Bab 5 — Kamu Sudah Berusaha Dengan Baik
Waktu
berlalu cukup lama sejak Kazemiya dan aku mengadakan acara kelas ala kami sendiri.
Sejak saat itu, hubungan rahasia kami dan keseharian kami sebagai [Aliansi Restoran Keluarga] terus berlanjut.
Jangan
saling melangkahi batas satu sama lain.
Jangan terlalu ikut campur urusan orang lain.
Itulah hubungan kami.
Itulah sebabnya aku belum bisa menanyakan apa yang terjadi pada Kazemiya
dan ibunya sejak saat itu.
Yang bisa
kulakukan hanyalah berdoa agar waktu yang kami habiskan bersama sebagai sekutu
di restoran keluarga itu menjadi pelarian yang nyaman baginya.
“Jadi
ketua OSIS yang baru adalah Raimon-san, ya.
Entah kenapa rasanya tidak ada
sesuatu yang mengejutkan tentang hal itu.”
Setelah apel pagi di aula sekolah, aku dalam perjalanan kembali ke
kelas dengan sejumlah besar murid lainnya.
Natsuki mengungkapkan kesannya dengan nada yang
terdengar agak bosan.
“Kamu kelihatannya tidak terlalu puas begitu.”
“Aku bukannya tidak puas atau gimana.
Aku hanya berpikir kalau rasanya sudah diharapkan.”
“Kupikir cuma kamu satu-satunya orangh yang mengharapkan sesuatu yang
tidak terduga dari pemilihan OSIS.”
Itulah
yang coba aku katakan.
Tapi aku sedikit memahami apa yang ingin dikatakan Natsuki.
Raimon
Shiori.
Prestasi
akademisnya sejauh ini merupakan
yang tertinggi. Dia unggul dalam studi dan olahraga, dan sangat dipercaya oleh para guru.
Dia bukannya terlalu sempurnya, atau
lebih tepatnya, karena dia
sangat berbakat sehingga agak sulit untuk didekati.
Jika Sawada
adalah pangeran di antara anak
kelas dua, maka Raimon adalah ratunya anak-anak kelas 2.
Dia juga
menjadi anggota OSIS tahun lalu, dan semua orang meyakini
kalau dia akan menjadi ketua
OSIS tahun ini.
Jika kamu diberitahu bahwa ada peluang 100
persen untuk mendapatkan sinar matahari besok dan cuacanya benar-benar cerah, kamu tidak merasa bahwa ramalan itu
benar, kecuali jika ada peristiwa khusus. Aku
tidak punya perasaan baru tentang hal-hal yang sudah jelas.
“Akhir-akhir
ini, orang-orang di sekitarku mulai sedikit
berubah. Jadi aku
berharap ada sedikit kehebohan
dalam pemilihan OSIS.”
“Sedikit berubah, misalnya?”
“Ada banyak hal yang mulaui dipikirkan Kouta.”
“Menurutku
itu tidak cukup untuk membuat kita mengharapkan ada
kehebohan dalam pemilihan OSIS.”
Dan
sejujurnya, secara pribadi aku merasa sedikit gelisah mengenai masalah OSIS.
Tsujikawa Kotomi. Adik perempuan tiriku, yang
telah menjadi anggota baru keluargaku, telah bergabung dengan OSIS.
Aku belum
mendengar alasan khusus apa pun. Aku bahkan tidak ada niatan untuk bertanya. Aku bahkan tidak mempunyai untuk
menanyakannya.
“Ada
yang lain juga, tau? Misalnya seperti Kazemiya-san.”
“Kazemiya?”
Saat aku mendadak mendengar nama itu, detak
jantungku berdetak kencang.
Keringat
mulai bercucuran di wajahku seolah-olah rahasia yang selama ini kusembunyikan hampir terbongkar.
“Kazemiya-san,
akhir-akhir ini dia tampak
menjadi sedikit lebih lembut.”
“……Apa iya?”
“Ya.
Sebelumnya, dia kelihatan sulit
didekati...dan agak mengintimidasi orang lain.
Dulu dia terlihat gampang bosan di kelas, tapi sekarang dia sesekali tersenyum.”
Saat aku
mengikuti garis pandang Natsuki, aku melihat Kazemiya yang juga berjalan
kembali ke ruang kelas. Penampilannya
yang sejuk dan elegan, bersinar di bawah lembutnya cahaya mentari pagi, yang mana memancarkan
suasana lembut.
“Rupanya
kamu mengawasinya dengan baik, ya.”
“Mengamati
orang adalah hobiku. Jadi ini
cukup berguna.”
“Berguna
untuk apa?”
“Ya
macam-macam.”
“...Aku
tidak akan menanyakan apapun lagi
padamu.”
Jika aku bertanya lebig jauh, aku tidak dapat memprediksi apa yang
akan keluar.
“───Bukannya dia Kazemiya dari Kelas D, ‘kan?”
Aku
mendengar nama Kazemiya dari seorang cowok
dari kelas lain yang sedang berjalan di dekatku.
Setengah
refleks, aku mendengarkan suara itu.
“Dia
masih terlihat sangat cantik seperti biasanya. Aku penasaran apa dia seorang model atau
semacamnya.”
“Terutama
akhir-akhir ini, dia menjadi
semakin cantik...mendingan aku nembak dia saja
kali ya.”
“Mendingan
jangan deh. Dengar-dengar katanya
Tanioka dari Kelas A sedang
mengincarnya, dan Sawada dari Kelas D juga sepertinya tertarik dengannya.”
“Kalau tidak
salah Tanioka adalah jagoan tim bisbol, ‘kan? Ditambah
lagi, Sawada juga merupakan cowok
yang paling populer di antara kelas 2.....kurasa orang-orang
semacam kita bisa membalikkan keadaan."
“Yah,
kurasa memang mendingan nyerah saja. Karena Kazemiya sepertinya memiliki
kepribadian yang paling buruk.”
“Aku mendengar kalau kamu
akan dipelototi hanya dengan berbicara dengannya.”
“Ngeri
banget ya. Kurasa dia jadi
lebih songong karena dia adalah
wanita cantik yang tidak punya masalah kalau mau
mencari pria.”
“Padahal kakak
perempuannya tampak seperti bidadari.
Meskipun sama-sama cantik, tapi mereka berdua sangat berbeda.”
Aku bisa
mendengar suara siswa dari kelas lain, dan sedikit rasa jengkel menggenang di
dadaku.
(...berbicara
seenaknya saja.)
Meskipun karena tanggapan Kazemiya sendiri
yang menyebabkan reaksi ini, tapi bukannya
omongan mereka terlalu berlebihan?
Apa ini yang disebut sikap
perhatian teman atau keluarga?
Sejak
mengenal Kazemiya,
membentuk Aliansi Restoran Keluarga,
dan mulai terlibat dengannya, aku
mulai mendengar gosip dan gunjingan dengan cukup jelas, yang sebelumnya tidak
menggangguku.
...Mungkin itulah yang jadi penyebabnya?
Baru-baru ini, bahkan di dalam kelas pun aku merasa tidak nyaman.
Iri,
dengki, gosip, cemoohan. Sepertinya perasaan negatif terhadap Kazemiya masih mengendap, membuatku sesak
nafas hanya dengan berada di dalam kelas. Meskipun tidak berniat ikut dalam
perasaan buruk yang dimiliki teman sekelas terhadap Kazemiya, aku
malah berharap bisa menghancurkan semuanya...
“Kouta,
wajahmu agak menakutkan.”
“Eh? Apa aku terlihat seperti itu?”
“Iya
dong. Tatapan matamu saja sudah kelihatan tajam. Kalau ditambah ekspresi wajahmu yang menakutkan, orang-orang jadi enggak mau mendekatimu loh.”
“Enggak
masalah kok. Toh sekarang
pun aku masih jadi penyendiri.”
Natsuki
adalah satu-satunya orang yang bergaul denganku di sekolah, dan aku tidak punya
teman lain. Jika
diajak bicara, hanya sebatas obrolan ringan, tapi satu-satunya orang yang bisa
kusebut sebagai teman adalah Natsuki.
...Tapi, bukannya sekarang Kazemiya juga ikut dihitung?
“..........?”
Ketika aku menyadari kalau lingkaran pertemananku perlahan-lahan meluas, aku menerima notifikasi pesan dari Kazemiya di smartphone-ku.
●kohaku:
Kamu tidak lupa mengenai sepulang
sekolah hari ini, ‘kan?
Kalimat yang sederhana khas Kazemiya.
“……”
Saat aku
melirik sekilas ke arahnya,
tatapanku bertemu dengan Kazemiya, yang sedang memegang smartphonenuya karena dia baru saja mengirim pesan.
Mulutnya sedikit mengendur.
Aku
mengalihkan pandanganku seolah-olah menghindari
ekspresinya dan dengan cepat mengetik pesan balasan.
●Kouta:
Tentu saja.
Mengirim.
Saat aku mengirimkannya, pesanku langsung ditandai sebagai sudah dibaca.
“Dan
dalam kasus Kouta, kamu juga
mempunyai pekerjaan paruh waktu... Ah. Kalau dipikir-pikir, kamu sedang tidak ada jam
pekerjaan paruh waktu hari ini, ‘kan? Tumben sekali. Karena kamu biasanya
selalu sibuk dengan pekerjaanmu.”
“Karena sekarang sudah hampir
akhir semester. Jadi hari
ini… aku ada jadwal buat belajar untuk ujian.”
☆☆☆☆
Sebuah
janji yang dibuat sehari sebelum acara
kelas. Sebagai persiapan untuk menghadapi ujian akhir
semester, Kazemiya-sensei akan mengajariku belajar.
Tempatnya
adalah restoran keluarga yang biasa kami kunjungi. Di sini kami bisa memesan sesuatu kalau perut sudah mulai lapar,
dan kami juga bisa menyelesaikan makan
malam.
“Di sebelah sana kamu salah.”
“Eh, masa?”
“Kamu salah menghitung
rumusnya.”
“...Uwah, kamu benar.”
“Soal penerapan di bagian itu memang sulit,
bukan? Tapi ada trik untuk menyelesaikannya. Misalnya, jika kamu melakukan
ini...”
“...Ah,
begitu rupanya. Tampaknya hal itu memang mudah diselesaikan.”
Aku mencoba
menjawab soal itu lagi sambil menggunakan
metode yang diajarkan Kazemiya kepadaku.
“Bagaimana dengan begini?”
“Sempurna.
Kamu melakukannya dengan baik.”
Yang kulakukan
hanyalah belajar. Tapi melakukannya seperti ini ketika
diajari oleh Kazemiya entah bagaimana
membuatnya lebih menarik daripada pelajaran
di kelas. ...Selain itu, entah kenapa dia sangat pandai mengajar
orang. Aku jadi penasaran apa dia juga melakukan banyak uji coba. Pengetahuannya berdasarkan pengalaman
karena mudah dipahami dan secara alami
masuk ke dalam pikiran orang yang diajar.
“Selain nilai dari ujian tengah semestermu, peringkatmu
juga lumayan bagus iya ‘kan, Kazemiya? Apa kamu pandai dalam belajar?”
“Biasa saja sih. Kadang-kadang
Shiori mengajariku, jadi menurutku itu mempunyai dampak yang besar.”
“Shiori?
Sepertinya aku pernah mendengar nama
itu...”
“Bagaimana
enggak pernah dengar, dia
adalah ketua OSIS yang baru, tau?”
“Oh,
maksudmu tentang Raimon, ya...Hah?
Apa jangan-jangan kamu mengenal Raimon, Kazemiya?”
“Kami bukan lagi kenalan, dia itu temanku, tau?”
“Hah?”
...Aku sudah mendengar selama beberapa waktu yang lalu kalau Kazemiya juga mempunyai teman.
────Kami berada di kelas yang berbeda dan aku berusaha untuk tidak terlalu
terlibat dengannya di
sekolah.
Itulah
yang dikatakan Kazemiya. Tapi aku tidak pernah
menyangka kalau teman yang dimaksud adalah ketua OSIS yang
baru.
“Kami berdua sudah saling mengenal sejak SMP.... Lah, apa-apaan dengan ekspresimu itu?”
“...Aku
merasa terkejut karena kombinasi yang
tidak terduga.”
Gadis
paling semerlang seangkatan dan gadis paling bermasalah seangkatan.
Jarang sekali ada orang yang membayangkan kalau mereka ternyata berteman.
“Bener
banget. Bahkan aku sendiri
merasa kaget.”
“Tidak,
tapi kurasa itu tidak terlalu mengherankan.
Karena Kazemiya
itu rupanya murid yang serius juga.”
“Apa kamu sedang memujiku?”
“Aku
setengah memujimu, dan
setengah laginya aku lebih berharap kamu boleh bertingkah sedikit nakal.”
Kupikir
itu karena dia begitu serius sehingga dia merasa sedih dan tertekan dengan keluarganya.
“...Kamu
boleh vertingkah sedikit nakal,
ya? Satu-satunya orang yang akan mengatakan hal seperti itu cuma kamu saja loh, Narumi.”
“...Yah,
karena aku sendiri masih anak nakal yang terus
melarikan diri dari keluargaku.”
“Kalau
begitu aku sedang ditipu
oleh anak nakal.”
“Ahh, akhirnya kebongkar juga, ya? Jika
kamu mau melarikan diri, sekaranglah
waktunya, loh?”
“Tidak,
tolong terus tipu aku lagi.”
Kami berdua saling menatap dan kemudian tertawa kecil.
Tadi itu
sungguh percakapan yang
konyol sekali. Tapi, itu menyenangkan.
“Meski
begitu, mendapat les dari
peringkat 1 seangkatan, ya?”
“Mewah sekali, bukan?”
“Tapi
hanya itu saja tidak cukup untuk masuk ke
peringkat atas, ‘kan? Bukannya kamu sendiri juga sudah berusaha keras setiap hari?”
“Yah...
hanya belajar sedikit di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah.”
“Dari
sudut pandangku, yang itu lebih menakjubkan.”
“Itu hanya masalah kebiasaan biasa.”
“Kebiasaan?”
“Kebiasaan
tak berguna yang dulu kumiliki ketika aku berusaha sekuat tenaga agar tidak
kalah dari Onee-chan. Hanya
saja aku masih terus
melanjutkannya... tapi
mungkin ada baiknya aku terus melakukannya.”
“Untuk
jaga-jaga, aku akan bertanya alasanmu.”
“Karena
aku bisa mengajar Narumi
belajar.”
Kazemiya tertawa seperti anak nakal yang suka usil di hadapanku.
“Lihat saja
nanti. Aku akan mengalahkanmu dalam ujian akhir.”
“Kalau gitu,
selanjutnya giliran Narumi yang
mengajariku.”
“Ohh~
nantikan saja itu nanti.”
“Ya,
aku juga menantikannya.”
Anehnya,
dengan sesekali mengobrol ringan
dengan Kazemiya seperti
ini, rasanya fokusku justru semakin terjaga tanpa terganggu sama sekali. Selain suara-suara
lingkungan di dalam restoran
yang selalu kudengar di
telingaku, suara pena yang meluncur di atas kertas membuat hatiku merasa
nyaman.
“...Aku
mungkin lebih berusaha belajar kali ini dibanding waktu ujian tengah semester.”
“Kebetulan
banget. Aku juga begitu. Sejak ujian masuk SMP, baru pertama kalinya aku belajar
sekeras ini.”
“...Boleh
aku menanyakan sesuatu tentang itu?”
“Kalau
untuk Kazemiya sih boleh. Atau lebih tepatnya,
ini semacam keluhan. Jadi kumohon dengarkan
ceritaku.”
“Oke.
Aku akan mendengarkannya.”
“Bapak
tolol... Maksudku ayahku yang
sebelumnya, ia itu tipe orang yang
seperti menganut prinsip supremasi kemampuan. Intinya, 'Anakku harus unggul
dan itu hal yang wajar' atau 'Anak yang tidak berbakat bukanlah anakku'.”
Hanya
dengan mengingatnya saja sudah membuatku merasa jengkel.
Namun
sekarang aku bisa bicara
dengan tenang. Kira-kira kenapa
ya? ...Mungkin karena aku membicarakannya dengan
Kazemiya.
“Entah
kenapa, ia mirip dengan mamahku.”
“Iya
kan. Aku juga pernah berpikir begitu."
Aku dan Kazemiya
tertawa bersama. Dengan lembut. Rasanya
seperti obrolan santai.
“Jadi itulah
sebabnya. Tentu saja, aku mengikuti ujian masuk SD.
Aku gagal pada saat itu,
tapi karena ibuku melindungiku, jadi ia
memaafkanku. ...Dan ketika aku
mengikuti ujian masuk sekolah SMP.
Pada waktu itu, aku benar-benar belajar kayak orang kesetanan.
Aku belajar sebanyak yang aku bisa. Aku belajar sampai mati sambil mengingat punggung ibuku yang pernah melindungiku dulu.
Aku melakukan segala macam hal gila untuk membuat
ayahku senang. Aku mati-matian berusaha
menjadi anak yang baik. Aku ingin melakukan hal-hal seperti membantu orang lain
dan menunjukkan bahwa aku adalah
anak yang berharga.”
Aku ikut mencampuri urusan orang lain,
berlumuran lumpur dan tergores. Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, itu
adalah sejarah kelam.
“...Jadi,
yah. Entah bagaimana aku berhasil lulus ujian masuk sekolah SMP, tapi ternyata semua itu sia-sia.”
“Bukannya kamu berhasil diterima?”
“Karena
aku pernah gagal dalam ujian masuk sekolah SD, jadi sepertinya
jika aku tidak diterima di sekolah SMP yang unggul, maka
itu tetap sia-sia. Pada waktu
itu aku diberitahu, ‘Mau berapa
kali kamu harus mengecewakanku?', sudah, hanya
itu saja. Itu cerita lama yang membosankan, bukan?”
“…………………Jadi
begitu ya.”
Kazemiya
terdiam beberapa saat, lalu mengeluarkan pulpen merah dari kotak pensilnya.
“Narumi.
Coba ulurkan tanganmu padaku.”
“Hah?
Aku tidak keberatan... tangan kanan? Atau tangan
kiri?”
“Yang mana
saja tidak masalah, terserah apa
pun yang kamu suka.”
“Kalau
begitu... tangan kiriku saja.”
Ketika aku
mengulurkan tanganku yang
tidak memegang pena, tangan Kazemiya dengan lembut membungkus tanganku.
Sentuhan
lembut dan kehangatan yang disalurkan
membuat jantungku berdebar kencang. Karena aku khawatir tanganku akan
menunjukkan betapa panasnya suhu itu, ujung pena yang berwarna merah mulai
meluncur di telapak tangan kiriku.
Saat pena
merah menggambar pola seperti pusaran dan
ditambahkan kelopak bunga di sekelilingnya...
“Kamu sudah melakukannya dengan baik.”
Ada tanda
lingkaran bunga mekar di telapak tangan kiriku.
“────...Ha.
Apa yang sedang kamu lakukan?”
“Kupikir
aku harus memberi penghargaan pada Narumi karena kamu
sudah berusaha dengan keras.”
“Apa-apaan itu? …. Aku
tidak paham maksudmu.”
…………Seriusan. Kazemiya dan aku benar-benar mirip.
Mungkin
itulah sebabnya. Dia sekarang memberikan kata-kata yang paling aku inginkan
waktu dulu saat aku masih kecil.
Dengan
lingkaran bunga kecil yang diberikan Kazemiya kepadaku, aku merasa seperti aku
telah dihargai atas upaya diriku
yang dulu.
“......”
Gawat.
Percuma saja. Aku tidak bisa melihat
wajah Kazemiya dengan baik sekarang.
Penglihatanku
mulai kabur. Air mataku perlahan-lahan
mengalir. Ah, sialan. Mengapa? Mengapa aku ingin menangis seperti ini.
“Narumi, apa kau menangis?”
“...Cerewet. Lagian kenapa kamu malah terlihat
sedikit senang begitu?”
“Tentu
saja aku merasa senang. Karena aku selalu saja menerima sesuatu darimu, Narumi.”
“Aku
tidak ingat pernah
memberikan sesuatu padamu.”
“Aku sudah menerimanya, kok. ...Jadi, aku juga ingin
memberikan sesuatu padamu, Narumi.”
“...Kamu
memberinya terlalu banyak, dasar bodoh.”
Malah seharusnya
kamu tidak perlu memberikannya kepada
orang lain. Karena situasimu
jauh lebih sulit.
Mata
dingin yang ditunjukkan oleh ibu Kazemiya dan
kata-katanya. Semuanya masih membekas dalam ingatanku.
Kami berdua saling memahami. Kami memiliki luka yang sama.
Itulah
sebabnya aku juga ingin memberikan sesuatu padamu. Sebagai teman.
...Tapi
pada akhirnya, aku hanyalah seorang anak kecil.
Aku hanya bisa melarikan diri dari rumah, hanya seorang anak yang tidak
berbakat. Aku tahu itu. Namun, aku tetap berjuang keras, memutar otakku untuk
memikirkannya.
(Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk Kazemiya────)
☆☆☆☆
Hari-hari
berlalu dengan begitu cepat
dan ujian akhir berhasil diselesaikan. Hasilnya
tidak terlalu buruk. Setidaknya aku
merasa kalau nilaiku tidak turun. Dan seperti yang sudah dijanjikan,
kami memutuskan untuk pergi ke batting
center.
Atau lebih
tepatnya, itu adalah
fasilitas kompleks dengan berbagai fasilitas olah raga dan hiburan yang
terletak sekitar tiga stasiun. Ketika kami memeriksanya lebih dekat, kami
menemukan bahwa didekatnya ada
cabang lain dari restoran keluarga Flowers, yang selalu kami kunjungi, jadi
kami segera memutuskan bahwa ini adalah satu-satunya tempat yang harus dikunjungi oleh Aliansi
Restoran Keluarga.
Untungnya,
kami sepertinya tidak perlu mengantri di batting corner yang berada di pojok area olahraga.
“Aku tidak menyangka kalau mereka
memiliki berbagai macam lapangan dan juga memfasilitasi
pemain kidal. ...... Heh. Sejujurnya, aku tidak mengira bahwa ada banyak variasi.”
“Hei,
Narumi. Boleh aku memukul duluan? Maksudku,
aku benar-benar ingin melakukannya.”
Matanya tampak bersinar...
Aku tidak
punya pilihan selain menyerahkan giliranku di hadapan
Kazemiya Kohaku, yang sedang memegang
tongkat pemukul sewaan dengan tatapan
mata yang berbinar-binar.
“Silakan
saja~ silakan saja, lakukan sesukamu.”
“Kira-kira
berapa kecepatan yang perlu diatur ya...Sejujurnya, aku tidak tahu berapa kecepatannya...Kupikir angkanya cukup bagus, jadi kurasa 100km/jam tidak masalah. Lihat nih, aku
akan melakukan banyak home-run.”
“Dari
mana rasa kepercayaan diri itu berasal?”
“Aku
berhasil menyelesaikan semua tingkat kesulitan dan menjadi
'Galaxy Slugger'.”
“Lah, itu
‘kan cuma di dalam game. Ditambah
lagi itu cuma nama julukan.”
“Yah,
lihat saja nanti.”
Kazemiya
memasukkan koin seratus
yen ke dalam mesin (omong-omong, sepertinya dalam satu kali permainan terdiri dari 10 bola).
Ketika
dia berdiri di tempat area
pemukul dengan tongkat pemukul sewaan di tangannya, dia menunggu bola
diluncurkan dengan ekspresi bersemangat di wajahnya. Dia tampak persis seperti ‘anak kecil yang bersenang-senang
di batting center untuk pertama kalinya,’
dan mau tak mau aku hampir tidak bisa menahan
tawaku.
“Hmm.”
Lemparan bola
pertama. Pemukul Kazemiya bahkan tidak dapat
menyentuh bola yang ditembakkan dari mesin dengan kecepatan
100 km/jam.
“Strike.”
“Berisik
ah.”
“Ayo bersiap,
bola yang berikutnya akan ditembakkan, loh.”
“Ehh?...Hmm. Apa-apaan ini? Bukannya ini terlalu cepat...?”
“Two
strike. Julukan 'Galaxy Slugger' bakal menangis, loh.”
“Berisik, berisik. Mungkin aku cuma sedang kurang enak badan... saja.”
“Jika ini dalam pertandingan, kamu sudah tersingkir jadi pemukul.”
“...Ini
bukan pertandingan kali.”
Kazemiya
sedikit menggembungkan pipinya. Rasanya
sangat menyenangkan ketika
melihat reaksinya yang
begitu.
Setelah
itu, Kazemiya terus berusaha memukul bola pada lemparan
keempat dan kelima, tapi...
“Konoyaro!”
Dengan
suara hantaman ringan, ayunan Kazemiya akhirnya membuat bola melambung ke depan.
Meskipun
ini bukanlah home-run, kupikir itu masih dihitung sebagai pukulan sukses jika
dalam pertandingan.
“Kena juga!
Narumi, Narumi. Kamu tadi melihatnya, ‘kan?”
“Iya, aku melihatnya. Tadi itu menakjubkan.”
Aku
bukan fans olahraga bisbol, jadi aku tidak tahu seebrapa cepat kecepatan lemparan
100km/jam dalam hal lemparan bola,
tapi menurutku itu masih luar biasa karena
dia bisa memukul bola ke depan pada lemparan keenam meskipun dia tidak
berpengalaman.
Setelah
itu, Kazemiya mungkin sudah mulai terbiasa,
dan meskipun dia tidak melakukan home-run,
dia secara konsisten memukul bola ke depan pada
lemparan-lemparan berikutnya.
“Haaa...rasanya seru banget. Mungkin ini adalah cara yang bagus
untuk menghilangkan stres.”
“Apa kamu
pandai berolahraga, Kazemiya?”
“Kurasa aku
tidak terlalu payah. Tapi aku juga tidak
terlalu pandai dalam hal itu.”
“Tapi
kamu belum pernah bermain bisbol, ‘kan?
Kamu mempunyai insting atletis
yang bagus.”
“Entahlah, aku
tidak tahu...jika itu Onee-chan,
dia pasti sudah melakukan home-run sejak
lemparan pertama.”
Untuk
sesaat, raut wajah Kazemiya terlihat murung. Tapi ekspresinya segera
berubah dan dia menyerahkan tongkat pemukul sewaan
yang dia pegang kepadaku.
“Baiklah.
Selanjutnya adalah giliranmu, Narumi.”
“...Ah.
Serahkan saja padaku. Aku punya lebih banyak pengalaman darimu. Biar aku tunjukkan bagaimana contohnya
padamu.”
“Bukannya kamu juga cuma beberapa
kali ke tempat ini.”
“Yah,
lihat saja nanti.”
Aku memasukkan
koin seratus yen ke dalam mesin dan berdiri area memukul seraya menghadapi
kecepatan bola yang sama dengan Kazemiya.
“…Oryaa!”
“Ya,
strike.”
“Tadi itu
cuma pemanasan, pemanasan.”
...Kalau
dipikir-pikir lagi, aku merasa kalau bapak tololku dulu
pernah mengajariku bisbol.
Biar
kuingat-ingat lagi. Pergeseran berat dan ayunan horizontal.
Yang harus kulakukan
adalah melihat bola dengan hati-hati dan memukulnya.
“Woahhh keren.Itu terbang sangat cepat”.
“Aku
mengingat triknya. Aku tidak suka kenyataan bahwa
bapak tololku yang mengajariku ini...sih...”
Aku mulai
semakin mahir dalam memukul b olanya, tapi aku masih kesulitan untuk melakukan home-run.
“Menjadi
anak-anak itu memang sulit, ya. Tidak
peduli seberapapun
pahitnya, apa yang kamu terima dari orang tuamu akan
tertanam kuat di dalam tubuhmu.”
“...Seperti
yang kuduga, kamu tuh dewasa sekali ya, Narumi.”
“Sudah kubilang aku belum dewasa. Yah, aku memang ingin menjadi dewasa secepatnya, sih.”
“Karena kamu bisa meninggalkan rumah dan
hidup sendiri?”
“Terima
kasih atas pengertianmu. Kazemiya juga sama,
‘kan?”
“...Yah, benar sih. Aku sadar kalau aku terikat
dengan keluargaku, jadi kupikir segalanya akan jauh lebih
mudah jika aku bisa meninggalkan rumah. Sejujurnya, aku ingin mendapatkan
pekerjaan paruh waktu untuk mencari uang demi bisa
hidup sendiri, tapi Mamahku...
dia tidak akan mengizinkanku.”
Meskipun aku mampu memukul semua bola di lemparan yang tersisa, tapi aku masih tidak mampu melakukan home-run.
“Kerja bagus.”
Saat aku
keluar dari area memukul bola, Kazemiya
memberiku sebotol plastik soda melon yang sepertinya dia beli dari mesin
penjual otomatis.
“...
Makasih.”
“Sama-sama.”
Kami
berdua duduk bersebelahan di bangku dekat
dinding. Hanya ada sedikit pengunjung
di pojok batting, dan hanya sesekali terdengar suara mesin pelempar yang
mengeluarkan bola dan suara pukulan.
“Sesekali berolahraga
itu ada bagusnya, ya. Karena aku tidak bergabung dengan klub manapun,
jadi melakukan hal semacam ini seakan sedang menikmati masa muda dan
menyegarkan.”
“Kamu tidak bergabung dengan klub mana pun?”
“Hmm…
sepertinya kalau berkaitan dengan olahraga sih
enggak. Dan dalam kasusku, jika aku bergabung dengan
klub atau semacamnya, itu akan merepotkan. Yah, memang benar aku punya banyak waktu luang setelah pulang sekolah...Ah,
seandainya saja aku bisa mendapatkan
pekerjaan paruh waktu.”
“...Keluargamu tidak mengizinkanmu bekerja paruh waktu?”
“Iya.
Mamah tidak ingin aku bekerja paruh
waktu. Dia tidak ingin aku melakukan sesuatu di luar sana yang akan merusak reputasi Onee-chan.”
Setelah
jeda sejenak, dia melanjutkan berbicara
dengan nada mengejek dirinya sendiri.
“Aku bisa
bermain dengan Narumi seperti ini dan mengeluh tentang keluargaku. Bahkan uang
yang aku habiskan di restoran keluarga, menonton film dan bermain dengan Narumi
seperti ini adalah 'uang jajan' yang diberikan oleh Mamah...Bukannya itu agak payah dan tidak keren?”
“...Kurasa itu tidak masalah. Kita ini masih anak SMA, tau. Wajar-wajar
saja kalau kita masih diberi uang jajan, dan
tidak semua orang bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu. Selain itu, jika kamu
ketahuan menghabiskan semua uang yang diberikan
untuk bermain-main, biar aku
yang akan membayar semuanya.”
“Tapi
yang begitu jauh lebih menyebalkan.”
“Kamu harus belajar
bersabar.”
“Bukankah
itu sama saja dengan sekarang?”
“Jika
kamu harus bersabar dengan jumlah yang sama, bukankah lebih baik jika kamu menerima traktiranku?”
Kazemiya
terdiam, seolah-olah dia
hendak mengakui bahwa perkataanku
ada benarnya.
“……Tapi tetap saja, aku tidak menyukainya.”
“Aku akan rela
menghabiskannya jika itu demi bisa
bermain dengan Kazemiya.”
“...Jangan
mengatakan hal semacam itu
dengan begitu santai, baka.”
Kazemiya
membuang muka sambil menggembungkan pipinya seolah ingin menutupi rasa malunya. Aku
hendak mengatakan bahwa dia kelihatan manis,
tapi sepertinya jika aku mengatakan itu, dia tidak akan melakukan kontak mata
lagi denganku.
“Tapi
rasanya memang bikin muak dan jengkel jika
dilarang bekerja paruh waktu karena keputusan sepihak.”
“...Mamah sudah menyerah padaku dan lebih memberi perhatiannya pada Onee-chan. Dia
tidak ingin ada apapun yang merusak reputasi Onee-chan. Oleh
karena itu, dia selalu khawatiran. Kurasa dia mau untuk memegang kendali. Ini
bukan masalah percaya padaku atau tidak.”
Kazemiya menyesap
teh dari botol plastik dan menyegarkan
tenggorokannya.
“Alasan
kenapa aku tersu mengabaikan rumor di
sekolah yang mengatakan sesuka mereka
tentang diriku adalah untuk mengurangi jumlah
orang yang mendekatiku demi Onee-chan...tapi
saat aku tenang dan memikirkannya... Mungkin aku
sendiri sudah menyerah. Bahkan jika aku mati-matian menyangkalnya, Mamah tidak akan pernah mempercayaiku. Jika memang itu masalahnya, mau aku membiarkan rumor tersebut atau menyangkalnya, itu tetap tidak mengubah apapun.”
“Bukannya
tidak ada yang berubah. Bahkan jika rumormu itu hilang,
setidaknya aku akan merasa....
bahagia.”
...Entah kenapa aku merasa senang. Aku
sendiri merasa malu karena sudah mengatakannya.
“Itu
dia. Kamu pasti merasa tidak nyaman ketika mendengar ada orang lain yang
membicarakan hal buruk tentang temanmu.”
Walaupun itu
perasaanku yang sebenarnya, aku merasa agak terburu-buru dan
menambahkan alasan yang terasa seperti pembenaran. Ketika aku merasa gelisah sendirian, Kazemiya tersenyum kecil dan kemudian
tertawa.
“Hahaha.
Apa-apaan itu, merasa senang sendiri.”
“Yang
namanya senang ya tetap saja senang.”
“Hmm~?
Jadi kamu
merasa senang ya.”
“Tentu
saja.”
Percakapan
kami berdua pun terputus dan hanya
suara bola memantul yang sesekali bergema di ruang
yang sunyi. Aku mengalihkan perhatianku
ke arah telapak tangan kiriku.
Meskipun tanda lingkaran bunga yang aku dapatkan pada hari itu sudah menghilang,
lingkaran bunga yang diberikan oleh Kazemiya
masih tersisa di hatiku.
Aku telah
memikirkannya sejak saat itu. Apa yang bisa dilakukan olehku, yang hanyalah
seorang anak kecil, untuk Kazemiya Kohaku?
“...Ujian
akhir sudah berakhir, jadi sekarang sudah liburan musim
panas, iya ‘kan?”
“Iya.”
“Ayo
kita pergi ke suatu tempat dan bersenang-senang. Mumpung
kita sedang liburan musim panas.”
“Bersama-sama?”
“Tentu
sajalah. Aku mengajakmu untuk pergi bermain.”
“Selama
liburan musim panas, pergi bermain bersama Narumi...”
“Kamu tidak
menyukainya?”
“Tidak, aku
justru senang.”
Ketika Kazemiya berkata begitu, ada perasaan lega yang entah muncul dari mana.
“Apa ada tempat yang ingin kamu
kunjungi?”
“Kamu
beneran mau membawaku ke sana?”
“Jika
itu tempat yang kamu inginkan.”
“Naiklah, kalau
begitu... Aku ingin pergi ke kolam renang.”
“Ada lagi?”
“Hmm misalnya
saja festival musim panas.”
“Hee, ide
bagus tuh. Aku akan mencarinya.”
“Dan
juga sekadar jalan-jalan di kota... Oh, dan juga
taman bermain. Aku tertarik dengan atraksi baru yang akan dibuka di musim
panas.”
“Aku
akan mencatatnya di buku catatan.”
Aku menyobek
satu halaman dari buku catatan, dan mulai mencatat rencana liburan
musim panas kami. Sambil terus mengobrol, daftar
itu dengan cepat terisi penuh.
“Baiklah,
sudah selesai.”
“Aku
semakin menantikan liburan musim panas ini.”
“Aku
malah selalu menantikannya setiap
tahun.”
“Dalam
kasusku, tidak banyak yang bisa kulakukan.”
“Tahun
ini akan sibuk, loh.”
“Mungkin
ini adalah liburan musim panas yang paling sibuk bagiku.”
Ketika aku
melihat wajah tersenyum Kazemiya,
aku mulai membulatkan tekad di dalam
hatiku. Aku menghabiskan minuman soda melon dari botol plastik, mengambil tongkat pemukul sewaan, dan
memasukkan koin seratus yen ke mesin lagi.
Aku mengangkat tongkat pemukul sambil menunggu
hingga bola ditembakkan.
“Hey, Kazemiya. Aku sudah mengambil keputusan.”
Aku melihat bola yang ditembakkan dan
melakukan pukulan. Pukulanku berhasil mengenai
bola, tetapi pukulanku tidak
cukup tinggi untuk mendapatkan home-run.
“Keputusan
apa?”
“Jika
suatu saat nanti kamu
membutuhkan pertolongan, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantumu, Kazemiya.”
Lemparan bola
kedua juga meleset. Namun, aku mulai merasakan sensasinya. Aku mulai terbiasa
dengan kecepatan bola.
“Aku
tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Namun... jika itu
demi bisa
menghabiskan waktu dan tertawa bersamamu, aku akan
melakukan apapun.”
Aku
menggenggam tongkat pemukul dengan
tangan kiri yang memiliki
tanda lingkaran bunga yang mekar.
“Meskipun
kamu menjadi raja iblis yang akan menghancurkan dunia... Aku akan
selalu berada di pihak Kazemiya Kohaku.”
Lemparan bola
ketiga. Waktu ayunannya begitu
sempurna. Aku berhasil memukul bola yang dilempar lurus dari mesin dengan
ujung tongkat, dan bola putih tersebut
berhasil menembus sasaran home-run.
“...Apa
maksudmu dengan itu? Memangnya aku ini apaan?”
“Raja
iblis.”
“Sembarangan
saja kalau ngomong.”
Aku tidak
tahu raut wajah seperti apa yang ditunjukkan Kazemiya di belakangku.
Aku tidak
tahu apa yang dipikirkannya.
“....Terima
kasih, Narumi.”
Walaupun
hanya sedikit saja──── aku berharap dan berdoa kalau aku bisa membantu temanku yang membawa
luka yang sama.