Bab 3 — Rahasia Sepulang Sekolah
“────Entah kenapa, rasanya ada yang
aneh dengan Kazemiya-san hari ini, ya?”
“Aneh?
Apanya?”
“Dia terlihat mengantuk sejak tiba di
sekolah, dan selalu tertidur setiap ada jeda istirahat.
Bahkan sekarang…lihat tuh,
dia sudah tidur sejak istirahat
makan siang. Dia biasanya memakai headphone-nya dan menonton sesuatu.”
Atas desakan
Natsuki, aku
mengalihkan pandanganku ke
tempat duduk Kazemiya.
“.........”
Kazemiya
yang seharusnya selalu mendengarkan musik saat jam istirahat,
justru sedang berbaring di atas mejanya dan
tertidur. Rasanya seolah-olah dia
begadang semalaman hingga pagi hari.
Kalau
dipikir-pikir lagi, kalau tidak salah aku pernah
merekomendasikan sebuah game kepada Kazemiya tadi malam...... apa itu ada hubungannya dengan itu?
....Tidak.
Itu sih mustahil.
“Karena aku
belum pernah melihat Kazemiya-san
dalam keadaan seperti itu. Semua orang jadi merasa penasaran.
Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“...Entahlah.”
Aku
segera menepis bayangan yang muncul di kepalaku,
dan melanjutkan menyantap makan siangku
yang berupa roti.
☆☆☆☆
“Aku
begadang sepanjang malam memainkan game yang
kamu kasih tahu...”
Setelah
menyelesaikan pekerjaan paruh waktuku, aku langsung pergi ke restoran keluarga
dan itulah kpmentar pertama yang dikatakan Kazemiya kepadaku setelah kami bertemu.
(Aku tidak menyangka kalau dia benar-benar begadang semalaman
untuk bermain game. .....)
Sejujurnya,
meski aku sendiri yang
merekomendasikannya, aku tidak pernah menduga
kalau dia akan begitu antusias.
Ngomong-ngomong,
game yang aku rekomendasikan
kepada Kazemiya adalah game RPG aksi fiksi ilmiah dunia terbuka
yang baru saja dirilis beberapa hari yang lalu. Pemain berperan sebagai tentara
bayaran yang menjelajahi
galaksi dengan pesawat luar angkasa, dan dengan bebas mengunjungi berbagai
planet. Skenarionya juga tampak berbeda
tergantung pada tindakan dan pilihan pemain, menjadikannya karya populer dengan
tingkat kebebasan yang tinggi secara keseluruhan.
“Walaupum akulah
yang merekomendasikannya, tapi tak disangka kalau
Kazemiya akan begitu kecanduan. Kamu
sudah ditahap mana sekarang? Apa
sudah mendapat misi cerita atau semacamnya?”
Game ini
memiliki misi cerita, yang
berkembang melalui seluruh skenario. Kamu
tidak perlu memaksakan diri untuk maju melalui skenario, tetapi ada elemen yang
terbuka seiring kemajuanku, jadi
semakin banyak kemajuanmu, semakin
banyak yang bisa kamu lakukan.
“Aku baru saja menyelesaikan
tutorialnya dan meninggalkan planet pertama.”
“....Hmm?
Kamu begadang semalaman, ‘kan?”
Memang
benar saat pertama kali memainkan game ini, ada banyak
sekali video dan tutorialnya, sehingga
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tapi itu seharusnya
tidak cukup lama sampai membuatnya
begadang semalaman.
“Aku sedang mengotak-atik bukara.”
“....Gilee. Baru
pertama kalinya aku melihat seseorang begadang semalaman cuma karena membuat
karakter."
“Aku merasa
kesulitan karena belum mendapat sesuatu yang memuaskan. Sulit
dipercaya bahwa ada terlalu banyak kebebasan...”
Bukara
merupakan singkatan dari Pembuatan Karakter
yang intinya adalah menciptakan tampilan detail dari karakter pemain yang ingin dikendalikan dalam game.
Game yang
aku rekomendasikan ini memungkinkan
pembuatan karakter yang sangat detail. Kadang-kadang, di situs media sosial, kamu bisa melihat banyak karya bagus yang diposting di mana orang-orang telah
membuat karakter yang terlihat persis seperti karakter anime dari karya
lain....... Tampaknya Kazemiya juga
merupakan tipe pemain
ke arah itu.
“Rupanya
Kazemiya lumayan suka pilih-pilih, ya.”
“Mungkin begitu…Aku tidak membenci pekerjaan yang detail.
Sebaliknya, apakah kamu tipe orang yang tidak suka
terlalu spesifik, Narumi?”
“Aku
cenderung melakukan pembuatan
karakter dengan cukup mudah. Namun
bukan berarti aku tidak
terlalu memikirkannya. Ketika aku
bisa mengubah warna peralatan dan semacamnya,
aku mencoba menyatukannya dengan warna
yang kusukai.”
“Memangnya apa
warna favoritmu?”
“Merah
dan Emas”
“Bukannya
itu bagus? Kelihatannya cukup kuat.”
“Ya, benar sekali. Karena itu kelihatan kuat. Itu sebabnya aku
suka kombinasi warna merah dan emas.”
“Merah
adalah warna utama dalam game?”
“Tepat
sekali. Aku
menggunakan emas sebagai pelengkap.”
“Habisnya
nama depan Narumi adalah 'Kouta' iya, ‘kan.”
“Kazemiya
juga menyukai warna putih, ‘kan? Karena namamu adalah 'Kohaku'.”
“Setengah
benar.”
“Bagaimana
dengan separuh lainnya?”
“Sebenarnya
aku juga menyukai warna emas.
Lihat.”
Kazemiya
tersenyum tipis meskipun
dia terlihat mengantuk, dan memain-mainkan
rambutnya di jari-jarinya. (TN: Nama Kouta punya satu kanji yang mempunyai
arti scarlet/ crimson, sedangkan nama Kohaku punya satu kanji yang mempunyai
arti putih)
Keindahan
rambutnya, yang tampak seakan-akan memiliki kilau keemasan yang melekat pada
jari-jarinya, menarik perhatianku
secara tidak sengaja.
“Rambut
ini juga tidak diwarnai, ini warna rambut alamiku.
Karena Papahku adalah
orang dari luar negeri...Yah, aku dan Onee-chan dibesarkan di Jepang, jadi tidak
masalah.”
Orang dari luar negeri. Ada sesuatu dalam
cara dia memanggilnya yang
membuatku merasa seperti dia sedang
membicarakan seseorang yang jauh.
..... Tidak. Tidak ada gunanya berpikir
seperti ini. Aturannya adalah jangan ikut campur
urusan keluarga orang, dan aku tidak punya niatan untuk terlibat.
“Saat
aku masih kecil, aku sering diejek
karena warna rambutku, tapi aku sangat menyukainya. Itu sebabnya aku menyukai
warna emas.... Sebenarnya, aku berharap kalau headphone yang aku gunakan sekarang adalah
kombinasi warna putih dan emas, tetapi aku
tidak dapat menemukan desain yang memuaskan untuk kombinasi warna tersebut. Aku juga tidak membenci
kombinasi putih dan perak, jadi aku memilih yang ini.”
“Headphone...dari dulu aku sudah merasa penasaran karena itu model
yang jarang sekali. Kamu bahkan
repot-repot mencari model desain headphone yang sesuai seleramu. Apa itu
merupakan obsesi Kazemiya juga?”
“Ini
lebih seperti pertahanan
diri daripada obsesi. Kamu
tahu sendiri, pasti
rasanya sulit untuk berbicara dengan orang yang mengenakan ini, ‘kan?”
“Memang sih.
Sebelum aku mulai berbicara denganmu seperti
ini, aku mendapat kesan bahwa kamu tidak mau mendengarkanku.”
Strategi
pertahanan diri Kazemiya
adalah mengurangi jumlah orang yang mendekatinya demi
kakak perempuannya yang terkenal.
Namun,
mungkin ada beberapa orang yang akan berbicara dengannya tanpa memedulikan perkara itu, seperti
yang dilakukan seseorang pada suatu
pagi, tapi dilihat dari reaksinya,
sepertinya hal itu tidak berpengaruh sama sekali.
“Fuwa……”
Kazemiya
menguap sedikit sambil menutup mulutnya dengan tangannya. Bahkan penampilannya bisa disulap menjadi lukisan
bertajuk ‘Tidurnya Sang Bidadari Putih.'
“Bagaimana
kalau kita pulang saja hari
ini?”
“Hmm...enggak mau...”
“Jangan
bilang ‘enggak mau’.
Dari apa yang kulihat, kelihatannya kamu sudah
ngantuk berat.”
“...Aku
masih sanggup buat melek, kok.”
“Perkataanmu
terlihat tidak meyakinkan jika kamu tertelungkup di atas meja begitu.”
“...Habisnya itu menyenangkan. Aku bisa berbicara dengan Narumi seperti
ini. Jauh lebih baik daripada berada di rumah.”
Rasanya
tidak nyaman untuk tinggal di rumah. Aku sangat memahami perasaan itu. Itu
sebabnya aku tidak tega
mengatakan, “Ayo kita pulang”,
lagi.
“Kalau
begitu, setidaknya tidurlah di sini. Aku
akan membangunkanmu sebentar lagi.”
“...Ayo
mengobrol saja yuk. Rasanya sia-sia banget kalai dipakai untuk tidur.”
“Mendingan kamu tidur saja sebentar dulu. Rasanya akan berbahaya jika kamu berjalan pulang dalam keadaan kurang tidur.”
“....Aku akan baik-baik saja karena ada Narumi bersamaku.”
“Jadi kamu akan melimpahkan semuanya padaku?”
“..... Kita kan sudah
membentuk aliansi.”
“Itu sungguh
aliansi yang praktis sekali...”
“.... Jadi, apa itu berarti Narumi
adalah pria yang praktis untukku?”
“Lalu,
apa Kazemiya adalah gadis yang praktik
untukku?”
“....Oke,
aku tidak masalah dengan itu. Aku akan dengan
senang hati menjadi gadis praktis untukmu.”
“Kamu
pasti lagi sangat mengantuk, ya?”
“.....
Yeah. Aku tidak tahu lagi apa yang
kubicarakan.”
Sudah pasti
begitu. Dia sudah mengatakan hal-hal gila dengan wajah bidadarinya sejak tadi.
“Untuk
saat ini, tidurlah dulu. Selain itu, hari ini jangan main game dulu.”
“Eh...padahal lagi bagus-bagusnya.”
“Kamu belum sampai sejauh ini untuk
menyebutnya sebagai tempat yang baik.”
“...Petualanganku
baru segera dimulai.”
“Bukannya perjalananmu masih buntu?”
Sepertinya
hal ini semakin melenceng kemana-mana... Aku perlu mengatakan sesuatu yang tegas.
“Jika kamu begadang semalaman untuk bermain
game lagi, kamu mungkin
akan tertidur saat menonton film besok.”
“………………………………Itu
sih enggak mau.”
Tampaknya
itulah faktor penentunya. Kazemiya
secara bertahap menyerah untuk tidur.
“......Jangan bilang kau sudah pulang
duluan atau semacamnya.”
“Tentu
saja tidak.”
“.....Kamu akan membangunkanku, ‘kan?”
“Serahkan saja padaku.”
“Kalau
gitu... aku akan tidur sebentar. Selamat malam.”
Kazemiya
jatuh ke dalam dunia mimpi
seolah-olah saraf motoriknya berhenti berfungsi.
Wajah tidurnya bagaikan
bidadari yang polos.
...Sekarang aku memiliki semua ini untuk diriku sendiri, aku mungkin adalah
orang paling beruntung di
dunia.
“...Meskipun aku sendiri yang
menyarankannya untuk
tidur. Tapi ya ampun, kamu itu terlalu
tidak berdaya, Kazemiya.”
Aku menyegarkan tenggorokanku dengan soda melon,
berusaha menahan keinginan untuk menyodok pipinya.
Setelah
itu, aku membangunkan Kazemiya dan
meninggalkan restoran, namun rupanya dia cukup malu karena tertidur telungkup di
atas meja di restoran keluarga...
“Aku
sudah tidak bisa pergi ke toko itu
lagi...sudah tidak mungkin lagi.”
Dalam
perjalanan pulang, entah bagaimana aku berhasil menghibur Kazemiya yang
tenggelam dalam rasa malu.
Dan
Kazemiya sepertinya sudah berjanji untuk tidak begadang semalaman untuk bermain
game di masa depan.
☆☆☆☆
Keesokan
harinya. Hari ini, hari Kamis, aku merasa resah dan gelisah sejak pagi tadi.
Aku terus-menerus memeriksa waktu di jam
kelas atau di ponselku tanpa alasan yang jelas.
Kenapa aku jadi gelisah padahal yang ingin kulakukan hanyalah pergi menonton
film bersama temanku?
(……Hari
ini jam pelajarannya lama banget, ya.
Memang biasanya selama
ini?)
Jam
pelajaran kedua masih belum berakhir. Entah kenapa, hari ini jarum jam
bergerak sangat lambat.
Selalu
seperti itu selama jam pelajaran,
terutama hari ini.
Aku
secara mekanis menggerakkan tanganku
untuk mencatat di papan tulis, tetapi aku
tidak dapat mengingat apa yang diajarkan di kelas.
Aku
memeriksa jam kelas lagi. ...Baru
satu menit berlalu sejak aku
memeriksa waktu sebelumnya. ……aneh sekali.
Rasanya sekan-akan waktu terasa berjalan lebih lambat di ruang kelas ini.
(...Percuma saja. Aku
tidak bisa berkonsentrasi pada
pelajaran.)
Pada saat
aku merasakan hal itu, ponselku
mengeluarkan getaran untuk memberitahuku
tentang adanya notifikasi.
Aku
mengeluarkan smartphone-ku sambil berusaha agar tidak kelihatan oleh guru, dan melihat ada pesan dari Kazemiya.
●Kohaku: Kamu terlalu sering melihat jam, tau.
Selain
dua karakter sederhana tersebut, ada juga stempel kucing yang baru saja dibelinya.
●Kouta: Aku tidak melihatnya.
●kohaku: Aku melihatmu yang melihatnya.
Apa-apaan
itu maksudnya....dan kemudian stempel kucing lain dikirimkan lagi ke arahku.
●Kouta: Kupikir jam berjalan sangat lambat hari ini.
●kohaku: Aku paham banget.
●kohaku: Aku juga memikirkan hal yang sama.
●kohaku:
Seseorang mungkin sudah merusah
jam.
●Kouta: Memangnya siapa seseorang tersebut?
●kohaku:
...mungkin guru?
●Kouta:
Bukan murid?
●kohaku: Justru muridlah yang
menderita karena waktu belajar jadi
lebih lama.
●Kouta: Kamu berbicara tentang prasangka
seperti itu.
●Kouta:
Mereka yang suka belajar mungkin mendapat manfaat dari waktu belajar yang
lebih lama.
●kohaku:
Itu sama sekali tidak
benar.
●kohaku:
Mungkin
●Kouta:
Jangan tiba-tiba kehilangan kepercayaan diri begitu napa
Aku
dibom lagi dengan stempel seolah-olah
itu hanya lelucon.
..... Materi pelajaran di papan tulis mengalami
kemajuan yang baik. Aku harus
membuat catatan.
Aku
penasaran apakah dia juga memikirkan hal yang sama?
Kazemiya, yang berada secara diagonal di depanku, juga mulai mencatat.
(Hah…?)
Aku
mendongak dan melihat jam dinding kelas.
Angka-angka
yang ditunjukkan oleh jarum jam menunjukkan kepadaku bagaimana waktu telah berlalu.
(Tak kusangka sudah jam segini.)
Tadinya aku berpikir bahwa waktu berjalan sangat lambat, tetapi sekarang terasa berjalan sangat cepat.
Hal itu
menunjukkan seberapa banyak yang kubicarakan dengan Kazemiya...tidak. Memang ada alasan itu, tapi
bukan hanya itu saja.
Waktu yang
kuhabiskan bersama Kazemiya
membuatku melupakan
waktu dan kebosanan. Itu
membuatku melupakan rumahku yang tidak nyaman dan kenyataan keluargaku.
Meski
kami belum lama mengenal satu sama lain,
tapi aku merasa seolah-olah disadarkan oleh
kehadiran gadis yang bernama Kazmiya Kohaku
di dalam hidupku.
(Dia juga...)
Suatu
pikiran aneh tiba-tiba muncul di kepalaku
dan aku segera menyingkirkannya.
Apa
gunanya memikirkan apakah Kazemiya
merasakan hal yang sama denganku atau tidak?
“Baiklah,
apa kalian sudah menulisnya? Aku akan
menghapusnya dari papan tulis.”
“Ah”
Itu sudah terlambat. Isi pelajaran
yang tertulis di papan tulis terhapus dengan kejam dalam sekejap.
...Sepertinya
waktu telah berlalu begitu cepat
saat aku sedang memikirkan
Kazemiya.
●kohaku: Bukannya kamu baru saja mengatakan
sesuatu seperti “Ah”?
●Kouta: Aku gagal menyalin apa yang ditulis di papan tulis ke buku catatanku.
●kohaku:
Karena kamu bermain
dengan smartphone-mu
selama jam pelajaran sih.
●Kouta:
Kamu juga sama, ‘kan?
●kohaku: Aku sih mencatatnya dengan baik.
●Kouta: Aku
tidak gagal menyalinnya karena aku asyik dengan ponselku.
●kohaku:
Lantas kenapa?
●Kouta: Karena aku memikirkan sesuatu.
●kohaku: Memikirkan sesuatu?
●kohaku: Memangnya apa yang
kamu pikirkan?
“............”
Jika
ditanya lagi apa yang sedang kupikirkan,
aku hanya bisa mengatakan bahwa aku sedang memikirkan Kazemiya.
Tapi, mana mungkin aku bisa dengan jujur mengirimkan sesuatu
seperti itu.
...Pada saat-saat seperti inilah aku akan mencoba mengelabuinya dengan membubuhkan
stempel yang biasa. Mengirim
stempel kucing.
Kemudian, aku
meletakkan ponselku dan berkonsentrasi pada materi
pelajaran yang tersisa. Tidak ada yang bisa kulakukan
terhadap bagian yang terhapus, tapi aku bisa menyalin kelanjutannya ke dalam
buku catatanku sepenuhnya.
Bel yang
menandakan kelas telah berakhir berbunyi keras saat aku
sedang berkonsentrasi pada pelajaran,
dan saat aku berhasil melewati jam pelajaran pertama... pemberitahuan lain
muncul di ponselku. Aku penasaran apa Kazemiya akan mengolok-olokku lagi
karena mengelabuhinya
dengan stempel.
●kohaku:
Jika kamu tidak
keberatan menggunakan catatanku,
aku akan memotretnya untukmu.
Sebuah
gambar dikirimkan kepadaku segera setelah pesan itu.
Gambar tersebut
mungkin diambil dengan kamera smarphone-nya pada buku
catatan yang dibentangkan
di atas meja.
●Kouta:
Maaf. Itu sangat membantu
●kohaku:
Sama-sama
●kohaku:
Maaf jika itu
sulit dibaca.
Ketimbang
sulit untuk dibaca, yang ada justru...
●Kouta: Yang ada justru itu terlalu indah dan rapi sampai-sampai aku
terkejut.
●Kouta:
Kalau yang begitu sulit
dibaca, maka tulisan
tanganku akan menjadi kode.
●kohaku: Seperti yang diharapkan, pujianmu itu terlalu berlebihan.
●Kouta:
Apa kamu pernah mengikuti kursus
kaligrafi?
●kohaku: Aku pernah melakukannya sebentar di masa lalu
●kohaku:
Karena Onee-chan juga
melakukannya
●kohaku:
Tapi aku tidak pandai melakukannya
... ...... Tidak ada yang namanya tulisan jelek dalam kursus kaligrafi. Kazemiya sebenarnya telah diberitahu hal
itu di masa lalu, dan tidak sulit untuk membayangkan bahwa ada orang-orang yang
dekat dengannya yang mengatakan hal itu kepadanya..
●kohaku:
Tulisan tangan Onee-chan
sungguh menakjubkan.
●kohaku: Saking indahnya sampai-sampai aku penasaran apa itu
diketik di smartphone.
●Kouta: Aku tahu. Karena aku sudah melihat videonya
●Kouta: Kejadian itu sampai viral sampai
beberapa hari yang lalu.
Jika
kuingat dengan benar, itu sebenarnya adalah video kakak perempuan Kazemiya,
kuon, yang sedang menulis surat.
Idenya
adalah bahwa kuon akan menulis kalimat yang diminta dari para pengikutnya di
sebuah buku catatan sementara dia sendiri yang menulis kalimat-kalimat
tersebut. Dengan kata lain, dia hanya menulis huruf di buku catatan saat dia
sedang siaran langsung.
Namun,
dalam waktu kurang dari satu menit, dia
menerima puluhan ribu tanggapan.
...Tidak,
jika dipikir-pikir lagi dengan
tenang, itu benar-benar memiliki pengaruh yang luar biasa. Hanya dengan menulis kata-kata di atas
kertas saja sudah menciptakan kehebohan.
Yah, tapi tetap saja.
●Kouta:
Tapi aku lebih menyukai tulisan tanganmu, Kazemiya.
“………?”
Kazemiya
tidak memberi tanggapan sama sekali. Pesanku bahkan tidak dibalas.
Apa aku
mengatakan sesuatu yang menyinggungnya?
Padahal aku hanya mengungkapkan pendapatku yang jujur.
Kupikir itu aneh karena bahkan tidak ada satu pun stempel kucing yang dikirimkan ke arahku, jadi aku menoleh ke
arah tempat duduk Kazemiya.
“────...”
Pandangan mataku
bertemu dengan mata Kazemiya
yang berbalik ke arahku dari tempat duduknya. Pipinya tampak menunjukkan sedikit warna merah merona. Aku
tidak yakin karena jarak tempat duduknya agak berjauhan denganku.
Dan Kazemiya yang menatap mataku, membuka mulutnya seolah-olah ingin memberitahuku sesuatu――──
────Jangan
mendadak mengatakan hal seperti
itu. Baka.
Alih-alih
menggunakan aplikasi, dia malah menyampaikan
pesannya melalui gerakan bibir.
Aku
belum pernah mempelajari cara membaca gerakan bibir, tapi
anehnya aku bisa membaca gerakan bibir Kazemiya dengan akurat.
●Kouta: Jadi kamu merasa malu ketika ada yang memuji tulisan
tanganmu, ya?
●kohaku:
berisik
●kohaku: Aku tidak merasa malu
●Kouta:
Berhentilah membombardirku
dengan stempel kucing setiap kali berusaha
menyembunyikan rasa malumu.
●kohaku: Enggak mau
Kucing.
Kucing. Kucing. Kucing. Kucing...Aku bisa melihatnya terus mengetuk layar ponselnya berulang
kali dari kursi dudukku.
Saat aku
sedang menatap ke arah punggungnya, bunyi lonceng
berbunyi menandakan dimulainya jadwal pelajaran
kedua.
●kohaku:
Pastikan untuk membuat catatan di kelas berikutnya.
●Kouta: Aku
akan mencatatnya
meskipun kamu tidak menyuruhku.
……Gawat. Aku
benar-benar lupa waktu ketika berinteraksi dengan
Kazemiya.
Jika
keadaan terus seperti ini, daya smartphone-ku
akan cepat habis bahkan sebelum sepulang
sekolah, dan aku tidak akan bisa berkonsentrasi dalam
pelajaran.
●Kouta: Baterai smartphone-ku mau habis, jadi aku mau mematikannya
dulu.
●kohaku:
Kalau terus begini, sepertinya baterainya akan habis sepulang sekolah.
●kohaku: Aku punya power-bank, jadi aku baik-baik saja.
●Kouta: Enak sekali ya kalau sudah disiapkan.
●kohaku: Aku biasanya menonton film saat
waktu luang.
●Kohaku: Aku juga menggunakannya di
restoran keluarga untuk menghabiskan waktu.
●Kouta: Kalau begitu sih wajar saja kalau bateraimu cepat habis.
...Astaga. Aku terus-menerus memperpanjang
obrolan kami.
●Kouta: Kali ini aku akan mematikannya.
●kohaku:
ya
●kohaku: Sampai jumpa lagi sepulang
sekolah.
Aku mematikan
ponsel smartphone-ku. Selesai. Aku akan berhenti membuka pesan
sampai sepulang sekolah hari ini.
“.....”
Entah
kenapa, rasanya waktu berjalan semakin lambat.
(Aku jadi tidak sabar menunggu waktu
pulang sekolah...)
☆☆☆☆
(Sudut
Pandang Kazemiya Kohaku)
“────...”
Bagiku...
Kazemiya Kohaku, waktu pendidikan jasmani
adalah waktu yang membosankan. Pendidikan olahraga
di sekolah kami
dipisahkan berdasarkan jenis kelamin,
dan anak-anak perempuan bermain tenis.
Setelah menyelesaikan dasar-dasar seperti latihan pemanasan dan latihan
mengayun, para pemain berpasangan dan saling memukul bola di lapangan.
Dalam
kasusku, aku
selalu tidakdilibatkan dalam hal tersebut.
Teman-temanku berada
di kelas yang berbeda, dan meskipun mereka sekelas
denganku, aku
berusaha untuk tidak terlibat dengan mereka. Dan jumlah
gadis di kelasku adalah ganjil. Tak pelak lagi, aku
akhirnya disuruh
bergabung dengan satu pasangan
dan membentuk kelompok tiga orang...
“Hah?
Bukannya yang di sana itu tiga orang, ya?”
“Habisnya, kamu
bisa lihat sendiri, mereka
digabung dengan Kazemiya-san.”
“Oh,
pantes saja.”
“Aku yakin dia tidak ingin berada dalam satu geng dengan orang
seperti kita.”
Terima
kasih sudah berusaha keras
untuk menaikkan volume suara dalam cibiran kalian sehingga aku bisa mendengarnya.
Yah, meski sebagian itu
disebabkan oleh sikapku sendiri, walaupun itu
untuk mempertahankan diriku sendiri, tapi aku tidak mempermasalahkannya.
...Dan berdasarkan pengalamanku sampai
sekarang, meskipun itu bukan untuk membela diri, orang-orang seperti mereka akan
tetap menggunjingku. Dalam
kasusku, aku memiliki penampilan yang mencolok, dan orang-orang terus
mengatakan hal-hal yang tidak kuingat, seperti sudah
berapa banyak laki-laki yang sudah
aku rayu. Aku mungkin seharusnya bisa bergerak sedikit
lebih cekatan, tapi sayangnya aku masih belum
terlalu dewasa.
Oleh
karena itu, sebagian besar waktu selama jam
pelajaran olahraga, aku biasanya
cuma duduk di sudut dan hanya melamun untuk menghabiskan waktu.
Aku tidak
boleh membawa smartphone dan headphone selama jam pelajaran olahraga (akan disita
jika aku masih ngotot membawanya).
Tapi hari
ini sangat membosankan dari
biasanya. Anehnya aku merindukan smartphone-ku.
(...Rasanya sangat menyenangkan
ketika mengobrol dengan
Narumi.)
Seorang
pria yang baru kutemui beberapa hari yang lalu. Kami pergi ke restoran keluarga
yang sama, jadi aku sudah
lama mengetahui keberadaannya, tetapi baru beberapa hari yang lalu kami mulai
mengobrol. Namun, aku tidak
pernah menyangka kalau kami bisa mengobrol
begitu banyak di kelas. Meski berada di ruang kelas, rasanya seperti kami berada di restoran keluarga.
...Aku itu benar-benar serakah.
Memiliki sekutu bernama Narumi saja sudah merupakan sebuah kemewahan.
Aku merasa senang memiliki tempat di luar
rumah yang membuatku merasa sangat nyaman sampai-sampai
aku bisa
melupakan waktu.
Ada bagian
dari diriku yang menginginkan
waktu bahagia yang sama di sekolah. Aku
mendapati diriku berharap bisa berbicara lebih banyak lagi dengan Narumi.
“Ah,
Sawada-kun!”
Gadis-gadis
lain yang sedang menunggu giliran bermain di
lapangan tenis menyaksikan anak laki-laki
bermain sepak bola melalui pagar. Sawada... Narumi bilang ia adalah pangeran
yang dibanggakan oleh murid-murid kelas dua.
Bagiku, ia hanya seorang pengganggu yang selalu saja
menyusahkanku, tapi sepertinya ia populer di kalangan gadis-gadis. Tampaknya para murid laki-laki sedang
bermain sepak bola, dan Sawada
menggiring bola ke tim lawan.
“Keren banget.
Meski ia dari klub basket, tapia ia bisa mengalahkan cowok-cowok dari klub
sepak bola.”
“Yang
semangat, Sawada-kun!”
Sebagian
besar gadis sudah
mengabaikan jam pelajaran olahraga dan
bersorak sorai dengan
keras. Sawada menahan bola, tapi ia menghindari satu orang dengan cemerlang dan
kemudian melepaskan tembakan. Saat bola mengenai gawang, para gadis bersorak.
...Memangnya ini pertandingan
langsung? Sulit untuk tetap tenang ketika suasananya sangat berisik. ...Ayo kita ganti lokasi.
(...Ah. itu Narumi.)
Saat aku
menjauh dari kerumunan gadis-gadis
yang berkumpul di sekitar pagar, aku bisa melihat
Narumi.
Tampaknya ia berada di tim yang sama dengan Sawada, dan sedang mengobrol
santai dengan Inumaki di
dekat gawang.
Ia bahkan sama
sepertiku sampai di titik ini.
Rasanya agak lucu. Sepertinya ia terlihat
bersenang-senang karena ada Inumaki
di sana.
...Enaknya. Aku
ingin bergabung juga. Aku merasa iri
pada Inumaki yang bisa berbicara dengan
Narumi kapan saja.
……Ahh. Sepertinya
mereka baru diperingati sama guru. Ia
mulai berlari bersama Inumaki.
Mungkin ia diperingatkan untuk melakukan
pertandingan dengan benar.
“Astaga, apa
sih yang sedang ia
lakukan?”
Aku hanya
bisa mengeluarkan senyuman
kecil sambil bergumam demikian. Rasanya sangat menyenangkan hanya dengan
melihatnya saja. Waktu
pendidikan jasmani yang biasanya membosankan, kini terasa menyenangkan.
Gadis-gadis lain sepertinya tergila-gila pada Sawada, tapi menurutku rasanya jauh lebih menarik untuk menonton Narumi.
Ketika aku menonton pertandingan sepak bola anak cowok lagi, pertandingan masih berlanjut. Inumaki memotong umpan tim
musuh dan mengoper bola kepada Narumi yang seolah berhasil lolos dari tim musuh
yang mendekat. Apa yang itu disebut umpan
cepat. Saat Narumi menerima bola, ia segera mengoper ke arah Sawada. Sawada
yang menerima bola langsung melakukan
tembakan...bola membentur sudut tiang gawang dengan keras, dan terlempar dalam lintasan melengkung yang indah.
Gadis-gadis mengeluarkan suara kecewa ketika
melihat hasil itu.
“Sayang
sekali. Padahal tadi itu tinggal sedikit lagi.”
“Bukannya itu karena Narumi melakukan umpan
yang tidak masuk akal?”
“Aku
yakin pasti begitu. Kalau saja Sawada-kun yang melakukannya, ia pasti akan
membuat keputusan yang tepat.”
Menurutku
tidak demikian. Umpan Narumi tampak selaras sempurna dengan
Sawada yang berlari ke depan
gawang.
Yang tadi itu jelas-jelas karena tembakan Sawada saja yang
meleset. Ya karena ini
pertandingan sepak bola, dan Sawada sepertinya ada di tim bola
basket. Jadi ada kalanya ia akan melewatkan satu tembakan.
“────
Kazemiya-san!”
Tendangan bola yang baru saja melambung ke
gawang melayang melewati pagar dan menuju lapangan tenis. Sawada, yang pasti
mengejarnya, berlari ke arahnya.
“Maaf,
bisakah kamu mengambilkan bolanya untukku?”
...Jangan
repot-repot menanyakanku napa.
Aku jadinya mendapat tatapan tajam dari
gadis-gadis lain. Tentu saja, aku ingin menjauhkan gadis-gadis yang ingin mencari tahu kakak perempuanku, tapi aku juga
tidak ingin terlibat dalam kecemburuan cinta mereka seperti ini. Karena rasanya terlalu merepotkan dan canggung. Ketika
aku masih merasa bimbang apa aku harus berpura-pura tidak
mendengarnya atau berkata, ‘Mendingan gadis
lainsaja yang mengambilnya,' aku kemudian menyadari
bahwa Narumi berada
sedikit di belakang Sawada. ......Yah, terserahlah.
Aku
mengambil bola yang menggelinding dan melemparkannya langsung ke atas pagar.
Bola
bergerak melewati pagar dengan melengkung,
melewati kepala Sawada—— dan terbang ke arah Narumi yang
berada di belakangnya. Dan Narumi
menangkap bola yang aku lempar
tanpa menjatuhkannya. Yup.
Tangkapan yang bagus.
“Maaf.
Aku melemparnya terlalu kencang.”
Aku berkata
kepada Sawada dengan ekspresi bersalah di wajahku. Sudah
kuduga, aku mendapat tatapan tajam dari para gadis, tapi aku pura-pura tidak melihatnya.
Pandangan
mataku bertemu dengan tatapan Narumi. Aku mengambil kesempatan untuk
berbicara dengannya melalui pagar dengan gerakan
bibir.
────Semangat, ya.
Reaksi
gadis-gadis lain sangat menjengkelkan.
Kemudian,
Narumi berbicara kepadaku dengan cara yang sama dengan apa yang baru saja kulakukan.
────Baik, aku mengerti.
Setelah mengatakan itu, Narumi
kembali ke lapangan dan melanjutkan bermain sepak bola. Para gadis semua
menantikan pertandingan itu. Perhatian gadis-gadis lain terfokus pada Sawada,
yang mencetak gol, tetapi aku tidak melewatkan fakta bahwa Narumi bekerja sama
dengan Inumaki untuk membantunya sampai pertandingan berakhir.
“........”
Kenyataannya,
aku ingin berbicara dengannya
secara normal, bukan dari di balik pagar.
(Aku jadi tidak sabar menunggu waktu pulang
sekolah tiba...)
☆☆☆☆
(Sudut
Pandang Narumi Kouta)
Setelah
melewati jam pelajaran yang terasa lebih lama dari biasanya, akhirnya jam pulang sekolah pun tiba.
Kami
meninggalkan ruang kelas
pada waktu yang berbeda dan bertemu di depan stasiun sesuai rencana.
“...Yo”
“…Um.”
Tidak
sulit untuk menemukan Kazemiya, yang
telah meninggalkan ruang kelas lebih awal di depan stasiun.
Bahkan di
tengah-tengah lalu lintas yang ramai, Kazemiya
Kohaku, yang mungkin sedang mendengarkan musik dengan menggunakan headphone,
ada di sana, bersinar lebih terang daripada orang lain.
“Assist
yang bagus.”
“…Hentikan napa.”
Aku langsung
tahu bahwa dia sedang membicarakan tentang jam
pelajaran olahraga siang tadi.
“Orang yang
tampil gemilang di pertandingan tadi adalah Sawada, ‘kan? Berkat dia, kami bisa menang melawan tim
sepak bola.”
“Alasan
mengapa Sawada mampu melakukannya dengan baik berkat
umpan-umpan bagus dari Narumi, bukan?”
“...Lagian, kenapa kamu tiba-tiba menyemangatiku?”
“Aku merassa
kesal karena orang-orang yang seenak
jidat mengatakan sesuka mereka meskipun mereka tidak paham apa-apa.”
“Hah?”
Aku
memiringkan kepalaku karena masih kebingungan,
tapi Kazemiya hanya berkata, “Jangan dipikirkan, itu
cuma ocehanku sendiri.”
Sepertinya
dia tidak ingin membahas itu lebih lanjut.
“Yah,
terserah. Kalau begitu, ayo berangkat.....Kita akan naik kereta, tapi kamu tidak keberatan, ‘kan?”
“Ada
kompleks bioskop yang berjarak beberapa stasiun dari sini, ‘kan? Kurasa aku mungkin tahu lebih banyak
tentang hal itu daripada Narumi.”
“Ohh, kalau
itu sih maaf banget.”
Kami menaiki
kereta yang tiba pada waktu yang tepat.
“Rasanya sudah
lama sekali aku tidak
menonton film di bioskop.”
“Apa itu karena kamu sibuk bekerja paruh waktu pada hari
Sabtu dan Minggu?”
“Ada alasan
itu, tapi aku sendiri jarang pergi
ke bioskop. Jika Natsuki
mengajakku pergi, aku akan pergi, sih.”
“Natsuki,
maksudmuInumaki? Aku sudah memikirkannya cukup lama, tapi kalian berdua kelihatannya sangat dekat, ya.”
“Kami
sudah saling mengenal
sejak kecil. Apalagi kami selalu berada di kelas
yang sama sejak TK, SD, SMP,
dan bahkan SMA.”
“Wow”
“Ah iya, benar juga. Natsuki lah yang memberiku
tiket awal untuk menonton film tersebut. Rupanya, ia mengenal beberapa orang di
industri film dan masih memiliki tiket yang
tersisa.”
“...Apa sih identitas sebenarnya dari Inumaki?
Ia bukan selebriti atau semacamnya, ‘kan?”
“Aku juga
tidak tahu. Sejauh mana lingkaran persahabatannya
pun masih menjadi sebuah
misteri.”
Kereta
berhenti di stasiun. Mungkin karena berhenti di stasiun yang lebih besar,
banyak penumpang baru yang berdatangan, dan bagian dalam
gerbong mulai terisi. Tempat
duduk yang tersedia sangat sedikit.
“..................”
“..................”
Bagian
dalam gerbong agak sempit karena banyaknya penumpang. Kami
terdorong sampai ke pinggiran dinding,
dan mau tidak mau aku jadi
semakin dekat dengan Kazemiya.
Kazemiya
yang berada tepat di depanku, lebih dekat dari biasanya. Di restoran keluarga,
kamio duduk berhadapan di seberang meja, tapi tidak demikian dengan sekarang.
Tidak ada gelas minuman, tidak ada sepiring sandwich, tidak ada apa-apa di antara kami.
Jarak
yang bisa aku sentuh bahkan tanpa harus
menjangkaunya. Jika aku tidak
hati-hati, aku mungkin bahkan bisa mendengar suara
nafasnya.
“...Narumi itu ternyata lebih tinggi dari yang
kukira. Kira-kira berapa tinggi badanmu?”
“....Kalau
tidak salah, 177 cm.”
“...Sudah kuduga, kamu lebih tinggi dari
yang kukira.”
“Kalau kamu sendiri berapa,
Kazemiya?”
“Kurasa
sekitar 163 cm. Aku tumbuh
satu sentimeter lebih tinggi dari
tahun lalu.”
“Jadi perbedaannya empat belas
sentimeter, ya?”
“Perbedaannya jauh sekali…
ah”
Gratak.
Badan gerbong berguncang hebat sesaat hingga menyebabkan
Kazemiya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
“────ups.”
Aku secara
refleks menerima tubuh Kazemiya.
Ada
sedikit rasa panas yang tidak pernah kurasakan
saat duduk mengelilingi meja di restoran keluarga. Tubuhnya yang begitu ramping bisa langsung kuketahui
setelah menyentuhnya.
“Maaf.”
“...Kenapa malah kamu yang meminta
maaf, Narumi?”
“……Refleks mungkin?”
Tubuh
Kazemiya begitu ramping, dan
halus...Aku merasa seolah-olah sedang
menyentuh permata yang tidak boleh disentuh dengan tangan kosong. Aku merasakan
kombinasi antara tabu manis dan amoralitas, jadi
mau tak mau aku meminta maaf. Mana
mungkin aku bisa begitu bodoh dan mengatakan
hal tersebut dengan jujur.
“...Terima
kasih sudah menerimaku.”
“Kamu
terlalu berlebihan. Bahkan kamu
tidak perlu mengucapkan terima kasih segala.”
“Mungkin.”
Kazemiya tetap
diam sambil memandang ke luar jendela seolah-olah sedang menutupi sesuatu.
“...Narumi, kamu tuh....”
Tapi ada
jeda singkat setelah dia mengeluarkan beberapa kata.
“...Beneran anak cowok, ya.”
“Memangnya
sampai sekarang kamu menganggapku itu apa?”
“Bukan
begitu maksudku... tidak, lupakan saja.”
Hingga
kereta tiba di tempat tujuan, Kazemiya tetap diam sambil menatap pemandangan di
luar jendela. Setelah sampai di stasiun, kami
berjalan kaki sekitar 10 menit hingga mencapai tujuan, sebuah kompleks bioskop,
dan segera menuju loket tiket untuk
memilih tempat duduk.
“Apa kamu
punya rekomendasi tempat duduk, Kazemiya?”
“Mungking
sedikit lebih dekat ke depan daripadadi
tengah...”
“Bukan yang di bagian
belakang?”
“Karena aku
lebih menyukai kalau layarnya terbentang luas di depanku.”
“.... Aku merasa paham maksudmu.”
Karena kita
pasti ingin melupakan kenyataan sejenak, setidaknya saat kita sedang menonton
film.
Dengan
mengingat hal itu, aku mengamankan tempat duduk
kami berdua dan memeriksa jam tanganku, yang telah aku
khawatirkan sepanjang hari ini.
“...Masih
ada sedikit waktu sampai pemutaran film. Bagaimana kalau kita pergi mampir ke kios cemilan dulu?”
“Apa kamu mau membeli sesuatu di kios, Narumi?”
“Iya, aku
lagi ingin membeli sesuatu. Aku
hanya membeli jus dan popcorn saja sih. Bagaimana denganmu, Kazemiya?”
“Aku juga biasanya membeli sesuatu. Sepertinya
kita sama kalau hanya beli jus dan popcorn doang.”
Aku
membeli jus dan popcorn masing-masing untuk kami
berdua di kios, dan ketika waktunya sudah tepat, aku langsung menuju tempat duduk kami.
“Narumi
memilih rasa yang asin, ya. Apa kamu lebih menyukai rasa yang itu?”
“Yang ini
juga
tergantung suasana hati. Ketika aku datang dengan Natsuki sebelumnya,
rasanya berbeda. Kalau kamu sendiri...ah rasa karamel, ya.”
“Karena
sudah begini, bagaimana kalau kita mencobanya
satu per satu?”
“Sama-sama
sebagai teman?”
“Aku
tentu saja punya teman lah...”
“...Jadi
kamu sebenarnya punya teman, ya.”
“Memangnya
kamu pikir aku ini apaan?”
Kazemiya yang sedikit cemberut sambil menggembungkan pipinya, terlihat
agak kekanak-kanakkan.
Meskipun
penampilannya di kelas terlihat agak dewasa, penampilannya
yang penuh kesenjangan itu terasa menarik.
“Karena
kami berada di berbeda, jadi aku mencoba untuk tidak terlalu
terlibat di sekolah.”
Mungkin itu
dikarenakan
reputasinya sendiri, dan mungkin juga karena dia tidak ingin merepotkan
teman-temannya dengan urusan kakak perempuannya.
“....Ah,
sepertinya sudah mulai.”
Cahaya di
luar layar padam, dan film pun dimulai.
Kazemiya sudah sepenuhnya terfokus pada
dunia film. Aku menahan diri untuk tidak terpesona oleh wajah sampingnya yang
samar-samar disinari cahaya layar dalam kegelapan, dan fokus pada gambar yang terbentang di depanku.
☆☆☆☆
“Ahh...
tadi itu menakjubkan sekali.”
Setelah
sekitar dua jam penayangan film, di kursi restoran cepat saji
dekat bioskop, Kazemiya berdecak kagum memuji film yang kami tonton tadi.
Dia masih terasa seperti dalam mimpi. Aku juga merasakan hal yang sama.
“Rasanyaa
seru banget. Ada baiknya meninjau film-film sebelumnya sebelum
menontonnya.”
“Aku paham
banget. Mereka menyelipkan beberapa lelucon kecil yang
bisa dipahami saat menonton, bukan?"
“Betul.
Meskipun film itu dibuat agar dapat dinikmati tanpa harus menonton yang
sebelumnya, ada beberapa adegan yang lebih mengena ketika kita sudah menonton
film-film sebelumnya, bukan?”
“Terutama
yang terakhir...”
“Adegan di
mana tokoh utama melakukan
buzzer beater.”
Kami
berdua terkesiap kecil, karena kesan kami sangat mirip
satu sama lain tanpa ada satu kata pun yang berbeda.
“Sudah
kuduga. Kupikir
Narumi juga pasti menuyukai
adegan itu.”
“Seharusnya
aku yang bilang begitu
Setelah kami berdua tertawa lagi, makanan yang kami pesan akhirnya tiba.
“Maaf
sudah membuat Anda menunggu.”
Aku
memesan Carbonara. Sedangkan Kazemiya memesan sepaket nasi dengan hamburger.
“.........”
“Apa
ada yang salah?”
Aku
hendak segera memakan
Carbonaraku, tapi aku bisa merasakan tatapan Kazemiya tertuju padaku, jdai aku mengangkat wajahku.
Entah
kenapa, sepertinya Kazemiya
sedang membandingkan set hamburger miliknya dengan Carbonara milikku.
“Kalau
kamu mau, aku bisa berbagi sedikit, tapi
sebagai gantinya, kamu harus memberiku hamburgermu.”
"Bukan
itu... bukan itu sih...tapi, apa aku boleh minta sesuap?”
“Meski bukan
itu yang dimaksud... tapi sepertinya kamu masih meminta sesuap ya.”
Setelah
itu, dengan menggunakan garpu dan sendok, aku memindahkan sepotong Carbonara ke
piring Kazemiya, dan Kazemiya juga memindahkan sepotong
hamburger ke piringku.
“Jadi,
apa yang salah dengan Carbonara?”
“...Terlalu
dewasa.”
“Hah?”
“Kamu
memesan Carbonara dan sebagainya... oh ya, ketika membeli popcorn di bioskop
juga, kamu membeli yang rasa asin. Padahal
aku suka rasa karamel... kamu terlalu berusaha bertingkah
seperti dewasa, Narumi.”
“Jadi mengukur
kedewasaanku dari
Carbonara dan popcorn ya?”
“Aku
merasakannya begitu.”
“Oh
ya, makanan yang dipesan Kazemiya tuh
secara keseluruhan terasa seperti..…”
“Jangan bilang kekanak-kanakan.”
“Semua
makanan yang disukai anak-anak.”
“Sudah
kubilang jangan mengatakannya, dasar kampret.”
Kakiku
ditendang ringan di bawah meja. Tapi tendangannya
sama sekali tidak sakit. Itu hanyalah stimulasi yang ringan dan
manis, seakan-akan itu meruapakan tanda
kedekatan seorang teman.
“Menurutku
itu bukan masalah besar. Aku juga menyukainya, kok.
Aku juga menyukai sushi, ayam
goreng, dan ramen...”
“Jangan
seenaknya mencantumkan makanan yang jelas-jelas makanan
favorit anak-anak yang baru saja kamu
lihat di ponselmu. Aku juga menyukainya, sih.”
Jadi kamu
beneran menyukainya, ya.
Memang benar aku juga menyukainya, sih.
“...Yah,
aku juga menyadarinya sendiri kalau seleraku agak kekanak-kanakan.”
“Padahal itu bukan hal yang buruk. Tapi
kenapa kamu mengatakannya seakan-akan
itu adalah hal yang buruk?”
“Itu karena...”
“Apa
orang tuamu mengatakan sesuatu kepadamu? Misalnya
seperti ‘Kamu kekanak-kanakan sekali,' atau
‘Berhenti bertingkah seperti anak
kecil terus.'”
“...Bagaimana
kamu bsia tahu?”
“Karena ayah kandungku pernah mengatakan
hal yang sama kepadaku.”
Saat aku memutar sedotan dengan lembut,
es batu yang berbentuk persegi mengeluarkan
suara dentingan. Bagian dalam gelas diisi dengan
cairan berwarna melon, dan gelembung-gelembung yang naik ke permukaan akan
pecah dan menghilang.
“Aku
suka soda melon, tapi menurutku itu juga mempunyai implikasi terhadap ayahku....Aku memang kekanak-kanakan dalam
hal itu, tapi menurutku bukan berarti aku melakukan
sesuatu yang salah. Itulah
sebabnya kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu.
Kamu boleh makan apa pun yang kamu mau, lakukan apa pun yang kamu mau. Orang
tuamu tidak ada di sini, begitu pula dengan ayah
kandungku.”
“...Begitu ya. Dalam
kasus Narumi, itu
adalah papahmu, ya.”
“Dari caramu
mengatakannya, apa itu berarti kalau Kazemiya...”
“Dalam
kasusku, Mamah ku lah
yang mengatakan hal seperti itu.”
Kazemiya
dengan santai memasukkan garpunya ke dalam steak hamburger yang dia potong
dengan pisau.
“Onee-chan selalu menjadi orang yang cemerlang, jenius,
pekerja keras, dan selalu meraih prestasi. Tidak lama kemudian, Ibu mulai mempunyai ekspektasi
yang tinggi kepadanya. Dia
mulai mengontrol pola makan kami
dengan ketat sebagai bagian dari perkembangan fisiknya. Onee-chan sih tidak mengeluh, tapi aku ebrbeda. Suatu ketika, ketika kami
sedang menyeberang jalan di depan sebuah restoran keluarga, aku mengambil kesempatan dan berkata
kepada Ibu. 'Kadang-kadang aku
ingin makan seperti itu.'”
Hamburger
seukuran sekali gigit
perlahan-lahan kehilangan panasnya seiring berjalannya waktu.
“Lalu dia marah padaku.”
Tawanya terdengar
agak kering. Ini bukan tawa pada ibunya yang tidak masuk akal, tapi tawa yang
penuh dengan celaan pada dirinya
sendiri.
“Aku
diberitahu seperti 'Berhenti mengatakan hal-hal
kekanak-kanakan seperti itu,' 'Padahal
Onee-chan tidak pernah
mengeluh.'...Kalau
dipikir-pikir lagi, mungkin itu yang dimaksud
saat aku dimarahi. Saat itu, Mamah
masih menaruh harapan padaku.... tapi
sekarang dia tidak memiliki harapan itu lagi, jadi aku
bisa memakan apapun yang aku mau.”
Sambil
berbicara, Kazemiya membawa steak hamburger dingin, yang telah dipotong
kecil-kecil, ke dalam mulutnya.
“Mamah sudah
tidak mengharapkan apa pun lagi
dariku. Dia sudah tidak
tertarik padaku. Itu sebabnya dia tidak peduli dengan apa yang
kulakukan...Tapi, ada kalanya dia peduli padaku.”
“…Pasti ada kaitannya dengan kakakmu, ya.”
“Betul. Dia tidak peduli dengan apa yang kulakukan. Tapi aku
tidak boleh melakukan apa pun yang akan
menjatuhkan reputasi Onee-chan.
Aku juga tidak boleh melakukan apa pun yang menghalangi Onee-chan. Aku
tidak boleh melakukan apa pun yang
menyebabkan masalah untuk Onee-chan.
──Seperti begitulah
rasanya. Onee-chan. Onee-chan. Onee-chan.
Hanya itu melulu rasanya.”
Dia
menjentikkan cangkir putih toko itu dengan jari-jarinya yang halus dan indah.
“Itulah
sebabnya, ketika aku berbicara dengan Narumi Mama
beberapa hari yang lalu… Aku merasa sedikit iri.”
“Kamu merasa
iri... padaku?”
“Ya.
Aku bisa merasakan kalau dia sangat
mengkhawatirkan Narumi, dan dia terlihat
sangat senang saat tahu kalau kamu
punya teman perempuan. Mamahku tidak
akan seperti itu.”
Kazemiya
tertawa mengejek diri sendiri, dan percakapan kami berhenti
di situ.
Percakapan
antara pekerja kantoran dalam perjalanan pulang kerja dan para pelayan toko
yang sedang melayani pelanggan. Suara-suara yang biasanya tidak akan menggangguku jika kami sedang bercakap-cakap,
tapi sekarang aku bisa
mendengarnya dengan jelas.
“...Maaf.
Aku tidak bermaksud ingin menceramahimu.”
“Aku
tahu bukan itu maksudmu.”
Aku
tidak akan membahas masalah keluarga
Kazemiya.
Kazemiya juga tidak ikut campur dalam urusan
keluargaku.
“Kami
hanya saling mengeluh dan mendengarkan satu sama lain. Kami tidak melangkah
lebih jauh dari itu——begitu maksudnya, ‘kan? Oleh karena itu, kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu, Kazemiya.”
“Entah
kenapa, rasanya sangat enteng
sekali ketika berbicara denganmu, Narumi. Aku
berharap semua anak laki-laki seperti Narumi.”
“Kalau aku sih tidak menyukai hal seperti itu.”
“Yah,
dari sudut pandang orangnya sendiri sih memang
ada benarnya.”
Kazemiya
mengambil nafas dan menyegarkan
tenggorokannya dengan segelas teh hitam dingin.
“Hahh...rasanya sungguh aneh. Mungkin ini pertama kalinya
aku mengeluh sebanyak ini tentang
keluargaku.”
“Sekarang
setelah kamu menyebutkannya, rasanya ini juga
pertama kalinya aku bisa berbicara tentang
ayahku dengan begitu santai.”
Meskipun
kadang-kadang aku berbicara dengan Natsuki, tapi aku masih selalu merasa bersalah.
Bukan
suasana untuk melampiaskan keluh kesah seperti ini.
“Sebenarnya, aku tidak ingin membicarakan tentang Onee-chan atau Mamahku.”
“Aku bisa melihatnya dengan melihat perilaku Kazemiya di kelas.”
“Hentikan
napa.”
Kazemiya
menggembungkan pipinya karena tidak setuju.
“Pada awalnya,
aku biasanya menolak ketika ada gadis-gadis
yang mendekatiku hanya untuk mengetahui Onee-chan.
Tapi kemudian, ada beberapa yang masih tidak mau menyerah. Tapi, begitu aku mencoba mengintimidasi
mereka seperti itu, atau memakai headphone dan menonton film.... Mereka akan akhirnya berhenti dating sendiri. Gosip
tentang diriku menyebar secara sembarangan, dan
orang-orang akan pergi dengan sendirinya.”
Aku yang
memahami bahwa berperilaku baik adalah pembelaan diri bagiku, perilaku acuhnya di dalam kelas juga mungkin merupakan pembelaan diri
bagi Kazemiya.
“...Rumor
tentang Kazemiya yang suka keluyuran
di malam hari dan bergaul dengan orang-orang yang tidak terlalu baik.
Sepertinya rumor itu
beredar tidak hanya di kalangan Natsuki dan yang
lainnya, tapi juga di kalangan anak kelas satu.”
“Hmm. Begitu ya.”
“Kamu
bereaksi seolah-olah itu adalah urusan orang lain.”
“Karena itu memang urusan orang
lain. Maksudku, kenapa malah Narumi yang
merasa sebal dengan hal itu?”
“Malah tanya
kenapa...”
“...Lagian, memangnya kamu tidak pernagh kepikiran kalau
rumor itu benar?”
Sebuah
pertanyaan yang menusuk. Suara anorganik yang
terdengar seolah-olah emosinya telah dilucuti.
“Apa kamu
tidak pernah berpikir bahwa aku mungkin seperti yang dikatakan
rumor? Aku mungkin keluyuran
pada malam hari, bergaul dengan orang yang nakal.”
Kazemiya
berhenti menggerakkan garpu dan pisaunya,
menatap mataku dengan tatapan penuh pesona yang misterius.
“...Kazemiya”
“...Aku sama sekali tidak masalah. Bahkan
jika kita membubarkan
aliansi. Naruumi mungkin akan dirugikan jika kamu bergaul dengan orang-orang sepertiku. Jika itu membuat
Narumi merasa lebih nyaman, maka aku ...... baik-baik saja dengan itu.”
“Aku
ambil hamburger itu.”
“Ah────!”
Aku
segera mengambil salah satu steak hamburger yang sudah
dipotong dengan hati-hati dengan garpu.
Aku
segera memasukkannya ke dalam mulutnya sebelum dia bisa mengambilnya kembali. Aku bisa menikmati elastisitas sedang dan
tekstur kenyal dengan teriakan kecil Kazemiya
sebagai musik latar belakang.
“Ya.
Rasanya masih enak meski sudah dingin.”
“Enak
apanya! Itu ‘kan hamburgerku...!”
Mau tidak
mau aku tertawa terbahak-bahak saat Kazemiya
menatapku dengan tatapan mencela.
“...Itu sama sekali tidak lucu, tahu.”
“Tidak,
aku minta maaf. Aku hanya berpikir itu mustahil
banget.”
“Hah?
Dari sudut pandangku, rasanya lebih mustahil lagi kamu
mencuri steak hamburger seseorang tanpa izin.”
Ah sudah kuduga, yang ini benar-benar Kazemiya. Aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak, tapi setidaknya itulah yang kupikirkan.
“Aku
tidak tahu apakah rumor itu benar atau tidak. Tapi Kazemiya Kohaku yang aku kenal berbeda dari rumor yang
beredar. Dia tidak punya tempat tinggal di rumah, jadi dia menghabiskan seluruh
waktunya di restoran keluarga, menonton film
sepanjang waktu, suka
pilih-pilih makanan, begadang
sepanjang malam cuma untuk bermain
game, selera makannya agak
kekanak-kanakan, dan suka
meributkan sepotong hamburger. Gadis seperti itulah
yang kumaksud.”
Benar
atau tidaknya rumor tersebut. Apa Kazemiya Kohaku
adalah orang yang benar-benar persis seperti disebutkan
dalam rumor tersebut atau tidak?
Tidak
perlu ragu dengan pertanyaan itu. Faktanya, aku sudah
mengatakan ini kepada
Tsujikawa tanpa ragu-ragu.
“Kazemiya bukan orang yang digosipkan. Itulah yang kupikirkan.”
“...Mungkin
saja aku sedang menipumu loh, Narumi.”
“Haahhh. Jika kamu benar-benar
menipuku, aku akan berterima kasih padamu karena sudah
menunjukkan mimpi indah padaku...
Yah, pertama-tama, apa gunanya menipuku? Aku tidak pernah mentraktirmu sesuatu yang mahal saat
makan bersamamu, dan aku tidak pernah dipaksa membeli pot dan vas aneh maupun semacamnya.”
“...Kenapa
malah kamu yang marah?”
“…Entahlah, kenapa ya.”
Kalau
dipikir-pikir, kata-kataku tadi mungkin
terdengar sedikit jengkel.
Pertama-tama,
mengapa malah aku yang sebal dengan rumor Kazemiya?
Jika dia sendiri tidak keberatan, maka itu bukanlah
sesuatu yang perlu aku khawatirkan.
“...Mungkin
karena aku tidak menyukainya.”
Pikirkan,
pikirkan, pikirkan. Jangkau pemikiran di bawah
permukaan pikiranku dan
keluarkan perasaanku yang
sebenarnya.
“Aku tidak
menyukainya dan menjadi marah karena.... ada yang
menanggapi rumor konyol itu dengan
serius dan orang-orang mengatakan hal-hal jelek
tentang temanku.”
Sekarang aku akhirnya mulai paham. Aku tadi penasaran dengan alasan mengapa aku melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan karakterku.
“Aku marah
karena ada rumor yang mengatakan hal-hal buruk tentang temanku.”
Ternyata sesederhana
itu.
“Ahhh, aku merasa lebih plong sekarang. Rasanya
ada beban yang terangkat dari dadaku.”
“..............”
Ketika
rasa sesak di dadaku menghilang
dan suasana hatiku menjadi lebih cerah, Kazemiya yang duduk di depanku tiba-tiba terlihat kaku.
“Kamu
kenapa? Mendadak terlihat linglung begitu.”
“Eh...
Ah...”
Entah
kenapa, Kazemiya terlihat gelisah dan canggung. Aku belum pernah melihatnya tidak
stabil seperti ini di dalam kelas maupun di restoran keluarga.
“Itu...
ketika ada yang memberitahuku kalau kita adalah teman secara langsung... dan marah demi diriku...
rasanya agak canggung.”
“Maafkan aku karena sudah
membuatmu malu.”
“Tidak,
bukan itu. Bukan karena aku tidak
suka... tapi lebih karena...”
Kazemiya terdiam seolah-olah mencari kata-kata dalam dirinya. Tapi, sepertinya dia segera menemukan
kata-katanya. Dengan telinga yang merah padam,
dia mengalihkan pandangannya dariku seraya
berkata...
“Terima
kasih... Aku sangat senang sekali.”
...Tadi itu berbahaya sekali. Jika
saat itu aku sedang
membuka mode kamera ponsel, mungkin saja aku
tidak bisa menahan diri untuk mengambil fotonya.
(Hal yang sama juga terjadi saat dia
tidur... Tolong jangan lakukan itu lahi.
Seriusan.)
Ekspresinya begitu mematikan. Hal itu pasti membuat siapa saja ingin menjadi lebih
dekat.
“Jadi kita
berdua adalah teman, ya.
Bukannya sekutu aliansi.”
“Aku
hanya mengatakannya karena terbawa suasana
tanpa banyak berpikir... tapi, bukannya memang begitu? Aku juga memberitahu ibu kalau kita adalah teman.”
“Oh,
iya. Benar juga ya.”
“Tentu
saja, hubungan 'persekutuan' kita
tidak akan hilang.”
Sekutu
aliasni. Teman. Semakin
banyak
label dalam hubungan kami. Namun
aku tidak membencinya.
...Ya.
Teman. Narumi Kouta
dan Kazemiya Kohaku
adalah teman.
“...Mengenai rumor yang kamu bicarakan tadi.”
“...Mm, iya.”
“Seenggaknya, aku biasanya tidak melakukan apa-apa selain pulang ke
rumah dari restoran keluarga di malam hari.
Kadang-kadang aku singgah
ke minimarket, tapi aku tidak
pernah keluyuran maupun bergaul
sembarangan. Dan rumor tentang keterlibatan dengan orang-orang jahat... mungkin hanya karena aku terlihat sedang presiden agensi hiburan. Karena orang itu mempunyai penampilan yang
mencolok.”
“Begitu ya. Yah... mungkin begitulah
kebenaran dari rumor. Alasan kenapa kamu membiarkan rumor tersebut beredar begitu saja karena demi mengurangi jumlah orang yang
datang mencari kakak perempuanmu,
kan?”
“...Jadi kamu bisa melihat sampai sejauh itu. Hebat juga.”
“Jika
aku mempertimbangkan masalah
keluargamu, aku
bisa memperkirakannya. Bahkan ketika menyangkut gosip yang berkeluyuran di malam
hari, sebenarnya sudah bisa ditebak sedikit... Yah, meskipun diluar dugaan karena tentang perekrutan, tetapi
jika dipikir-pikir, itu bukan sesuatu yang sangat mengejutkan.”
“Harusnya
kamu terkejut tentang itu, tahu.”
“Jika
itu tentang Kazemiya, rasanya tidak mengherankan jika ada
satu atau dua perekrutan di industri hiburan.”
“...
Apa maksudnya dengan itu?”
“Maksudnya,
bergitulah artinya memiliki teman yang mempesona.”
“...
Kalau itu sih, makasih banyak.”
Aku tidak
akan mengatakan Kazemiya
memiliki reputasi yang sangat baik ketika dia berada di dalam kelas.
Meski
demikian, semua orang tidak bisa melepaskan pandangannya
dari Kazemiya. Mereka sadar akan
Kasegamiya. Hal tersebut
menunjukkan seberapa besar daya
tarik yang dimilikinya.
“Mau
pesan parfait? Aku akan mentraktirmu
karena aku sudah mengambil
hamburgermu tanpa
izin tadi.”
“...
Aku akan makannya.”
Dia
memesan satu parfait anggur kepada pelayan yang dipanggil.
Saat
menunggu hidangan penutup, Kazemiya dengan santai membuka
pembicaraan.
“Apa kamu benar-benar sangat tidak menyukai rumor aneh
tentang diriku, Narumi?”
“Sejak
awal, aku tidak menyukai
rumor semacam itu. Sekarang setelah aku
berteman dengan Kazemiya,
aku jadi semakin tidak menyukainya. Aku mengerti bahwa itu adalah
bentuk pertahanan bagimu, jadi mulai sekarang aku akan mencoba untuk bersabar.”
"...
Sudah kuduga, kamu tuh dewasa sekali ya, Narumi.”
“Sudah
kubilang tidak begitu.”
“Pantas kamu
hanya memesan carbonara saja.”
“Memangnya
carbonara ada hubungannya dengan itu?”
Mau tak
mau aku mengeluarkan tawa kecil
dan kami berdua tertawa bersama.
Untuk saat
ini, aku bisa melupakan hal-hal yang
tidak penting. Kutukan kata-kata yang ditanamkan oleh ayah kandungku. Tentang rumah yang tidak
nyaman. Tentang gosip. Dengan cara begitu, kami
bisa tertawa bersama.
“Tapi,
Narumi itu curang, tau.”
“Curang apanya?”
“Suka
menonton film, memiliki sifat yang pilih-pilih,
begadang main game, selera yang agak kekanak-kanakan, membuat keributan hanya
karena sepotong hamburger... Aku merasa hanya sisi memalukanku saja yang diketahui.”
“Cara
bicaramu
cukup menyesatkan.”
“Kamu juga
harus bercerita dong, Narumi. Hal-hal yang memalukanmu. Kalau tidak begitu, rasanya itu tidak adil.”
“Malahan
seharusnya itu tidak adil kalau hanya aku saja yang membicarakan bagian memalukanku.”
“Hanya aku
saja yang terus-terusan kena.”
“Kalau kamu
sih bukan bagian yang memalukan, tapi
malah bagian yang menggemaskan."
“Jadi ini
masalah perbedaan pandangan ya.”
Sambil
berbicara begitu, Kazemiya
sudah menghabiskan separuh hamburgernya.
Dengan
wajah yang terlihat seperti “Aku
adalah seorang wanita cool yang
cantik”,
dia menyantap hamburger dengan lahap. Kesenjangan ini membuatnya terlihat
menarik tanpa pernah membuatku bosan.
“Mungkin
ada baiknya jika kita berdua pergi ke suatu tempat lagi
seperti ini.”
“Ke
mana?”
“Umm, yah... ke berbagai tempat.”
Meskipun
Kazemiya menunjukkan sedikit
keragu-raguan, dia justru membiarkan pikirannya melayang ke masa depan karena
sulit untuk memutuskannya.
“Mungkin
ke karaoke, arena permainan, atau ke
akuarium. Mungkin juga kita bisa
bermain bowling. Buffet kue-kue dan toko pancake yang selalu kau suka. Atau
menonton film lagi, atau hanya berjalan-jalan santai di kota... Tapi akhirnya
kita akan makan di restoran seperti ini. Bagaimana menurutmu?”
“Kurasa itu
sangat bagus.”
“Nah, ‘kan?
...Oh ya, aku juga ingin pergi ke batting
center.”
“Kamu
suka bisbol?”
“Bukannya
suka sih... Tapi, itu loh?
Game open-world yang kamu rekomendasikan
kepadaku, Narumi. Di tengah-tengah misi cerita ada planet di
mana kita bisa bermain mini-game olahraga. Salah satunya adalah batting center.”
Kazemiya membuat gerakan memukul
kecil seakan-akan sedang tongkat,
memberikan kesan polos dan lucu. ... Jika aku
mengatakan sesuatu seperti
itu, dia mungkin akan tersinggung
dan berkata “Jangan
memperlakukan aku seperti anak kecil” atau semacamnya.
“Ah...
maksudnya mini game di mana kamu harus memukul
bola dengan tongkat di mesin itu?”
“Ya,
benar. Aku sangat tertarik pada itu sampai-sampai hanya itu yang aku mainkan
sekarang. Rasanya aku jadi ingin pergi mengunjungi batting center yang sebenarnya.”
“...
Aku merasa mini game itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkembangan
cerita.”
“Ya,
memang begitu, tapi entah kenapa aku ketagihan. Habisnya,
ada berbagai tingkat kesulitannya, ‘kan? Aku jadi ingin mencapai home
run di semua level dan mencapai hasil menamatkan
semuanya.”
“Kamu sangat
ngotot di bagian-bagian yang aneh ya, Kazemiya...”
“Malahan aku hanya memainkan mini game itu dan tidak
melanjutkan cerita.”
“Kamu
itu pasti tipe orang yang akan betah berada dalam kasino jika itu muncul di dalam
kota game RPG, ‘kan?”
Aku
membayangkan Kazemiya yang
kecanduan dengan pesona kasino.
“Bukankah
kamu sendiri yang lebih suka pergi ke kasino, Narumi?”
“Aku
tipe orang yang puas setelah aku berhasil menyelesaikan cerita dan
menyelesaikan permainan.”
“Padahal menyelesaikan
semua elemen permainan itu yang menyenangkan, tau?”
“Sudah
kuduga bakal begitu.”
Pada saat
yang tepat, parfait anggur yang dia
pesan tiba. Sambil menyantap anggur dan krim dengan sendok panjang khusus
parfaitnya, aku
secara tidak sengaja mengajukan saran kepada
Kazemiya.
“...
Bagaimana kalau kita pergi ke batting center selanjutnya? Selagi semangat
bermain game-mu masih
tinggi, Kazemiya.”
“Ayo
pergi. Aku pasti akan pergi. Selain itu, aku belum pernah mengunjungi batting center. Bagaimana denganmu, Narumi?”
“Aku pernah
pergi beberapa kali ke sana bersama Natsuki saat
masih SMP dulu. ... Jadi, berikutnya kita ke batting center
ya... Oh, tapi ujian akhir semester sudah dekat ya. Aku harus belajar dengan
serius.”
“Kamu itu beneran
serius sekali, ya.”
“Ibuku memang tidak terlalu memaksa soal
belajar, tapi ya untuk jaga-jaga saja. Aku
tidak ingin disuruh berhenti
bekerja paruh waktu karena nilaiku turun.”
“...
Begitu ya. Kamu
akan merasa bersalah kalau nilamu menjadi jelek, ya.”
“Kamu
bisa memahami hal seperti itu dengan cepat. ... Yah, bahkan jika aku harus berhenti bekerja,
aku hanya akan melarikan diri asal-asalan. Tidak ada yang berbeda dengan
sebelumnya.”
“Kalau itu
sih enggak boleh.”
Jika aku berhenti dari pekerjaan paruh
waktuku, aku
akan lari ke restoran keluarga lagi.
Aku bisa
menghabiskan seluruh waktuku sepulang sekolah di restoran
keluarga. Namun, Kazemiya
dengan tegas menyatakan bahwa itu
tidak baik.
“Kamu
tidak boleh menghancurkan keluargamu dengan tanganmu sendiri. Karena rumah Narumi belum sepenuhnya berakhir.”
“Kazemiya…?”
Jangan
membahasnya. Kazemiya juga pasti tidak
mau ikut campur.
Itulah
aliansi kami. Namun entah mengapa, itu terasa seperti
belenggu.
“Bagaimana
kalau aku membantumu belajar? Kamu hanya perlu menjaga supaya nilaimu tidak turun, ‘kan?
Jika nilaimu baik, kamu bisa bekerja dan bermain sepuasnya.”
“...
Kamu mau membantuku
belajar?”
“Apa-apaan
dengan reaksimu itu?”
“Ngomong-ngomong,
berapa peringkatmu di UTS kemarin?”
“Peringkat ke-24.
Kalau kamu, Narumi?”
“.....Ke-58.”
“Oke,
sudah diputuskan. Aku akan menjadi guru. Kamu boleh memanggilku 'Kazemiya-sensei', loh.”
Dia
benar-benar bangga atas kemenangannya, sialan.
Tapi...
“....Hahaha.”
“Hm.
Apa ada yang salah?”
“Entah kenapa, rasanya begitu menyegarkan. Bisa membicarakan tentang nilai dengan
begitu santai.”
Hal semacam ini tidak mungkin dilakukan di
rumah. Itu adalah sesuatu yang bahkan tidak boleh diucapkan. Itu adalah
keputusan yang dibuat tanpa izin.
“Apa aku boleh curhat juga?”
“Tentu
saja. Aku akan mendengarkannya jika kamu tidak
keberatan kalau aku menjadi tempat curhatmu.”
Hanya dengan
mengetahui kalau orang yang mendengar curhatanku adalah Kazemiya,
hatiku menjadi jauh lebih lega.
Mungkin itu jika dengan orang lain, aku akan
merasa bersalah dan membenci diriku
sendiri terhadap keluarga.
“Hasil
ujian pasti akan keluar, ‘kan?”
“Ya...
namannya juga ujian, sudah pasti begitu.”
“Setelah
hasilnya keluar, suasana di rumah akan
menjadi tidak nyaman lagi.”
“Karena kamu akan dibandingkan dengan orang lain?”
“Hampir
benar. Lebih tepatnya, keluarga baruku berusaha untuk tidak
membandingkannya.”
Sepertinya
Kazemiya sudah cukup memahami
situasinya.
“...
Itu cukup sulit, ya.”
“Aku sudah
,erasa seperti menjadi tumor di rumah. Topik tentang ujian
menghilang begitu dari
meja makan hingga batas yang tidak wajar.
Selain itu, adik tiriku sangat
pintar dan berada di sekolah yang sama...”
“Artinya
kalian satu sekolah... dia anak kelas 1?”
“Iya,
dia bernama Tsujikawa Kotomi.”
“...
Aku pernah mendengar tentang dia dari temanku.
Ada gadis kelas pertama yang sangat pintar di
sekolah. Kalau tidak salah dialah yang memberikan sambutan sebagai
perwakilan kelas saat upacara masuk sekolah, kan?”
Jika dipikir-pikir kembali, itu memang benar. Tsujikawa adalah siswa
berprestasi yang masuk sekolah dengan nilai tertinggi.
Tidak mengherankan jika beberapa siswa kelas dua
sangat menghormatinya.
Aku tidak
pernah menyangka bahwa aku akan menyadari sekali lagi betapa tinggi spesifikasi
adik tiriku di tempat seperti ini.
“Begitu ya. Jadi
gadis itu adalah adik tirimu...Itu
pasti sulit.”
“Benar sekali, aku mengalami berbagai kesulitan.”
Aku
menyadari betul kalau Tsujikawa
sama sekali tidak
bersalah. Ketidaknyamanan di rumah itu adalah akibat dari diriku sendiri, dan karena itu, rasa
bersalah terhadapnya juga semakin
besar.
“Narumi,
apa kamu pernah mencoba untuk berusaha
agar tidak kalah dengan adik tirimu
yang sangat pintar...?”
“Seandainya itu aku yang dulu, aku mungkin akan melakukannya.”
“Tapi
sekarang berbeda?”
“Apa aku terlihat seperti tipe orang
yang akan melakukan hal seperti itu sekarang?”
“Haha.
Enggak, sih.”
“Nah, ‘kan?”
Bahkan
jika aku melakukan hal tersebut, hasilnya
sudah jelas-jelas terlihat.
Ketika
hasil yang sudah terlihat menjadi kenyataan, suasana di rumah itu akan semakin menjadi tidak nyaman.
“Jadi di
tempatmu juga sama, ya.
Dulu aku juga mencoba berusaha keras. Tapi sia-sia. Kupikir aku bisa melakukan apa yang dilakukan Onee-chan, tapi nyatanya aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku bahkan tidak bisa berjalan di
jalur yang sama. Mamak sudah
menyerah padaku, dan aku merasa
putus asa. Aku berhenti
mencari apapun yang bisa
mengalahkan Onee-chan,
berhenti berusaha untuk mengejarnya, dan menyerah
atas segalanya.”
Baik Kazemiya dan aku, kami
berdua sama-sama berhenti di tempat.
Orang-orang
mungkin akan mengatakan, jangan menyerah. Jangan berhenti. Jangan lari.
Teruslah berjuang, yang penting jangan berhenti
mencoba.
... Aku mengerti hal itu. Kata-kata indah selalu benar.
Mereka selalu benar dalam segala hal.
Aku
dan Kazemiya sama-sama memahami hal itu.
Karena kami memahami kebenaran kata-kata indah tersebut, itulah sebabnya kami
merasa bersalah.
“Aku...
melarikan diri dari Onee-chan.”
“Melarikan diri juga sah-sah
saja, ‘kan?”
“...
Apa iya? Melarikan diri tidak akan
menyelesaikan apa pun, kan? Itu hanya
menunda masalah saja.”
“Benar
juga. Memang itu tidak
akan menyelesaikan masalah sama sekali.
Suatu saat, masalah yang ditunda akan datang lagi. ... Tapi, tidak semuanya
buruk. Jika ada hal baik setelah melarikan diri, maka itu bukan sia-sia.”
“Hal
baik?”
“Aku
melarikan diri dari keluargaku. Tapi, setelah melarikan diri, aku bisa berteman
dengan Kazemiya. Sama seperti ini, menonton film setelah
sekolah, bersenang-senang, mengeluh di restoran sambil makan... Bisa
menghabiskan waktu dengan nyaman seperti ini.”
“Memangnya
itu bisa dianggap sebagai hal baik?”
“Bagiku itu adalah hal baik. Meskipun
baru beberapa hari sejak kita berteman... Aku cukup menyukai waktu yang kuhabiskan bersamamu di restoran keluarga, Kazemiya.”
Kazemiya tidak mengatakan apa-apa.
Dengan ekspresi terkejut, dia hanya menatap wajahku.
“Aku
merasa senang karena berhasil melarikan diri.
Bagaimana denganmu, Kazemiya?”
“...”
Kazemiya menunduk. Seolah-olah dia
sedang bertanya pada batinnya
sendiri.
“....Aku
juga merasakan hal yang sama.”
Dan kemudian, dia mulai berbicara seolah-olah ingin meluapkan emosinya.
“Dulu
aku merasa bersalah. Ada rasa menyesal juga.
Tapi sekarang, aku merasa lega karena berhasil melarikan diri. Waktu yang aku
habiskan bersamamu di sini... ya, rassanya
menyenangkan.”
Tanpa disadari, aku mulai
menantikan untuk pergi ke restoran keluarga tempat di mana aku biasa melarikan diri dengan
perasaan bersalah. Aku bahkan
tidak menyadari hal itu sampai aku
mengungkapkannya dengan kata-kata.
Aku
yakin Kazemiya juga merasakan hal yang
sama. Aku berharap begitu.
“Hehe... rasanya aneh mengatakan bahwa
melarikan diri adalah pilihan yang tepat. Biasanya, melarikan diri dianggap
tidak baik, ‘kan?”
“...
Iya.”
──── Aku tidak terlalu mengenal tentang Kuon, yang merupakan kakak perempuannya Kazemiya dan terkenal di depan umum.
Tetapi aku yakin kalai senyuman Kazemiya yang ada di depan mataku saat ini... tidak kalah menariknya dengan kakaknya.
Aku
tidak tahu senyuman yang lebih menawan daripada dirinya,
dan aku bahkan tidak bisa membayangkannya.
☆☆☆☆
Setelah
membayar di kasir dan meninggalkan restoran, aku mengantar
Kazemiya pulang dengan menaiki kereta.
Perjalanan
pulang lebih panjang dari biasanya. Percakapan kami selama
perjalanan pulang terasa lebih sedikit.
Mungkin karena kami sudah banyak berbicara di restoran, tetapi setelah melihat
senyuman Kazemiya,
entah kenapa aku
kehilangan kata-kata.
Aku
tidak tahu alasannya. Bahkan aku
merasa agak gugup.
Selain
itu, Kazemiya juga terlihat sedikit aneh.
Dia lebih pendiam dari biasanya.
... Aku mengerti sekarang. Kemungkinan besar, kami hanya merasa malu. Baik itu aku maupun
Kazemiya.
Saat aku
menenangkan diri dan memikirkannya kembali, aku merasa seperti telah mengatakan
sesuatu yang sedikit memalukan, dan aku merasa seperti membiarkan orang lain
mendengarnya.
Lebih
dari itu, aku merasa
telah terlalu banyak berbicara dengan semangat. Rasanya aku sudha bertingkah berbeda dari biasanya.
Waktu keheningan yang menyenangkan berlalu begitu
cepat, dan sebelum aku
menyadarinya, kami sudah sampai tepat di bawah menara
apartemennya.
“Kita
sudah sampai...”
“Kita
sudah sampai, ya...”
“Hari
ini, terima kasih banyak.
Aku benar-benar menikmatinya.”
“Aku
juga sama. Lain
kali, ayo pergi ke batting center
setelah ujian akhir semester
ya.”
“Yeah.
Aku juga menantikannya. Tapi sebelum itu, kita harus belajar bersama.”
“Aku tahu.”
Mungkin kami berdua hanya saling
merasa lega.
Selebihnya, hanya tinggal pertukaran
kata-kata standar seperti biasa.
“....Kalau begitu,
sampai jumpa lagi, Narumi.”
“.... iya,
sampai ketemu, Kazemiya.”
Biasanya,
aku hanya perlu mengawasi punggung Kazemiya saat dia masuk ke dalam apartemennya.
“Kamu keluyuran
dari mana saja sampai baru pulang semalam ini——Kohaku?”
Sampai ada suara wanita dengan nada yang begitu dingin memanggil nama Kazemiya.