Bab 4.5 — Monolog Kazemiya Kohaku
“Sampai ketemu, Kazemiya.”
“...Sampai
jumpa lagi, Narumi.”
Hanya
kami berdua. Acara kelas
dimana hanya ada kami berdua saja yang
merayakannya.
Hari ini Narumi mengantarku pulang lagi dari restoran keluarga yang
biasa kami kunjungi.
Setelah melewati
pintu masuk yang dingin, bersih dan mewah, aku langsung
masuk ke dalam lift.
Sebuah
kotak besi memanjat menara yang sepertinya telah dibungkus dengan indah. Rumahku berada di lantai paling atas
sebuah bangunan yang menjulang tinggi ke langit.
Aku membuka
kunci pintu dan melangkah
masuk. Tidak ada satu pun cahaya di ruangan yang gelap. Kegelapan yang dingin terletak di
bagian bawah eksterior yang indah. Papah,
Mamah, dan Onee-chan semuanya pasti bekerja hari ini.
Faktanya, rasanya jadi tidak
biasa kalau semua orang berada di rumah,
dan rumah yang gelap gulita ini merupakan ‘hal
yang normal’ bagiku.
Aku
meletakkan tasku dan ambruk ke atas tempat
tidur dengan seragamku. Mungkin seragamku
bakalan kusut, tapi aku tidak peduli.
Sekarang
bukan waktunya. Saat ini bukan waktunya
memedulikan hal seperti itu.
“...Haa────...”
Aku
akhirnya bisa mengeluarkan perasaan tak terlukiskan yang menumpuk di dadaku
seiring dengan nafasku.
“……”
Jantungku
masih terus berdebar kencang. Seluruh
tubuhku panas. Terutama wajahku.
Ibarat berada di sebuah ruangan di tengah musim
panas dengan jendela tertutup dan AC dimatikan, hawa
panasnya seakan-akan memenuhi seluruh tubuhku.
Aku tidak
mengerti. Kenapa aku kadi seperti
ini? Aku bahkan tidak punya petunjuk sama sekali.
“Aku
penasaran kenapa ia malah
datang....”
Aku
bisa membayangkan wajah anak cowok
yang baru saja mengantarku dan mungkin sedang berjalan
pulang sendirian.
Biasanya,
ia seharusnya memprioritaskan
keluarganya sendiri. Namun, ia mengabaikan keluarganya
dan datang kepadaku.
Aku yakin ia
berlari dengan putus asa. Rambutnya terlihat
berantakan, wajahnya berkeringat dengan begitu deras, dan
seragamnya kusut.
Aku
penasaran seberapa putus asanya ia
berlari untuk menuju kemari.
“Benar-benar
bodoh. Ia sungguh bodoh. Tidak masuk akal.
Meskipun prinsipnya adalah tidak ikut campur. Dengan wajah putus asa seperti
itu, ia sampai berlari untuk datang ke sini...
sungguh bodoh.”
Narumi memang bodoh. Dia adalah orang bodoh
yang bahkan tidak bisa menetapkan prioritas.
Bisa-bisanya
ia lebih memprioritaskan teman daripada keluarganya sendiri.
Bodoh.
Bodoh. Bodoh. Bodoh. Dasar Narumi,
bodoh.
“...Tapi...
aku senang.”
Aku tidak
boleh berpikir seperti ini. Aku tahu aku tidak boleh berpikir seperti ini, jadi
aku dengan putus asa memberitahunya bahwa dia bodoh, mencoba menutupi
perasaanku.
“Aku
senang karena Narumi datang. Aku senang karena bisa bertemu dengannya setelah berpikir kalau aku takkan
bisa bertemu dengannya. Aku senang bisa berbicara
dengannya.”
Setelah
mengucapkannya sekali lagi,
kata-kata terus mengalir seperti air yang meluap.
“Aku
senang karena ia datang saat aku sedang terluka... Aku senang karena ia datang saat aku
merasa sangat tersiksa sampai-sampai membuatku
ingin menangis...”
Aku tidak
bisa menghentikannya. Dengan sukacita yang semakin meluap-luap dari lubuk hatiku, aku
mengungkapkannya.
“...Aku
senang kamu
memilihku, Narumi.”
Kemarin.
Pada saat yang kurang tepat, aku bertemu dengan Mamah
saat pulang ke rumah.
Aku sudah
bercerita pada Narumi. Tentang betapa buruknya hubunganku dengan keluargaku. Aku juga sudah banyak mengeluh
padanya.
────Aku
tidak ingin Narumi melihat sisi seperti itu dari diriku.
Saat kami akan berpisah, aku merasa
begitu. Aku tidak ingin Narumi melihatnya. Aku tidak ingin Narumi melihat sisi
seperti itu dari diriku. Aku tidak tahu mengapa. Tapi, aku merasa sangat tidak
nyaman sampai-sampai membuatku hampir
menangis.
Aku
merasa lebih rendah daripada kakak perempuanku. Hanya anak yang menjadi beban
bagi Mamah.
Sosok yang tidak
dibutuhkan oleh keluarga.
Aku tidak
ingin Narumi melihatku sebagai gadis yang
seperti itu.
Narumi——— ia mungkin tidak akan melihatku
lagi. Mungkin ia tidak akan bersamaku lagi. Mungkin ia akan menjauh dari
diriku.
Aku
merasa takut saat memikirkan itu. Aku bahkan tidak bisa menatap wajah Narumi
dengan baik.
Saat pagi
tiba, bahkan saat pergi ke sekolah, hanya itu
saja yang terus aku pikirkan. Tidak bisa bertemu
dengan Narumi setelah sekolah hari ini membuatku merasa sedih.
Mau
bagaimana lagi. Narumi memiliki keluarga Narumi sendiri. Mungkin
ia merasa tidak nyaman, tapi keluarga tetap
keluarga. Jadi, apa boleh buat.
Setelah Jumat berlalu, akhir pekan Sabtu dan Minggu berakhir, jika sudah Senin
aku bisa bertemu dengannya lagi──── apa iya?
Setelah
melihatnya seperti itu, melihat seperti apa dirku,
apa Narumi akan tetap bersamaku?
Apakah
waktu menyenangkan setelah sekolah itu hanya akan menjadi mimpi indah belaka?
Atau itu akan
menjadi ilusi kejam yang menghilang dari genggaman?
Hanya
dengan memikirkannya saja sudah membuatku
merasa takut. Waktu di sekolah terasa begitu panjang.
Aku bahkan mempertimbangkan untuk tidak pergi ke restoran keluarga hari ini. Namun, langkahku
bergerak perlahan dengan
sendirinya, dan tanpa disadari,
aku sudah duduk di tempat biasa.
“Dua
minuman dari bar minuman.”
Aku baru
menyadari setelah memesan. Hari ini Narumi tidak datang, jadi sebenarnya tidak
perlu memesan dua minuman.
“...Aku
benar-benar bodoh.”
Narumi
tidak ada di depanku. Hanya waktu yang terus berlalu.
Pikiranku
melayang karena membayangkan di
mana keberadaan Narumi sekarang. Apa ia sudah pulang ke rumahnya? Apa ia bersama keluarganya? Apa
ia sudah merasa nyaman dan tidak akan datang ke sini lagi?
Ketika pemikiran-pemikiran seperti itu melintas dalam
pikiranku...
“…?”
Pemberitahuan
muncul di ponselku.
Ternyata itu
dari Narumi.
“Eh...?”
Aku bahkan
tidak perlu membuka aplikasinya.
Karena
semua pesan ditampilkan hanya dari bagian banner pemberitahuan.
● Kouta:
Aku akan datang sekarang
Pesan
singkat dan sederhana.
Itu saja
sudah cukup untuk dipahami.
Ia
tahu bahwa aku masih di tempat biasa di restoran hari ini.
Ia
akan meninggalkan keluarganya untuk
datang kepadaku.
Itulah
sebabnya dirinya ingin aku menunggu di sana.
Semua pesannya sudah tersampaikan.
Apa ini
mimpi? Apa aku hanya menunjukkan mimpi yang menyenangkan pada diriku sendiri?
Aku
meragukan diriku sendiri, namun keraguan itu segera terbantahkan.
“…Dia benar-benar datang.”
Narumi.
Narumi Kouta, datang dengan cepat sambil
terengah-engah.
“Kupikir
hari ini adalah hari di mana kamu harus tinggal di rumah....”
“Aku
memang berencana begitu.”
Menyusuri
meja, Narumi duduk di kursi yang telah menjadi 'tempat duduknya yang
biasa' selama lima hari terakhir.
“Hari
ini, aku memutuskan untuk mendengarkan
keluhanmu, Kazemiya.”
...Hey,
Narumi.
“Kamu
memutuskan untuk mendengarkan keluh kesahku...hah? Kenapa?”
“Malah tanya
kenapa... tentang sekolah, tentang kehidupan pribadi... tentang keluarga. Kita akan saling mengeluh dan mendengarkan.
Begitulah cara kita membentuk aliansi, bukan?”
Pada saat
ia datang, pada saat ini... bisakah kamu mengerti seberapa bahagianya aku?
“......”
“……Bilang sesuatu napa.”
“Maaf.
Bagaimana ya, rasanya jadi..... Aku
tidak tahu.”
“Kamu tidak
tahu?”
Aku
benar-benar senang. Aku sungguh-sungguh senang. Pada saat ini, aku
sungguh-sungguh senang karena Narumi datang.
Aku
sangat senang sampai tidak bisa mengungkapkannya
dengan kata-kata. Mungkin tak peduli seberapa
banyak aku mengutarakannya
dalam kata-kata atau
seberapa keras aku berusaha, aku tidak bisa mengungkapkannya
dengan kata-kata.
“Entahlah...Aku tidak menyangka kalau kamu beneran akan datang. Kupikir aku tidak akan bisa bertemu denganmu hari ini, jadi aku bertanya-tanya kenapa. Aku sangat bingung sampai-sampai aku jadi tidak tahu.”
Aku
benar-benar bingung. Tapi lebih dari itu, aku sangat senang.
Aku
berjuang sekuat tenaga agar tidak menangis.
“...Gawat, wajahku terlalu panas ya.”
Kenapa ya, ketika
mengingat Narumi datang
mendekatiku... tidak, hanya dengan memikirkan Narumi, wajahku
menjadi panas. Detak jantungku berdetak semakin cepat sejak beberapa waktu yang lalu.
Aku tidak
mengerti. Mengapa ini bisa terjadi?
Aku ingin
seseorang memberitahuku apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam diriku.
Tapi pada
saat yang sama, aku juga ingin tetap tidak mengetahuinya.
Karena jika
aku mengetahuinya, sepertinya ada sesuatu
yang akan berubah drastis.
Mungkin
ini juga bentuk pelarian. Aku menyadari bahwa aku sedang lari dari sesuatu yang
tidak diketahui.
Aku akan
baik-baik saja. Aku harus menenangkan diriku. Seiring
berjalannya waktu, sedikit demi sedikit.
Untungnya
besok adalah hari Sabtu. Jadi, aku tidak akan bertemu dengan
Narumi.
Jadi sampai saat itu tiba, dengan
cara apapun, aku harus menenangkan diri dari keadaan ini.
Masalahnya
adalah setelah itu. Hal-hal yang akan terjadi selanjutnya.
“...Ekspresi macam apa yang harus kutunjukkan ketika
aku bertemu dengan Narumi nanti.”
Itulah
yang membuatku pusing saat ini.
Sudah lama sekali aku tidak mengkhawatirkan hal lain selain keluargaku.