Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 5 Bahasa Indonesia

Bab 5 — Dua Anak Yang Menggemaskan

 

“Sejujurnya, permasalahan ini cukup dilematis.”

Shihoko menghela nafas saat turun menuju ruang tamu setelah menyelesaikan beberapa sisa pekerjaannya. Waktunya sudah larut malam, saat kedua anak mereka sudah beristirahat di masing-masing kamar tidur dan kamar tamu.

Shuuto, setelah mendengar komentarnya, merenungkan apa yang mungkin mengganggu istrinya. “Apa kamu membicarakan pekerjaanmu? Apa mereka mungkin memberimu tenggat waktu yang tidak masuk akal?”

“Ah, tidak, tidak—bukan itu. Aku membicarakan tentang apa yang terjadi dengan Amane beberapa hari yang lalu.”

Begitu dia mendengar kalimat 'apa yang terjadi dengan Amane', Shuuto langsung mengerti apa yang membuat Shihoko resah.

“Ya, tentang anak itu. Kabarnya ia membuat masalah lagi,” Shihoko mulai bercerita. “Aku mendengar dari istri seorang kenalan bahwa ia mendapat sedikit masalah akhir-akhir ini. Setelah masuk SMA, perilakunya tampaknya semakin memburuk.”

Beberapa hari yang lalu, Amane dan Mahiru sedang berjalan-jalan di luar dan bertemu dengan pria yang menjadi pemicu keputusan Amane untuk pindah ke luar kota. Hal tersebut merupakan sesuatu yang mereka dengar langsung dari Amane sendiri. Itu mungkin hanya sebuah kebetulan, karena sulit dipercaya Amane sengaja mencarinya, namun, sangat mungkin Toujou mengincar Amane setelah mengetahui bahwa Ia kembali ke kota halamannya.

“Jika Amane sendiri yang mengatasi rintangan itu, kita tidak berhak ikut campur,” jawab Shuuto, “Apalagi mengingat tidak terjadi apa-apa. Jika sesuatu terjadi, hal itu akan terlihat jelas jika dilihat dari perilaku Amane dan Shiina-san.”

Meskipun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kecuali mereka melihat ke dalam pikiran orang-orang yang terlibat, setidaknya, Amane tidak tampak terganggu dengan pertemuan itu. Dengan kata lain, pertemuan itu relatif tidak penting baginya. Selain itu, mengingat kepribadian Mahiru, dia mungkin akan kembali dengan ekspresi hancur jika dia merasakan Amane tertekan dan melaporkan situasinya kepada orang tuanya.

Sepertinya luka batinnya sudah sembuh total.

Bagi Shuuto, yang sangat menyadari bagaimana Amane akan mengisolasi dirinya di masa lalu, melihat pertumbuhan ini membuatnya semakin terharu.

Amane sangat terluka setelah dimanfaatkan dan dikhianati, terutama karena mereka telah membuat teman-teman sekelasnya memperlakukannya dengan kasar. Baik Shuuto maupun Shihoko menyesal tidak menyadari aktivitas jahat yang dilakukan anak keluarga Toujou, dan karena tidak membimbing Amane tentang cara berperilaku yang benar. Dibesarkan dengan cinta yang melimpah dan gaya hidup yang nyaman, Amane tumbuh sebagai anak yang tulus dan polos yang tidak pernah sekalipun meragukan orang lain.

Shuuto menyadari fakta bahwa menahan stres dalam jumlah sedang selama masa kecilnya telah membuat Amane menjadi orang yang lebih tangguh daripada kehidupan yang sepenuhnya terlindung.

Yah, kurasa sebagai hasilnya, Amane telah tumbuh menjadi pemuda yang baik.

Pada akhirnya, Amane menjadi seperti dirinya yang sekarang dengan menggunakan pengalaman tidak menyenangkan itu sebagai sarana untuk mengembangkan diri. Meskipun jika dipikir-pikir, pengalaman itu tidak semuanya negatif, pada saat itu mereka dipenuhi dengan kecemasan.

“Meski itu mungkin benar… sebagai orang tua, aku tetap merasa khawatir.” Meskipun dia sering menggodanya, Shihoko selalu mengutamakan kebahagiaan putranya.

Shuuto menepuk-nepuk kepala Shihoko, melirik sekilas ke arah koridor, lalu langsung memberikan senyuman pada Shihoko.

“Jika ia bisa mengatasi trauma masa lalunya, aku tidak bisa mengomentari apa-apa lagi.”

“Kamu agak santai dalam hal itu, Shuuto-san.”

Bukannya begitu. Aku hanya percaya pada Amane.”

“Dalam kasusku, jika putra satu-satunya yang kusayangi menangis, yang ada di pikiranku hanyalah, Jangan khawatir—ibu akan membuat semuanya lebih baik!’

“Jika Amane mendengarnya, Ia akan membalasnya dan berkata, 'Aku tidak menangis!' Selain itu, Ia mungkin tidak ingin bergantung padamu sekarang, Shihoko-san.”

“Oh, tapi meski dia menangis, dia mungkin akan mencari kenyamanan dari Mahiru-chan, jadi mungkin ibunya tidak dibutuhkan lagi. Hiks.”

Hiks, ya?

“Jangan terlalu memusingkan detailnya,” jawab Shihoko, sambil bercanda menirukan wajah menangis. Tapi Shuuto tahu kalau istrinya benar-benar khawatir, jadi ia menghiburnya dengan terus mengelus kepalanya.

Meski Shuuto berusaha menenangkannya, suasana hatinya masih sedikit suram, seolah-olah dia masih banyak bicara tentang Toujou. “Tetap saja, situasi ini sulit bahkan bagi keluarga Toujou yang sedang mengalami masa sulit.”

“Aku setuju. Mungkin itu bukan hak kita untuk mengatakannya, tapi mereka seharusnya mengatasi masalah ini lebih awal,” pikir Shuuto. “Rupanya, dia mulai bertingkah sembarangan setelah masuk sekolah SMP.”

Setelah insiden dengan Amane, mereka menyelidiki dan menemukan bahwa di sekolah SMP, Toujou mulai bergaul dengan orang-orang yang tidak baik dan skala moral dalam pikirannya mulai miring.

Akibatnya, mereka juga mengetahui situasi keluarganya. Meskipun Shihoko merasa orang tua Toujou adalah orang baik, Shuuto masih tetap skeptis. Memang benar, orang tuanya adalah orang yang baik hati dan menyenangkan—dan Shuuto juga tahu bahwa mereka adalah pasangan yang sopan, tulus, dan baik hati. Meski begitu, dirinya curiga kalau mereka hanya bertindak seperti itu saat berada di dekat orang lain saja.

Shuuto sadar bahwa, sebagai orang tua Amane, mereka telah gagal mengajarinya tentang bayangan yang dapat melintasi bahkan kehidupan yang paling murni sekalipun, dan membawa ketidakseimbangan bahkan pada perjalanan yang paling baik sekalipun. Sebaliknya, keluarga Toujou menghadapi tantangan dari jenis pendidikan yang berbeda. Hanya dengan melihat keluarga mereka saja sudah jelas bahwa upaya mereka untuk menjalani kehidupan yang lurus telah menyimpangkan sesuatu, dan konsekuensi dari upaya tersebut membuat putra mereka menjadi lebih buruk.

“Fase pemberontakan seorang remaja bisa menjadi jalan yang penuh lika-liku,” Shihoko berkomentar. “Meski begitu, Amane hampir tidak pernah bertingkah memberontak, yang mana hal itu malah membuatku khawatir.”

“Putra kita sudah mengalami sedikit fase pemberontakan, tapi ia dengan cepat dibayangi oleh keadaan lain.”

“Waktu terjadinya semuanya sangat buruk. Saat ia mencapai usianya yang paling mudah terpengaruh, hal itu terjadi…”

“Perilaku Amane hampir terlalu baik sehingga menimbulkan kekhawatiran. Aku bahkan menantikan dia berteriak, ‘Dasar bapak peot!’ padaku saat itu,” Shuuto mengakui.

Meskipun Ia sudah bersiap menghadapi pemberontakan remaja pada tingkat tertentu, Amane secara alami adalah anak yang pendiam dan tidak banyak melakukan perlawanan. Malah, dia ternyata lebih baik hati dari yang diharapkan, yang membuat Shuuto merasa semuanya antiklimaks.

“Sungguh suatu hal yang aneh untuk dinantikan.”

“Yah, aku sendiri dulu juga seperti itu, jadi dimarahi akan memberiku kesempatan untuk mengingat kembali masa-masa itu.”

“…Oh, benar. Ayah mertua pernah memberitahuku bahwa kamu baru benar-benar menetap selama masa peralihan dari masa SMA ke kuliah.”

“Aha ha ha. Yah, aku masih bukan tipe orang yang suka melecehkan orang. Hanya main-main dengan teman, kok. Aku punya cukup akal sehat untuk tidak melewati batas itu.”

Shuuto tidak bermaksud agar ucapan itu hanya sekedar teguran pada anak laki-laki tertentu—yang menjadi topik pembicaraan mereka sebelumnya. Tapi mungkin teringat dengan perkataannya, Shihoko menghela nafas pelan, membuat Shuuto merasa sedikit menyesal juga, mengira dia telah salah bicara.

“Tapi sejujurnya, putra keluarga Toujou-san tetap sama seperti biasanya, bukan?”

Sepertinya begitu. Dari apa yang kulihat dari tingkah Amane dan Shiina-san, ia tampak sama seperti sebelumnya. Kalaupun ada, menurutku anak itulah yang paling terkejut ketika melihat seberapa banyak Amane telah berubah.”

“Mungkin begitu. Amane benar-benar telah berubah sejak saat itu.”

Shuuto dan Shihoko mengangguk serempak, sekali lagi mengakui perubahan Amane.

Saat mereka mengantar Amane pergi, mereka berharap luka emosionalnya bisa sembuh. Ketika ia pergi, ia bersikap menyendiri, tertutup, dan cenderung memutarbalikkan kata-katanya dengan nada blak-blakan yang menyebabkan teman-temannya menghindarinya. Namun, melihat Amane yang sekarang, ceritanya benar-benar berbeda.

Rasanya sulit membandingkan Amane yang sekarang dengan Amane dari satu setengah tahun yang lalu; ada kepercayaan diri baru yang terpancar dalam dirinya, terlihat jelas dalam ekspresinya yang ceria, dan ia memancarkan rasa kelembutan dan ketenangan. Untuk sementara, Shuuto dan Shihoko cukup khawatir dengan kesejahteraannya, tapi sepertinya tidak perlu lagi khawatir. Amane telah berhasil menyembuhkan lukanya dan berkembang sebagai pribadi.

“Sungguh melegakan bahwa perubahannya menjadi lebih baik,” lanjut Shihoko. “Aku khawatir tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggalkan rumah, tapi melepaskannya adalah keputusan yang tepat.”

“Betul sekali. Ada aspek pertumbuhan pribadi yang tidak dapat dipupuk ketika berada di bawah asuhan orang tua, jadi aku merasa senang ia berhasil tumbuh sendiri,” kata Shuuto.

Shihoko terkekeh pelan. “Keberadaan Mahiru-chan jelas menjadi pemicunya. Seperti yang diharapkan dari keluarga Fujimiya!”

“Cinta bisa menjadi pemicu yang efektif untuk memperbaiki diri sendiri, lho.”

“Lagipula, orang tidak sering berubah tanpa alasan.”

Memang benar—sangat sedikit orang yang mempertimbangkan untuk mengubah diri mereka sendiri. Bagi sebagian besar orang, diperlukan semacam dorongan atau pemicu agar mereka dapat mengambil langkah pertama tersebut.

Dan bagi Amane, dorongan tersebut berasal dari keberadaan Mahiru.

“Tentu saja aku meras lega karena Amane dapat mengatasinya dengan cepat, tapi…Aku khawatir putra Toujou akan terobsesi padanya. Kamu tahu, mungkin seperti menyimpan dendam?”

“Mengingat jarak fisik di antara mereka, aku rasa tidak perlu khawatir. Selain itu, meski ia mungkin mengambil jalan yang salah, aku yakin pada intinya, ia masih punya akal sehat untuk menghindari pengambilan keputusan buruk seperti itu. Aku merasa ia tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar melewati batas itu, yang merupakan batas yang tidak boleh dilewati. Baik atau buruk, sikap yang ditunjukkan lebih dipicu oleh kecemasannya sendiri daripada hal lain.”

Perkataanmu terdengar kasar, tapi anehnya kamu juga percaya diri saat mengatakan itu.”

“Itulah kesimpulan yang kudapatkan setelah melakukan banyak penelitian dan verifikasi.”

“…Kamu benar-benar tidak membuang waktu, ya?” Shihoko melontarkan tatapan tidak percaya padanya, dan Shuuto membalasnya dengan senyuman.

Shuuto memang telah menyelidiki masalah tersebut pada saat itu dan memperoleh wawasan tentang apa yang membentuk tindakan dan sikap anak tersebut saat ini. Dari situasi rumah tangga keluarga dulu dan sekarang, hingga lingkungan kerja dan latar belakang pendidikan orang tuanya, Shuuto telah menggali semuanya. Jadi, ia membuat penilaian berdasarkan banyak faktor. (TN: Buset, bapaknya Amane ngeri juga ya, sampai mengorek semua informasi pembully anaknya :v)

Meskipun benar bahwa sifat Toujou tidak berubah dan sepertinya meneruskan kebiasaan SMP-nya hingga SMA, itu semua masih dalam batas kenakalan masa muda. Ia sepertinya melampiaskan rasa frustrasinya sehari-hari dengan cara yang tidak melanggar hukum apa pun, mungkin hanya mengikuti garis pertahanan moral terakhir yang telah ditanamkan orang tuanya padanya—setidaknya, sejauh yang bisa dilihat Shuuto.

“Aku bukan tipe orang yang lalai menyelidiki tindakan dan gaya hidup seseorang yang mungkin membahayakan putraku,” Shuuto menjelaskan, “Aku memanfaatkan setiap sumber daya yang aku miliki. Guru dan tetangga anak laki-laki itu saat ini kenal dengan orang yang aku kenal, jadi mereka setuju untuk bekerja sama.”

“Mungkin masih terlalu dini untuk melakukan penyelidikan?” Shihoko bertanya-tanya.

“Semakin cepat kita bertindak, semakin banyak pilihan yang kita miliki di kemudian hari,” jelasnya.

Jauh lebih baik mengambil inisiatif daripada berdiam diri menunggu sesuatu terjadi. Menyelidiki hanya setelah sesuatu terjadi akan terlambat. Jika situasi ini bisa dicegah sejak dini, maka itu adalah tindakan terbaik.

“Dia berada di ambang fase pemberontakan—walaupun fase ekstrem—tapi tampaknya upaya orangtuanya untuk mengendalikan situasi justru memperburuk situasi. Sebenarnya hanya itu saja.”

Laki-laki itu berselisih dengan orang tuanya, ia merasa tercekik tetapi tidak mampu sepenuhnya berkomitmen pada kehidupan yang penuh kesalahan—begitulah situasinya saat ini.

“Tapi pertama-tama… Menurutku Amane tidak punya niat untuk tinggal di sini lagi bahkan setelah lulus, mengingat Ia berencana untuk kuliah di sana juga. Terlebih lagi, aku belum memberi tahu siapa pun ia sedang bersekolah di SMA mana, dan Shihoko-san, kamu hanya memberi tahu orang-orang bahwa dia pindah ke prefektur lain, kan?”

“Ya, itu saja. Hanya untuk berjaga-jaga.”

“Setelah Amane lulus kuliah dan mulai bekerja, rasanya akan semakin sulit untuk melacaknya. Aku ragu anak laki-laki itu cukup terobsesi untuk bertindak sejauh itu untuk menemukannya.”

Seandainya anak laki-laki itu terjatuh terlalu jauh, Shuuto akan jauh lebih berhati-hati dalam menangani situasi ini, tapi untungnya ia belum melewati batas. Ia pasti juga menyadari bahwa terobsesi dengan Amane takkan menghasilkan sesuatu yang berarti. Lagipula, keberadaannya sudah tidak ada lagi di dunia Amane.

Selain itu…”

“Selain itu?

“Tidak akan ada lagi waktu berikutnya.”

Jika, dengan kemungkinan kecil, anak laki-laki itu mencoba menyakiti Amane lagi, Shuuto akan mengambil tindakan yang tepat. Mereka telah memberinya kesempatan; jangan mengulanginya lagi. Tidak peduli latar belakangnya, tidak peduli alasannya, tidak ada lagi ruang bagi Shuuto untuk hanya berdiam diri.

Di mata korban, alasan pelaku tidak ada artinya. Sebagai wali Amane, jika ada bahaya yang menimpa mereka, maka satu-satunya tujuan Amane adalah menghilangkan akar masalahnya sehingga tidak ada lagi bahaya yang bisa ditimbulkan. Hanya itu saja.

Shuuto akan memastikan bahwa ia memahami sepenuhnya apa yang telah dia lakukan dan apa yang dia rencanakan. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk memastikan bocah itu tidak pernah muncul di hadapan Amane lagi.

“…Bagiku, sepertinya kamulah yang paling marah dengan situasi ini.”

“Bukannya aku marah, tapi jika ada sesuatu yang menjadi ancaman, maka kupikir masuk akal untuk menghilangkannya.”

Jika ada serangga yang ingin berpesta di batang pohon yang tumbuh indah, wajar saja jika membasminya. Paling tidak, intervensi seperti itu akan masuk akal sampai pohon tersebut tumbuh sepenuhnya dan dapat mengurus dirinya sendiri.

Sekalipun anak tersebut akhirnya menanam akarnya jauh-jauh dan menumbuhkan daunnya di tempat cerah yang mereka pilih sendiri, sudah menjadi keinginan alami orang tua untuk melindungi mereka sampai mereka mandiri dan dapat berdiri sendiri.

“Bukankah itu sama saja dengan marah?” Shihoko merenung.

Hmm. Aku tidak marah—tapi aku juga belum memaafkannya.” Shuuto tidak menyimpan kemarahan apapun terhadap anak itu. Itu hanya membuang-buang energi dan ruang mental, dan dia tidak punya rencana untuk mengambil tindakan kecuali diprovokasi. Namun, intinya ia tidak akan melupakan apa yang telah dilakukan anak itu, dan juga tidak akan membiarkannya begitu saja.

“Aku tidak menyangka kamu adalah tipe orang yang menyimpan dendam, Shuuto-san.”

“Yah, mungkin kemunduran dalam hidup dimaksudkan untuk dialami setidaknya sekali, tapi jika seseorang berulang kali melontarkan kebencian terhadapmu, maka sudah sepantasnya kamu membalasnya dengan cara yang sama.”

“Aku sangat ketakutan saat itu. Aku tahu kamu benar-benar marah ketika melihatmu mulai menyelidiki lebih lanjut menggunakan koneksimu.”

“Tugas orang tua adalah melindungi anak-anaknya. Karena kamu memenuhi kebutuhan emosionalnya, Shihoko-san, jadi aku bisa bertindak di belakang layer dengan lebih mudah.”

“…Kamu tidak melakukan apa pun pada anak itu, kan?”

“Aku tidak melakukannya. Itu adalah pelanggaran pertama, jadi peringatan saja sudah cukup.”

“Dan bagaimana jika itu terjadi untuk kedua kalinya?” tanya Shihoko.

“Aku bukan orang suci. Aku tidak punya alasan untuk duduk santai dan menunggu yang ketiga.” Shuuto takkan mentolerir perilaku sembrono seperti itu untuk kedua kalinya. Tentu saja, ia akan melakukan upaya untuk memastikan hal itu tidak terjadi lagi, tapi jika hal itu terjadi, Shuuto bermaksud untuk melenyapkannya sebagai musuh yang jelas pada saat hal itu terjadi.

“Meskipun kita sebagai orang tua sering kali tidak ikut campur dalam perkelahian antar anak, pertengkaran tersebut mungkin akan meningkat melebihi apa yang dapat dianggap sebagai perkelahian anak-anak. Sudah menjadi tugas orang dewasa untuk menghentikan perkelahian semacam itu sebelum menimbulkan dampak jangka panjang.”

Ketika perundungan meningkat menjadi pencemaran nama baik, pemerasan, atau penyerangan, hal ini tidak dapat ditangani oleh anak-anak sendirian. Hal ini memerlukan intervensi orang dewasa, dan bahkan dampak hukum pun harus dipertimbangkan.

Meski Amane mungkin tidak lagi mengkhawatirkan hal itu, Shuuto menyimpulkan bahwa lebih baik bersiap menghadapi apa pun sambil bersandar di sofa.

Shihoko memasang ekspresi serius di wajahnya saat dia menjawab, “Kamu benar,” sambil menghela nafas kecil. Pada saat itu juga, pintu ruang tamu mengantarkan udara dari lorong. Suara engsel yang berderit memecah keheningan malam.

AMereka berdua mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu dan menemukan Mahiru mengintip ke dalam dengan ragu-ragu setelah dengan lembut mendorong pintu hingga terbuka.

“Oh, Mahiru-chan—apa yang membawamu kemari selarut ini?” Shihoko bertanya, seketika ekspresinya menjadi cerah.

Mahiru melangkahkan kaki ke ruang tamu, tampak ragu-ragu. Dia biasanya tidak bangun pada jam segini, jadi dia sepertinya terbangun tengah malam atau kesulitan tidur.

“Oh, um…Kupikir aku mau meminum air.”

Air? Tunggu sebentar, ya—silakan duduk.”

Hah? Oh, tidak, aku tidak ingin memaksakanmu, Shihoko-san.”

Enggak apa-apa, jangan khawatir. Jangan sungkan-sungkan begitu.”

Shihoko menjadi sangat bersemangat saat dia berdiri dan menuju ke dapur. Bahkan Shuuto, suaminya, tidak bisa menahan senyum melihat perubahan suasananya yang begitu mendadak.

Mungkin karena dia sadar kalau dirinya sedang berada di rumah orang lain, Mahiru masih terlihat ragu-ragu. Dia dengan takut-takut mendekati Shuuto dan sedikit menundukkan kepalanya. “Um, aku minta maaf karena mengganggu.”

Jangan khawatir; kami tidak keberatan sama sekali. Kamu tidak perlu terlalu formal dan meminta maaf.”

“Tepat sekali,” Shihoko menimpali. “Kamu tinggal di bawah satu atap dengan kami sekarang.”

Memang, tapi itu hanya sementara, kan?” ucap Shuuto.

“Oh, jangan merusak kesenanganku. Akulah yang seharusnya membawakan air sekarang,” sela Shihoko, “Sebelum mengatakan seluruh keluarga tinggal di bawah satu atap, bukannya lebih baik jika dia memulai dengan Amane saja?” Suara cerianya dan air yang dituangkan dari botol plastik terdengar dari dapur.

Beberapa saat kemudian, Shihoko kembali dengan nampan berisi tiga gelas. Dia menyerahkan satu gelas pada Mahiru dengan senyum berseri-seri. “Ini dia.”

Terima kasih.

Dan untukmu juga, Shuuto-san. Kamu pasti haus.”

“Kurasa begitu.

Shuuto dan Shihoko berbicara lebih banyak dari biasanya malam ini. Sekilas melihat jam menunjukkan bahwa waktu telah berlalu cukup lama. Shuuto, yang lebih banyak bicara di antara keduanya kali ini, tersenyum masam. Ketika ia menyesap gelasnya, dia mendapati airnya sangat dingin, seolah-olah ia tidak menyadari betapa panas dirinya.

Ini selalu terjadi setiap kali aku terlalu asyik mengobrol. Betapa tidak dewasanya diriku.

Merenungi semangatnya yang berlebihan demi putranya yang menggemaskan, Shuuto memutuskan sudah waktunya untuk menenangkan diri. Anehnya, Mahiru menatapnya dengan sedikit kagum.

Shihoko juga tampak haus setelah banyak bicara, karena dia mengosongkan gelasnya dan meletakkannya di atas meja juga. Dia tersenyum pada Mahiru sambil menunggunya selesai meminum airnya dengan santai.

“Oh, dan jangan mengungkit percakapan kita sebelumnya dengan Amane ya, oke?”

“Ah—” Wajah Mahiru tiba-tiba berubah pucat. Shihoko secara terbuka menyuarakan apa yang selama ini membuatnya bimbang untuk diungkapkan.

Bahkan Shihoko menyadari itu terdengar seperti dia sedang menegurnya dan buru-buru melambaikan tangannya untuk menjelaskan bahwa dia tidak bermaksud jahat.

“Oh tidak, aku tidak bermaksud menuduhmu! Ini kesalahan kami karena berbicara terlalu keras sehingga suara kami terdengar sampai ke lorong!”

Melihat Mahiru memasang ekspresi penuh rasa bersalah, seolah dia menguping, hanya menambah kepanikan Shihoko.

“Oh, um, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu. Kamu tidak perlu khawatir, oke?”

“Shihoko-san hanya bermaksud mengatakan bahwa dia tidak ingin Amane mendengarnya karena itu akan memalukan, itu saja,” sela Shuuto.

“Y–Yah, mau bagaimana lagi, ‘kan?” balas istrinya.

Merasa situasinya semakin tidak terkendali, Shuuto turun tangan untuk menengahi. Pipi Shihoko sedikit memerah, dan kesedihan ringan terlihat di seluruh wajahnya.

“Aku tahu jika aku terlalu khawatir, ia akan memintaku untuk tidak memperlakukannya seperti anak kecil lagi dan ia akan baik-baik saja. Meski aku tahu ia baik-baik saja saat melihatnya, mau tak mau aku merasa khawatir sebagai orang tua. Di mata kami, Amane tetaplah putra kami yang menggemaskan, bahkan setelah ia menjadi pemuda yang baik.”

Shuuto mendengarkan perasaan Shihoko sambil tersenyum. Ia sangat menyadari perasaannya, terutama karena perasaan itu cocok dengan banyak kekhawatiran yang dia ungkapkan di awal percakapan. Namun, suasana tiba-tiba berubah ketika wajah Mahiru menunduk hingga membuat Shihoko dan Shuuto bingung.

Mahiru terlihat lebih sedih dibandingkan saat dia salah paham beberapa saat sebelumnya, terlihat seolah-olah dia akan menangis. Matanya yang berwarna karamel begitu basah hingga tampak hampir meluap, seolah berusaha menahan air matanya. Namun, dia mengatupkan bibirnya erat-erat dan sengaja, tampak seolah dia tidak mau menyerah.

“Apa aku mungkin mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaanmu, Mahiru-chan?” Shihoko bertanya, khawatir.

“T-Tidak, kamu tidak salah apa-apa. Aku baru saja memikirkan…betapa bagusnya kedengarannya.”

Mereka segera menyadari apa yang menurutnya membuat iri.

Shuuto dan Shihoko punya gambaran tentang latar belakang dan pendidikan Mahiru, yang, secara sederhana, merupakan kebalikan dari mereka. Orang tua Mahiru pada umumnya tidak peduli padanya, hampir sepenuhnya mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai orang tua.

Bagi Mahiru, yang semasa kecilnya tidak pernah diasuh oleh orang tuanya sendiri, melihat seberapa pedulinya Shuuto dan Shihoko merawat Amane merupakan sesuatu yang sulit. Jeritan tak bersuara sepertinya merembes dari dirinya, seolah mempertanyakan mengapa hidupnya tidak berjalan dengan cara yang sama. Tingkah lakunya yang memilukan membuat Shuuto menurunkan alisnya.

…Orang tua mana pun yang membuat putrinya berekspresi seperti itu bukanlah orang tua sama sekali.

Namun, orang tua juga manusia. Mereka semua memiliki preferensi, kompatibilitas, kemampuan, dan keadaan masing-masing. Tidak ada yang akan mengatakan bahwa orang tua tidak punya pilihan selain memprioritaskan dan mencintai anak mereka tanpa syarat—pada kenyataannya, mereka harus menemukan hal itu dalam diri mereka sendiri untuk dapat melakukan hal tersebut.

Shuuto tidak berniat menyalahkan orang tuanya karena tidak bisa mencintainya.

Lagi pula, itu bukanlah sesuatu yang berhak dinilai enteng oleh orang lain.

Tapi, Shuuto punya keyakinan.

Dirinya memiliki keyakinan bahwa begitu seseorang melahirkan kehidupan ke dunia ini, mereka mempunyai tanggung jawab terhadapnya—bahkan jika mereka tidak mencintai anak itu.

Seseorang tidak bisa mengabaikan keputusannya untuk menjadi orang tua dan melahirkan kehidupan baru. Siapapun yang meninggalkan peran itu dan membuat anaknya menangis seharusnya tidak ada.

Meskipun orang tua Mahiru merupakan orang asing baginya, intensitas rasa jijik Shuuto sungguh mengejutkan. Ia mempertahankan penampilan luarnya yang tenang dan menekan rasa frustrasi yang muncul di balik wajahnya yang tenang, dan kembali menatap Mahiru. Dia terdiam dengan ekspresi yang lebih kekanak-kanakan dari biasanya, terlihat seperti anak tersesat yang berusaha menahan kesedihannya.

“…Kamu tidak perlu iri, tahu? Karena bagi kami, kamu sudah seperti putri kami,” Shihoko memberi tahu Mahiru, mengulangi pemikiran Shuuto sendiri, yang tersenyum pada Mahiru dengan lega karena istrinya merasakan hal yang sama.

Mahiru tergagap, “Hah?”, karena tak menyangka dengan perkataan Shihoko.

“Oh, apa aku terlalu cepat menyimpulkan? Mungkin aku terlalu terburu-buru?”

Hah? T-Tidak, itu tidak…benar? Mungkin??

Astaga.

“Shihoko-san, kamu tidak boleh terlalu menggodanya,” Shuuto menyela. “Tapi aku juga mempunyai perasaan yang sama. Aku sudah menganggapmu sebagai putri kami juga.”

Wajah Mahiru, yang tadinya diselimuti kesedihan, kini dipenuhi kebingungan. Menampilkan perasaan tulus mereka sepertinya telah membuatnya terdiam.

Coba pikir seperti ini,” Shuuto melanjutkan, “Amane kita yang terlambat berkembang dan gampang tidak percaya itu telah sepenuhnya percaya dan jatuh cinta padamu. Kami juga memercayaimu, Shiina-san, dan jelas dari interaksi yang kita lakukan, kami menganggap kamu adalah gadis yang baik.”

“…Aku sebenarnya bukan 'gadis baik'. Aku hanya menampilkan diriku seperti itu.”

“Gagasan kami tentang ‘gadis baik’ mungkin berbeda dari apa yang kamu pikirkan,” Shihoko menjelaskan.

Mahiru sedikit tersentak saat mendengar kata 'gadis baik', dan Shihoko mengarahkan senyuman penuh kehangatan dan kasih sayang yang tak ada habisnya padanya.

“Di mata kami, Mahiru-chan, kamu jatuh cinta sepenuhnya pada Amane membuatmu menjadi 'gadis baik'.”

Hah? Ah, um—” Mahiru tergagap, tersipu malu.

“Ayolah, Shihoko-san. Itu cara yang agak ekstrim untuk menggambarkannya,” Shuuto menegur istrinya, sambil menambahkan, “Aku yakin ada cara yang lebih baik untuk mengungkapkan hal itu.” Tapi Shihoko tidak menunjukkan tanda-tanda akan menarik kembali pernyataannya, dan menjawab, “Tapi menurutku itu cukup sederhana untuk dipahami.”

Khawatir kalau keterusterangan Shihoko akan menyebabkan kesalahpahaman lebih lanjut, Shuuto dengan tenang terus berbicara kepada Mahiru, yang wajahnya mulai memerah karena malu.

“…Shiina-san, kamu menyukai putra kami, bukan? Aku tahu kamu sangat peduli pada Amane, dan kalian berdua tampaknya siap membangun masa depan yang bahagia bersama—bukan hanya kamu sendiri, atau Amane sendiri, tapi bersama-sama.”

Sebagai orang tua, mereka melihat seberapa besar Mahiru sangat mencintai Amane, dan bagaimana Amane, yang membalas cinta itu, telah jatuh cinta padanya. Mereka berdua saling mencintai dan menghormati serta memiliki niat untuk membangun kehidupan bersama. Mengetahui bahwa mereka praktis tinggal bersama sudah membuat Shuuto merasa nyaman.

Mengingat kepribadian keduanya, semuanya akan baik-baik saja, pikir Shuuto.

“Setelah melihat kalian berdua berusaha mengatasi rintangan bersama, aku jadi berpikir kami bisa 'mempercayakan' putra kami kepadamu…meskipun itu kedengarannya aneh. Namun kami menganggap ikatan di antara kalian berdua mengagumkan dan merasa bahwa kami harus menawarkan dukungan kami kepadamu.”

“Sejujurnya, aku sedikit khawatir untuk menyerahkan segalanya pada Amane,” Shihoko mengakui, “jadi bagus sekali kalau Mahiru-chan yang memimpin.”

“Oh, jangan katakan itu. Amane juga sudah tumbuh dewasa.”

“Aku tahu. Tapi tetap saja…” Di saat-saat seperti ini, Shihoko punya kecenderungan untuk memihak Mahiru.

Setelah menegurnya dengan sodokan lembut di pipi, Shuuto mengalihkan pandangan lembut ke arah Mahiru, yang ekspresinya dipenuhi dengan keterkejutan.

“Kami sudah lama menerimamu, Shiina-san, dan kami sudah menganggapmu menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, jika kamu mendapati dirimu dalam kesulitan, izinkan kami membantumu.”

Apa pun yang terjadi, mereka tidak akan pernah bisa menggantikan orang tua kandung Mahiru. Namun, mereka tetap bisa menawarkan bantuan sebagai orang dewasa yang paling terlibat dalam hidupnya. Mereka bisa mengangkatnya jika dia jatuh ke dalam kegelapan.

“Jika keadaan menjadi terlalu sulit dengan keluargamu, kamu selalu bisa mendatangi kami. Kami dapat memberimu perlindungan, dan kami bahkan memiliki cara untuk menyesuaikan kartu keluargamu. Jika diperlukan, adopsi dapat diatur oleh kami atau oleh salah satu kerabat kami.”

“Selain itu, jika ada tekanan, kamu bahkan bisa menikah tanpa izin orang tua segera setelah kamu dewasa,” tambah Shihoko. “Kalau saja kamu bisa mendapatkan kemandirianmu lebih cepat…”

Shuuto dengan lembut mengelus kepala Shihoko untuk mengekang fantasinya. Meski begitu, dia merasa bahwa ide tersebut bukanlah sebuah khayalan sama sekali, melainkan sebuah kemungkinan di masa depan. Kepercayaan dan ikatan antara Amane dan Mahiru sangat kuat, bahkan mungkin lebih kuat dibandingkan saat Ia dan Shihoko pertama kali berkencan.

Secara alami, keluarga Fujimiya adalah orang-orang yang gigih. Perasaan Amane terhadapnya sepertinya tidak akan pernah berubah kecuali Mahiru sendiri yang menolaknya.

Shiina-san akan mengambil nama Fujimiya suatu hari nanti. Dan mungkin dengan melakukan itu, dia akan berhasil melupakan kenangan menyakitkan itu.

“Mahiru-chan, kamu masih anak-anak. Tidak ada salahnya mengandalkan orang dewasa yang dapat mamu percayai di saat-saat sulit. Jika kamu menghadapi suatu masalah, konsultasikan dengan orang dewasa yang tepat. Jika kamu meyakini kalau kami cocok untuk memainkan peran itu, kami akan mendukungmu semaksimal mungkin.”

Shihoko berkata sambil menatap Mahiru dan menggenggam tangannya yang gemetar. Menatap kakinya, Mahiru sedikit mengangguk.

Saat tangannya membungkus lembut tangan Mahiru, Shihoko berpura-pura tidak menyadari setetes air mata pun jatuh ke tubuhnya.

 

 

Setelah beberapa saat, Mahiru mengangkat wajahnya, dan meskipun matanya menjadi sedikit merah, ekspresinya menjadi sangat cerah. Kemiripannya dengan anak yang tersesat tidak terlihat saat dia tersenyum pada Shihoko, yang diam-diam terus memegang tangannya.

“Sebagai ganti karena tidak memberi tahu Amane-kun tentang hal itu sebelumnya, tolong jangan sampai ia kalau aku hampir menangis.”

“Tentu saja—itu janji,” jawab Shihoko. “Jika salah satu dari kita melanggarnya… coba lihat, bagaimana pelukan sebagai hukuman terdengar?”

Mahiru terkekeh. “Itu takkan memberikan hukuman yang berat.”

“Apa kamu mendengarnya, Shuuto-san? Aku sangat ingin Amane mendengar ini. Dia menjadi sangat tidak menawan, anak kita itu.”

Shihoko, yang mengusulkan hukumannya sendiri, secara sepihak memutuskan untuk melaksanakannya dengan memeluk Mahiru. Mahiru tampak senang menerimanya. Melihat Mahiru yang cukup puas diperlakukan seperti ini, Shuuto juga tersenyum lebar di bibirnya.

Shiina-san benar. Ini sama sekali bukan hukuman yang berat.

"Lucunya! Mengingat kesempatan telah hadir, bagaimana kita tidur bersama malam ini dan berbagi kisah cinta?”

“Kalau begitu, aku tidak punya tempat untuk beristirahat,” kata Shuuto.

“Kenapa tidak tidur dengan Amane saja, Shuuto-san?”

“Aku lebih suka tidak terbangun karena ada teriakan besok pagi, jadi aku akan menjauhkan diri. Ditambah lagi, tidak sopan memasuki kamar seseorang tanpa diundang. Dan pada usianya, ia bahkan tidak ingin tidur dengan ayahnya.”

Shuuto terkekeh kecut dan menggelengkan kepalanya dengan lembut, meramalkan bahwa Amane kemungkinan akan mulai mengabaikannya jika Ia melakukan aksi seperti itu. Entah mereka menganggap percakapan ini lucu atau tidak, Shuuto dan Shihoko saling bertatapan dan tertawa bersama, yang ditanggapi Mahiru dengan senyuman geli.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama