”

Aku bangun dengan cepat dan melihat sekeliling.

Saat pandanganku berangsur-angsur menjadi lebih jelas, aku melihat Nene-chan yang mengenakan pakaianku, memegangi kepalanya di bawah meja tinggi.

“Aduduh......”

Mengapa Nene-chan di sini?

Mengapa dia mengenakan pakaianku?

“...Apa aku masih bermimpi?”

Aku mendekatkan wajahku untuk memastikan.

Mata merah besar yang indah, bibir tipis yang anggun. Bahkan jika dilihat dari dekat, kulitnya tampak seperti batu giok tanpa ada kekasaran sedikit pun.

Ketika aku menyentuh pipinya, rasanya sedikit dingin. Ketika aku mencoba menyoleknya, rasanya terasa lembut dan lentur. Ini adalah mimpi yang sangat realistis.

“Selamat pagi, Kakak ipar.”

“Yeah, selamat pagi.”

Hmm, sepertinya aku baru saja mendengar hal yang sama baru-baru ini. Jadi aku berusaha mencoba untuk mengingatnya.

Ehmmm, kemarin calon pengantinku dibawa kabur, sehingga aku mengalami banyak masalah sampai-sampai aku tidak bisa tidur semalaman, lalu tiba-tiba Nene-chan datang ke rumahku pagi-pagi, dan kemudian---

“Kakak ipar?”

Saat aku memikirkan hal itu, aku menyadari bahwa suhu tangan yang kusentuh terasa lebih hangat. Ah. Apa ini bukan mimpi tapi kenyataan?

“Maaf!”

Setelah menyadari apa yang sedang kulakukan, aku buru-buru melepaskan tanganku, berdiri, dan menjauhkan diri dari Nene-chan.

“Tidak apa-apa, tenang saja, oke? Aku tahu kamu masih agak linglung.”

“Tidak, aku benar-benar melakukan hal yang buruk. Aku benar-benar minta maaf.”

Apa yang sebenarnya sudah kulakukan?

Meskipun aku merasa senang karena Nene-chan sudah memaafkanku, jika seorang lelaki tua menyentuh seorang siswi SMA, hal itu bisa dianggap sebagai tindakan kriminal jika salah langkah.

“Yang lebih penting lagi, Kakak ipar, apa kamu mengingat apa yang terjadi tadi?”

Nene-chan melihat wajahku dengan khawatir.

“Apa yang terjadi tadi?"

Mungkin dia bicara tentang sebelum aku terbangun.

“Aku ingat saat selesai makan bento dan hendak berdiri untuk mengeringkan seragam. Itu saja yang kuingat.”

“He-Hemm, jadi kamu masih ingat sampai situ ya.”

Nene-chan terlihat lega.

Dia pasti khawatir tentang kebingungan dalam ingatanku, dia benar-benar anak yang baik.

Aku melihat sekeliling sekali  lagi untuk memastikan situasi dan menemukan ada selimut di kakiku.

Nene-chan menyadari tatapanku dan memberikan penjelasan.

“Karena badan Kakak ipar besar, aku tidak bisa mengangkatmu sendiri, jadi ali membawanya dari kamar tidur. Maaf ya.”

“Jangan khawatir. Aku sangat berterima kasih atas perhatianmu.”

Itu artinya—

“Apa aku tertidur?”

“Yeah, begitulah yang terjadi. Aku sangat kaget saat kamu tiba-tiba jatuh pingsan.”

Meskipun aku lega ketika mendengar napas tidurmu, imbuh Nene-chan sambil tersenyum lembut seperti seorang ibu.

Meskipun aku hampir terpesona oleh ekspresi dewasa itu, sekarang bukan waktunya untuk melakukan itu.

“Sekarang jam berapa!”

Jika leherku tidak sakit meskipun tidak ada bantal, itu berarti aku tidak tidur terlalu lama.

“Uhmm, sekarang pukul dua belas siang.”

"Ya, karena biasanya sakit leher setelah tidur lama di lantai.".

Aku pernah mengalami leherku sakit karena tidur di lantai dalam waktu lama ketika aku begadang semalaman di tempat kerja, jadi sebenarnya aku sudah memperkirakan sensasi yang akan kurasakan, tapi ternyata tidak.

Tepat sebelum aku bangun, samar-samar aku merasa seperti sedang berbaring di atas sesuatu yang empuk, namun sepertinya itu hanyalah kesalahpahaman.

“Hmmm, bagaimana dengan sekolahmu...?”

“Mana mungkin aku akan membiarkan Kakak iparku sendirian.”

Dengan wajah yang tampak ingin mengatakan “Kamu in bicara apa sih?”, Nene-chan berkata seolah-olah itu hal yang wajar.

“Yeah, memang benar... aku sungu minta maaf. Semua ini karena salahku.”

“Tidak apa-apa, kok. Karena Nene adalah gadis yang nakal. Jadi tidak ada yang akan mengatakan apapun meskipun aku membolos sekolah.”

Itu terdengar agak aneh, sepertinya itu bukan cara yang tepat untuk menenangkan situasi.

Namun, ada satu hal yang menggangguku dengan ucapannya tadi.

“Tidak, Nene-chan bukanlah gadis nakal. Kamu sudah membantu ibu mertua dengan repot-repot sampai datang ke sini, dan merawatku sampai aku bangun. Nene-chan adalah anak yang baik, kok.”

“Hmm...”

Nene-chan menutup mulutnya erat dan menatap ke arahku.

Dia mengernyitkan kening dan terlihat cemberut, apa jangan-jangan aku membuatnya marah??

Kurasa itu kurang baik memujinya dengan pujian anak baik kepada seorang gadis SMA? Mungkin dia merasa diperlakukan seperti anak kecil.

“Aku minta maaf jika aku tiba-tiba mengatakan hal aneh.”

“Eh, kenapa kakak ipar harus minta maaf segala?”

“Kupikir aku sudah membuatmu marah karena memujimu dengan sebutan anak baik dan memperlakukanmu seperti anak kecil….”

“Duhhh, jangan terlalu dipikirkan. Selain itu, Kakak ipar terus minta maaf sejak tadi.”

Nene-chan menutup mulutnya dengan tangannya dan tertawa gembira.

Meski aku penasaran apa ada sesuatu yang lucu dari perkataanku, tapi aku tidak bisa menemukan apa yang salah. Gadis remaja memang sulit dimengerti.

Setelah tertawa sebentar, Nene-chan kembali serius dan duduk di kursi di sebelah meja. Dia mengetuk-ngetukkan meja dengan tangan, seolah mengisyaratkan agar aku ikutan duduk.

Eh, bukannya aku yang diperlakukan seperti anak kecil? Mungkin itu hanya perasaanku...

Saat aku sedang berpikir begitu, Nene-chan mulai bicara.

“Jangan bilang kalau kamu belum tidur sejak kejadian itu?”

“Eh. Yah...”

“Kurasa itu wajar setelah ada kejadian seperti itu....Aku benar-benar minta maaf.”

“Tolong angkat kepalamu, Nene-chan. Karena itu bukan kesalahanmu.”

“Tidak, jika ada anggota keluarga yang melakukan kesalahan, wajar jika keluarga yang lain meminta maaf.”

Apa iya begitu? Sayangnya, aku jauh dari konsep keluarga jadi aku tidak begitu mengerti perasaan itu.

Di rumah itu, segala sesuatu yang kulakukan adalah tanggung jawabku sendiri.

“Tapi, aku heran kenapa tiba-tiba kamu tertidur?”

Kemungkinan besar, dengan sedikit kata pengantar, aku mulai bicara.

“Aku harus bekerja lembur berulang kali, dan di sela-sela kesibukanku, aku harus mempersiapkan upacara pernikahan. Pada saat hari acara... peristiwa semacam itu terjadi, aku merasa tegang tanpa henti dan kelelahan seketika itu membuatku tertidur.”

Nene-chan mendengarkan tanpa berkata apa-apa. Sesekali dia mengangguk, dan itu cukup melegakan.

“Jadi setelah aku makan bekal makanan itu, rasanya begitu enak dan menghangatkan hati, jadi ketegangan dan kelelahan yang kurasakan sebelumnya langsung menghilang, itulah yang membuatku tertidur seketika.”

“Jadi begitu ya. Bento itu benar-benar..."

“Rasanya penuh dengan kebaikan pembuatnya, pengerjaan yang teliti seperti itu sungguh luar biasa, dan tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa itu adalah makanan terenak yang pernah aku makan. Itulah sebabnya.”

Terima kasih.

“Tolong sampaikan kepada ibu mertua kalau aku merasa sangat bersyukur.”

“He-Hemm, baiklah. Aku akan menyampaikannya.”

Astaga, apa aku terlalu banyak bicara?

Nene-chan yang tadi mendengarkan dengan serius, kini memalingkan wajahnya dariku.

Meskipun aku penasaran dengan keadaan Nene-chan, tapi sekarang bukan saatnya untuk terus berbicara.

“Nene-chan, kurasa sudah waktunya bagimu untuk pergi ke sekolah. Aku yakin kamu masih bisa sampai sebelum jam lima kok.”

“Eh, hari ini tidak apa-apa. Aku masih mengkhawatirkan Kakak ipar.”

“Aku akan baik-baik saja.”

Aku tersenyum pada Nene-chan, berusaha untuk membuatnya tidak terlalu khawatir.

“...Baiklah, aku mengerti.”

Nene-chan berdiri dan menuju ke kamar mandi, tidak lama kemudian dia keluar dengan mengenakan seragam sekolah.

Dia kemudian mengambil kotak bekal di meja, dan setelah mengenakan sepatu pantofel di pintu depan, dia berbalik dengan santai. Rok dan rambutnya bergoyang lembut.

“Mungkin kamu tidak senang mendengar ini dari Nene. Tetap semangat ya.”

Nene-chan mengangguk dengan lembut sambil mengatakan “ya” pada akhir kalimatnya. Gerakan anggunnya itu sangat cocok untuknya.

“Tidak, aku senang mendengarnya. Terima kasih."

“Syukurlah. Kalau gitu, sampai jumpa besok ya.”

“Ya, sampai besok.”

Aku melihat punggung rampingnya pergi dengan perasaan lega.

Hmm, sampai jumpa besok? Apa aku tidak salah dengar?

Karena dia mengucapkannya begitu alami, jadi aku juga keceplosan menjawab seperti biasa.

Yah, tadi itu hanyalah salam sapaan biasa. Kemungkinan besar tidak ada makna khusus di baliknya.

Ketika aku kembali ke dalam ruangan dan melihat keluar jendela, hujan telah reda dan cahaya mentari bersinar melalui celah awan yang tebal.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama