Bab 3
Hari di mana Nene-chan
mengajariku memasak, kami berdua pergi berbelanja ke supermarket terdekat
bersama-sama.
Aku berjalan mengikuti di
belakag Nene-chan sambil membawa keranjang belanjaan dengan satu tangan, dan
pandangan mataku selalu menatap ke atas dari biasanya.
Di bawah pandanganku, rambut
hitam seperti kayu ebony dan rambut merah seperti apel berayun di dalamnya.
Rasanya begitu aneh berada di
tempat yang biasanya aku kunjungi sendirian bersama Nene-chan.
Nene-chan berhenti ketika kami sampai di depan bagian yang
menjual bawang. Kemudian, di ujung pandanganku, aku melihat dia membandingkan
dua buah bawang yang dipegang di kedua tangannya.
“Yang ini lebih berat, jadi
kita ambil yang ini.”
Setelah membandingkan beberapa
kali, dia meletakkan salah satunya ke dalam keranjang belanjaan yang aku pegang.
“Kalau mau memilih wortel di
antara yang ini, yang batangnya ramping dan berkilauan lah yang harus dipilih.”
Selanjutnya, Nene-chan terus
memilih-milih sayuran dengan cermat. Aku merasa terkesan dengan hal tersebut
dan tanpa sadar berkata,
“Hee, jadi begitu cara memilih
sayuran dengan cermat, ya?”
“Ya. Ada cara untuk membedakan
rasa yang enak, dan setiap jenis memiliki caranya sendiri.”
Bahkan hanya untuk memilih
sayuran saja, proses memasak ternyata sudah dimulai dari situ.
“Kemarin aku hanya asal
mengambil yang dekat-dekat saja, jadi ini benar-benar menjadi pembelajaran. Apa
Nene-chan juga pandai memasak?”
“Eh, tidak... tidak terlalu,
kok. Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Entah kenapa aku merasa kalau rasanya
kamu terlihat terampil.”
“Aku hanya mengingat apa yang
dikatakan ibu kemarin, kok.”
Meskipun begitu, dia
kelihatannya langsung memilih tanpa ragu-ragu, atau mungkin itu hanya
imajinasiku saja?
“Yang kebih penting lagi, Kakak
ipar, bukannya hari ini kamu terlalu sering melihat sedikit ke atas? Di sana
tidak ada bahan makanan, loh.”
“Ap-Apa iya? Karena aku tinggi,
jadi pandanganku cenderung lebih tinggi dari orang lain.”
“Enggak, tolong lihatlah ke
bawah dengan seksama. Perhatikan baik-baik bagaimana Nene memilih.”
Meski dia bilang begitu...
Ada alasan kenapa aku melihat
ke arah Nene-chan dari ujung pandanganku tanpa menurunkan pandanganku hari ini.
Alasannya adalah pakaian Nene-chan.
Dia tetap menggunakan
aksesorisnya yang biasa seperti kalung ketat dan anting-anting, tapi hari ini
dia mengenakan gaun hitam bukan seragam.
Bukannya aku merasa malu karena
melihatnya memakai sesuatu yang berbeda dari biasanya. Yah, tidak bisa
dipungkiri kalau penampilannya terasa segar.
Masalahnya adalah desain gaunnya.
Bagian lehernya agak terbuka sehingga tulang selangka bisa terlihat dengan
jelas. Sampai di sini masih baik.
Namun, bagian belakangnya tidak
begitu. Karena bagian belakangnya terbuka lebar dan dengan berani menunjukkan
punggungnya.
Saat aku menjemput di rumahnya,
aku tidak menyadarinya sama sekali karena aku hanya melihat dari depan, tetapi
saat mulai berjalan, aku menyadarinya dan segera menaikkan pandangan lalu
bertanya, “Bukannya bagian punggungmu terbuka terlalu?”
“Yang begini tuh normal, kok?”
Nene-chan menjawab begitu tanpa
berbalik.
Dia pasti merasa jengkel karena
ada om-om yang terlalu rewel mengenai gaya pakaiannya. Aku tidak mengerti mode
pakaian wanita, tapi di kalangan remaja SMA sekarang mungkin ini sudah biasa.
Punggung Nene-chan tidak
memiliki lemak berlebih, postur tubuhnya yang lurus membentuk lekukan keindahan
yang memukau, dan kulit putihnya yang seperti salju tanpa satu tahi lalat pun terilhat
sangat cantik.
Meskipun hanya terlihat sesaat,
namun kesan itu begitu kuat.
Sejak itu, aku berusaha
menyembunyikan punggung Nene-chan dengan tubuhku sendiri agar tidak dilihat
orang lain, dan aku pun berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihatnya.
Jadi, ketika aku disuruh untuk
melihat ke bawah dengan tegas, aku sedikit bimbang. Karena jika melakukannya,
aku akan melihat dengan jelas punggung Nene-chan yang berjalan di depanku.
Ketika aku dilanda dilema, aku tiba-tiba
merasa ada sentuhan dingin di kedua pipi dan wajahku dipaksa menunduk.
Di depan mataku, ada Nene-chan
yang cemberut dengan pipinya yang menggembung.
“Duhhh, Kakak ipar. Tolong
lihat Nene dengan baik ya?”
Kurasa dia marah karena aku
yang seharusnya dalam posisi belajar darinya, mungkin terlihat tidak
memperhatikannya.
“Maaf. Aku memperhatikannya
kok.”
“Oke, tolong ya?”
Nene-chan melepaskan tangannya dari
pipiku dan tersenyum dengan tangan menutupi mulutnya.
Apa itu hanya perasaanku saja
kalau bibirnya tampak berkilauan dan Nene-chan terlihat sangat dewasa hari ini?
“Kakak ipar, kamulebih suka
daging sapi daripada daging babi, kan?"
“Yeah. Aku lebih suka daging
sapi.”
“Yeah, aku juga suka.”
Nene-chan mengambil sebungkus
daging sapi dan meletakkannya di keranjang belanja.
Sejak tadi aku merasa tidak ada
topik pembicaraan untuk sementara waktu. Yah, mungkin tidak masalah karena bisa
terlihat dari konteks percakapan.
“Nene-chan selalu bisa belanja
dengan lancar ya. Meskipun baru pertama kalinya kamu mengunjungi supermarket
ini, tapi sepertinya kamu tahu persis di mana barang-barangnya.”
Nene-chan kemudian memberikan
penjelasan.
“Setiap supermarket merancang
tata letak dan penempatan barang berdasarkan pola gerak pembeli. Mulai dari
pintu masuk berlawanan arah jarum jam, mulai dari sayuran dan buah-buahan,
daging dan ikan, hidangan siap saji, lalu roti dan susu. Di bagian dalam
biasanya ada makanan beku, minuman, makanan ringan, dan bahan makanan lainnya.”
Mungkin karena mengetahui hal
tersebut, jadi dia bisa berbelanja tanpa ragu-ragu, ya.
“Oh, begitu rupanya. Dengan
tata letak seperti itu, mereka bisa merangsang keinginan belanja pengunjung
selama kita berputar di dalam.”
“Seperti yang diharapkan dari
Kakak ipar. Begitulah adanya.”
Selain kemampuannya belanja
dengan lancar, kemampuannya untuk tidak membeli barang yang tidak perlu juga
luar biasa.
Biasanya gadis remaja akan
tergoda untuk membeli makanan ringan atau minuman manis jika berada di situasi
yang sama.
“Bagus juga cara mereka
merancangnya untuk mempengaruhi pembelian. Namun, dengan pengetahuan itu, kamu
bisa memahami tentang pemasaran sehingga tidak tergoda untuk membeli hal-hal yang
sebenarnya tidak diperlukan.”
Aku dengan santai mengatakan
itu, tapi suasana hati Nene-chan sedikit berubah seketika.
“Itu tidak benar. Aku tidak
akan tergoda sama sekali sejak awal, aku hanya membeli barang yang benar-benar
dibutuhkan."
Sepertinya ada tekad yang kokoh
yang tersembunyi di matanya.
Meskipun sedikit bingung dengan
perubahan suasana, aku menjawab, “Be-Begitu ya. Kupikir itu hal yang bagus.”
Jadi begitu. Kurasa Nene-chan
adalah seorang yang rasional, pintar dalam menabung, dan tidak boros.
Setelah selesai membeli
bahan-bahan yang diperlukan, kami pun kembali ke rumah.
“Ayo, masuklah.”
“Aku pulang.”
“Selamat datang kembali di
rumah, lah tapi ini rumahku, jadi bukan 'aku
pulang' kali.”
“Aku salah. Permisi, maaf
mengganggu.”
Aku menyusun bahan makanan yang
sudah dibeli di atas meja dapur dan mulai mempersiapkan diri untuk memasak
dengan menggulung lengan kaos.
“Baiklah, ayo kita mulai
segera.”
“Kakak ipar, tunggu sebentar.”
Nene-chan berjalan cepat menuju
pintu masuk, mengambil kertas pembungkus dari sana, lalu memberikannya
kepadaku.
“Ini, silakan.”
“Ini...”
Setelah membuka kertas pembungkus,
ternyata isinya adalah celemek.
Celemek berwarna hitam polos
dengan bordir kecil [I.A] di dada kiri, dengan desain yang sederhana.
“Rasanya pasti lebih nyaman
jika menggunakan celemek, ‘kan? Itulah yang dikatakan ibu.”
“Mungkin rasanya lebih nyaman.
Tapi, bolehkah aku menerimanya?”
Tidak hanya menjaga pakaian
agar tidak kotor dan memiliki kantong yang berguna, celemek juga membuat
suasana memasak menjadi lebih menyenangkan. Namun, apa aku boleh menerimanya
setelah semua ini?
“Kamu bisa menerimanya tanpa
berpikir terlalu banyak. Selain itu, ada bagusnya dimulai dari hal kecil? Pasti
akan membuatmu semangat saat memakainya,”
Nene-chan tersenyum manis
kepadaku.
Sepertinya dia tahu persis apa
yang aku pikirkan, membuat detak jantungku berdetak semakin cepat.
“Benar juga. Aku senang. Tolong
sampaikan terima kasihku pada ibu mertua.”
“Baik. Aku akan
menyampaikannya.”
Saat aku membuka lipatan
celemekku untuk memakainya,
“Aku akan mengikatkan tali
celemek untukmu, ya?”
Nene-chan berjalan
mengelilingiku dan mengikatkan tali celemek di belakangku. Dengan sedikit rasa
malu, aku mengucapkan terima kasih.
“Ah, terima kasih.”
“Sama-sama. Aku juga akan
sedikit mempersiapkan masakan, jadi tunggulah sebentar ya.”
Nene-chan mengambil gelang
rambut dari dalam tasnya dan menggigitnya.
Dia merapikan rambutnya dengan
tangan ke atas kepala, menggulungnya menjadi gaya ekor kuda, lalu mengikatnya
dengan gelang rambut.
Rambutnya dengan gaya ekor kuda
terikat rapi dalam sekejap.
Kontras antara rambut hitam dan
rambut merah muda di bagian dalam, leher yang ramping, dan keseimbangan antara
anting-anting di telinganya terlihat sangat cantik.
Ada keindahan yang berbeda dari
gaya rambutnya pada saat acara formal.
“Ehehe, Nene juga punya loh.”
Selanjutnya, Nene-chan
mengeluarkan celemek dari dalam tasnya.
Desainnya serupa dengan
milikku, namun warnanya bukan hitam melainkan biru lembut. Tidak ada bordir
inisial.
Aku sedikit terkejut karena
mengira gadis-gadis suka menggunakan desain dan warna yang lucu, namun celemek
dengan warna yang tenang ini memberikan kesan rumah tangga yang hangat dan
anehnya terlihat pas dengan Nene-chan.
“Eh, Kakak ipar. Bisakah kamu
mengikatkan tali celemekku?”
“Oh, tentu saja.”
“Terima kasih.”
Karena dia baru saja melakukan
hal yang sama padaku, jadi wajar saja. Tapi setelah memberikan jawaban, aku kembali
menyadari pakaian Nene-chan hari ini.
Nene-chan mengenakan gaun dengan
punggung terbuka. Saat mengikat tali celemeknya, maka secara tidak langsung aku
harus melihatnya dari jarak dekat. Karena aku sudah terlanjur menerima permintaan
ini, jadi mau tak mau aku harus melakukannya.
Aku berjalan ke belakang
Nene-chan dan bersiap untuk mengikatkan tali celemeknya.
Punggungnya yang sehalus dan
seputih hamparan salju yang belum pernah terjamah siapa pun, terlihat jelas
karena rambutnya diikat menjadi ekor kuda. Meskipun hanya sekadar mengikat
tali, aku merasa sangat gugup.
Saat aku mulai mengikatkan talinya
erat-erat, punggung Nene-chan sedikit bergerak.
Jangan terlalu banyak berpikir.
Aku hanya perlu berkonsentrasi pada mengikat talinya saja.
Setelah melewatkan tali melalui
lingkaran, aku tinggal membentuk simpul kupu-kupu,
“Ahm~, Kakak ipar...”
Tiba-tiba, suara manis dan
mempesona dari Nene-chan membuat detak jantungku semakin cepat.
“Ad-Ada apa?”
“Kurasa kamu mengikatnya
terlalu eras...”
“Wah, maaf!”
Tanpa kusadari, tali yang diikat
terlalu kencang menusuk sedikit ke dalam kulitnya.
“Tolong lakukan dengan lebih
lembut ya?”
Aku tidak bisa menjawab
kata-kata yang menunjukkan permintaan untuk melonggarkan tali, tapi aku
akhirnya dengan canggung berhasil menyelesaikan pengikatan tersebut.
Meskipun aku merasa sedikit
lelah sebelum memasak, tapi acara yang sebenarnya baru dimulai.
Kami akan membuat nikujaga hari
ini. Ini adalah kesempatan untuk membalas kegagalan sebelumnya.
“Hari ini, aku telah mengubah
resepnya sehingga kakak ipar, yang masih pemula dalam memasak, bisa membuatnya
sendiri.”
“Oh, itu sangat membantu.”
“Dari situ, kamu bisa mencoba
resep yang sedikit lebih sulit dan berbagai hidangan lainnya.”
Penting untuk memberikan
pengalaman sukses sebelum mencoba hal-hal yang lebih sulit. Sepertinya ibu
mertua memahami hal tersebut.
Nene-chan membacakan resep
sementara aku mengikuti petunjuknya.
“Meski begitu, ini sangat lucu,
ya?”
“Eh! ... Apanya?”
“Aku hanya merasa bahwa tulisan
resep dan karakter yang digambarkan di sana terlihat sangat lucu.”
“Oh, begitu ya.”
Fyuh,
Nene-chan mengipasi wajahnya dengan resep yang dia pegang di tangannya.
Sebelum memasak, aku sempat
melihat resep yang memiliki tulisan bulat-bulat dan catatan yang disajikan
dalam bentuk percakapan karakter yang membuatnya mudah dipahami.
Resep ini akan diberikan
kepadaku setelah selesai memasak. Aku sangat menghargainya.
Mulai dari pemilihan bekal
makan siang, sepertinya ibu mertua menyukai karakter-karakter lucu.
“Maaf, itu hanya pembicaraan
yang tidak penting. Mari kita lanjutkan.”
“Umm pertama-tama, kita bisa mulai
dari memotong sayuran dulu. Kupas kulit wortel dan kentang, lalu potong
keduanya menjadi beberapa bagian, ya.”
“Iya.”
“Kamu merespons dengan baik,
Kakak ipar.”
Fufu, ucap Nene-chan
tersenyum.
Aku sedang diajari, jadi aku
harus bersikap hormat, tetapi rasanya agak lucu juga ketika aku bersikap hormat
kepada Nene-chan.
“Meski hanya sayuran, pastikan
untuk memotongnya ke dalam ukuran sekali suapan. Dengan begitu, pemasakan akan
merata dan lebih mudah disantap tanpa stres saat dimasukkan ke dalam mulut.”
“Oh, begitu rupanya.”
Dia bahkan sampai memikirkan
bagaimana orang akan memakannya.
Meskipun dia menyebut ukuran
sekali suapan, satu suapan bagiku masih terlalu besar, jadi aku akan
menyesuaikannya dengan Nene-chan. Dengan berpikir demikian, aku melihat bibir Nene-chan.
Bibirnya yang merah muda dan
wajahnya yang mungil membuat mulutnya juga tidak terlalu besar.
“Apa yang sedang kamu lihat,
Kakak ipar?”
“Aku hanya sedang melihat
bibirmu, Nene-chan.”
“Eh!”
Nene-chan merasa malu dan
segera menutupi mulutnya.
“Aku ingin memotong sesuai
dengan ukuran satu suapan Nene-chan. Tapi kalau begitu aku tidak bisa melihatnya.”
“Uhhhm... kalau begitu."
Nene-chan mengalihkan
pandangannya sambil menggeser tangannya.
“Ya, kurasa ukuran segini sudah
pas. Terima kasih.”
Aku ingin orang yang memakannya
menganggapnya enak karena aku sudah bersusah payah memasaknya.
“Selanjutnya adalah bawang
bombay, Kakak ipar harus mengupas kulitnya, potong setengah, dan iris tipis.”
“Yang ini juga ukuran satu
suapan, ‘kan?”
Aku kembali melihat bibir
Nene-chan untuk memastikan ukurannya saat memotong.
Dengan begini aku sudah selesai
memotong semua sayurannya.
“Ka-Kakak ipar hanya perlu
memotong dagingnya selebar lima sentimeter saja. Jadi, kamu tidak perlu melihat
mulutku, oke?”
“Baiklah.”
“Selanjutnya, masukkan air,
kecap, mirin, gula, dan bumbu dashi instan ke dalam wajan.”
“Memangnya kita tidak memasak
sayuran dan dagingnya dulu? Dan kenapa pakai wajan ketimbang panci?”
Aku bertanya karena cara
membuatnya berbeda dengan cara masakku yang sebelumnya gagal.
“Kali ini resepnya bisa dibuat
enak tanpa harus memanggang di satu wajan saja.”
Oh, jadi ada juga yang seperti
itu ya.
Alangkah baiknya jika bisa
memasak dengan sedikit usaha namun rasanya tetap enak.
“Jika menggunakan bumbu dashi
instan, itu akan menjadi lebih mudah."
“Karena merebus dashi itu cukup
merepotkan. Bumbu dashi instan sudah cukup enak, dan yang penting adalah bisa melanjutkan
memasak setiap hari.”
Aku juga sependapat dengan itu.
Pertama-tama, mari kita membiasakan diri untuk memasak.
Sangat disayangkan jika aku
harus menyulitkan diriku sendiri dengan standar yang tinggi sehingga tidak mau
memasak lagi.
“Selanjutnya, masukkan
bahan-bahan ke dalamnya dan panaskan dengan api sedang supaya dashinya bisa
meresap dengan merata.”
“Ohh, kalau dengan cara begini,
daging tidak akan menggumpal dan lebih mudah merata, ya. Sebelumnya saat aku
memanggang, daging langsung menggumpal dan terasa seperti potongan kecil.”
Nene-chan mengangguk setuju
seolah-olah dia bersimpati padaku.
“Setelah itu kita tinggal
menutup pancinya. Hal ini akan mencegah sayuran hancur dan mencegah cairan
kaldu menguap.”
“Sebelumnya, cairan kaldu
berkurang dan terbakar. Jadi begitu ya, aku seharusnya melakukan begini.
Tapi...”
Meskipun hanya ada penutup
panci biasa, tapi aku tidak memiliki penutup yang sedikit lebih kecil dari
wajan.
“Jangan khawatir, kita bisa
menggunakan tisu dapur, jadi tidak masalah. Selain itu, itu akan menyerap uap
airnya.”
“Rasanya sangat berguna sekali
karena bisa menjadi penutup sementara dan penyerap uap air.”
“Iya, sungguh luar biasa.
Kemudian didihkan selama dua puluh lima hingga tiga puluh menit. Setelah itu,
sudah hampir selesai.”
Setelah proses pemasakan selesai,
aku membuka tisu dapur dan di sana terdapat nikujaga yang bentuk sayurannya
tetap terjaga tanpa terbakar, daging yang tidak menggumpal, dan semuanya tampak
sempurna.
“Selanjutnya kita tinggal mematikan
api kompor dan biarkan sebentar agar kaldu meresap ke dalam. Setelah itu, semuanya
selesai.”
“Wah, ini luar biasa!”
“Fufu, Kakak ipar terlalu
berlebihan.”
“Aku sama sekali tidak
berlebihan. Kegagalan sebelumnya cukup mengecewakan bagiku. Aku merasa senang
bisa memperbaikinya kembali.”
“Syukurlah kalau begitu. Aku
juga ikutan senang.”
Nene-chan tersenyum penuh
kebahagiaan.
“Selamat makan.”
Tepat di hadapanku terdapat
nasi putih, nikujaga, telur dadar, dan sup miso yang tersusun rapi.
“Kakak ipar pandai memasak
telur dadar, ya.”
“Iya, ‘kan?”
Sambil menunggu bumbunya
meresap, aku mulai membuat hidangan lain. Hanya ini satu-satunya masakan yang
bisa aku buat dengan baik.
Aku merasa lauk pauknya terasa
kurang hanya dengan nikujaga saja, jadi aku membuat telur dadar untuk
menunjukkan sedikit keahliannya.
Meskipun ini hanya sup miso
instan, tapi rasanya masih enak dan pas.
“Yeah, telur dadarnya enak
sekali!”
“Syukurlah, aku merasa sedikit
gugup karena ini pertama kalinya aku memberikannya kepada seseorang."
“Eh, aku adalah orang pertama
yang mencicipi masakan Kakak ipar?”
“Mungkin bisa dibilang begitu.”
Aku mempunyai kepercaraan diri
cukup besar dengan masakan telur dadarku, aku tapi belum pernah memberikannya
kepada orang lain sebelumnya.
“Masakan pertama Kakak ipar...
boleh aku menghabiskan semuanya?”
“Silakan.”
Tatapan matanya seakan-akan
berubah ketika Nene-chan mulai menyantap telur dadar dengan lahap.
Entah dia sangat menyukainya
atau dia memang hanya sangat menyukai telur dadar.
Sedangkan aku sendiri, hanya
dengan nikujaga saja sudah cukup.
Kira-kira bagaimana rasanya
dengan hidangan utama nikujaga hari ini?
“Woaahh, rasanya enak sekali. Aku
tidak menyangka kalau aku sendiri yang membuat ini!”
Rasanya sangat berbeda dengan
masakan yang aku buat sebelumnya.
Yang sebelumnya benar-benar
gosong seperti tanah atau lumpur.
“Yang ini juga enak. Kamu
melakukannya dengan bagus sekali, kakak ipar.”
Puk,
puk, puk, aku merasa ada elusan lembut di kepalaku. Entah mengapa aku
merasa seperti pernah merasakan sensasi serupa sebelumnya...
“Ehm, Nene-chan?”
“Oh, maaf. Aku keceplosan... kamu
pasti tidak suka diperlakukan seperti ini oleh wanita yang lebih muda, ‘kan?”
Nene-chan mendekatkan dirinya
dan bertanya kepadaku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ehm, aku tidak keberatan. Hanya
saja aku merasa malu.”
“Benarkah?”
“Iya. Jadi tenang saja.”
Seiring kita tumbuh dewasa,
kesempatan untuk dipuji semakin berkurang. Jika kamu melakukan sesuatu dengan
baik, maka itu dianggap wajar; namun jika gagal, kamu akan dimarahi. Itu adalah
hal yang biasa terjadi.
Jadi, daripada merasa kesal,
aku justru merasa senang. Aku tidak ingin mengatakan apa pun tentang hal itu
karena harga diriku sebagai orang yang lebih tua.
“Terima kasih atas makanannya.”
“Tak disangka memasak tuh
menyenangkan, ya.”
Aku mengungkapkan pendapatku
dengan jujur. Menyajikan sesuatu bersama orang lain itu menyenangkan.
“Yeah. Mari kita memasak lagi
seperti ini, ya?”
“Eh?”
“Karena Kakak ipar baru
mempelajari satu masakan saja, ‘kan?”
“Aku juga bisa membuat telur
dadar, lho.”
“Dua menu itu saja agak sulit.
Selain itu, aku khawatir tentang keseimbangan gizi... atau itulah yang mungkin akan
dikatakan ibu.”
Aku pikir dengan memamerkan
kemampuan memasak lainnya tidak masalah, tapi ternyata tidak begitu. Meskipun aku
bisa membuat nikujaga dan tamagoyaki, itu masih belum cukup.
“Lain kali, ayo kita memasak
makarel yang direbus dengan sup miso! Kakak ipar sangat menyukainya, ‘kan?”
“Yeah, aku sangat menyukainya.”
Miso makarel adalah hidangan
favorit keduaku setelah nikujaga.
Aku merasa sedikit bersemangat
saat memikirkannya.
“...”
“Nene-chan? Apa ada yang salah?”
Aku memanggil Nene-chan yang
tiba-tiba membeku karena suatu alasan.
“Bu-Bukan apa-apa! Ehm. Waktu
senggangku..... bagaimana kalau di hari ini?”
“Oke, tidak masalah. Karena aku
punya banyak waktu luang, jadi aku akan menyesuaikannya dengan jadwal
Nene-chan.”
Dengan demikian, pelajaran
memasak berakhir dengan lancar dan rencana selanjutnya pun sudah diputuskan.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya