Bab 4 — Pilihan Narumi Kouta
Di sana ada
seorang wanita ramping yang
mengenakan setelan rapi.
Dia
membawa tas kerja wanita di bahunya dan tampak seperti wanita karier yang
sangat sukses. Sorot mata tajamnya yang
mengarah kepada Kazemiya melalui lensa kacamatanya diwarnai
dengan semburat celaan.
(“Kohaku” …)
Dia
adalah seseorang yang bisa memanggil nama depan Kazemiya, dan dia berada di depan apartemen menara
ini.
Selain
itu, jika aku melihat
lebih dekat wajahnya, aku bisa
melihat bahwa dia sedkit
mirip dengan Kazemiya. Jika Kazemiya
tumbuh besar dan bertambah tua, dia mungkin akan
menjadi seperti wanita cantik
ini.
“…Mamah.”
Sudah kuduga begitu. Jadi dia adalah ibunya
Kazemiya, ya?
Mengingat
kalau kakak perempuannya Kazemiya adalah seorang mahasiswi, dia terlihat lebih muda dari
usianya.
“Hanya
karena aku tidak bisa melihatmu, kamu keluyuran
lagi sampai jam segini. Ya
ampun… kamu ini memang tidak
pernah tumbuh dewasa.”
“.......”
Ibu Kazemiya menghela nafas seolah-olah dia sangat kecewa.
Pandangannya
akhirnya beralih ke arahku yang berada di samping Kazemiya.
“...Dan kamu siapa?”
“Maafkan
saya terlambat memperkenalkan diri. Nama
saya Narumi Kouta. Saya adalah temannya Kazemiya-san.”
“Oh
begitu ya. Aku
minta maaf kalau Kohaku kami selalu merepotkan.”
Salam itu
sendiri biasa saja, tapi entah mengapa kata-katanya terasa memiliki arti
tersirat. Apa itu karena aku saja
terlalu memperhatikannya, atau karena aku
terlalu kepikiran. Atau mungkin...
“Hari
ini saya yang mengajak Kazemiya-san,
dan memaksanya berkeliling untuk menemani saya. Kami
begitu menikmatinya hingga lupa waktu... Maafkan saya.”
“Kamu tidak
perlu segan begitu. Gadis ini mungkin memaksamu
dengan sesuatu yang tidak penting, ‘kan?
...Hah... Jangan merepotkan orang lain. Kami sibuk di sini.”
“........”
Kasegami
mengepalkan tangannya dan menggigit bibirnya
setelah mendengarkan perkataan ibunya.
“Kamu
ingin mengatakan sesuatu, Kohaku?”
“Tidak,
tidak ada.”
“...Ekspresi
wajahmu justru begitu jelas. Boleh saja
memikirkan sesuatu dalam hatimu, tapi perbaiki kebiasaanmu menampakkannya di
wajahmu. Itu tidak sopan.”
Dengan
menghela nafas seperti biasa, ibu Kazemiya
masuk ke dalam apartemen.
Kazemiya pun berjalan dengan langkah
lemah mengikuti ibunya — tapi sebelum itu, pandangan matanya bertemu dengan mataku sejenak.
“........”
Kazemiya memalingkan
wajahnya seolah tidak sanggup
lagi menahan rasa sakitnya, dan lenyap ke dalam gedung
apartemen yang menjulang tinggi seolah menusuk langit.
“Kazemiya...”
Bagaimana
perasaan Kazemiya ketika tatapan
mata kami bertemu untuk terakhir kalinya?
Aku
merasa kalau bisa memahaminya. Aku dan Kazemiya sangat mirip. Karena kami berdua begitu mirip, jadi aku bisa
mengerti.
——Aku
hanya tidak ingin Narumi melihat sisiku yang seperti ini.
Dari sorot mata yang ditinggalkan terakhir
oleh Kazemiya, seakan-akan
perasaan dan kata-katanya merembes keluar demikian. Aku merasakan hal seperti itu.
☆☆☆☆
“…Aku pulang.”
Aku
langsung pulang dari rumah Kazemiya dan menunjukkan
wajahku ke ruang tamu untuk
mengumumkan bahwa aku sudah pulang.
“Selamat
datang di rumah.”
“Selamat
datang kembali, Kouta-kun.”
“Kamu
pasti Lelah, ‘kan? Aku
sedang mengisi ulang bak mandi dengan air panas. Mandilah dan hilangkan
kepenatanmu.”
Aku
sampai di rumah sebelum jam 10 malam. Aku
disambut hangat oleh ibuku yang
sedang menulis di ruang tamu, dan Akihiro-san yang sedang menuangkan secangkir cokelat.
Biasanya,
hatiku akan dipenuhi dengan perasaan tidak nyaman, bersalah,
dan berdosa, tapi hari ini aku bisa menerima
kehangatan itu dengan tangan terbuka.
("Selamat
datang kembali”, ya…)
Mereka
berdua mengucapkan “Selamat
datang kembali” kepadaku sebagai hal yang biasa.
Namun...
(...Ibu
Kazemiya tidak pernah mengucapkannya.)
Ibu
Kazemiya tidak mengucapkan sepatah kata pun
salam kepada putrinya ketika dia kembali ke rumah.
Bahkan
tidak ada satu kata pun yang menunjukkan kepeduliannya.
Dia hanya mencela,
tercengang, dan merasa direpotkan.
“Kamu kenapa? Malah
linglung begitu.”
“...Aku
hanya berpikir seberapa beruntungnya diriku.”
“Apa, memangnya kamu lagi demam atau semacamnya?”
“Ya enggak
lah.”
Sebaliknya,
seberapa jauh lebih baik jadinya jika kehadiran Ibu Kazemiya hanyalah mimpi
saat aku sedang demam?
“Baiklah,
aku akan meletakkan barang-barangku di atas dulu
dan kemudian mandi.”
“Ah,
Kouta-kun. Jika kamu mau ke atas,
bisakah kamu membawakan coklat untuk Kotomi? Aku
yakin kalau dia sedang belajar sekarang.”
“……Oke, baiklah.”
“Terima
kasih. Itu sangat membantu.”
Sejujurnya, aku masih belum terlalu akur dengan Tsujikawa.
Kemungkinan
besar Akihiro-san juga memahami hal ini. Dengan memintaku
untuk membawakan minuman kepadanya, aku bisa meningkatkan kesempatan untuk komunikasi antara kakak
dan adik.
Seandainya
itu hanya orang asing, aku pasti akan menolaknya.
Mungkin
ada banyak orang di dunia ini yang tidak akur, dan tidak perlu memaksakan diri
menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak cocok denganmu.
Tapi
masalahnya, kami adalah keluarga.
Berbeda
dengan sekolah, ikatan keluarga ini akan terus berlanjut.
Bahkan
jika aku mencoba melarikan diri atau
menghindarinya,
kenyataan bahwa kami adalah 'keluarga'
tidak akan pernah hilang.
Selain
itu, ibu sudah menemukan kebahagiaannya
dengan susah payah. Aku bukanlah orang yang tak berperasaan
sampai-sampai merusak semuanya di sini.
... Nah,
begitulah. Sambil menyusun alasan dan argumen di dalam hati, aku berdiri di depan kamar adik tiri
dengan tetap menjaga hatiku tetap kuat.
Pertama-tama,
ayo tarik napas dalam-dalam. Kemudian
mengetuk ringan pintu kamarnya.
“Ah,
Tsujikawa. Ini aku.”
“Nii-san?”
“Aku
membawakan ini atas permintaan Akihiro-san.”
“Oke.
Mohon tunggu sebentar.”
Beberapa
saat kemudian, pintu kamar terbuka.
Tsujikawa
yang mengenakan pakaian santai,
memandangku sejenak....
“Selamat
datang kembali. Jadi kamu sudah pulang, ya.”
... dan
memberikan sapaan pertama.
“Ah,
ya... iya. Aku baru saja pulang.”
“?
Apa ada yang salah?”
“...
Tidak, aku tak menyangka kalau kamu akan memberi salam.”
“Tentu
saja. Ada etika di antara orang yang akrab. Apalagi jika itu keluarga. Lebih
dari itu, jika itu 'keluarga biasa', alasan untuk memberi salam kepada
kakak yang pulang adalah hal yang
wajar.”
“Ada
etika di antara orang yang akrab, ya...”
Tsujikawa
juga memberi sapaan 'selamat datang
kembali' seperti ini. Seberapa tidak tertariknya Ibu Kazemiya terhadap
putrinya? Rasanya semakin jelas, dan aku merasa semakin sedih.
“Ini
dari Akihiro-san.”
“Terima
kasih.”
Tsujikawa
menerima minuman coklat
tersebut.
“Oh
ya, Nii-san, besok adalah Jumat, jadi kamu
libur dari kerja paruh waktumu, ‘kan?”
“...
Ya. Benar.”
“Sepertinya hari ini kamu ada rencana, tetapi jika
seperti biasa, kamu akan ada di rumah besok, ‘kan?”
“...
Rencananya begitu.”
“Hehe.
Aku senang sekali. Besok
sepertinya ibu juga akan istirahat, dan sepertinya ayah akan pulang lebih awal.
Kita semua bisa menghabiskan waktu bersama seperti keluarga biasa.”
...
Keluarga biasa, ya.
Kurasa
memperbaiki itu adalah hal yang harus kulakukan. Meskipun suasana hatiku merasa tidak nyaman, tapi menghargai keluarga adalah hal
yang wajar.
Namun,
dalam benakku... bayangan punggung Kazemiya yang pergi bersama ibunya dan sorot mata yang
diperlihatkannya,
terus-menerus berputar tanpa henti di kepalaku.
☆☆☆☆
Hari
Kamis yang penuh gejolak telah berakhir, dan hari Jumat, yang akan menjadi hari
di mana kinerja para siswa dan pekerja masyarakat mencapai puncaknya, segera
dimulai.
Film.
Restoran keluarga. Dan yang terakhir, aku
bertemu dengan ibu Kazemiya yang
bersikap dingin terhadap putrinya.
Kupikir
haru Kamis memiliki kejadian yang layak disebut
sebagai penuh gejolak. Atau, jika harus dikatakan, seluruh hari seminggu ini sendiri dipenuhi dengan gejolak.
Aliansi
dengan Kazemiya Kohaku
dimulai pada hari Senin. Termasuk
hari ini, baru lima hari. Baru lima hari, tapi kupikir
ini adalah perubahan yang besar.
“.........”
Yang
memenuhi pikiranku saat ini
hanyalah raut wajah Kazemiya kemarin. Itulah yang selalu kupikirkan.
“Oi,
Kouta. Kouta?”
“....Oh, Natsuki. Ada apa?”
“Bukan
apa-apa. Aku hanya menyapamu 'Selamat
pagi' sejak tadi, tapi kamu malah tidak menanggapiku sama sekali.”
“Maaf.
Aku sedang memikirkan sesuatu.”
“Belakangan
ini kamu sering melakukan itu ya.”
“....
Ya. Karena ada banyak hal yang perlu dipikirkan.”
Terutama
dalam lima hari terakhir ini.
“Hmm............”
“Jangan
menatap wajah orang.”
“Kouta,
kamu tahu, akhir-akhir ini kamu agak berubah ya. Mungkin karena teman baru yang
kamu punya?”
“Apa iya?
Aku tidak merasa berubah sama
sekali—”
Aku tidak
bisa mengatakan bahwa tidak ada perubahan.
Dalam
lima hari yang dipenuhi dengan gejolak
ini, aku menyadari bahwa diriku sebagai Narumi Kouta, telah mengalami sedikit
perubahan. Lima hari bersama Kazemiya Kohaku
adalah hari-hari bagaikan
mimpi bagiku.
“.....Mungkin saja iya.”
“Nah, ‘kan?”
Natsuki cengengesan dengan bahagianya.
“Kenapa
kamu malah terlihat senang?”
“Hmm?
Entahlah. Aku juga tidak
tahu.”
“Itu
pasti tentang diriku
sendiri.”
“Memangnya
kamu bisa tahu begitu? Semua tentang diri sendiri,
sepenuhnya."
Disadari
atau tidak, perkataan Natsuki
menembus jauh ke dalam diri Narumi Kouta.
Seakan-akan
aku dipukus sesuatu di tempat yang
menyakitkan. Seolah-olah ada sesuatu yang bisa dilihat oleh Natsuki yang tanpa
ampun ditunjukkan kepadaku.
“Ah,
itu Kazemiya-san.”
Kazemiya berangkat
ke sekolah di pagi hari. Sorot matanya
terlihat kosong, samar dan redup,
seakan-akan bisa menghilang kapan saja.
“Kazemiya-san juga belakangan ini agak berubah ya.”
“Apa iya?”
“Yeah,
menurut pendapat pribadiku sih. ...Tapi
mungkin hari ini dia terlihat sama seperti
biasanya.”
“Seperti
biasanya...”
“Beberapa
waktu yang lalu... atau mungkin sekitar minggu lalu, dia selalu memiliki
ekspresi seperti itu setiap hari.”
Kazemiya
yang biasa merupakan gadis dengan
ekspresi kosong seperti itu.
...... Kazemiya Kohaku yang kukenal berbeda. Dia tidak memiliki sorot mata yang seperti itu. Kazemiya yang ada dalam ingatanku menunjukkan lebih banyak
ekspresi yang berbeda.
Bisa menjadi
ekspresi dingin yang penuh penolakan yang dia tunjukkan di
kelas.
Atau raut wajah mengantuk setelah begadang
bermain game.
Atau
ketika dia bersemangat bercerita tentang film.
Atau
ketika dia benar-benar panik setelah hamburgernya diambil.
Itulah Kazemiya Kohaku yang aku kenal sekarang.
Matanya
yang seindah permata bersinar begitu cerah sehingga
dapat merampas kesadaran seseorang jika tidak waspada.
Aku
tidak bisa mengingat bagaimana ekspresi Kazemiya
yang sebelumnya. Aku bahkan tidak bisa mengingat lagi bagaimana kesannya.
Sejauh
itu, dalam lima hari terakhir ini, kesanku
terhadap 'Kazemiya Kohaku'
dalam diriku telah
berubah.
(...Kesan?)
Kesan.
Apa aku baru
saja menggunakan kata itu?
(Bukan)
... 'Kesan'
atau semacamnya, itu tidak sesuatu yang samar.
Keraguan terhadap diri sendiri.
Ketidaknyamanan. Mengikuti, memikirkan, dan membentuknya.
(...Keberadaan?)
Ya. Itu dia, 'keberadaan'. Bukan 'kesan'.
Mungkin itu cara yang lebih
tepat untuk mengungkapkannya.
Manusia
bernama Kazemiya Kohaku sudah
menjadi 'keberadaan' besar di dalam
diriku.
“Kamu
lagi-lagi mikirin sesuatu ya.”
“Wah!?”
Ketika aku tersadar,
wajah Natsuki tepat berada di hadapanku.
“Kamu
tidak sadar kalau bel sudah berbunyi, ‘kan?”
“...Aku benar-benar tidak menyadarinya.”
“Pelajaran
selanjutnya adalah Hosomine-sensei, loh. Pastikan buku dan
catatan sudah siap di atas meja ya? Kalau tidak, mungkin kamu bakal kena semprot.”
“Benar.
Terima kasih.”
“Sama-sama.
Pastikan kamu tidak terlalu mencolok selama pelajaran ya? Karena aku tidak akan bisa menutupi
semuanya.”
“Sebenarnya
aku malah berterima kasih karena kamu
bersedia mau menutupinya.”
“Tentu
saja lah.”
Natsuki
tersenyum dan berkata,
“Aku sudah
lama tidak melihat Kouta yang serius memikirkan sesuatu seperti
ini.”
“Bukannya aku tidak pernah serius memikirkan sesuatu
sebelumnya, ‘kan?”
“Sebelumnya?
Pernah sih, tapi
aku meyakini kalau apa yang kamu pikirkan
saat ini pasti tentang hal baik.”
Sambil
bersyukur atas perhatian teman masa kecilku,
aku mengambil buku pelajaran dari meja.
☆☆☆☆
“Baiklah,
kalau begitu, ayo kita pergi ke tempat acara
kelas.”
Setelah
sekolah.
Para
peserta acara kelas yang segera menyelesaikan
persiapan pulang bangkit dengan semangat atas
perintah Sawada. Sambil melihat semangat tersebut, aku juga mulai
bersiap-siap untuk pulang dengan santai.
“Kazemiya-san.”
Ketika aku sedang menyusun buku pelajaran,
Sawada menghampiri Kazemiya
yang juga bersiap pulang dengan gerakan lambat.
“Apa?”
“Bagaimana
dengan acara kelas? Mau ikut sekarang?”
“Aku
sudah menjawabnya, ‘kan?”
“Kupikir
mungkin kamu akan berubah
pikiran.”
“Aku
belum berubah pikiran sama sekali, tapi aku harus pulang ke
rumah hari ini.”
“Oh begitu ya, jadi hari
ini adalah hari untuk bersama keluargamu
ya.”
“Itu
bukan urusanmu.”
Setelah
mengemasi buku-buku pelajarannya, Kazemiya meninggalkan ruang kelas dengan
cepat.
“...Kalau begitu ayo pulang.”
“Oke.
Ya ampun, suasana sepulang
sekolah di haru Jumat tuh selalu membuat kita bersemangat ya.”
“Yeah...
memang begitu.”
Sebelumnya,
aku pasti akan langsung mengangguk
dan menyetujui kata-kata Natsuki seperti biasa.
Tapi sekarang, mengapa ya, meskipun itu Jumat dan membuatku senang, aku sama sekali tidak merasa begitu
bersemangat seperti sebelumnya.
“Ya
sudah, kalau begitu sampai jumpa hari Senin ya, Kouta.”
“Yeah,
sampai ketemu lagi.”
“Rasanya
sedih ya. Ucapan yang terasa seperti kita tidak akan bertemu lagi pada liburan
itu. Aku harap kamu mau mengajakku main keluar
sesekali.”
“Sayangnya
aku punya jadwal kerja di hari libur juga.”
Setelah
berpisah dengan Natsuki di tengah jalan, aku langsung
pulang ke rumah. Mencoba untuk berada untuk
tetap di rumah sebanyak mungkin pada hari Jumat menjadi aturan yang aku tetapkan agar tidak merusak
kebahagiaan baru ibuku.
“Aku pulang.”
“Selamat
datang kembali.”
Ketika aku tiba di rumah, ibuku menyambutku. Akihiro-san tidak ada di rumah. Kurasa
itu wajar. Meskipun ia
mengatakan kalau ia akan pulang lebih awal hari ini, jam
kerja seorang pekerja dan jam belajar
seorang siswa berbeda.
“Fyuuh...”
Aku
melempar barang-barangku,
menggantungkan seragam sekolah di gantungan, dan rebahan di atas tempat tidur.
Sejak hari
pertama aku pindah ke rumah ini karena pernikahan ibu hingga
sekarang... pemandangan langit-langit yang terlihat dari tempat tidur ini masih
terasa asing. Mungkin karena aku
terus-menerus mencoba melarikan diri dari rumah ini.
“Hari
Jumat adalah hari di mana aku harus memprioritaskan
keluarga...”
Aku
menyatakan aturan yang sudah aku
tetapkan sendiri.
Bahkan
setelah ibu menikah lagi dan keseharian di mana aku terus
melarikan diri dari rumah dan keluarga dimulai, aku selalu berusaha untuk tidak melanggar
aturan ini.
Hanya
pada hari Jumat di mana aku tidak boleh
melarikan diri.
“..........”
Aku bangun
dari tempat tidur, mengambil seragam sekolah dari gantungan, dan menyelipkan
ponselku ke dalam saku.
Aku berjalan
turun dari lantai dua ke lantai satu. Aling-aling langsung menuju pintu depan, aku mampir ke ruang tamu tempat di mana ibuku
berada.
“Ara,
ada apa?”
“Aku
mau pergi keluar sebentar.”
“Eh?
Tapi, hari ini kamu biblang akan berada di rumah...”
“Maaf.”
Hari
Jumat adalah hari untuk mengutamakan
keluarga.
Jumat
adalah satu-satunya hari di mana aku
tidak boleh melarikan diri.
Itulah
aturannya. Aturan untuk menghindari menghancurkan keluarga.
Tapi aku memutuskan untuk melanggarnya
hari ini, hanya untuk sekali ini saja.
“..........”
Aku mengirim pesan singkat
kepada Kazemiya
di aplikasi pesan.
Teksnya
sederhana dan langsung ke topik.
● Kouta:
Aku akan datang sekarang
Hanya
itu. Hanya itu saja yang perlu disapaikan.
────Aku belum berubah pikiran sama sekali, tapi aku harus pulang ke
rumah hari ini.
──── Oh begitu ya, jadi hari
ini adalah hari untuk bersama keluargamu
ya.
“.....Mana mungkin hal itu terjadi.”
Aku
mencoret kata-kata Sawada dengan warna merah saat mengingatnya kembali.
Sawada. Ia tidak memahami siapa Kazemiya
Kohaku itu.
Kazemiya bilang dia akan tinggal di
rumah? Aku yakin itu hanya kebohongan yang dimaksudkan untuk menolak acara kelas.
Alasan
kenapa dia tidak menolaknya dengan dingin
dan mengabaikannya seperti dulu adalah untuk
mencegah rumor buruk menyebar.
“......”
Aku tentu
menuju ke restoran yang biasa aku kunjungi.
Restoran keluarga yang biasa. Di tempat duduk yang biasa.
“...Dia benar-benar datang.”
Orang
yang duduk si sana adalah
Kazemiya Kohaku.
“Kupikir
hari ini adalah hari di mana kamu harus tinggal di rumah....”
“Aku
memang berencana begitu.”
Aku
duduk di seberang meja di kursi yang telah menjadi “tempat dudukku yang biasa” selama
lima hari terakhir.
“Hari
ini, aku memutuskan untuk mendengarkan
keluhanmu, Kazemiya.”
“Kamu
memutuskan untuk mendengarkan keluh kesahku...hah? Kenapa?”
“Kenapa, ya...”
Aku sendiri
tidak begitu mengerti mengapa aku
terburu-buru ke sini pada hari Jumat ini, bahkan sampai melanggar aturan yang
telah aku tetapkan untuk diriku sendiri dan mengabaikan waktu
yang kumiliki bersama keluarga.
Aku
bertanya pada diriku sendiri
pertanyaan ini berkali-kali dalam perjalanan ke
sini, tetapi jawabannya tidak pernah kutemukan.
“Tentang
sekolah, tentang kehidupan
pribadi, atau bahkan———tentang keluarga. Kita akan saling mengeluh dan mendengarkan.
Begitulah cara kita membentuk aliansi, bukan?”
Pada
awalnya, ini adalah ide Kazemiya.
Aku tidak akan membiarkannya mengatakan bahwa dia sudah melupakannya.
“────...”
Meski
begitu, Kazemiiya tetap membeku dengan mulut terbuka dan ekspresi kosong di wajahnya.
“……Bilang sesuatu napa.”
“Maaf.
Bagaimana ya, rasanya jadi..... Aku
tidak tahu.”
“Kamu tidak
tahu?”
“Entahlah...Aku
tidak menyangka kalau kamu
beneran akan datang. Kupikir aku tidak
akan bisa bertemu denganmu hari ini, jadi aku bertanya-tanya kenapa. Aku sangat
bingung sampai-sampai aku jadi tidak tahu.”
Jarang
sekali melihat Kazemiya selinglung
seperti itu. Rasanya dia tidak pernah memperlihatkan wajahnya seperti ini,
apalagi di siang hari saat cuaca sedang sejuk, atau bahkan sepulang sekolah di
malam hari.
“...Seperti
yang sudah kubilang sebelumnya. Memang
benar aku tidak berencana datang hari ini.”
“...Lalu
kenapa kamu malah datang?”
“……Aku tidak mengerti.”
“Kamu
juga sama-sama tidak mengerti, toh.”
Saat aku
menjawab dengan jujur, Kazemiya hampir saja tertawa terbahak-bahak.
“Cerewet.
Aku juga memikirkannya, tapi aku tetap tidak
mengerti. Pokoknya, ini tentang mengeluh,
mengeluh. Aku memutuskan untuk mendengarkan keluhanmu hari ini. ...Ah, tapi
pertama-tama aku mau memesan minuman dulu.”
“Kamu
tidak perlu memesan.”
“Memangnya kamu tidak punya hati ya?
Aku berlari ke sini dan sekarang aku
merasa haus.”
“,,..Hmm~? Jadi
kamu berlari jauh-jauh untuk datang ke sini, ya.”
“...Memangnya salah?”
“Enggak sih. …Malahan,
aku merasa senang.”
Kenapa
ya. Aku tidak bisa melihat wajah Kazemiya
dengan baik saat ini.
“Pokoknya,
aku mau pesan dulu, oke.”
“Sudah
kubilang tidak usah. Lihat.”
Kazemiya mengeluarkan sebuah kertas dan
membentangkannya di hadapanku.
Di atas kertas kosong itu, dengan huruf hitam, tertulis 'Jumlah minuman: 2'.
“....Aku
tidak menyangka kalau Narumi
akan datang...tapi karena kebiasaan, aku jadi memesan
dua.”
Aku
biasanya pergi ke restoran keluarga setelah pekerjaan paruh waktuku, dan aku meminta Kazemiya untuk memesankan minuman untukku terlebih dahulu.
“Untung saja
aku datang.”
“Bahkan jika kamu tidak datang, aku akan tetap
meminum dua-duanya.”
“Karena itu
dari minuman sepuasnya, jadi tidak peduli seberapa
banyak kamu meminum,
itu cuma satu orang.”
“Kalau aku minum dua kali lebih banyak dari
biasanya, itu cukup
untuk dua orang.”
Kazemiya menggunakan
logika yang tidak masuk akal. Di sinilah tatapan mata
kami akhirnya bertemu.
Aku
merasa bahuku menjadi rileks, semua hal yang tidak diperlukan telah hilang dari
pikiranku, dan aku kembali ke rutinitas sepulang sekolah seperti biasa.
“...Fufu. Sudah kuduga, itu lumayan tidak masuk akal, bukan?”
“Haha. Ampun deh, bener banget.”
Kami
berdua tertawa. Kami saling menertawakan satu sama lain.
“Terima
kasih, Narumi. Aku merasa sedikit lebih baik.”
“Tidak
perlu berterima kasih padaku segala.
Aku datang ke sini bukan untuk menghiburmu.”
“Begitu ya. Benar juga. Narumi datang ke sini hanya untuk
mendengarkan keluh kesahku, ‘kan?”
“Karena hal
tersebut lebih mudah bagimu, ‘kan?”
“Ya.
Lebih mudah begini.”
Aku
menggunakan bar minuman yang dipesan Kazemiya untukku, menaruh sedikit es di
gelas, dan menuangkan soda melon sampai penuh. Di dekatku, Kazemiya, yang juga
meninggalkan tempat duduknya untuk mengambil minuman baru, sedang mengantri.
“Kamu
benar-benar menyukainya,
soda melon.”
“Karena aku tidak bisa meminumnya di rumah.”
“Ah,
tapi benar juga. Yang namanya soda melon tuh kamu
sering melihatnya di restoran keluarga, tapi jarang melihatnya dijual dalam
botol plastik. Kira-kira kenapa ya?”
“Mungkin saja itu merupakan strategi
untuk meningkatkan kelangkaan?”
“Apa gunanya membuatnya semakin langka?”
“...Entahlah, sisanya cuma Tuhan yang tahu. Mungkin.”
“Jawabanmu
asal-asalan banget.”
Kazemiya
tersenyum kecil,
mengambil gelas, dan mengisinya dengan es.
Setelah
memasukkan gelas transparan berisi es ke dalam mesin, dia menekan jari
telunjuknya ke tombol yang baru saja aku tekan.
“Aku
mau soda melon juga, ahh~.”
“Tidak mau
minum teh?”
“Karena hari
ini spesial.”
Kami
berdua kembali ke tempat duduk kami sambil
membawa minuman soda melon.
Hari sudah
menunjukkan hampir malam. Kursi-kursi
di sekitar kami perlahan-lahan mulai terisi.
Ada orang yang membawa anak-anak mereka, pelajar, dan beberapa di antaranya dengan
panik mengetuk-ngetuk keyboard yang terpasang di sampul tablet mereka untuk
membuat dokumen atau semacamnya, sementara yang lain sedang mengadakan
pertemuan dengan dokumen-dokumen tersebar di atas meja.
Suara
yang mengganggu. Kebisingan. Suara kehidupan. Aku
tidak peduli dengan orang-orang di sekitar kami,
aku hanya berkonsentrasi pada diriku sendiri. Aku menyukai keheningan yang menjengkelkan
ini. Meski ada begitu
banyak suara yang sampai ke telingaku,
hal tersebut membuatku merasa seolah-olah hanya aku sendiri yang ada di dunia ini.
“.....Tentang kemarin, aku minta maaf.”
Suara Kazemiya
yang tepat berada di
depanku, terdengar tanpa terganggu oleh
suara-suara di sekitarku.
“Mamahku membuat
kamu merasa eneg, iya ‘kan?”
“Dia tidak
melakukan apa-apa padaku, jadi kamu tidak perlu meminta maaf segala.”
“Tapi
dia adalah mamahku. Jika Narumi merasa
tidak enak, maka kupikir akulah
yang harus meminta maaf.”
“....Keluarga itu lumayan mereportkan ya.”
“Aku
setuju dengan itu.”
Kita meminta maaf atas nama mereka
karena mereka adalah keluarga. Karena mereka
addalah orang tua. Karena dia putrinya. Karena kita saling terhubung.
Padahal
Kazemiya sendiri tidak melakukan kesalahan apapun. Keluarga adalah hubungan
yang sangat merepotkan.
“'Jika
ada sesuatu tentang kemarin yang membuatku merasa tidak enak, itu adalah
────”
Sejujurnya. Aku memang merasa tidak enak dengan
kejadian kemarin, malam itu, di tempat itu.
Lebih
khususnya lagi, aku merasa tidak nyaman. Itu adalah
perasaan tidak nyaman yang sulit untuk dihilangkan, dan masih tersangkut di dadaku.
“Sorot
mata ibumu, wajahnya, kata-kata dan tindakannya yang membuatku berasumsi sejak awal bahwa
semuanya adalah salah Kazemiya.
Jika dia memang seorang manajer,
dia sebaiknya memperbaiki kebiasaannya untuk menunjukkan apa yang ada
di dalam hatinya. Itu
menjijikkan.”
Setelah
melampiaskan kekesalanku, aku memuaskan dahagaku dengan soda melon. Pembersihan langit-langit mulut
selesai.
“F-Fufu...”
Setelah
cairan hijau terang di dalam gelas
berkurang setengah, Kazemiya
mulai tertawa kecil.
“Ahaha.
Apa-apaan itu? Apa biasanya kamu berkata seperti itu pada ibu orang lain?”
“Jika dia harus meminta maaf, setidaknya dia harus menyampaikan permintaan maaf dengan tulus kek.”
“Bagus.
...rasanya jadi sedikit menyegarkan.”
“Kamu merasa lega?”
“Ya.
Aku tidak bisa bilang sampai segitunya.”
“Sudah kuduga begitu. Aku
sendiri terkejut. Aku tidak menyangka kalau aku
akan berkata sebanyak ini pada ibu orang lain.”
Aku
memiliki kebijakan untuk tidak mencampuri
urusan rumah tangga orang lain.
Saat aku
bersama Kazemiya, aku semakin merasa
menjadi seperti bukan diriku lagi.
“...Ini semua karena salahmu, Kazemiya.”
“Mendadak ada apaan sih? Aku tidak mengerti.”
“Aku juga tidak mengerti.”
“Jangan meniruku.”
Sambil
tertawa, Kazemiya memutar-mutar
sedotan di gelasnya dengan jari-jarinya yang halus.
Balok es
yang penyok menghantam kaca, menghasilkan suara yang ringan dan sejuk.
“...Kemarin.
Setelah itu, ibuku mengomeliku.”
“Aku berharap kalau sekutu aliansiku akan
berbagi informasi denganku.”
Aku
mengemukakan alasan yang sama seperti Kazemiya
suatu hari nanti.
“Isinya
tidak terlalu bagus, tapi kamu yakin mau
mendengarnya?”
“Lalu
kenapa kamu mengungkitnya?”
“...Yah,
karena ada sesuatu yang bisa aku setujui. Menurutku rasanya tidak adil bagi Narumi jika aku tidak mengatakan apa pun.”
“Setidaknya aku
akan mendengarkannya kok.”
Kazemiya
meletakkan mulutnya yang kecil dan lembut di atas sedotan dan menyesap soda
melonnya. Aku memandangnya sebagai cara
mengisi kembali energi yang dibutuhkan untuk kata-kata yang akan dia ucapkan.
“......'Jika
kamu terus-menerus bersamanya,
peringkat cowok yang bernama Narumi itu akan semakin
terpuruk. Berhentilah mengganggu
orang lain.’...Itulah
dia katakan.”
“Ohh,
semakin terpuruk ya... jadi? Lalu
bagian mana dari yang kamu
setujui?"
“Hmm.
Yah...mungkin
semuanya? Bahkan saat ini, kamu
seharusnya menghabiskan waktu bersama keluargamu.
Tapi aku malah mengambil waktu itu.”
“Akulah
yang memilihnya. Lagi pula, meskipun kata-kata ibumu benar, itu tidak
mempengaruhiku.”
“Kenapa?”
“Karena
aku....”
Aku
akan mengatakan ini dengan percaya diri kepada Kazemiya
yang sedang memiringkan kepalanya.
“Sejak
sebelum aku berteman denganmu, aku sudah cukup terpuruk.”
“....Hah?”
“Aku melarikan
diri dari rumah dan keluargaku. Melarikan diri, melarikan diri,
melarikan diri, dan menghabiskan waktu di restoran
ini. Lihatlah? Bukannya itu sudah
cukup terpuruk, kan?”
Aku
mengatakannya dengan bangga. Aku mengatakannya dengan penuh keyakinan.
“Seriusan
deh, Narumi itu benar-benar
menarik, ya.”
“Apa boleh
kalau aku menganggap itu sebagai pujian?”
“Mungkin.
Meskipun aku pikir kamu juga
bodoh.”
“Aku
mungkin bodoh dan itulah sebabnya dia berada di sini.”
“Mungkin.
Tapi....”
Cahaya telah kembali ke mata Kazemiya.
Tidak
lagi hampa seperti pagi tadi, tapi Kazemiya
yang kukenal... tidak, Kazemiya Kohaku yang kukenal
selama lima hari terakhir telah kembali.
“Aku
tidak membenci orang bodoh seperti itu.”
“....Aku akan menerimanya sebagai
pujian.”
Yang bisa
kulakukan hanyalah mengatakan sesuatu seperti itu dan mengalihkan pandanganku.
Aku
sendiri pun tidak tahu. Tapi saat ini, aku tidak bisa melihat langsung ke wajah
Kazemiya.
“Hari
ini seharusnya ada acara kelas
ya?”
“Kamu
ingin pergi?”
“Mana
mungkinlah. ...Bukan begitu maksudku. Mari kita lakukan acara kelas khas kita sendiri dari
sekarang.”
“Walaupun
hanya berdua?”
“Walaupun
hanya berdua, itu tetap acara kelas, ‘kan?
Selain itu...”
““Karena
itu bisa jadi alasan untuk keluarga kita.””
Tanpa
disengaja, kata-kata kami selaras tanpa perlu disinkronkan.
“Terutama
kamu mungkin akan
membutuhkannya, Narumi.”
“Aku
bersyukur atas perhatianmu.”
“...Aku
juga berterima kasih.”
Dengan
mengatakan itu, Kazemiya
mengangkat sedikit gelas yang tersisa dari soda melon.
“Untuk
jaga-jaga, apa kamu mau melakukan sesuatu yang terlihat
seperti itu?”
“Ayo kita
melakukannya.”
Aku juga
mengangkat gelasku sedikit
dan menyentuh ringan gelas Kazemiya.
““Bersulang.””