Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 6 Bahasa Indonesia

Bab 6 — Pertemuan Yang Tidak Diinginkan

 

 

Serius, kenapa baru sekarang?

Sejak Mahiru mendengar dari Amane bahwa Ia bertemu dan berbicara dengan ayahnya sendiri—Asahi, pemikiran semacam itu terus berputar-putar di kepalanya, menghalangi segala hal lainnya.

Bagi Mahiru, konsep orang tua selalu menjadi sesuatu yang sulit dipahami, sesuatu yang praktis tidak ada dalam hidupnya. Dia mengenali keduanya sebagai penyedia DNA-nya, tapi dia tidak mengenali mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dalam membesarkannya. Sepanjang ingatannya, pengurus rumah tangga dan guru de facto-nya, Koyuki,lah yang memberikan pengetahuan dan membimbingnya sebagai manusia, bukan mereka.

Di masa kecilnya, dia ingin orang tuanya melihatnya, dekat dengan mereka. Mahiru telah mencoba yang terbaik untuk mendapatkan perhatian mereka, tetapi mereka tidak pernah membalasnya.

Tidak, mereka menolak untuk membalas perhatiannya.

Orang yang telah melahirkannya, kemudian memilih untuk mengabaikannya tanpa berpikir dua kali, mengutamakan keinginan dan kehidupannya sendiri. Begitulah cara Mahiru memandang orang tuanya. Pada awalnya, dia sangat ingin diakui dan dicintai oleh mereka, tetapi mereka bahkan tidak menyadari keputusasaan yang dia rasakan pada hari dia menyadari bahwa semua usahanya sia-sia. Mereka tidak tahu seberapa terluka hatinya, bahkan mereka juga tidak menginginkannya.

Mereka juga tidak tahu bahwa sejak saat itu, Mahiru hampir tidak punya perasaan lagi kecuali kekecewaan besar terhadap orang tuanya, dan meski begitu, dia terus menyimpan secercah harapan. Namun pada akhirnya, dia berhenti berharap bahwa mereka mengetahui semua hal itu.

Dia selama ini bersandar pada kemungkinan tipis untuk dicintai—kemungkinan yang sama mustahilnya dengan menemukan sebutir emas di sungai yang luas. Namun, dia kecewa pada dirinya sendiri karena tidak mampu menyerah. Dan sekarang—saat dia mulai percaya bahwa dia tidak lagi membutuhkan kasih sayang orang tua berkat kehadiran Amane dalam hidupnya—hal semacam ini terjadi.

“Kenapa baru sekarang, setelah sekian lama?”

Suara yang keluar dari bibirnya begitu dingin. Saking dinginnya, sampai-sampai orang tidak mungkin membayangkan suara itu berasal dari dirinya mengingat suara merdu bidadari yang dia gunakan di depan umum atau bahkan suara yang dia gunakan bersama Amane.

Intinya, bagi Mahiru, baik dalam pikiran maupun kehadirannya, Ayahnya sudah menjadi orang asing baginya saat ini. Dia tidak mengerti mengapa pria ini, yang telah menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada Koyuki dan mengabaikannya selama lebih dari satu dekade, tiba-tiba mencarinya. Dia bahkan tidak mau memahaminya.

Seolah-olah kamu bisa datang dan bertindak seperti orang tua sekarang.

Mengharapkan untuk diterima sebagai orang tua padahal dirinya tidak melakukan apa pun untuk mendapatkan peran tersebut adalah hal yang tidak masuk akal. Tapi jika ada yang bisa memberikan pembelaan sederhana untuk Asahi, setidaknya ia tidak pernah melontarkan kata-kata kasar pada Mahiru. Dalam hal itu, Ayahnya lebih baik dari ibunya, Sayo. Namun, bila soal mengabaikan, jarak emosinya jauh melebihi Sayo.

Sayo mungkin menjauhi dan menolak Mahiru, tapi dia setidaknya mengakui keberadaannya. Asahi, tidak peduli seberapa besar rasa sakit yang dialami Mahiru, sama sekali tidak memberikan dukungan dan hanya menghapusnya dari pikirannya dengan memfokuskan dirinya sepenuhnya pada pekerjaan dan menutup mata terhadap segala hal yang tidak nyaman baginya.

Bila ditanya mengenai mana di antara keduanya yang lebih baik, Mahiru tidak bisa menjawabnya. Tapi yang pasti adalah Mahiru tidak bermaksud untuk mempercayai atau menerima Asahi, yang, setelah sekian lama, hanya berusaha menjalin kontak sebagai seorang ayah.

Apa yang memicu perubahan hatinya?

Wajar-wajar saja jika Mahiru mewaspadainya yang tiba-tiba bertingkah seperti seorang ayah. Menurut Amane yang pernah bertemu langsung dengannya, Asahi tidak punya niat untuk menyakitinya. Dengan asumsi jika memang demikian, itu membuatnya lebih berhati-hati karena niat sebenarnya masih diselimuti misteri.

Mungkin karena memahami hal ini, Asahi memilih untuk tidak menghubungi Mahiru secara langsung. Namun, dari sudut pandang Mahiru, hal ini hanya memperburuk kesan Mahiru terhadap orang tua kandungnya sendiri, memberinya perasaan menakutkan seolah-olah ia sedang bersembunyi di balik bayang-bayang, memata-matai mereka untuk tujuan yang tidak dapat dimengerti Mahiru.

Untungnya, berdasarkan sedikit yang dia rasakan tentang kepribadian Asahi selama bertahun-tahun, Mahiru menduga Asahi tidak akan memaksakan masalah tersebut. Itu sebabnya, dia meyakini kalau pria itu tidak akan menyakitinya secara langsung. Namun, jika Asahi melakukan sesuatu yang akan merugikannya, Mahiru memiliki pilihan untuk berkonsultasi dengan layanan kesejahteraan anak, dengan kesaksian dari buku hariannya, gurunya yang mengetahui kurangnya keterlibatan orang tuanya, dan Koyuki, yang adalah orang yang paling dekat dengannya.

Tentang buku hariannya, Mahiru sudah memberitahu Amane bahwa dia menggunakannya untuk mencatat kenangan dan kejadian—yang memang benar—tapi selain itu, itu juga berfungsi sebagai bukti. Semua yang dialaminya selama ini terekam dengan jelas, termasuk emosi yang dirasakan Mahiru saat itu.

Meskipun dia tidak sepenuhnya yakin apakah yang terjadi selama ini bisa dianggap sebagai penelantaran anak, Mahiru curiga jika penyelidikan dilakukan dan hal itu diketahui publik, hal itu bisa berdampak besar pada status sosial Asahi hanya dari dampaknya. Demi melindungi dirinya dan kehidupannya, Mahiru tidak takut untuk membalasnya dengan kekuatan maksimal.

Tapi aku berharap hal itu tidak terjadi.

Mahiru tidak ingin memperbesar situasi ini. Dia lebih suka menjaga jarak dan melanjutkan kehidupannya saat ini tanpa terlibat dengan Ayahnya lagi—seperti yang selalu dia lakukan. Dia penasaran dengan niat ayahnya melihat perubahan perilakunya yang tiba-tiba, tapi jika terlibat akan membahayakan cara hidupnya saat ini, maka dia lebih memilih tetap cuek.

Lagipula, Mahiru tidak lagi membutuhkan kasih sayang orang tua.

Secara realistis, dia mungkin memerlukan dukungan keuangan orangtuanya. Namun, dia sudah mempunyai cukup dana untuk menutupi biaya kuliahnya di masa depan. Berkat banyaknya uang yang mereka transfer ke rekeningnya setiap bulan—seolah-olah mengklaim bahwa uang dapat menyelesaikan segalanya—dia punya cukup uang untuk menutupi biaya hidupnya hingga pertengahan masa kuliahnya. Rekening, buku tabungan, dan stempel pribadi semuanya berada di bawah kendalinya, jadi itu bukan sesuatu yang bisa diintervensi oleh orang tuanya.

Jumlah uang yang dia miliki sangatlah besar untuk ukuran gadis SMA, tapi jumlah tersebut terlihat seperti tunjangan anak di matanya dan sesuatu yang menyerupai kompensasi atas kelalaiannya.

Orang tuanya bukan lagi orang yang dia harapkan kasih sayang. Mereka lebih dekat dengan objek ketakutan yang mengancam nyawanya.

Dia tidak lagi membutuhkan mereka.

Bahkan jika mereka mengulurkan tangan sekarang, dia tidaklah naif atau putus asa untuk meraih tangan mereka. Lagipula, Mahiru kini sudah bergandengan tangan dengan orang lain.

 

 

Seperti biasa, setiap kali Mahiru tiba di rumah Amane, Amane menyambutnya dengan ekspresi hangat. Bahkan setelah kejadian dengan Asahi tempo hari, sikapnya tidak berubah. Atau lebih tepatnya, sepertinya Amane sangat berhati-hati untuk bersikap lebih akomodatif tanpa menunjukkan hal itu di wajahnya, atau mungkin bahkan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Pendekatan Amane—tidak memperlakukannya seperti benda sensitif atau menyentuh topik sensitif dengan tidak peka—adalah sesuatu yang disyukuri Mahiru. Setelah disambut Amane, dia kemudian melangkah ke ruang tamu, di mana suasana yang sedikit dingin menyambutnya.

Karena dia mengetahui pengaturan suhu ruangan yang biasa, Mahiru sadar kalau AC-nya tidak boleh dinaikkan terlalu tinggi, namun dia masih merasakan sedikit dingin di udara. Dia meringkuk lebih dekat ke Amane, yang tersenyum lembut dan meraih tangannya, lalu mereka duduk bersama di sofa. Setelah duduk di sampingnya, Mahiru menoleh ke arahnya—ekspresinya tetap sama seperti biasanya, tapi dia melihat tatapan penuh kasih sayang di mata Amane.

“Amane-kun.”

Ketika Mahiru dengan takut-takut mengucapkan nama orang yang dia cintai, dia menerima senyuman yang hangat dan lembut seperti sinar matahari musim semi.

Senyuman itu terasa hangat namun menyelimuti, bahkan mampu mencairkan salju di hadapannya, dan untuk sesaat, seakan-akan menghilangkan kabut yang berputar-putar jauh di dalam hatinya.

Namun, perasaan gundah dalam dirinya akibat kejadian beberapa hari yang lalu masih belum hilang sepenuhnya. Inti dari kabut itu adalah gumpalan emosi yang terkonsentrasi selama bertahun-tahun, yang mana tidak bisa dilupakan atau dihilangkan dari pikirannya, dan hal itu semakin terungkap ketika dia diingatkan akan hal itu oleh kejadian baru-baru ini.

“Hm? Apa ada yang salah?"

Pandangan Mahiru mengembara saat mendengar jawaban Amane dengan suara yang sangat tenang namun familiar, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Bukan karena dia ingin melakukan sesuatu yang khusus. Mahiru datang kepadanya hanya karena ingin berada di sisinya.

“…Yah, erm…bisakah kamu memegang tanganku?”

Setelah berpikir beberapa lama, Mahiru mengajukan permintaan kecil itu. Satu-satunya tangan yang ingin dia pegang adalah tangan Amane.

Mungkin dia ingin memastikannya sekali lagi.

Dengan sedikit ragu, Mahiru mengajukan permintaannya. Amane membalasnya dengan senyuman lembut, lalu menggenggam tangan Mahiru dengan tangan Amane. Itu adalah hal pertama yang ingin dia sentuh—tangan yang agak kurus, agak kasar, namun kokoh. Tangan lembut yang selalu menyentuhnya dengan sangat hati-hati.

Dipeluk dan dibelai oleh tangan itu saja sudah membuat Mahiru merasa sangat rileks hingga dia hampir kehilangan tenaganya.

“Apa hanya berpegangan tangan saja yang kamu inginkan?”

Amane bertanya apa hanya melakukan itu sudah cukup baginya, suaranya lembut namun diwarnai rasa ingin tahu yang lucu. Bertanya-tanya apakah pantas baginya untuk lebih menyukai Amane daripada sebelumnya, Mahiru menunduk.

Pada akhirnya tidak ada kontak tambahan dari Asahi. Segalanya tampak kembali normal seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi Mahiru masih merasa ragu-ragu dan menutup mulutnya.

Apa boleh aku lebih mengandalkan Amane-kun? Aku hanya mengkhawatirkan hal ini sendirian.

Seolah merasakan keragu-raguannya, Amane mengencangkan genggamannya pada tangan Mahiru sejenak sebelum melepaskannya dengan lembut.

Ah. Saat dia terkesiap kecil, ada selimut yang menutupi kepalanya.

“…Kamu terlihat lebih dingin dari biasanya hari ini, Mahiru. Mungkin aku menyetel AC terlalu tinggi. Ini, bungkus dirimu dengan selimut ini.”

Setelah mengatakan itu sambil tersenyum, Amane membungkus tubuh Mahiru yang masih dingin dengan selimut. Ia kemudian melingkarkan lengannya di punggung dan bagian belakang lututnya dan dengan mudah mengangkatnya, membaringkannya di pangkuannya tanpa ragu sedikit pun.

Saat Mahiru dengan lembut mendarat di paha Amane dengan posisi menyamping, dia berkedip karena terkejut, dan mata obsidian yang mengintip ke dalam dirinya menyipit karena kasih sayang.

Sudah sedikit hangat sekarang?”

…Ya. Mahiru merasakan kehangatan mengalir di matanya.

Amane memeluknya tanpa syarat apa pun, namun Ia dengan sengaja menahan diri untuk tidak menyentuh kekhawatiran batin apa pun yang mungkin dimiliki Mahiru. Untuk memastikan kehangatannya tidak hilang, Amane memberinya senyuman lembut.

Ia mungkin mengira Mahiru memasang wajah pemberani, tapi itu tidak masalah baginya. Dia yakin Amane akan menerimanya apa adanya, apa pun yang terjadi.

Ada desahan yang hampir tegang keluar darinya, tapi Mahiru tidak melihat ekspresi Amane. Sebaliknya, dia menyandarkan pipinya ke dada kokoh pria yang dicintainya.

Aku bukan tandingannya.

Amane memahaminya—melalui kepribadiannya, harga dirinya yang sepele, dan kecemasan yang tidak bisa dia hilangkan sepenuhnya dengan sendirinya. Ia sudah mengantisipasi semuanya, mengatur situasi yang tidak bisa ditolak oleh Mahiru. Ia melakukan semua itu agar Mahiru bisa merasa nyaman secara alami, meski hanya sedikit.

Ketika menyadari bahwa Amane menghargai perasaannya dan tidak mendesaknya untuk mengungkapkan lebih dari apa yang ingin diungkapkan, Mahiru menghela napas pelan.

Aku juga sangat menyukai bagian dirinya yang ini.

Melihat perilaku orangtuanya sendiri terkadang membuatnya mempertanyakan konsep keluarga. Bagi Mahiru, gagasan tentang keluarga bahagia selalu menjadi sebuah fantasi, sesuatu yang dia tidak percaya benar-benar ada. Tapi setelah bertemu Amane dan melihat bagaimana dirinya diperlakukan membuatnya sadar bahwa mungkin ada keluarga yang dengan tulus peduli dan menghormati satu sama lain, saling bergandengan tangan dalam menjalani hidup.

Amane tumbuh dalam lingkungan yang sangat dicemburui olehnya—keluarga ideal. Dan itu membuatnya semakin terpesona padanya.

Aku…lebih memilih Amane-kun.

Terlahir dalam keluarga itu, sebagai putri mereka, sama sekali tidak mengagumkan bahkan di matanya, Mahiru tidak pernah menyukai gagasan menghabiskan hari-harinya bersama orang lain atau membangun sebuah keluarga. Tapi pertemuannya dengan Amane memberinya harapan. Dirangkul dan dirawat dengan begitu lembut oleh Amane membuatnya berpikir lagi bahwa dia bisa berjalan ke masa depan bersamanya, bahwa mereka bisa menemukan kebahagiaan bersama.

Pada saat itulah Mahiru menyadari betapa terbukanya dirinya terhadap gagasan hubungan seumur hidup dengan Amane di masa depan. Mau tak mau dia merasa sedikit bingung, dan menggeliat dalam pelukan Amane.

Ya, aku sangat mencintainya, dan ya, aku tidak ingin berpisah dengannya lagi. Tapi tetap saja!

Apa jangan-jangan hubungan mereka terlalu berat untuk ditanggung oleh anak SMA? Mahiru mengerti bahwa 9 dari 10 pasangan yang berpacaran di sekolah SMA tidak akan bertahan lama. Dengan mengingat hal itu, memikirkan masa depan mereka pada tahap ini mungkin agak—tidak, lumayan—berat. Dia tahu kalau Amane juga sangat mencintainya dan ingin bersamanya untuk waktu yang lama, tapi secara sadar memikirkan tentang pernikahan membawa beban yang berbeda.

Mahiru mengeluarkan erangan lembut, diliputi oleh kekuatan keterikatan dan kasih sayang miliknya sendiri. Amane, tentu saja, tidak menyadari pusaran emosi dalam dirinya, dan hanya mengelus punggungnya dengan lembut dengan ekspresi khawatir.

“…Um, Amane-kun?”

“Hm?”

“…Apa aku tidak terlalu berat bagimu?”

Mahiru tidak merinci subjek perkataannya, yang mungkin kedengarannya tidak adil.

Amane berkedip beberapa kali mendengar pertanyaan Mahiru sebelum tertawa ringan. “Jangan khawatir, bagiku itu tidak berat sama sekali. Apa kamu begitu mengkhawatirkannya meskipun aku sudah berlatih?”

“Sebenarnya aku tidak terlalu khawatir, hanya saja…”

“Kamu sering kali membiarkan hal-hal kecil mempengaruhimu, Mahiru. Jangan khawatir tentang hal itu. Bersandarlah padaku dan bergantunglah padaku. Jika itu membantumu sedikit rileks, aku akan mengangkatmu sebanyak yang kamu mau.” Amane sepertinya memahami kedua arti kata-kata Mahiru dan tertawa kecil. “Kamu menunjukkan pengendalian diri pada saat-saat yang paling aneh,” tambahnya.

Amane mungkin tidak memahami arti sebenarnya di balik kata ‘berat yang sebenarnya tidak diungkapkan Mahiru, tapi itu sudah cukup baginya. Sudah cukup baginya bahwa Amane menerimanya.

“Dengar, jika kamu merasa kesulitan atau cemas, katakan saja padaku. Yah, tentu saja, aku mungkin tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi akar permasalahannya, dan salah jika aku menanggungnya sendiri karena rasa sakitmu adalah milikmu sendiri,” kata Amane. “…Tapi, yang bisa kulakukan, Mahiru, adalah tetap berada di sisimu sampai kamu mengatasi rasa sakit itu.”

…Ya.

“Kamu bisa mengeluarkan semuanya jika itu membuatmu merasa lebih baik, tapi kamu tidak perlu melakukannya. Semuanya terserah padamu. Aku hanya akan menerima cara mana pun yang membuatmu paling nyaman.”

Sikap Amane yang tak tergoyahkan dalam menyerahkan pilihan kepada Mahiru membuatnya merasa diyakinkan dari lubuk hatinya.

…Aku sangat senang aku jatuh cinta padanya.

Mahiru membiarkan tubuhnya rileks dan bersandar padanya.

Aku baik-baik saja.

Mahiru tidak berniat menceritakan masalah keluarganya kepada Amane. Dia sudah melakukannya beberapa hari yang lalu. Semburan emosi abu-abu dalam dirinya mungkin terlalu berat untuk dia atasi sendirian. Tapi selama Amane berada di sisinya, Mahiru merasa dia bisa menerima emosi dan kenangan negatif yang mengakar ini dan bergerak maju. “Erm, yah, ini bukan tentang berpura-pura atau memendam semuanya atau semacamnya… Aku hanya percaya ini adalah hal-hal yang harus kulupakan supaya bisa move on.”

Tidak peduli seberapa banyak dia melampiaskannya, kesengsaraan, kesedihan, dan keluhan dari dirinya yang lebih muda akan terus mengalir tanpa henti. Pada akhirnya, selama akar masalahnya masih ada, masalah tersebut pada akhirnya akan muncul kembali. Untuk maju bersama Amane, Mahiru merasa dia harus melepaskan keterikatan yang terpelintir dengan orang tuanya sejak kecil, yang berakar dalam pada kerinduannya pada mereka.

Hal ini juga demi mencegahnya melakukan kesalahan lebih lanjut.

Baiklah. Amane berkata pelan dan terus mengelus punggungnya.

Hanya memilikimu di sisiku saja sudah lebih dari cukup,” lanjut Mahiru. “Kehadiranmu sudah membuatku sangat terhibur.”

“Kamu pasti melebih-lebihkan.”

Tapi kenyataannya memang begitu, kok?”

Jika dia tidak bertemu Amane, masa depan Mahiru tidak akan cerah. Dia tidak akan bisa mempercayai orang lain, atau bahkan mampu mencintai seseorang dari lubuk hatinya. Dia akan hidup dengan kebencian yang tidak dapat diatasi terhadap orang tuanya.

Kemungkinan besar, dia akan menjalani hidup dalam kesendirian, di bawah langit yang selalu mendung.

“…Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu denganmu, Amane-kun.”

Gumaman serius keluar dari bibir Mahiru. Tanpa berkata apa-apa lagi, Amane dengan lembut memeluk Mahiru, membungkusnya dengan kehangatan.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama