Selingan 4 —
Bagian Mantan Tunangan 2
“Sudah kuduga, mie gelas
rasanya enak banget.”
“...Ya, rasanya enak.”
Pada suatu hari di sore hari.
Minato dan Himeno sedang makan
siang di rumah.
“Ada apa, Himeno? Sepertinya kamu
tidak terlalu menyukainya, ya. Padahal waktu pertama kali memakannya, kamu
begitu terkesan, kan?”
“Tidak, ini rasanya enak kok.
Hanya saja...”
(Setelah
beberapa kali berusaha membuat masakan sendiri, Minato-kun berkata, 'Ayo makan
ini’ dan kami pun selalu menyantap mie gelas. Di rumah, aku tidak pernah makan
makanan instan seperti ini sebelumnya, jadi ketika pertama kali mencoba saat
mendaki bersama teman-teman dulu, aku sangat terkesan. Aku senang karena Minato
masih ingat dan mengatakan hal itu padaku, tapi belakangan ini aku selalu memakan
itu-itu saja.)
“Ahh, kamu bosan dengan rasanya
ya. Kalau begitu, coba tambahkan banyak mayones, rasanya akan berubah menjadi
enak sekali. loh!”
“Ka-Kalau gitu, boleh aku minta
sedikit?”
(Minato-kun
selalu menambahkan mayones ke segala sesuatu. Aku tidak terlalu menyukainya
karena rasanya terlalu kental, selain itu jika aku terlalu banyak memakannya,
itu akan membuatku gemuk...)
“Ya, silakan ambil. Oh ya, aku
menemukan rasa jenis baru kemarin, ini disebut Seafood Hot Chili Cheese, terlihat enak kan?”
Minato dengan semangat
mengeluarkan mie instan lain yang telah dibelinya dan menunjukkannya pada Hime.
Melihat senyum tulus Minato,
Himeno menahan rasa tidak puas yang hampir keluar dari bibirnya.
“Ra-Rasa baru! Kelihatannya
enak!”
“Nah, ‘kan? Berarti makan malam
kita sudah diputuskan!”
(Fyuh,
Himeno yang berasal dari keluarga kaya sangat tertarik pada makanan sehari-hari
rakyat biasa. Semoga ini cukup baginya.)
Minato menghela nafas sambil
berbalik.
“Eh, hari ini aku yang akan
memasak makan malam, loh? Kan, sejak kita datang ke sini, aku hanya beberapa
kali masak, jadi mungkin sudah saatnya kamu merindukan dengan masakan buatan
sendiri, ‘kan? Minato-kun, kamu selalu menyukainya dan memakan semuanya!”
(Ketika
aku memasak sebelumnya, meskipun aku membuat banyak, Minato-kun memintaku untuk
membiarkannya dan makan semuanya, itu membuatku senang. Tapi pada akhirnya ia
selalu menambahkan mayones...)
“Eh!? Ehm, aku memang kangen
dengan masakan Himeni, tapi mungkin kamu lelah setelah keluar dari acara dan
belum membiasakan diri di tempat yang tidak biasa, jadi hari ini istirahatlah.”
“Benarkah?”
“Tentu! Terkadang meskipun kamu
kelihatannya baik-baik saja, tapi sebenarnya kamu sedang lelah secara emosional!
Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku, jadi tenang saja, hari ini kita makan mie
instan varian baru ini saja ya? Bagaimana? Karena aku mengkhawatirkanmu, Himeno.”
Minato berkata dengan ekspresi
canggung dan keringat yang mengucur deras.
“Kamu mengkhawatirkanku? Minato-kun,
kamu baik sekali... Ya, hari ini juga kita makan mie instan.”
Tanpa menyadari keadaan Minato,
Himeno tersipu malu dan menerima usulannya.
(Fyuh,
ta-tadi itu bahaya banget, aku hampir saja berhasil menghindari masakan Himeno
hari ini)
Minato menyeka keringat dengan
lengan bajunya tanpa diketahui Himeno.
(Aku
merasa senang melihat dia berusaha keras untukku, tapi menghadapi materi gelap,
cairan aneh, dan rasa yang tidak seperti dari dunia ini setiap hari sungguh
berat. Selain itu, ketika dia membeli bahan masakan, dia selalu berkata itu
untukku dan mencoba membeli bahan makanan terbaik di supermarket yang mana
membuatku khawatir. Setiap kali dia bingung memilih apa yang akan dibeli dan
membutuhkan waktu lama, kemudian hasilnya tidak memuaskan, secara finansial dan
mental ini cukup menyiksa)
“Terima kasih atas makanannya.”
“Aku akan membuang wadahnya.”
“Terima kasih, Minato-kun.”
Setelah selesai memakan mie
instan, Minato berdiri, mengambil wadah yang sudah mereka habiskan bersama Himeno
menuju wastafel.
(Ah,
aku mulai bosan dengan mie instan dan makanan instan saja. Haa, aku tidak bisa
masak, mungkin aku harus meminta Mizuki untuk membuatkan masakan rumahan
setelah sekian lama? Ataukah aku harus meminta Mizuki untuk mengajari Hime
memasak? Aku harus menemukan solusinya.)
Minato merasa bahwa dirinya
tidak bisa melanjutkan gaya hidup makanannya seperti ini, tapi ia justru
menyerahkan solusinya kepada orang lain.
“Baiklah, kalau begitu aku akan
mencuci pakaian dulu.”
“Maaf aku selalu merepotkanmu.”
Himeno meminta maaf atas
gumaman Minato.
“Jangan khawatir. Aku sudah terbiasa
melakukannya karena sering menghabiskan waktu sendirian."
(Jika
aku mempercayakan pencucian pakaian pada Himeno, kejadian sebelumnya pasti akan
terulang kembali. Itu tidak bisa diizinkan.)
Di balik senyumannya, Minato
menggerutu dalam hati.
Saat Himeno pertama kali datang
ke rumah Minato.
Minato meminta Hime untuk
mencuci pakaiannya, dia malah ditanya, “Bukannya tinggal dikasih ke laundry
saja?”
Laundry biasanya tidak
dilakukan untuk pakaian sehari-hari. Biasanya hanya untuk pakaian bagus seperti
jas atau mantel.
Jika dirinya melakukan itu
setiap hari, biayanya akan menjadi mahal.
Ketika Minato bertanya
bagaimana dia mencuci pakaiannya, Himeno menjawab bahwa biasanya pakaiannya
dicuci oleh pembantu.
Minato merasa lucu dengan kesan
gadis kaya ini, tapi ketika memikirkan masa depan, mau tak mau dirinya merasa
cemas.
Saat Himeno bertanya bagaimana
ia biasa mencuci bajunya, Minato memberitahu bahwa ia mencuci menggunakan mesin
cuci.
Himeno tampak tertarik dengan
mesin cuci dan ingin mencobanya sendiri.
Minato mengajarinya cara
menggunakannya dan kemudian menyerahkan tanggung jawab kepadanya, tetapi itu
berakhir dengan kegagalan.
Ketika Minato mendengar
teriakan Himeno dan bergegas ke sana, ia melihat keadaan ruangan yang sudah dipenuhi
dengan busa.
Ternyata Hime telah menggunakan
seluruh detergen dalam satu kali cuci. Dia pikir semakin banyak digunakan akan
membuatnya lebih bersih.
Setelah itu, mereka harus
membersihkan ruangan dan mencuci lagi, dan itu sangat merepotkan.
Karena tidak ada kemajuan
meskipun diajari berkali-kali, jadi akhirnya mencuci menjadi tugas Minato.
(Melakukan
pekerjaan rumah setiap hari dan tidak bisa berbagi tugas itu sangat sulit...)
Meskipun Minato merasa
demikian, Himeno memberikan suatu saran.
“Benar juga, Minato-kun, aku berpikir
untuk segera menyapa orangtuamu, kapan mereka akan pulang?”
“Menyapa?”
“Karena kita akan menikah, ‘kan?
Jadi tentu saja kita akan menyapa mereka, kan?”
Himeno menunjukkan cincin
mainan yang dia kenakan di jari manis kirinya kepada Minato.
“Oh iya, aku akan bertanya
kepada mereka nanti.”
“Ya, tolong! Selain itu, aku
ingin kamu bertemu dengan orang tuaku juga...”
Himeno menundukkan wajahnya
seolah-olah merasa sulit untuk mengatakannya.
Minato mengerutkan kening
mendengar kata-kata itu, berpikir bahwa menyapa orangtuanya itu formal dan
merepotkan.
(Tunggu
sebentar... keluarga Himeno ‘kan kaya, jika kita tinggal bersama, apa itu
berarti kita bisa mendapatkan pembantu untuk melakukan pekerjaan rumah? Mungkin
kita juga bisa meminta bantuan pembantu untuk rumahku tanpa harus tinggal
bersama.)
Dia tersenyum licik dalam
hatinya, kemudian mengubah ekspresinya.
“Oh, benar! Aku juga merasa
perlu untuk bertemu dan memberi salam serta minta maaf kepada mereka!”
“Benarkah? Aku senang kamu
memikirkannya. Tapi, aku khawatir akan dimarahi...”
“Yahh, mungkin kita akan
dimarahi, tapi kita telah menemukan cinta sejati. Jika kita membicarakannya
baik-baik, mereka pasti akan mengerti.”
“Ya, benar. Inilah cinta sejati
kita. Jadi mereka pasti akan mengerti, iya ‘kan?”
Mereka berdua memutuskan untuk
pergi meminta maaf kepada orang tua Himeno.
Cinta sejati. Mereka berdua sangat
optimis bahwa orang tua Himeno akan mengerti jika mereka menyampaikan tentang
cinta sejati.
Terlebih lagi, salah satu dari
mereka memiliki keinginan yang agak kurang ajar.
Mereka tidak tahu apa yang akan
terjadi pada mereka.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya