Epilog — Asamura Yuuta
Aku
berdiri sambil menatap keluar jendela dari kereta yang bergoyang dengan barang-barang bawaan di dalam koper diletakkan di
dekat kakiku.
Cuaca hari ini sangat cerah tanpa awan.
Pada hari
terakhir pembelajaran intensif,
jam pelajaran hanya dilaksanakan pada pagi hari, dan setelah
selesai upacara penutupan, para peserta
langsung pulang dari lokasi. Aku kemudian
kembali ke Shibuya dengan kereta langsung dari sana.
Itu adalah
kursus pembelajaran intensif yang bagus...
Aku
merasakan kepuasan yang mendalam di
dalam hatiku.
Sejak
malam itu - malam ketika aku tertidur
sambil mendengarkan musik yang direkomendasikan
Ayase-san, rasanya seolah-olah beban yang ada di pundakku tiba-tiba terlepas semuanya.
Aku
bisa berkonsentrasi sepenuhnya selama bagian kedua dari kursus.
Percakapan
tentang rasa percaya diri yang dijelaskan oleh Fujinami-san benar-benar membuatku
tersadar.
Dikombinasikan dengan
penilaian diri yang rendah, aku
telah kehilangan kepercayaan diri. Dan demi tidak kehilangan kasih sayang dari Ayase-san, aku
bersikeras dan berusaha mati-matian untuk
mendapatkan nilai bagus.
Meskipun aku tidak pernah diminta oleh Ayase-san untuk melakukan itu.
Seolah-olah
untuk membenarkannya, kata pertama dalam pesan yang dia kirimkan kepadaku
adalah ucapan perhatian terhadap kesehatanku.
Namun aku terus memaksakan diri tanpa
memperhatikan kondisi tubuhnya sendiri. Sungguh memalukan.
Lebih
dari segalanya...
“Hidup
untuk dirimu sendiri, ya...”
Bahkan
Fujinami-san yang bersikeras mengatakan demikian, dia sendiri mencoba memilih universitas demi membalas budi orang tua angkatnya dan oran-oran yang
berada dalam situasi yang sama dengannya.
Hanya
saja, dia tidak menggunakan alasan untuk orang lain saat memilih jalannya.
Mengapa dan untuk apa kita belajar?
Aku
juga memutuskan untuk berhenti
menggunakan orang lain sebagai alasan.
Kemudian (dan
aku bahkan tidak ingin memikirkannya), jika aku kehilangan Ayase-san, itu
berarti aku akan berhenti belajar untuk ujian masuk. Mau dipikirkan bagaimanapun juga, itu
pasti tidak masuk akal.
Hal baik
dan buruk pasti terjadi dalam hidup.
Dan
kehidupan akan terus berlanjut setelah segala sesuatu berakhir.
Meskipun
suatu hari nanti aku akan menua, jatuh, dan hancur, lebih baik untuk memikirkan
bahwa hidupku sejauh ini pertama-tama adalah untuk diriku sendiri. Jika aku
kehilangan pandangan ini dan mulai mengatakan
kalau itu demi orang lain, aku akan mulai menggunakan kegagalan
pribadiku sebagai alasan dan menyalahkan orang lain.
Aku ahirnya menyadari hal tersebut.
Itulah
yang dilakukan oleh ibu kandungku dulu.
Dia
menganggap kegagalan ujianku sebagai kecacatan
dirinya sendiri. Padahal akulah
yang mengikuti ujian itu, dan kegagalan itu milikku.
Pada
malam itu. Ketika aku bangun dari tidur yang
nyenyak, aku merasa begitu segar
seolah-olah sesuatua
yang menghantuiku telah terangkat dari diriku.
Keesokan
harinya, aku bisa berkonsentrasi
pada suara pengajar dan tidak lagi terganggu oleh perilaku teman-teman sekelas
saat ujian simulasi.
Malam itu, ketika Ayase-san mengajakku ke festival kembang
api, aku langsung menjawab, 'Aku ingin pergi.'
Seandainya
aku masih terus menggunakan alasan 'untuk Ayase-san'
tanpa menyadari keanehan dalam perilaku diriku, mungkin aku malah menolak
ajakannya.
Festival
kembang apinya akan berlangsung
malam ini. Aku harus segera bersiap-siap begitu tiba di rumah. Meskipun tak ada
waktu istirahat, aku merasakan
semangat dan kegembiraan yang
berbeda dari kelelahan saat matahari senja menyinari melalui jendela kereta.
Aku ingin
menciptakan kenangan musim panas berduaan bersama
Ayase-san untuk diriku sendiri.
◇◇◇◇
Festival
Kembang Api Komae Tamagawa.
Acara yang diadakan setiap tahun pada awal
Agustus ini memiliki area penonton dari sisi Komae dan Kawasaki. Aku dan Ayase-san memilih untuk pergi ke
sisi Komae.
Dari Shibuya, jika naik kereta dari Stasiun Shinjuku dan berganti ke Jalur Odakyu, kami bisa sampai di Komae dalam waktu sekitar 40 menit.
Ketika
aku kembali ke rumah, Ayase-san
sudah menungguku dalam balutan yukata.
Begitu ya,
jika bicara tentang festival musim panas pasti menggunakan yukata—aku sedikit terlambat
menyadari hal itu. Meskipun sebenarnya aku punya yukata, tapi karena aku tipe orang yang suka malas, aku hampir tidak pernah
mengenakannya. Saat aku berpikir di mana aku menyimpannya, Ayase-san sudah menyiapkannya untukku setelah mendengarnya dari Ayah.
Aku kemudian buru-buru berganti pakaian.
Meskipun
sudah seminggu sejak terakhir kali aku
bertemu dengan Ayase-san,
aku tidak punya waktu untuk merasa terharu dengan
perjumpaan kami. Aku begitu sibuk sehingga bahkan tidak punya waktu untuk
melihat motif yukata-nya.
Ketika
kami tiba di tepi Tamagawa, tempat itu sudah dipadati oleh banyak orang dan kami harus
mencari tempat untuk melihat kembang api sambil berjalan di sepanjang sungai.
Kemungkinan tempat yang bagus sudah diambil orang lain, tapi jika kembang api
ditembakkan ke langit penuh, kembang apinya pasti
akan terlihat dari mana saja.
Sambil
mendengarkan suara getaran dari kincir angin yang berputar, kami berdua berjalan mengelilingi sepanjang area festival.
Kami
berkeliling ke gerai makanan sambil menunggu waktu kembang api dimulai.
Setelah pukul 6 sore, matahari mulai tenggelam
dan suasana perlahan menjadi gelap. Pemandangan mulai kehilangan warna seperti
dilukis dengan tinta pucat. Gaun hitam Ratu Malam perlahan-lahan menutupi langit.
Kerumunan
orang semakin padat, dan langkah kami pun semakin lambat. Suara
jual-beli bercampur dengan bising.
Aku bahkan harus meninggikan suaraku agar Ayase-san yang berjalan di sampingku bisa
mendengar.
“Ayase-san, pegang tanganku. Bisa-bisa kita nanti akan
terpisah.”
Ayase-san meraih tanganku yang terulur, dan aku meremas
tangannya erat.
Sambil
meremas tangannya yang merespons dengan
erat, aku berjalan perlahan menyusuri langkahnya.
Suara
gemerincing terdengar dari speaker yang terpasang di sana-sini di kedua sisi
jalan, diikuti dengan pengumuman. Pengumuman itu mengumumkan bahwa kembang api
akan segera dinyalakan.
Tidak
lama kemudian, tembakan pertama langsung meluncur ke udara.
Dengan
suara bergemuruh seperti meriam, bola cahaya melesat naik ke langit. Meledak dengan
gemuruh, bunga cahaya bermekaran di langit malam.
Uwahhhh,
sorak-sorai para penonton mulai
terdengar meriah.
Di suatu
tempat ada seorang pria yang meneriakkan panggilan kuno 'tamayaa'.
Suara tawa
anak-anak, dan
terdengar suara decak kagum dari sana-sini, “Cantik!”, “Luar biasa!”
Seolah
menjadi isyarat, rangkaian bunga
cahaya berbagai ukuran dan warna mulai mekar di langit malam.
Bau mesiu
menyelimuti udara, dan partikel-partikel asap terlihat memantulkan cahaya dari
tanah dan mengalir ke permukaan sungai sesuai dengan arah angin.
Aku
merasa tanganku ditarik mendekat.
Ayase-san sepertinya sedang
mengatakan sesuatu.
Suasana
sekitar begitu ramai sehingga membuatku kesulitan
untuk mendengarnya. Aku
mendekatkan telingaku ke arahnya.
“Umm begini.
Maafin aku
ya. Aku sudah melakukan beberapa hal yang egois.”
“Eh?”
"Aku
terburu-buru dan lupa memberitahumu...”
Ayase-san berbisik ke telingaku setelah
mengatakan itu.
Dia
mengaku bahwa dia telah menceritakan hubungan kami
kepada Kozono-san dan membuat komentar yang
mencurigakan kepada Akiko-san. Dia tidak berkonsultasi
denganku sebelumnya, katanya.
Setelah
mengucapkan itu, dia menundukkan kepalanya.
“Maaf.”
Dia
bergumam pelan sambil menghadap
ke tanah.
Kali ini,
aku mendekatkan mulutku ke telinganya dan berkata,
“Jika
kamu mengatakannya seperti itu,
aku juga begitu.”
Eh? wajahnya tampak terkejut.
“Aku
juga menceritakan hubungan
kita kepada Yomiuri-senpai.
Aku lupa mengatakannya, maaf.”
“Jadi
begitu ya.”
Tapi
mungkin kami sudah berada pada titik di mana tidak mungkin
lagi untuk mengatakan bahwa kami
harus merahasiakan hubungan kami.
Mungkin
ini bukan yang terakhir. Jadi, aku
harus membuat keputusan yang tepat.
“Aku
sama sekali tidak keberatan dengan
apa yang kamu beberkan, Ayase-san. Kurasa
suatu saat nanti kita harus membicarakan hal ini pada Akiko-san
dan ayahku.”
Ditambah
lagi, itu mungkin dalam waktu
yang tidak terlalu lama.
“Yeah...
Aku juga tidak keberatan
dengan apa yang dibeberkan Asamura-kun.
Tapi, mungkin aku akan melakukan sesuatu yang egois
lagi. Jadi... jika kamu tidak menyukainya,
katakan saja.”
“Jika kamu bilang begitu, aku juga begitu.
Ah,
sekarang aku merasakannya secara nyata. Dia melakukan sesuatu yang egois dan sepertinya merasa telah
merepotkan orang lain. Namun, keegoisan
itu masih dapat diterima bagiku.
“Paling
tidak saat ini aku tidak merasa terganggu oleh hal seperti itu. Oh, bukan—”
Kata-kata
yang harus diucapkan untuk berkomunikasi
pada situasi seperti ini bukanlah seperti
itu.
Kata-kata
yang tepat. Kata-kata yang hanya terdiri dari
dua huruf.
Menuliskannya
dengan sengaja terasa kurang sopan, dan bagi
kami berdua, mengucapkan kata-kata tersebut sudah menjadi hal yang biasa.
Dia
tiba-tiba menoleh setelah merenung sejenak.
Sekuntum
bunga cahaya bermekaran di mata Ayase-san saat dia
menatapku. Wajahku tercermin di matanya, seolah-olah menghalangi
cahaya bunga yang bersinar di langit malam.
Aku
menatap balik ke mata yang menerima kehadiranku, dengan maksud menerima
kehadirannya di sini.
Tepat sebelum musim panas berakhir,
aku dan Ayase-san
menikmati momen keabadian yang singkat.