Bab 12 — 6 Agustus (Jumat) Ayase Saki
Pada saat
itu baru pukul
3 lewat sedikit.
“Aku
pulang.”
Aku
mendengar suara ibuku bersamaan dengan suara pintu depan terbuka.
Sepertinya
dia sedang tumben-tumbennya mempunyai hari libur.
Setelah tidur siang sebentar, dia
bangun dan pergi berbelanja di depan stasiun Shibuya.
Itu sebabnya dia baru
saja kembali.
“Selamat
Datang Kembali.”
Aku
membuka pintu kamarku, mengintip keluar, dan menyapanya.
“Kamu sedang belajar?”
“Iya...”
Kurasa
tidak ada hal lain yang dilakukan siswa yang akan
menghadapi ujian selain belajar. Kenapa dia terlihat seolah-olah sangat terkejut?
“Kamu
pasti Lelah, ‘kan? Mari kita minum teh dulu.”
“Yah,
kebetulan aku sedang berpikir untuk beristirahat
sebentar.”
“Aku membeli scone yang enak, loh.”
“Kalau
begitu, teh susu, ya.”
Aku
segera bergegas ke dapur, menyalakan ketel, dan mulai menyiapkan waktu minum
teh.
Aku
tidak tahu apakah meminum teh susu dengan scone itu merupakan standar atau bukan karena aku belum pernah memeriksanya.
Aku
merasa seperti aku pernah mendengar hal seperti itu di suatu tempat, tapi itu
karena ibuku selalu menyukainya dengan cara begitu.
Scone
hangat dengan krim kental terbaik, selai manis dan teh susu.
Itu
adalah kesukaannya.
Sejak
kecil, aku selalu menemani ibu dalam ritual ini. Ketika ibu membelinya,
persiapan teh menjadi tanggung jawabku.
Biasanya
ibu akan menyediakan selai dan krim. Namun, karena krim kental tidak bisa disimpan di dalam freezer, aku harus menggantikannya dengan
sesuatu setiap kali jika tidak disimpan di dalam kulkas.
Anehnya,
hari ini ibu bahkan membeli krim kental.
Sepertinya dia menemukan scone yang sangat enak.
Aku menuangkan teh dan duduk di seberang meja
panjang di dapur.
Scone
dihangatkan di dalam oven pemanggang roti hingga hangat. Meskipun
aku bisa dimasukkan ke dalam
microwave, baik aku maupun ibuku
lebih suka tekstur renyah di permukaannya.
Setelah cukup panas, aku
meletakkannya di
piring dan ditempatkan di tengah meja.
“Selamat
makan.”
“Iya, silakan
dinikmati.”
Kami berdua
mulai makan setelah mengambilnya
dari piring.
Bagi
adonan di bagian tengah yang lembut dipisah dan
menggunakan pisau mentega untuk
mengoleskan krim. Aku menggigit
dengan hati-hati agar potongan scone tidak tumpah, sambil menopang tangan yang
memegang dengan lembut di bawah piring seperti alas.
Teksturnya terasa renyah saat digigit. Potongan
scone yang tumpah berbaur dengan krim di mulutku.
Aroma tepung gandum yang dipanggang bersama manisnya menyelinap keluar dari
dalam hidung.
Perasaan
ringan menyelimuti hati dengan lembut.
“Ini
enak sekali.”
“Iya, ‘kan?
Iya, ‘kan?”
Ibuku tersenyum dengan ekspresi yang ceria.
Dia terlihat sangat senang.
Sejenak
di suatu sore musim panas. Di meja makan di mana suara udara dingin dari AC
bergema pelan, ibuku dan aku
asyik mengunyah scone sambil menyeruput teh.
“Oh
ya, ngomong-ngomong...”
Ibu
tiba-tiba membuka pembicaraan.
Hmm?
Aku menoleh ke arahnya.
“Sudah lama
sekali sejak kita berdua bersantai
sambil meminum teh seperti ini, ‘kan?”
Ah, memang benar, sih.
Setelah
ibuku menikah lagi dan pindah ke keluarga Asamura, aku hampir tidak ingat kami berdua minum teh bersama
seperti ini.
“Hal semacam
ini sesekali juga terasa
menenangkan, ya.”
Saat aku
melihat senyum lembut di wajah ibuku, aku kembali merasa gelisah.
Dibandingkan
dengan ketidakstabilan diriku, ketenangan ibu belakangan ini sungguh luar
biasa.
“Tuh ‘kan, lagi-lagi...”
Aku
memiringkan kepalaku dengan keherann saat
mendengar perkataan ibu.
“Apa?”
“Kamu
sering sekali menghela nafas panjang.
Belakangan ini terus begitu.”
“Eh,
memangnya sebanyak itu?”
“Iya.
Sepertinya kamu tidak sadar. Apa ada sesuatu yang membuatmu khawatir?”
“Errmm...”
Sejujurnya,
aku bingung tentang apa yang
sebenarnya ingin kusampaikan.
“Walaupun
terlihat begini, setidaknya aku sudah berada
pada usia dimana aku mempunyai banyak kekhawatiran.”
“Oh?
Yang seperti apa?”
Meskipun
dia berbicara dengan nada ringan, saat
ditanya, aku langsung tercekat
sampai tak bisa berkata apa-apa.
Apa aku bisa
mengatakannya? Mana mungkin aku bisa mengatakannya.
Anak
perempuanmu
jatuh cinta pada kakak
tirinya, putra dari
dari pasangan pernikahan keduamu,
dan sekarang mereka berdua menjadi sepasang kekasih
yang sudah saling
berpegangan tangan, berpelukan, bahkan berciuman
di luar, dan sekarang
dia merasa khawatir karena ada juniornya yang menjadi ancaman karena menjadi saingan cintanya
dan dia bahkan habis dilabrak baru-baru ini — atau itulah yang ingin kukatakan.
Yup, itu sih
mustahil.
Aku
bahkan tidak tahu harus mulai dari mana atau apa yang harus dibicarakan.
“Ibu tuh pandai mendengarkan masalah orang lain, loh?”
Karena
dia telah bekerja sebagai bartender populer di sebuah bar di Shibuya selama
lebih dari 10 tahun, mungkin pernyataan ibu
tadi
bukanlah sekedar isapan jempol belaka...
Tapi tetap saja.
“Umm...
Ini hanya sekedar
pembicaraan umum saja.”
“Iya, iya.”
“Oke?
Ini hanya pembicaraan umum?”
“Iya deh,
iya.”
“Jika
dua orang yang dalam
hubungan romantis mulai saling menekan ego satu sama lain, itu sama sekali tidak baik, iya ‘kan?”
Belakangan
ini, aku ingin
pergi berkencan melihat kembang api
bersama Asamura-kun. Aku ingin
menjadikan hubungan kami semakin kuat melalui kencan itu. Aku tidak ingin memberi celah bagi
orang lain untuk menyusup masuk
di antara kami berdua.
Tetapi, aku merasa khawatir bahwa
mengungkapkan hal itu kepada dirinya
yang sedang belajar ujian dengan sungguh-sungguh akan terlihat egois. Aku memiliki beberapa kekhawatiran
yang mungkin atau mungkin tidak ada di balik masalah
tersebut, tapi mengesampingkan
itu dulu. Aku
ingin menanyakan bagaimana pandangan ahli
mengenai hal tersebut sebagai suatu diskusi yang mengarah pada pembicaraan umum.
Namun, tak disangka, ibuku malah memberikan jawaban tak terduga.
“Itu
sih tergantung pada definisi Ego.”
Hah?
Tiba-tiba apa sih yang dibicarakan Ibu?
“Baru-baru
ini, aku mendapat pelanggan tetap yang
bekerja di universitas sebagai dosen filsafat dan
etika. Jadi, aku sedang
belajar di bidang itu sekarang. Jadi aku
perlu bisa berbicara dengannya
tentang topik itu.”
Begitu rupanya.
Jadi sekarang ibu sedang dalam mode bartender.
“Ego
itu... maksudnya keegoisan, ‘kan?”
“Secara
garis besar, ada sekitar tiga definisi. Yang pertama, ketika kita menyebut ‘diri’, yang kedua tentang 'ego'
sebagai bagian dari istilah psikologi
Freud, dan yang terakhir ketika
kita membicarakan tentang 'egoisme'
seperti yang disebutkan kamu tadi, Saki.”
“Diri...
umm, maksudnya itu mirip seperti ‘proses pembentukan diri’ yang diajarkan dalam pelajaran kesehatan dan pendidik
jasmani?”
“Iya,
yang seperti itu.”
Sambil
menyedot tehnya, ibu lalu menghembuskan napas
perlahan dan melanjutkan.
“Ibu rasa yang dimaksud Saki tadi mungkin menggunakan makna terakhir, tapi
secara umum, pemikiran yang mementingkan diri sendiri tidak akan disukai dalam
hubungan antar pasangan kekasih, orang tua dan anak, saudara kandung, atau
bahkan rekan kerja...”
Ketika dia menyebutkan rekan kerja, wajah Kozono-san muncul sekilas dalam pikiranku dan aku merasa sedikit gelisah.
“...Aku yakin dalam hubungan antar manusia secara umum,
pemikiran yang egois tidak
akan diterima dengan baik.”
“Sudah
kuduga begitu.”
“—Atau
itulah yang kamu pikirkan, kan?”
“Eh?”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita pikirkan dari sisi
sebaliknya. Kapan saatnya Ego tidak lagi menjadi masalah?”
Ibu berkata
dengan satu jari lurus mengacung ke
atas.
Ughh.
Ketika aku ingin segera mendapatkan
jawaban, ibu selalu mengatakan “pikirkanlah”
seperti ini. Itu adalah pendekatan pendidikan ibu. Ini adalah situasi yang sangat menegangkan.
Meskipun jarang terjadi, melawan ketika ibu berada dalam “mode pengajaran” seperti ini tidak akan berguna.
Aku
mulai memikirkannya.
Apa ada
situasi di mana Ego tidak menjadi masalah?
Jika aku mengalami kesulitan untuk
memahami hal itu, ibu akan membantuku.
Dia juga orang yang selalu bersikap lebih lunak dalam hal menyuruh saya untuk
memikirkan segala sesuatunya.
“Misalnya,
ada seorang suami yang mengatakan bahwa dia tidak akan pernah mengizinkan apa
pun kecuali nasi untuk sarapan. Ini juga merupakan ego, bukan? Ia mengabaikan apa yang disukai
dan tidak disukai istrinya dan hanya menginginkan apa yang disukainya.”
“Ya,
itu benar.”
Jika aku juga diberitahu hal
seperti itu, aku pasti
akan merasa kesal. Apa ada situasi di mana ego seperti itu tidak menjadi
masalah?
Setelah memikirkannya sejenak, jawabannya tiba-tiba mulai muncul sendiri di dalam benakku.
Scone
hangat dengan krim kental, selai manis dan teh susu.
Itu adalah kesukaannya.
Aku
tidak pernah keberatan dengan itu. Oh, sekarang aku
mengerti.
“Jika
si istri juga tidak suka sarapan lain selain memakai nasi.”
“Benar.
Jadi dengan kata lain, 'ego tidak
menjadi masalah ketika semua anggota kelompok memiliki ego yang sama'.”
“Jika
semua orang ingin makan semur hari ini, maka tidak akan ada konflik dalam
pemilihan menu makanan?”
“Betul.
Oh, jika ego semua orang bergerak ke arah yang sama tetapi tidak dapat
dibagikan oleh semua orang, maka itu akan menjadi masalah yang berbeda, jadi
kita akan mengesampingkan dulu topik itu.”
Yah, karena Ego hanya didefinisikan
sebagai pemikiran yang mementingkan diri sendiri, itu tidak selalu berarti
bahwa itu akan mengganggu orang lain. Itu hanya berarti
hal tersebut sering terjadi.
“Itu
memang benar, sih. Tapi,
hal seperti itu...”
“Ya,
dalam kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Setiap individu berbeda.
Setiap situasi berbeda. Karena setiap orang berbeda, maka dalam setiap situasi,
semua Ego tidak akan pernah selaras.”
Namun,
ibu lalu menambahkan.
“Meskipun
tidak mungkin dalam segala hal, bukan berarti tidak mungkin dalam semuanya.
Terutama ketika anggota kelompoknya sedikit. Jadi, jawaban untuk pertanyaan
Saiki tadi tentang 'apakah saling mendorong Ego dalam hubungan asmara itu tidak baik'
sebenarnya akan menjadi 'tergantung pada situasinya'.”
“Ehm...?”
“Misalnya
ingin berpegangan tangan. Ingin
berciuman. Apapun saja boleh.
Dalam situasi seperti itu di mana ada peristiwa romantis, jika salah satu pihak
mencoba memaksa, bahkan antara pasangan kekasih, itu akan dianggap sebagai
pelecehan menurut standar saat ini.”
“Jadi
maksudnya diperlukan semacam kesepakatan?”
“Tepat
sekali. Itulah sebabnya perilaku egois dalam hubungan romantis tidak disukai.
Kecuali jika keinginan yang sama secara kebetulan muncul bersamaan.”
“Aku
tidak bisa membayangkan situasi di mana hal itu akan terjadi secara kebetulan.”
Rasanya
seakan-akan memiliki saklarnya
dinyalakan dan kita semua memiliki ego yang
sama.
“Ya.
Karena keduanya adalah individu yang memiliki ego, jadi pada kenyataannya sangat tidak
mungkin keinginan mereka akan secara sempurna sejalan secara bersamaan.”
Aku terkejut
ketika ibu mengatakan hal itu.
Baru belakangan ini— pada malam dimana aku berbicara empat mata dengan Kozono-san.
Ketika kita menginginkan
sesuatu, tetapi jika orang lain tidak menginginkannya juga, maka tidak akan ada
yang terjadi.
Aku menginginkan sesuatu, dan aku ingin ia juga menginginkannya— kira-kira seperti itu.
Peristiwa
cinta hanya bisa terjadi
jika kedua pihak memiliki keinginan yang sama pada waktu yang tepat...
“Itulah
sebabnya
kedua belah pihak perlu membuat
kesepakatan, yaitu untuk menyesuaikan satu sama lain. Tanpa itu, kamu tidak akan pernah bisa mencium
seseorang meskipun sudah berapa lama berpacaran.”
Begitu ya,
aku mulai memahaminya...
“Selain
itu, untuk jawaban Saki tadi, ada satu pengecualian lagi.”
“Eh?”
“Ketika
pihak lain tidak memiliki ego. Mereka tidak
memiliki preferensi dan selera sendiri sama sekali. Dalam kasus di mana istri
hanya akan menuruti setiap permintaan suami tanpa mempermasalahkannya, maka
tidak akan ada konflik karena tidak ada masalah yang timbul.”
Aku
terdiam karena apa yang dia katakan
terlalu berlebihan.
“Itu
sih. Bukankah
masalahnya karena ketika
tidak ada konflik terjadi...?”
“Kamu
menyadari hal yang baik. Ya, memang begitu.”
Hmm.
“Ngomong-ngomong,
semuanya berlaku sama meskipun peran pria dan wanita ditukar.
Jika pacarmu mengatakan bahwa dia ingin memenuhi semua permintaanmu, itu
mungkin terdengar mudah, tetapi dari sudut pandang wanita, itu mungkin terlihat
seperti pria yang tidak
memiliki ego dan itu akan menjadi merepotkan,
iya ‘kan.”
“Menurutku
itu memang merepotkan. Karena itu berarti kita tidak bisa tahu apa yang
sebenarnya diinginkan oleh orang tersebut.”
“Benar
juga. Yah, mungkin saat ini kita
tidak perlu memikirkan kasus-kasus pengecualian seperti itu. Karena sejak awal Saki
bukanlah tipe orang seperti itu. Kupikir
orang yang akan menjadi pasangan Saki juga akan memiliki pendapat yang sama.”
Ya, itu benar...
Haa.
Tidak, tidak, bukan itu.
“Aku hanya
berbicara mengenai pendapat secara umum.”
“Iya, iya. Ini cuma pembicaraan secara
umum. Tentu saja.”
“...Kembali
ke topik pembicaraan. Jadi, meskipun itu ego, asalkan pasangan
bersedia menerimanya, maka itu tidak
akan menjadi masalah, bukan?”
“Benar
sekali. Tapi,
karena kita tidak bisa membaca pikiran pasangan untuk mengetahui apakah mereka
bersedia menerimanya atau tidak, pada kenyataannya masalah bisa saja terjadi.”
Ah,
begitu ya.
Karena
setiap orang memiliki ego yang unik, maka harapan antar manusia untuk
sepenuhnya cocok secara sempurna tidak mungkin terjadi—begitukah yang kuingat.
“Jadi,
pada akhirnya, saling memaksakan
ego itu memang tidak baik...?”
“Aku
sudah mengatakannya sejak awal, ‘kan?”
“Guh”
Entah kenapa
rasanya curang.
Ibuku
berkata sambil tersenyum.
“Apa
Saki merasa kesulitan karena dihadapi dengan ego seperti itu? Atau sebenarnya kamu ingin menunjukkan egomu?”
“Ehm...
yang ada justru lebih ke arah—bukan
itu, maksudku hanya pendapat secara
umum!”
“Iya, iya.”
“Lagipula
sejak awal, aku juga sudah mengatakan bahwa saling memaksakan ego itu tidak baik. Aku tidak
menyukai bagian seperti itu dari
orang itu.”
Saat aku mengucapkan hal itu, ekspresi ibuku mendadak berubah menjadi
gelap, dan aku
tiba-tiba menurunkan nada suara.
Ketika aku menggunakan istilah ‘orang itu’ antara aku dan ibu, kami merujuk pada ‘ayah kandung’-ku.
“Kupikir
tidak mungkin ia begitu marah karena alasan sakit hati
secara sepihak tanpa mempertimbangkan perasaan ibu, dan melampiaskan kemarahannya. Aku pasti tidak akan bisa
menyukainya.”
Meskipun aku tahu bahwa ibu akan merasa sedih jika aku mengatakannya, tapi begitu aku mulai bicara, aku tidak bisa berhenti. Aku tahu bahwa kata-kata tersebut
terlalu keras sebagai pernyataan terhadap orang yang pernah dicintai oleh ibu.
Namun, hal itu begitu menjijikkan bagiku ketika
aku masih menginjak sekolah SD.
“Rupanya orang
itu juga dibenci, ya.”
Ibu
menghela nafas dengan ekspresi lelah.
“Tapi,
aku tidak bercerai dengan alasan
bahwa ia itu egois atau karena aku kehilangan kasih sayang padanya. Karena sejak kami berpacaran, aku sudah
tahu tentang sifatnya yang egois.”
Ibuku sudah
mengetahuinya sebelum menikah bahwa dia egois dan mementingkan dirinya sendiri seperti
itu. Namun, apa ia
mencintainya atau tidak, hal negatif seperti itu tidak begitu berpengaruh.
Menurut ibu, tidak mencintai seseorang karena kekurangannya bukanlah hal yang
benar. Tentu saja, hanya karena seseorang baik bukan berarti kita harus
mencintainya.
“Karena
ia buruk, bukan berarti aku tidak bisa mencintainya, oke?
Ini hanya masalah tentang sejauh mana kita
bisa menerimanya.”
Pada
dasarnya, ketika bersama seseorang, kita pasti
akan bisa melihat sisi-sisi buruk dan hal-hal yang tidak
disukai satu sama lain. Kemampuan untuk saling menerima adalah kunci untuk
menjaga hubungan tetap langgeng. Mana
mungkin seseorang tidak mempunyai bagian buruk sama sekali, dan perasaan cinta akan berubah hanya karena
ada kekurangan, begitulah kata
ibu.
“Aku menyukai seseorang bukan karena
ingin mendapat sesuatu dari mereka.
Kupikir tindakan jatuh cinta
sendiri sudah merupakan sebuah tawar-menawar.
Jadi, hanya dengan menyukai
seseorang, aku sudah
merasa cukup mendapat sesuatu,
jadi aku tidak merasa kecewa dengan hal
kecil.”
“Aku tidak
menyangka kamu mempunyai pandangan cinta yang seperti itu, bu....”
Ketika aku mengatak hal itu, entah mengapa ibuku terlihat senang.
“Hehehe.”
“Kenapa
kamu tertawa, bu?”
“Karena
bisa bercakap-cakap seperti ini dengan
putriku adalah impianku. Kurasa Saki-chan
juga sudah memasuki umur dimana kamu bisa
membicarakan tentang percintaan,
ya?”
“Aku
tidak bercerita tentang diriku sendiri.”
“Iya, iya,
tentu saja.”
Aku
merasa seperti sedang diolok-olok secara halus.
“Tapi,
aku tidak menyukai ego
orang itu. Aku kagum ibu bisa bertahan lama dengannya.”
“Dalam
kasusku, mungkin karena aku mempercayai
bahwa semua orang egois. Baik orang itu maupun aku. Jadi, masalahnya adalah
apakah kita bisa menerima sifat egois pasangan kita atau tidak.”
“Memangnya
itu tidak mengganggumu, bu?”
“Aku
bisa dengan mudah mengabaikan
hal-hal yang tidak menjadi masalah
bagiku. Tapi, ia juga tidak bertingkah egois di semua hal. Karena ketika aku mulai bekerja sebagai
bartender, ia tidak melarangku.”
Aku
terkejut.
Aku tidak
menyadari hal itu sebelum dia mengatakannya.
◇◇◇◇
Aku
menunggu ibu menuangkan teh lagi sebelum melanjutkan pembicaraan.
Sementara
itu, aku mengenang masa
lalu.
Orang itu — ayah
kandungku gagal dalam bisnis ketika aku masih awal-awal
memasuki sekolah SD, dan ketika keuangan keluarga menjadi sulit,
ibuku mulai mengusulkan kalau dirinya akan pergi
bekerja juga.
Dan kemudian ibuku mendapatkan pekerjaan
di sebuah bar di Shibuya.
Ini
adalah pekerjaan yang mengubah pekerjaan siang
menjadi malam, dan karena itu merupakan bisnis yang melayani
pelanggan yang mabuk, mungkin ada suami yang tidak setuju jika istrinya bekerja
di sana. Ayah kandungku pun tidak sepenuhnya setuju dengan ide tersebut. Aku masih mengingatnya. Meskipun ia menunjukkan wajah yang
penuh keengganan, tapi
ia tidak melarang ibuku bekerja.
Jika ia tidak setuju dan melarang ibu, segala
sesuatunya tidak akan berakhir seperti
sekarang.
Aku memang
tidak menyadarinya sampai ibu mengatakannya.
“Sama seperti Taichi-san, aku menyukai hal yang kusukai. aku merasa lebih mudah
bergaul dengan orang yang mengatakan mereka tidak menyukai apa yang tidak
mereka sukai. Tentu saja, jika seseorang berperilaku sampai
batas yang tidak bisa kuterima,
kupikir aku tidak akan bisa melanjutkan
hubungan.”
Namun,
orang itu tidak sampai pada titik itu. Itulah
yang dikatakan ibu. Dan ibu bahkan mengatakan bahwa dia masih tidak membencinya sampai sekarang.
Oh, tolong rahasiakan ini
dari Taichi-san
ya? katanya sambil mengedipkan
salah satu matanya dengan ekspresi nakal.
Jadi,
mengapa kalian berpisah?
“Hmm.
Bukan karena aku sudah
muak dengannya, tetapi karena sepertinya akan lebih sulit baginya jika kami
tetap bersama lebih lama lagi. Aku tidak ingin berhenti bekerja ketika aku mulai menikmati
pekerjaanku. Mungkin karena aku sudah
menemukan sesuatu yang tidak bisa aku
tinggalkan.”
Setelah
merenungkan makna dari perkataannya,
aku mulai memahaminya.
“Begitu ya.
Kadang-kadang setelah menikah, ada beberapa hal
yang bisa menjadi hambatan....”
“Manusia
berubah seiring berjalannya waktu. Jika ada hal yang tidak bisa diselaraskan,
mungkin satu-satunya pilihan adalah berpisah. Selain itu, aku mulai merasa
bahwa aku akan membuat Saki lebih sering menangis.
Itu juga menjadi salah satu pertimbanganku.”
“Aku?”
“Orang
itu tidak mengerti anak-anak. Karena ia tidak pernah berada dalam posisi yang
lemah.”
Ia
adalah orang yang tidak pernah mengalami kegagalan sejak kecil. Ia lulus ujian masuk sekolah dasar
swasta terkenal, diterima di SMP bergengsi, kemudian melanjutkan ke
sekolah SMA, dan tentu saja melanjutkan ke universitas
bergengsi. Setelah bekerja, ia dengan cepat mandiri dan bahkan membuka usaha
sendiri. Hidupnya terlalu mulus.
Oleh karena
itu, ia tidak terbiasa dengan kelemahan.
“Jadi,
ia tidak terbiasa menjadi lemah....”
Kupikir
itu adalah cara yang aneh untuk
menyampaikannya.
“Karena
ia hanya memiliki pengalaman dalam
posisi yang kuat, jadi ia menjalani kehidupan tanpa menyadari bahwa ia juga
memiliki sisi lemah. Aku rasa itulah kegagalan pertamanya dalam hidup. Ia tidak bisa mengakui
kelemahannya sendiri.”
Karena ia
tidak pernah berada dalam posisi kalah, ia juga tidak tahu bagaimana seharusnya
bertindak dalam situasi seperti itu. Ia
tidak bisa memahami bahwa tidak ada orang yang tidak pernah mengalami
kegagalan. Karena ia tidak bisa memahami orang yang lemah, ia takkan memberi ampun meskipun itu
anak kecil.
“Saki,
karena kamu masih anak-anak dan bukan aku, jadi meskipun aku menyuruhnya untuk
merawatmu dengan lebih baik, ia sepertinya
tidak mengerti.”
“Aku
hanya ingat bagaimana dia marah padaku.”
“Tentu
saja, bahkan aku juga tidak
bisa tahan dengan hal itu.”
Apa iya...
“Jadi,
kembali ke pertanyaan awal—”
Sambil
membiarkan pikiranku melayang, aku sekali lagi menatap ibuku setelah mendengar
kata-kata itu.
“—Meski itu tergantung pada ego, tapi dalam hal percintaan, sebenarnya tidak masalah untuk
menunjukkan ego. Bahkan seharusnya kamu menunjukkannya kepada pasanganmu.
Karena itu berarti kamu tidak bisa mengetahui
apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang tersebut. Karena manusia tidak
memiliki telepati.”
“Aku
mengerti itu. Tapi... bukannya itu cukup
memalukan?”
Ego dalam
cinta, ya... itu adalah sesuatu
yang bisa diungkapkan di depan umum, iya ‘kan?
“Meski
begitu, kamu masih perlu mendiskusikannya sekali.
Untuk kedua kalinya dan seterusnya, kamu bisa membuat kode rahasia.”
“Kode
rahasia?”
“Misalnya saja, tepuk
bahu tiga kali berarti aku ingin berciuman.
Kamu bisa menetapkannya dengan pasanganmu.”
Tidak, tidak, tidak. Apa-apaan itu?
“Bu...bukannya
Ibu terlalu banyak membaca manga
mata-mata?”
Haa.
Tidak mungkin.
Jangan
bilang dia membuat kesepakatan semacam itu dengan ayah tiri,
‘kan?
“Hmm~ bagaimana
ya? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.”
Melihat
ibuku bergoyang ke kiri dan kanan sambil tertawa, aku tak sengaja berseru, “Memangnya ibu anak
kecil!”
“Yah,
mengesampingkan itu semua...”
“Yang
memulai semua hal aneh ini adalah
ibu sendiri, ‘kan?”
Aku
merasa terkejut.
“Jadi,
jika ego dipaksakan, maka hal itu akan menimbulkan masalah.
Dan tentu saja, itu tidak baik jika hal tersebut
dipaksakan kepada orang lain tanpa
memperhatikan keinginan orang tersebut,”
kata ibuku dengan tegas.
Ini
mungkin pertama kalinya aku mendengar ibu menyampaikan argumennya dengan begitu
jelas dan masuk akal.
Mungkin,
dia menganggap aku sudah cukup dewasa untuk menghadapi
diskusi semacam ini.
Hanya saja—
“Jadi,
mengapa ibu membeli potongan daging ham yang diawetkan?"
“Karena
ada yang merekomendasikannya sebagai
sesuatu yang sangat enak. Kalau itu sesuatu
enak, bukankah rugi kalau tidak membelinya?”
“Tapi,
ibu pernah bilang tidak boleh membeli barang
mahal tanpa persetujuan keluarga, kan?"
“Eh?
... Memangnya seberapa mahal itu sampai dianggap mahal?”
Ibu
menyentuh dagunya dengan ujung jari sambil memiringkan kepala.
“Ya, kalau
harganya hampir sama dengan sebatang daging ham.”
“Kalau
begitu , yang ini baik-baik saja, ya.”
Ibu
menunjuk pada kotak yang berisi scones dengan senyum menghiasi wajahnya. Jangan bilang—.
“Yang ini
juga direkomendasikan?”
“Yeah,
yeah. Dan tahu enggak,
seseorang juga mengatakan bahwa scones ini sangat cocok dengan krim kental ini.”
“Dan
mereka dijual bersamaan!?”
“Benar,
rasanya enak sekali. Kan? Kan? Rasanya pasti
enak sekali, iya ‘kan?”
“Yah,
itu sih... ya.”
Baiklah,
mungkin tidak masalah jika hanya scones dan krim kental.
“Ah iya, benar juga. Apa yang kita bicarakan selama ini
tidak membahas secara spesifik mengenai gender,
tau? Saat ini, hanya karena mereka
sepasang kekasih bukan berarti mereka harus laki-laki
dan perempuan.”
Aku mengerti,
tapi karena ini adalah pendapat secara umum,
jadi kita tidak perlu membahasnya begitu
detail, kan?
“Karena
pasangan Saki-chan belum tentu anak laki-laki, iya ‘kan?”
Uhukk.
Aku
hampir saja memuntahkan scones yang kumakan tadi.
“Uhukk,
uhukk. Huee.
Scone-nya jadi nyangkut di
tenggorokanku...”
“Ara~ ara.
Apa tebakanku tepat sasaran?”
“Ya
enggaklah!”
“Aku hanya berpikir apa mungkin kamu sedang
jatuh cinta atau bagaimana gitu.”
Salah
besar!
Tidak, yang itu
berbeda, tapi pembicaraan sebelumnya hanyalah tentang pendapat umum dalam percintaan!
Aku
menatap ibu yang menatapku dengan seksama,
dan tanpa sadar aku menundukkan
pandanganku dan minum teh. Apa yang harus kulakukan.
Mungkin aku terlalu menekankan mengenai pendapat secara
umum.
Aku mendongak sedikit dan melirik sekilas ke arah ibu.
Uwah,
ekspresi itu, aku sangat mengenalinya.
Itu ekspresi yang sama persis dengan tatapan
Maaya dan Satou-san ketika ingin mendengar cerita
percintaan.
“Errmm... “
“Yeah,
yeah. Kamu bisa bercerita apa saja pada Ibu, kok.”
Tolong aku, Asamura-kun. Di sini ada
seorang ahli percintaan yang berusaha menggali kisahkisah
percintaan putrinya dengan tatapan mata
pemburu yang berkilauan!
Lagipula,
ibu bahkan pasti akan merasa kesulitan jika
aku menceritakan hal yang
sebenarnya.
Dia pasti
akan merasa kesulitan, bukan...?
Tapi— apa baik-baik saja jika terus begini?
pikirku.
Suatu
hari nanti aku harus mengatakannya. Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya tanpa persetujuan Asamura-kun. Aku juga tidak ingin membuat keadaan menjadi canggung
setelah mengatakannya. Ah, tapi jika hubunganku
dengan Asamura-kun tidak berjalan lancar dan berakhir buruk, mungkin lebih baik kalau aku tidak memberitahunya, jadi kami kembali
menjadi kakak-adik biasa...
—Apa sih yang sedang kamu pikirkan, Ayase Saki?
Mengapa
aku memikirkan ini akan berakhir
sebelum semuanya dimulai?
“Yah, aku juga sedang jatuh cinta. Yup.”
“Ara~ ara~,
apa itu masih berlangsung?”
“Itu sih...
aku menyerahkan semuanya pada imajinasi ibu.
Mungkin iya, mungkin juga tidak.”
Dag-dig-dug, dag-dig-dug.
Aku
memberinya petunjuk.
Aku tidak
ingin dia mencurigai hubunganku dengan
Asamura-kun, jadi aku belum pernah membicarakan hal-hal romantis di hadapan
orang tuaku.
Jantungku
mulai berdetak sangat kencang
sampai-sampai terasa sakit.
Namun,
meski ibu sudah mendengar
ucapanku, dia hanya tersenyum dan terus menatapku tanpa berkata apa-apa...
“Ak-Aku akan kembali belajar dulu.”
Aku
berkata demikian sambil membersihkan piring kosong
dari meja makan dan langsung kembali ke kamarku.
◇◇◇◇
Setelah
menutup pintu dengan keras, aku berbaring
di atas tempat tidur.
Jantungku
yang hampir meledak mulai mereda sedikit, tapi
detak jantungku masih berdegup kencang.
“Uwahh...
aku benar-benar mengatakannya.”
Maafkan aku, Asamura-kun. Aku memberi petunjuk kepada Ibu.
Meskipun
aku tahu bahwa seharusnya
aku tidak boleh mengatakannya begitu
saja, tapi aku juga
merasakan kegembiraan yang aneh ketika aku
merasakan detak jantungku yang
berdebar-debar. Mungkin, ini adalah salah satu sisi burukku... salah satu sisi
gelap.
Mungkin
aku bukanlah orang yang begitu rasional seperti Asamura-kun.
Sensasi
cinta rahasia semacam ini— aku
tidak membencinya....
Saat aku membenamkan wajahku di bantal, aku merasakan detak jantung yang
berdebar-debar berdenting
di telingaku.
Sambil
memejamkan mata, aku membayangkan wajah Asamura-kun dan mengingat kata-kata ibu
tadi.
[Dalam
hal hubungan percintaan,
sebenarnya tidak masalah untuk menunjukkan
egomu.]
Tidak akan masalah. Apa iya?
[Malahan,
seharusnya kamu menunjukkannya kepada pasanganmu. Karena itu berarti kamu tidak bisa mengetahui apa yang
sebenarnya diinginkan oleh orang tersebut.]
Apa
aku boleh mengatakannya?
Aku ingin
pergi melihat kembang api bersama Asamura-kun.
Namun,
meskipun aku ingin mengatakannya, aku belum banyak mengobrol dengan Asamura-kun
dalam beberapa hari terakhir, apalagi bertukar pesan, jadi tiba-tiba
membicarakan hal tersebut terasa sulit.
Hanya dengan
melihat pesan yang terakhir, aku bisa melihat bahwa ia mati-matian dalam belajar.
Mungkin ia
lelah karena pembelajaran intensif.
Aku cemas apa ia benar-benar istirahat
dengan baik?
Aku
tiba-tiba teringat dan mulai membuka aplikasi streaming musik di ponselku. Aku lalu memutar lagu favoritku dari
riwayat.
Musik
yang tenang seperti suara hujan mulai diputar.
Aku biasanya
mendengarkan Lo-fi Hip Hop saat belajar, tapi lagu ini lebih sering kugunakan
sebagai musik penyembuh. Saat mendengarkannya
sebelum tidur, aku sering tertidur tanpa menyadarinya.
Untuk
Asamura-kun yang mungkin merasa lelah, aku akan berbagi lagu ini dengannya.
Aku
memeriksa waktu di layar ponselku.
Tanpa kusadari,
waktunya sudah hampir menjelang sore. Tapi menurut jadwal Asamura-kun di tempat pembelajaran, ia
seharusnya masih ada kelas.
“Aku
harus belajar sedikit lagi...”
Aku
kembali ke meja belajar dan melanjutkan belajarku.
Pada malam
harinya, setelah perkiraan waktu Asamura-kun selesai
makan malam, aku mengirimkan alamat lagu beserta pesan singkat.
Pada hari
itu, aku tidak menerima balasan darinya...
◇◇◇◇
Ketika aku bangun keesokan
paginya, aku melihat ada pesan
masuk.
【Terima kasih. Aku bisa tidur dengan nyenyak. Aku sangat terbantu】
Sepertinya
dia mengirimkan pesannya di
pagi hari.
Syukurlah.
Aku ikut senang kalau itu bisa membantunya.
Dan
ketika aku membaca pesan kedua, aku hampir
tersentak kaget.
【Mau berbicara sedikit malam ini?】
Aku
senang.
Aku sangat menantikan malam itu.
Dan pada
malam itu, saat kami berbicara melalui panggilan video LINE, aku dengan berani
mengajaknya, “Mau pergi ke festival kembang
api?”.
Aku bisa mendengar
suara terkejut sesaat.
Detak
jantungku kembali berdebar-debar dengan
kencang.
Dia pasti
ingin fokus belajar. Mungkin ini merepotkan baginya. Namun, jika kami ingin melangkah lebih jauh bersama,
kami perlu menyelaraskan ego kita,
bukan hanya sekedar penyelerasan perhatian.
Jika Asamura-kun menolaknya, aku hanya perlu menunggu kesempatan
berikutnya. Aku tidak akan lagi menyimpan stres dengan tidak mengatakannya.
Namun aku mohon,
semoga semuanya berjalan lancar.
Waktu
singkat yang dibutuhkan untuk mendapat
jawabannya terasa seperti selamanya.
Namun, Asamura-kun
menjawabnya jauh lebih cepat dari yang kuduga,
“Aku
ingin pergi ke festival kembang api. Aku juga ingin jalan berduaan dengan Ayase-san.”
Haaaa,
aku menghela nafas lega secara tidak sengaja.
Tanpa disadari, aku sudah menahan napas untuk waktu yang lama.
Kemudian
aku menyadari bahwa kata-katanya bukan “Aku
akan pergi bersamamu
ke festival kembang api,”
melainkan “Aku ingin
pergi.”
Itu bukanlah kata-kata pasif, itu adalah kemauannya sendiri.
“Aku
juga! Aku juga ingin pergi
berdua dengan Asamura-kun, jadi...”
“Yeah.
Ayo pergi. Tolong beritahu aku
lokasi tepatnya di mana.
Aku akan merencanakan jadwal saya
sehingga aku bisa
tetap pergi.”
Meskipun
mengatakan kepadanya untuk jangan memaksakan diri,
tapi aku tidak bisa menahan senyum
yang muncul di bibirku.
Setelah
itu, kami berbicara sedikit tentang kabar terkini masing-masing sebelum
mengakhiri panggilan.
Aku merasa
sangat senang bisa mendengar suaranya setelah sekian lama.
——Oh
ya, aku harus memberitahu Maaya kalau aku
menolak ajakannya.
Aku akan mengirim pesan LINE padanya.
【Maaf ya. Aku dan Asamura-kun
tidak akan ikut berpartisipasi dalam
festival kembang api】
Aku baru menyadari setelah mengirim pesan
bahwa kami mungkin akan bertemu di festival yang sama. Aku harus membicarakan hal ini dengan
Asamura-kun nanti.
Oh iya.
Aku harus meminta ibu untuk mengeluarkan yukataku.