Selingan 3 —
Bagian Nene 2
Jalan menuju Sekolah SMA
Amagamine dipagari dengan pepohonan hijau di sepanjang jalan sehingga
suasananya terasa segar nan mempesona.
Setelah mengantarkan kepergian Arata
yang mengenakan jas, Nene pun pergi ke sekolah.
“Fufu.”
Saat dia memberi salam ‘hati-hati di jalan’ kepada Arata, Nene
merasa senang.
Aku
malah merasa lebih bersemangat setelah memberinya semangat.
“Wahh Fujisaki-senpai tadi
tersenyum, lho.”
“Seriusan? Bukannya itu
pemandangan yang langka?”
“Kalau dia nutupi mulutnya pake
kedua tangannya, keliatan banget kesopanan dan kepolosannya...”
Meskipun para siswa laki-laki
berbisik-bisik dengan hati-hati, kata-kata mereka tidak sampai ke telinga Nene.
Tanpa memedulikan hal itu, Nene mengeluarkan ponselnya dan menatap layar.
“Wajah aneh.”
Di layar ponselnya terpampang
foto selfie yang diambil pagi ini bersama Arata. Arata sedang memegang kotak
makan dan sumpit sambil memperlihatkan wajah datar, sementara Nene menekan
mulutnya erat-erat.
“Beneran, wajah aneh banget ya...
Aku.”
Meskipun wajahnya seakan-akan
menahan senyum, bagi orang yang melihatnya itu adalah ekspresi yang begitu
menggemaskan sampai membuat hati berdebar. Namun, bagi dirinya sendiri, sepertinya
itu tidak disukainya.
“Tapi ya mau bagaimana lagi”
Karena inilah yang terjadi jika
dia berada di samping Arata yang mengenakan setelan jas.
Ketika Nene pertama kali
melihatnya, Arata terlihat sangat keren dengan jasnya yang terkesan rapi dan ia
terlihat seperti bos sempurna yang bisa melakukan pekerjaannya dengan baik.
Aku
harus menahan diri agar tidak tersenyum lebar atau terlalu menatap matanya,
tapi mungkin dia merasa aneh ya?
Sambil merenungkan kejadian
pagi tadi, Nene merasa khawatir seperti itu.
Nene mempertimbangkan untuk
menghapus dan mengambil foto ulang, tapi tidak mungkin untuk menghapus foto
Arata, dan dia pasti akan membuat wajah aneh lagi jika mengambil foto ulang. Jadi
dirinya menyerah.
Aku
harus berusaha agar bisa mengambil foto dengan baik.
Nene bertekad untuk
melakukannya dengan menggenggam tangan kecilnya erat-erat.
Dan kemudian, dia kembali
menatap layar ponselnya sambil menghela nafas.
“Haaa...”
Tidak
peduli berapa kali aku melihatnya, ia tetap terlihat keren, gumam
Nene dalam hati. Lalu tiba-tiba, bahunya dipukul dari belakang.
“Selamat pagi, Nene. Mengapa
mendesah? Apa kamu merasa lelah setelah sembuh?”
“Selamat pagi, Himari. Hm? Aku
baik-baik saja, kok.”
Padahal dia hanya mendesah
karena merasa kagum saat melihat fotonya bersama Arata, tapi Himari justru
khawatir tentang itu.
Meskipun Nene merasa panik di
dalam hati, dia segera menyembunyikan ponselnya dengan cepat agar tidak
terlihat gelisah.
“Benarkah? Kamu yakin baik-baik
saja?”
“Ya, aku baik-baik saja.”
Himari melihat wajah Nene dan
kemudian mulai berbicara.
“Ya, kamu terlihat sehat-sehat
saja saat aku melihat wajahmu. Lebih tepatnya, bukanya kamu tampak sumringah
dari biasanya.”
“Apa iya? Kupikir aku masih
sama seperti biasanya.”
“Enggak juga. Aku selalu
melihatnya setiap hari, jadi aku bisa memahaminya. Apa ada sesuatu yang baik
terjadi padamu, Nene?”
Seperti biasa, Nene memiliki
tekanan darah rendah, kulit putih sebening kaca, dan kurang berekspresi, tapi
hari ini pipi Nene sedikit merah.
Mungkin perubahan kecil
tersebut tidak akan terlihat oleh orang biasa. Namun, Himari tidak melewatkan
perubahan itu. Memang pantas kalau dirinya disebut sebagai sahabat Nene.
“Hmm... mungkin ada sesuatu
yang baik.”
“Ehh~! Itu luar biasa! Kasih
tahu dong!”
“Hmm~ gimana ya?”
“Himarichi, Nenechi, selamat pagi!
Kelihatannya kalian lagi senang-senang ya? Miu juga ikutan dong!”
Miu segera muncul di antara
mereka berdua.
Saat melihat wajah Nene, Miu
langsung meningkatkan semangatnya.
“Eh, bukannya hari ini Nenechi
lebih cantik dari biasanya? Entah kenapa pesonamu jadi sangat meningkat.”
“Benar kan! Kamu juga
menyadarinya, Miu? Aku sedang mencari tahu alasannya!”
“Ya, aku langsung sadar! Ini
pasti masalah gadis kasmaran, iya ‘kan?”
“Apa aku benar-benar berbeda
dari biasanya?"
Nene bertanya sambil
memiringkan kepalanya.
Menanggapi hal tersebut, mereka
berdua berkata serempak.
“Kamu benar-benar sangat
berbeda.”
Di puncak kegembiraan mereka,
Himari dan Miu membombardir Nene dengan pertanyaan, yang berujung pada obrolan
para gadis yang begitu meriah.
Hal ini berlanjut hingga jam
wali kelas pagi dimulai.
◆◆◆◆
Pada malam harinya. Nene ambruk
di atas kasurnya dengan bunyi gedebuk. Selimut bulu angsa yang mewah itu perlahan-lahan
membungkus tubuh Nene.
Nene yang mengenakan baju tidur
bergambar karakter lucu sedang melihat kalender di ponselnya.
Nene mengetuk tanggal yang
ditandai dengan simbol hati di kalendernya.
“Besok adalah hari dimana aku
akan memasak bersama Arata-san. Kira-kira, apa bajuku sudah pantas?”
Nene sedang memikirkan pakaian
yang tergantung di lemari sambil mengingat-ingat.
“Semuanya akan baik-baik saja, ‘kan?
Karena mereka berdua sudah melihatnya bersama-sama.”
Sejak saat itu, setelah kalah
dalam serangan pertanyaan yang tajam dari Himari dan Miu, Nene menceritakan
situasinya saat ini.
Setelah mendengarkan ceritanya,
mereka secara serempak mengatakan, “Kami
akan mendukungmu!” sambil menyemangati Nene.
Meskipun hubungan mereka rumit,
tapi dari sudut pandang keduanya yang mengetahui masa lalu Nene, ini adalah hal
yang harus didukung.
Nene juga menyampaikan bahwa
dia akan mengajari Arata memasak.
Beberapa hari kemudian, mereka
sepakat untuk pergi bersama membeli pakaian untuk hari itu.
Pakaian yang dibeli saat itu
sekarang tergantung di lemari.
“Walaupun berbeda dari
biasanya, mungkin aku akan terlihat lebih dewasa jika mengenakan pakaian itu?
Beberapa waktu yang lalu, aku bahkan tidak dianggap serius dan dianggap sebagai
anak-anak...”
Kejadian sebelumnya yang dia
maksud adalah ketika Arata tidak menceritakan alasan kenapa dirinya berhenti
dari pekerjaannya.
Saat
itu, Arata-san tidak mau mengatakan bahwa dirinya dipecat dari perusahaan Ayahnya
karena masalah yang ditimbulkan oleh keluarga Fujisaki.
Mungkin
ia berpikir bahwa aku mungkin akan khawatir jika aku mendengarnya.
Meskipun
aku senang dengan perhatian Arata-san, tapi di saat yang sama aku merasa
sedikit sedih karena merasa hanya aku yang diperlakukan seperti anak kecil.
Sebenarnya,
aku ingin dia bercerita padaku.
Aku
ingin mengkhawatirkannya.
Aku
ingin dia meminta bantuan.
Karena
itu, aku akhirnya memberitahunya sendiri tentang situasinya.
Setelah
mendengar penjelasanku, Arata-san terlihat sangat menyesal. Ekspresinya bukan
karena malu atau kesedihan pribadi, tapi hanya karena khawatir padaku.
Aku
sudah berusia delapan belas tahun. Aku bukannya merasa sombong dan menganggap
diriku dewasa, tapi aku memang sudah dewasa.
Undang-undang
telah berubah dan bahkan gadis SMA dapat menikah pada usia 18 tahun, dan karena
mereka bukan anak di bawah umur, jadi Arata-san tidak perlu mengkhawatirkan hal
tersebut.
Tapi,
mungkin aku masih belum dapat diandalkan ya...
Karena,
sebenarnya aku bukanlah anak baik seperti yang dikatakan Arata-san, sebenarnya
aku anak yang nakal.
Dengan kegelisahan seperti itu
di dalam hatinya, Nene menatap ponselnya. Itu adalah foto selfie dengan Ara
yang dia kumpulkan dalam folder.
“...Apa kami terlihat seperti
sepasang kekasih?”
Dia terkejut dengan komentar
kecil yang keluar dari mulutnya sendiri.
Tubuhnya menjadi panas, dan dia
tak bisa menahan diri untuk tidak berguling-guling di atas tempat tidurnya.
Dia bernapas dalam-dalam untuk
menenangkan diri, tetapi dia melihat kertas pembungkus yang diletakkan di atas
meja, dan tak sengaja kegembiraan meluap-luap dari dalam hatinya saat
membayangkan hari esok.
“Aku sangat menantikannya, fufu.”
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya