Chapter 6 — Kunjungan Perusahaan Michiba Rokka Dan Toudo Tsuyoshi (Bagian 2)
Pada sore
hari, kami memakai mantel
putih dan mengunjungi dapur, lalu beristirahat sebentar sebelum kembali ke
dalam gedung. Aku menggunakan waktu istirahat untuk memikirkan pesan yang akan
kukirim kepada Michiba.
'Michiba, sepertinya aku tidak
menyadari pesanmu. Maafkan aku. Tapi aku punya satu usulan. Setelah kunjungan
perusahaan selesai, aku,
Hanazono, dan Tanaka berencana akan pergi
ke kafe? Bagaimana kalau kamu juga
ikutan, Michiba?'
Kata-kata
memang sangat sulit. Jika salah sedikit saja
bisa menyakiti hati orang lain. Aku membutuhkan waktu lama
untuk menulis teks singkat itu.
Tanaka berdiri di sampingku tanpa mengatakan apa-apa, dan itu
saja sudah membuat hatiku tenang. Mungkin aku juga dulu seperti itu.
Aku bisa
mengenali fotonya, tapi
tampaknya Tanaka tidak mengingatnya. Tapi ada sesuatu yang pasti berubah dalam
diriku.
Itu
adalah—
“Toudo,
kamu sudah selesai? Hehe, pasti
balasannya akan datang sebentar lagi! Semuanya sudah pindah, ayo cepat!”
“Benar
juga, sekarang tinggal menunggu saja.”
Sebaiknya
aku jangan terlalu banyak berpikir.
Meskipun aku kehilangan
ingatan, sekarang aku akan membiarkan perasaan ini menuntunku.
Kami pun
selesai istirahat dan bergerak menuju ke dalam gedung.
Bagian dalam
gedung sedang diadakan acara Pameran Pernikahan. Karena
hari ini merupakan hari kerja, jadi pengunjungnya tidak terlalu
banyak. Tampaknya pihak perusahaan punya cukup waktu untuk mengantar kami
berkeliling.
“Biasanya
Pameran Pernikahan kami diadakan di
akhir pekan. Tapi untuk melayani pelanggan yang sibuk di akhir pekan, kami juga
membukanya di hari kerja. Tolong jaga ketenangan di dalam, ya. Di sana ada kue
pengantin, dan di sana ada pajangan gaun pengantin.”
Mengikuti
arahan staf pembimbing, kami pun mulai melihat-lihat.
Tanaka
terlihat sangat antusias dengan gaun pengantin.
“Toudo,
ini keren banget! Wah, orang yang pakai gaun itu cantik sekali... Apa dia model
ya? Eh, kok kayaknya dia terus-terusan lihat ke arah kita?”
“Hmm, tatapannya
memang mengarah ke sini. Tapi aku tidak mengenalnya. Menurutku kamu terlihat
lebih cantik daripada dia, Tanaka.”
“Tunggu,
jangan berlebihan gitu dong...”
“Tidak,
itu memang kenyataannya.”
Model itu
terus-menerus memandangku. Aku tidak
mengenalnya. Tapi aku bisa melihat sekilas
kalau ekspresinya berubah menjadi terkejut saat
menatapku.
Sekarang,
tampaknya dia kembali fokus pada pekerjaannya. Apa dia mungkin terkait dengan
mereka? Bagaimana dia bisa menghilangkan ekspresinya dengan sempurna seperti
itu? Ah, mungkin karena dia seorang model.
“Tapi
pakaiannya terlihat sangat berkibar-kibar. Pasti sulit untuk bergerak.”
“Ah,
Toudo, kamu tidak mengerti
keromantisan wanita! Itu adalah pakaian yang sangat penting, yang dipakai untuk
membuat janji seumur hidup dengan orang yang paling berharga.”
“...Janji
seumur hidup. Itu pasti sangat berat.”
“Dibilangin
bukan begitu, kamu sama sekali tidak
mengerti, ya?! Itu hal yang sangat baik. Kamu
tahu pernikahan, ‘kan?”
“Ya,
aku tahu konsepnya. Hidup bersama orang yang berharga selamanya. Tapi orang
tuaku tidak seperti itu, jadi aku kurang paham.”
“Kalau
begitu, Toudo pasti akan menikah dan bahagia
suatu hari nanti. Pasti, itu janjiku!”
Orang
yang selalu ada di sampingku...
Orang yang kubayangkan
adalah Hanazono dan Tanaka. Hanya membayangkannya saja membuatku merasa hangat.
Wajahku pasti terlihat memerah. Entah kenapa,
aku merasa malu.
“A-ah,
sepertinya mereka semua pindah ke arah kue. Ayo kita
pergi, Tanaka.”
“Ah,
tunggu dong! Wajahmu kelihatan memerah tuh! Hehe, terlihat sangat
natural, ya!”
“Benarkah?”
“Iya,
dong!”
Semua
orang sedang mengambil foto di depan kue pengantin. Aku pun melihat sekeliling,
dan ternyata Michiba berdiri
sendirian.
Dia
menggenggam ponselnya erat-erat.
Tatapannya tertuju pada kue pengantin yang
dipajang.
Ekspresinya
tampak aneh. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi sedih,
senang, dan bersalah, semuanya bercampur
jadi satu. Dia sedang menahan sesuatu. Benar, Michiba
pernah bilang padaku, 'Aku benci gadis
yang cengeng'
dan 'Aku paling benci gadis
yang memakai air
mata sebagai senjata. Makanya, aku paling benci diriku sendiri.'
Michiba
menggigit bibirnya, menatap lurus ke arah kue itu. Ketika aku melihat pemandangan itu,
aku merasa ada sesuatu yang indah dan manusiawi.
Lalu,
tiba-tiba, ekspresi Michiba
berubah. Aku tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya, tapi jelas-jelas ada sesuatu yang berubah.
“Toudo?”
“Hmm, tidak
apa-apa. Tanaka, kelihatannya kita boleh mencoba kuenya. Apa kamu mau ikut mencobanya?”
“Ayo
tanya ke stafnya! Kelihatannya enak banget!”
Pada saat
itu, ponselku bergetar.
“Ah,
balasan dari Michiba-san?
Bagaimana?”
Pesan
dari Michiba hanya berisi 'Aku juga mau
ikut'. Tapi dalam kalimat singkat itu, aku bisa merasakan perasaannya.
“Tidak
apa-apa, ayo kita pergi ke kafe bersama-sama.”
“Hehe,
horee, asyik dong!”
◇◇◇◇
....Pada
saat mencoba mencicipi, Tanaka mencoba menyuapiku kue. Aku merasa malu dan
berusaha melarikan diri.
Di sudut
pikiranku, aku bertanya-tanya mengapa Tanaka begitu kuat.
Begitu
juga dengan Hanazono. Padahal aku sudah
mereset mereka semua. Aku melakukan tindakan
yang seharusnya membuatku ditinggalkan.
Hari ini
Hanazono sedang berkunjung ke perusahaan lain. Entah mengapa, aku merasa
sedikit malu untuk bertemu dengannya.
Kunjungan
ke perusahaan yang terasa lama itu akhirnya berakhir. Itu merupakan acara yang
sangat berharga. Mengenai
masa depan, ya.....Aku belum terlalu memikirkannya. Saat
bekerja paruh waktu di restoran makanan Barat, aku
menganggap kalau para koki itu
terlihat keren.
Kalau
dipikir-pikir, aku harus berterima kasih kepada koki di
restoran itu.
Pada 'hari
itu', atas permintaan Eli, aku harus menolong putri sang koki, jika aku tidak melakukannya, maka aku
tidak akan bertemu dengan sang koki. Jika tidak bertemu dengan sang koki, maka aku juga tidak akan bekerja
bersama Tanaka.
Pertemuan
itu sungguh aneh. Benang merah yang saling terhubung.
“Nee,
Toudo, hari ini kita mengunjungi kafe Lumine di Shinjuku, ‘kan?”
“Ya,
kita sudah janjian untuk bertemu
di sana. Hanazono sedang mengunjungi perusahaan game di Shinjuku.”
Aku sudah
mengirimkan informasi lokasi kafe kepada Michiba.
Sayangnya aku tidak punya kesempatan untuk berbicara dengannya. Seharusnya dia bisa pergi bersama kami ke Shinjuku, tapi Michiba memberitahuku kalau dia akan
langsung pergi sendiri ke
tempat tersebut.
....Mungkin
ada urusan yang harus diurus dengan teman sekelasnya.
Aku dan
Tanaka menaiki kereta bersama-sama seperti pagi
ini.
“Haru-chan!
Akhirnya kita bertemu! Bagaimana? Apa di sana menyenangkan?”
Jarak dari
Shinanomachi menuju Shinjuku
tidaklah jauh. Kali ini kerumunan orangnya tidak
terlalu ramai. Selain itu, gedung yang terhubung langsung dengan stasiun
membuatnya mudah ditemukan.
Hanazono
sudah menunggu di depan kafe. Dia terlihat senang dan melambai ke arah kami.
Shinjuku
memang kawasan yang mirip seperti
labirin, di sini tempatnya sangat
kompleks. Saat SMP dulu, saat pergi ke Shinjuku bersama Hanazono, aku sudah
mempelajari wilayah Shinjuku dengan baik. Namun, sepertinya ada banyak
perubahan di Shinjuku sehingga aku harus memperbaharui pengetahuanku. ... Aku harus berhati-hati dengan distrik hiburan di pintu keluar timur.
“Hana-chan,
di sana sangat menyenangkan! Toudo-kun
memberikan pertanyaan yang sangat hebat sehingga membuat stafnya jadi kebingungan.”
“Ah,
aku bisa membayangkannya...”
“Karena itu
kesempatan yang langka,
jadi aku bisa memanfaatkannya dengan baik.”
“Bagus
sekali untukmu ya, Tsuyoshi. Hah? Kupikir
Michiba akan datang bersamamu.”
“Iya,
kita janjian bertemu di sini. Aku dan yang lain berangkat duluan, tapi sebentar
lagi dia pasti akan datang.”
Aku, Tanaka, dan Hanazono saling mengobrol di depan kafe sambil
menunggu Michiba. Tapi seiring berjalannya waktu, Michiba tak juga menampakkan diri.
“Tsuyoshi,
bagaimana kalau kita masuk dulu? ... Aneh sekali
dia sampai tidak menghubungi juga. Mungkin
ada urusan?”
“Iya,
mungkin begitu. ... Biar kupikirkan sebentar. Tidak biasanya Michiba yang suka bermain dengan ponselnya tidak membalas.”
Sepertinya
Hanazono mengkhawatirkanku, mengingat insiden saat karaoke dulu dimana aku ditinggalkan. Tapi Michiba yang sekarang pasti berbeda.
Sulit untuk menjelaskan apanya yang berbeda,
tapi aku meyakini kalau itu
baik-baik saja. Kalau begitu, semuanya
terserah pada keputusanku untuk mengambil tindakan.
Aku
mengaktifkan pemikiran cepatku——
Apa yang
sedang dilakukan Michiba sekarang? Apa yang sedang dirasakan dia sekarang? Apa yang sedang terjadi
pada Michiba saat ini?