Ronde Ke-4 — Aku Akan Memakai Apa Pun Yang Kamu Mau, Oke? Bagian 2
“Maaf
sudah membuatmu menunggu, Suzufumi.”
Saat aku
kembali dari kamar ke ruang tamu, tatapan mata
Suzubumi terbelalak.
“Bagaimana?
Kelihatan cocok untukku?”
“Eh,
uhmm...”
Wajar
saja dirinya terkejut. Karena baru beberapa saat
yang lalu, ia melihatku memakai
baju rumah, tapi sekarang aku tiba-tiba muncul dengan baju maid.
“Jadi,
bagaimana pendapatmu?”
“...Yah,
kurasa oke-oke saja.”
Suzufumi
menggaruk pipinya, lalu mengalihkan pandangan.
Uhaa,
ia benar-benar kelihatan sangat gugup
itu! Ini dia! Ini nih reaksi yang ingin
kulihat!
Melihat
Suzufumi yang malu-malu, rasa percaya
diriku jadi membumbung tinggi.
Tubuhku yang tadinya terasa
lelah, kini dipenuhi dengan semangat.
Pakaian
yang kukenakan ini bukan kostum maid klasik, tapi bergaya gothic lolita
kekinian. Bagian dadaku agak
terbuka, jadi itu membuatku sedikit merasa dingin.
Meskipun aku membelinya dengan harga murah dari internet,
desainnya cukup rumit. Gaun hitam dengan celemek putih, serta bando berenda. Bahannya juga tebal, jadi
bahkan bisa dipakai untuk seragam maid kafe.
Ini
adalah langkah idol untuk menaklukkan Suzufumi
sebagai penggemarku.
Yang
kupilih adalah sesi foto bersama.
Sesi foto
di mana idol dan penggemarnya berpose bersama dalam bingkai polaroid, adalah
hal klasik dalam acara jumpa fans. Dulu saat aku masih pemula, aku lebih dekat dengan para penggemarku,
jadi aku sering melakukan sesi foto
seperti ini.
Dengan
memotret dari jarak dekat, itu akan memberikan kenangan yang kuat bagi
penggemarku. Lalu mereka bisa memajang fotonya di rumah, jadi selalu teringat
denganku meskipun kami berjauhan. Dengan kata
lain, ini benar-benar semacam 'penandaan'.
“Omong-omong,
kenapa kamu punya baju maid?”
“Aku pernah
memberimu album photobook-ku, ‘kan? Nah, di sana aku memutuskan untuk memakai
baju maid, jadi aku perlu latihan pose dan segala macamnya. Lagipula, terkadang aku juga pakai gaun dengan
rok mengembang seperti ini untuk latihan koreografi.”
Aku hanya
tidak menyangkanya kalau aku akan memakainya untuk tujuan seperti ini.
“Kalau gitu,
ayo kita foto sekarang.”
Saat aku
mendekatkan tubuhku, Suzufumi
sedikit tersentak. Hehe, dia benar-benar terlihat
malu dan bertingkah salting.
Ini
adalah hukuman untuknya. Hukuman karena ia bersenang-senang
dengan teman masa kecil dan guru sekolahnya,
bukan dengan idola populer yang jadi tetangganya.
Aku
mengaktifkan mode idolku, lalu memberi instruksi seperti di sesi foto biasanya.
“Dengan
senyum menyilaukan~~~~ Siap...
Oke ★!”
Cekrek.
Setelah
beberapa saat, hasil foto
kami akhirnya keluar— aku tersenyum ke arah kamera sambil memberi pose peace,
sementara Suzufumi malah memalingkan mukanya.
“Kok
ngeliat ke arah lain sih? Ayo ulangi
lagi!”
“Diulangi lagi...... kupikir fotonya sudah kelihatan bagus, kok.”
Dengan
tampang tidak enak, Suzufumi masih
mengalihkan pandangan dariku.
Apa
jangan-jangan, sebuah pemikiran terlintas
di benakku dan tiba-tiba aku bertanya padanya.
“Suzufumi, kamu enggak suka difoto ya?”
“Bukannya enggak
suka sih... Tapi aku merasa tidak ada yang menarik ketika melihat fotoku sendiri. Tapi aku suka meliat foto orang lain yang kukenal, sih.”
Aku
pernah mendengar alasan orang yang tidak suka
difoto
karena mereka merasa tidak
percaya diri dengan wajahnya atau
tidak fotogenik, tapi sepertinya alasan-alasan itu tidak biasa. Jika
dipikir-pikir, perhatian Suzufumi
selalu tertuju ke luar, dan ia tidak terlalu peduli dengan dirinya sendiri. Gaya berpakaiannya juga tidak
terlalu menonjol.
Yah, aku merasa senang karena ia bisa
berpakaian dengan semangat seperti saat kami
mengunjungi kebun binatang waktu itu.
“Sayang
sekali. Padahal Suzufumi sebenarnya tidak jelek, kok?”
“Sampai segitunya?”
“Ya,
sampai segitunya.”
Ketika aku tersenyum dengan sedikit jahil,
Suzufumi
merespons dengan ekspresi “Astaga”
yang menggemaskan. Kurasa pengambilan gambar bisa dilanjutkan.
Sesi foto
selanjutnya. Kali ini aku
memposisikan kamera lebih dekat agar Suzufumi
tidak bisa kabur, dan kami saling mendekatkan wajah. Saat aku melirik sekilas ke arahnya, kali ini Suzufumi menghadap ke depan.
Wah, bulu
matanya panjang sekali. Ini luar biasa untuk alami. Kulitnya juga halus.
Sepertinya ia tidak rutin merawat dirinya sendiri.
Uuhh~, semakin kami mendekat begini, justru aku lah yang jadi semakin berdebar-debar. Padahal kalau
dengan penggemar, jarak yang hampir bersentuhan pun tidak membuatku gugup.
“Ak-Aku
mulai, oke...?”
Cekrek.
Pengambilan gambar kedua selesai. Suzufumi
menatap kamera, tapi kali ini giliran ekspresiku yang terlihat sedikit kaku. Mungkin
sebaiknya kita coba ulang sekali lagi.
Tapi aku aku hanya mempunyai satu roll film kamera.
Satu set bisa mengambil 10 foto. Jadi sisa 8 foto lagi. Sepertinya jumlah tersebut kurang cukup untuk
menaklukkan Suzufumi.
Ah,
kenapa aku jadi pesimis begini. Aku adalah idola yang sempurna, Arisu Yuzuki.
Dengan sisa 8 foto ini, aku pasti bisa membuat Suzufumi menjadi penggemarku!
Aku
memegang gagang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan koridor.
“Aku
mau ganti baju di kamar tidur dulu, jadi tunggu di sini ya!”
“Masih
mau difoto lagi...?”
Kelihatannya
Suzufumi sudah
mulai tenang kembali. Ia terlalu
mudah beradaptasi. Kurasa aku harus
memakai banyak kostum dan pose yang
lebih menarik lagi!
Aku
membuka lebar-lebar lemari pakaian yang penuh dengan koleksi baju.
Baju
Cina, piyama, gaun pesta, kostum karakter anime. Baju renang... Ah, sebaiknya
tidak usah. Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa
menyangkal kalau ini sudah seperti pemotretan kostum cosplay.
Aku
suka difoto. Mencoba berbagai pakaian dan mempelajari sudut pengambilan foto
itu menyenangkan, dan yang paling utama adalah ketika aku merasa sempurna di dalam foto, hal itu membuat perasaanku jadi senang. Mengabadikan suatu momen itu di dalam satu
roll film, dan setiap kali aku melihatnya,
hatiku merasa bergetar. Karena itu, aku berharap orang yang ada di dalam foto bersamaku juga merasakan hal yang sama.
“Nee, apa kamu merasa senang sekarang, Suzufumi?”
“Saat
aku melihatmu, Yuzuki, aku jadi ikutan merasa
senang.”
“...
Begitu.”
Di
saat-saat seperti ini, Suzufumi
selalu menghargai perasaanku.
Jatah film
yang tersisa tinggal dua lembar lagi.
Padahal
niatnya aku ingin menjadikan Suzufumi sebagai penggemarku, tapi justru aku yang lebih menikmatinya.
“Maaf
ya, kamu jadi terlibat denganku?”
“Tidak
apa-apa. Jika aku bisa membantu mengalihkan pikiranmu, itu sudah lebih dari
cukup. Sepertinya akhir-akhir ini pekerjaanmu jadi sibuk
sekali, ya?”
“...
Apa itu bisa kelihatan?”
“Yah,
hanya perasaanku saja sih. Apa ada masalah yang terjadi?”
Senyumnya
menghilang. Meskipun ia berusaha
terlihat santai, tapi jelas-jelas
dia serius. Tidak adil juga rasanya
jika aku mencoba menyembunyikannya.
“...
Belakangan ini, Ruru-san tampak lebih tegas padaku. Di lokasi syuting, dia selalu
melekat seperti bodyguard. Aku senang dia begitu
perhatian, tapi jujur saja, itu membuatku sedikit sesak.”
“...
Jika memang begitu, mungkin
itu karena salahku juga, ya.”
“Bukan!
Ruru-san hanya terlalu khawatir. Tapi lambat laun dia juga pasti akan mengerti,
Suzufumi tidak semurahan itu, kok.”
“Aku
sama sekali tidak merasa diri ini murahan...”
Obrolan
ringan ini begitu menyenangkan. Rasanya lebih
menyembuhkan jiwa dan raga daripada pijatan profesional atau tidur di bantal
mahal.
“Oh
iya, mumpung ada kesempatan begini,
Suzufumi juga boleh minta kostum yang
kamu inginkan, lho. Aku akan memakainya untukmu.”
Aku
sengaja melemparkan tatapan penuh arti.
Kira-kira
jenis kostum apa yang disukai Suzufumi ya? Kasual? Imut? Gaya outdoor? Atau yang elegan?
Bagaimana
kalau ia meminta baju renang atau lingerie? Tapi kurasa Suzufumi tidak mungkin meminta hal
seperti itu.
Saat aku
melirik ke arahnya, Suzufumi menunjukkan senyum terbaiknya
hari ini.
“Oh,
jadi kau mau memakainya apapun untukku?”
Senyumnya
seolah berkata 'Aku sudah
menunggumu bilang begitu'.
Jangan-jangan
selama ini dia hanya berpura-pura tidak tertarik, supaya aku yang memintanya
lebih dulu?
Ujung
bibir Suzufumi
terangkat sedikit.
“Kalau
begitu, karena kamu sudah menawarkannya...”
Permintaannya
membuatku kehilangan kata-kata.
★ ★ ★
Malam
itu.
Aku
berbaring di tempat tidur sambil dengan lembut
mengelus celengan kucing gemuk.
Di tanganku yang lain, ada selembar foto.
Ini adalah foto terakhir
yang baru saja kami ambil.
Foto itu
menampilkan aku dan Suzufumi yang
mengenakan seragam Akademi Orikita.
Permintaan
Suzufumi adalah foto dengan seragam
sekolah.
“Mumpung ada
kesempatab, bagaimana kalau kita foto pakai seragam? Seperti
di mesin pencetak foto di game center gitu.”
Aku
sempat kehilangan kata-kata karena usulannya begitu tak terduga.
“...
Kamu yakin? Dengan foto seperti itu?”
“Iya,
aku suka yang begitu. Habisnya
kita tidak bisa melakukannya di luar, ‘kan?”
Dalam
foto itu, aku dan Suzubumi berdiri berdampingan, tersenyum sambil membentuk
tanda peace. Hanya pemandangan biasa yang bisa ditemui di mana-mana, tanpa
keistimewaan apa pun.
Tapi
justru pemandangan sederhana itu yang membuatku sangat menyukainya.
Kami
mengambil dua foto seragam, masing-masing dari kami menyimpan
satu foto.
Suzufumi selalu mengajarkanku untuk
menghargai kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Seperti
makan, bermain, mampir setelah sekolah, atau pergi bepergian.
Dan juga,
jatuh cinta.
“Terima
kasih, Suzufumi.”
Aku pun
tertidur sambil merangkul foto itu di dekat hatiku.