Chapter 11 — Di Sampingku
Aku pulang ke rumahku.
Arisa
juga belum pulang.
Aku yakin
kalau sekarang dia pasti sedang
menikmati hidupnya bersama teman-temannya
di sekolah.
Hari-hari
di sekolah yang diceritakan Arisa penuh dengan kebahagiaan.
Itu adalah
perasaan yang belum pernah aku rasakan, jadi rasanya mengagumkan sekaligus
menyentuh.
“... Itu semua pasti berkat Miura-san yang ada
di rumah.”
Dia juga
sangat memperhatikan Arisa. Arisa selalu memanggilnya “Nee-san, Nee-san.”
Sekarang,
dia sudah tidak merasa kesepian lagi meskipun aku tidak ada.
“Apa aku
benar-benar buta? Apa saatnya akan datang ketika aku harus meminta maaf kepada
Kaneko-sensei setelah mengalami hal buruk?”
Ada
sesuatu yang tepat untuk dijadikan taruhan.
Tabungan
yang aku kumpulkan setiap bulan.
Jika
menurut kata Kaneko-sensei,
aku akan hancur setelah menghabiskan semuanya demi Miura-san.
Jika aku
benar── ini adalah.
“Uang
yang kuputuskan untuk digunakan demi melindungi keluargaku.”
†
† †
“Detektif?”
Di hari
libur, Satonaka-san tampil berbeda dengan pakaian kasualnya yang biasa di restoran Sandora.
Ia
mengenakan kimono, dan sejak lama bermimpi tinggal di rumah bergaya Jepang,
entah kenapa ia mengubah lantai teratas apartemennya menjadi bergaya Jepang. Ia berpikir itu lebih menarik
daripada hanya membuat rumah biasa.
“Ya.
Jadi, tolong perkenalkan.”
“Hmm.
Dengan mengeluarkan uang sebanyak itu, kamu
berniat mengajukan permintaan macam apa?”
Sambil
duduk bersila di depanku, Satonaka-san menikmati teh hijau yang dingin dan
enak, yang diseduh dengan es.
Ia tidak melihatku, dan di saat-saat
seperti ini, Satonaka-san sangat tegas.
Karena
itulah saat ini merupakan momen yang sangat penting bagiku.
Ia
adalah lawan tangguh yang
jauh lebih menakutkan daripada Kaneko-sensei.
“Aku
berencana untuk memegang kelemahan guruku.”
“... Oh?”
Dengan
alis terangkat, Satonaka-san memberikan jawaban yang tampak acuh tak acuh.
“Lanjutkan.”
“Ia menyuruhku untuk menjauh dari Miura-san.
Ia mengancam akan menggunakan
rekomendasi sekolah negeri sebagai sandera.”
“Yah,
meskipun sebagai manusia ia adalah tipe pria yang
menjijikkan, tapi jenis orang seperti itu memang banyak di luar sana.”
“Mungkin
itu benar.”
Dunia ini
tidak selalu memiliki hal-hal baik. Itu juga
ajaran dari Satonaka-san.
“Aku pikir
ini adalah kualifikasiku.”
Pembicaraan
Miura-san tentang tidak memiliki kualifikasi untuk berdiri di sampingku.
Dia tidak
ingin mengikutsertakanku dalam kesulitan hidupnya.
“Lalu,
bagaimana hal itu bisa
berhubungan dengan detektif?”
Pertanyaan
yang ditujukan padaku sudah jelas.
“Aku
pikir kekuatan yang dimiliki Kensei juga memiliki banyak aspek lainnya.”
Teko
kaca yang bening
menuangkan teh hijau yang indah ke dalam gelas kecil.
Satonaka-san
yang perlahan-lahan
menikmati teh tidak berusaha untuk melihat ke arahku.
“Jika kamu ingin membuat kehidupan Miura lebih mudah, mungkin kamu mungkin bisa memintanya untuk mengubah
penampilannya. Jika khawatir dengan pandangan orang lain, seharusnya Kensei
yang memperbaikinya.”
“Itu
benar,” jawabku.
Tapi.
“Aku menyukai Miura-san yang sekarang.”
“...”
“Aku juga
suka cara Miura-san berpakaian dengan jujur dan bahagia. Aku tidak ingin dia
kehilangan apa pun sebagai pengganti berada di sampingku.”
“...
Jadi?”
“Oleh karena itu... aku berpikir untuk
mengubah lingkungan sekitarnya.”
“Jadi, kamu akan memegang kelemahan wali
kelasmu? Orang
itu masih memiliki prinsip meskipun dia menjijikkan, tau?”
“Selain itu,” lanjut Satonaka-san, “Apa yang kamu lakukan jika ia tidak memiliki kelemahan sama sekali?”
“Itu...”
Saat itu,
aku berpikir untuk mempertimbangkan hal lain.
“Uang
itu. Kamu menyimpannya untuk berjaga-jaga kalau Arisa
sakit atau jika kamu tidak
bisa bekerja, ‘kan? Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang bahwa
itu cara yang tepat untuk menggunakannya?”
“...”
Itu adalah
argumen yang tidak bisa dibantah.
“... Jika
pembicaraan sudah selesai, aku akan bersiap-siap. Aku harus bekerja hari ini.”
Satonaka-san
mulai berdiri.
Memang,
apa yang dikatakannya ada
benarnya. Tapi, justru karena itu, aku
merasa begitu.
“Pembicaraan ini masih belum selesai, Satonaka-san.”
“...”
Satonaka-san
tetap dalam posisi berdiri, tidak bergerak.
Sepertinya
ia masih mau mendengarkan.
“Aku
menyimpan uang itu untuk melindungi keluargaku.”
“Kamu
memang sudah bilang begitu.”
“Aku
ingin menggunakannya untuk melindungi mereka. Itu saja. Sama seperti penyakit
Arisa atau masalahku.”
Seekor
burung terbang di luar jendela.
Satonaka-san
berbisik pelan.
“Kamu masih mirip seperti anak kecil yang
mengamuk.”
“...”
Anak
kecil yang mengamuk. Itu memang benar.
Pada
akhirnya, orang dewasa tidak bisa dikalahkan. Aku tidak merasa bisa mengalahkan
Satonaka-san dalam hal apa pun.
Tapi,
meskipun begitu.
Tidak,
malah.
Lalu, apa
artinya itu?
“Aku
diremehkan.”
Itulah perasaan hatiku yang sebenarnya.
“Aku
dianggap tidak bisa melakukan apa-apa untuk Miura-san. Aku dianggap tidak bisa
melindungi keluargaku yang penting satu pun!”
Barulah
saat itu, Satonaka-san melihatku.
“──Karena
itu, aku tidak bisa merasa tenang sebelum melakukan sesuatu!”
Aku
menghela napas. Aku menjadi emosional.
Namun...
sepertinya itu baik-baik saja.
“Di dunia
ini, ada banyak orang yang menjijikkan.
Ada orang yang memperlakukan Kensei seperti batu di pinggir jalan, dan
kenyataannya, itu adalah hal yang biasa terjadi.”
“Ya.”
“Karena
itu──kamu harus menjadi batu yang sedikit
mengganggu agar bisa disingkirkan.”
Sambil
meneguk teh hijau, Satonaka-san tersenyum tipis.
“Keinginan
orang-orang lemah tidak akan didengar.”
Senyuman Satonaka-san terasa berbeda dan bahkan menakutkan dari biasanya.
Ini pasti
adalah kumpulan pengalaman yang sudah
dikumpulkan Satonaka-san sepanjang
hidupnya.
“Ya.”
“... Kamu sudah menjadi orang jahat. Entah kamu sudah meniru siapa sih.”
“Kalau kamu mengingatnya, pasti rasanya sangat menyakitkan, kan?”
“Mungkin.”
Sambil
berdiri, Satonaka-san memasukkan tangannya ke dalam lengan bajunya.
Kemudian,
dia melemparkan sesuatu ke atas meja.
“Apa ini?”
“Foto.”
“Eh?”
Ketika
aku mengangkat wajahku, Satonaka-san melanjutkan dengan santai.
“Sudah kubilang, itu foto. Aku meminta
detektif yang aku kenal untuk menyiapkannya.”
“... Ha?”
Eh, hah?
Aku hanya
bisa menatap Satonaka-san dengan wajah bingung, sementara dia tertawa lepas.
“Perempuan
bodoh itu sering kali salah mengartikan posisi pria mereka sebagai posisi
mereka sendiri. Jika ada gadis yang
bersikap belagu di
sampingnya, itu sudah terlambat.”
“...
Sejak awal, kamu sudah mengetahuinya? Eh, sejak kapan?”
“Kamu
sendiri yang pernah menceritkan
itu sebelumnya. Kamu
khawatir tentang bagaimana guru wali kelasmu
memperlakukan Miura. Saat itu, aku bilang, ‘Ambil saja fotonya.’ Ah, aku juga
memang terlalu protektif, ya.”
“Satonaka-san...”
“Yah, aku
tidak berniat untuk mengungkapkannya juga, sih. Tapi ingat baik-baik, mengapa kamu harus menantang lawan yang
lebih kuat... itu adalah saat ketika kamu diremehkan.”
“Ya, aku
mengerti.”
Jika aku
terkena pukulan berat, hubungan dengan Miura-san juga akan berakhir.
Hubungan
yang tersembunyi ini ternyata memang salah.
Sejak kami
terus melanjutkan hubungan itu, Miura-san tidak bisa merasa memiliki tempat.
Ah, ampun deh.
“Aku memang bukan tandinganmu, Satonaka-san.”
“Jika
orang tua bukanlah pelindung
bagi anak-anak, lalu apa gunanya?”
“Aku benar-benar diberkati.”
†
† †
Beberapa
hari kemudian.
Aku sudah berada di depan ruang kepala
sekolah. Di dalam, suasananya sangat kacau. Aku bisa
mendengar suara teriakan Kaneko-sensei
dan suara-suara yang terdengar seperti polisi saling bersahutan. Demi melakukan apa yang harus kulakukan, aku masuk ke ruang
kepala sekolah tanpa mengetuk pintu.
“Jangan
konyol, siapa yang membuat kekacauan
ini! Ah, pasti salah satu siswa yang membenciku, sialan, sudah pasti itu Miura
atau semacamnya──”
Kata-kata
Kaneko-sensei yang sedang marah itu datang pada waktu yang tepat.
“Akulah yang melakukannya.”
“Hah!?”
Akhirnya,
tekad dan keberanianku berada di tangan Satonaka-san. Maka, satu-satunya hal
yang bisa kulakukan adalah mencegah──seperti yang baru saja diucapkan
Kaneko-sensei──salah sasaran yang tidak beralasan.
“Jadi
elu si kampretnya,
Maizono...!!”
Kaneko-sensei
menatapku dengan mata merah yang belum pernah kulihat sebelumnya, tapi
dibandingkan dengan Satonaka-san, dia tidak begitu menakutkan.
“Hei,
kamu! Jangan masuk tanpa mengetuk!
Atau lebih tepatnya, apa yang kamu
lakukan tiba-tiba datang ke ruang kepala sekolah──”
“Maafkan
saya.”
Aku
menundukkan kepala kepada polisi yang menahan Kaneko-sensei. Kepala sekolah juga terlihat kebingungan.
“Tapi,
aku hanya ingin menyampaikan satu hal ini.”
“Apa
maksudmu!? Ah!? Apa kamu tidak
bisa tenang sampai melihat wajah orang yang kamu
kalahkan!? Berani sekali kau, bocah sialan!”
Kaneko-sensei
besar dan kuat. Mungkin karena kemarahan, dia berhasil melepaskan diri dari
pegangan polisi dan berdiri.
“Hei,
tunggu!”
Sambil
mengabaikan teriakan polisi, Kaneko-sensei tersenyum sinis dan berkata.
“Ini
adalah pelajaran terakhir, aku akan mengajarkan betapa menakutkannya seseorang
yang tidak takut kehilangan apa-apa.”
“......”
Melihat
tinjunya yang terangkat, aku tidak bergerak. Ini adalah hal yang harus
kuterima. Aku tidak melakukan apa-apa.
Dengan
kekuatan penuh, pipiku
dipukul dengan keuat hingga leherku
terpelintir. Sesuai gerakan tubuhku, aku mengambil sikap jatuh dan terjatuh ke
tanah.
“Apa
yang kamu lakukan!!”
“Demi menambahkan
tuduhan serangan fisik juga.”
Dalam
sekejap, Kaneko-sensei ditahan lagi.
“Apa
kamu baik-baik saja? Seriusan, apa yang sedang kamu lakukan di sini!?”
“Tidak,
urusan saya sudah selesai. Saya permisi dulu.”
Dengan
ini, hukuman Kaneko-sensei akan diperpanjang. Kebencian dan dendamnya akan
tertuju padaku seorang. Mengenai hal yang
lain, aku akan memikirkannya saat orang ini keluar nanti.
†
† †
Seisi sekolah sedang dalam keadaan gempar. Tentu saja suasananya menjadi gempar, karena ada seorang guru yang ditangkap dengan tuduhan tindakan cabul terhadap
anak di bawah umur.
Kelemahan
yang ingin dipegang ternyata jauh lebih besar. Siswa yang terlibat harus pindah
sekolah. Meskipun namanya mungkin tidak akan terungkap, aku cukup memahami
betapa menakutkannya rumor tersebut.
Jika api
penyebabnya adalah kenyataan, hidupnya pasti akan jauh lebih sulit dibandingkan
sebelumnya. Wali kelas kami digantikan oleh wakil kepala sekolah sementara.
Suasana kembali gaduh, rumor demi rumor beredar.
Siapa
yang sebenarnya memiliki hubungan dengan Kaneko-sensei? Apa hanya siswa
perempuan itu? Di antara semua ini, ada satu hal yang tidak bisa aku abaikan. Itu adalah dugaan bahwa
Miura-san juga mungkin
terlibat.
Saat aku
hampir berdiri, suara yang menimpali berasal dari seseorang yang tidak terduga.
“Hey.
Kepribadian seseorang
tidak selalu seperti penampilannya,
‘kan?”
Dengan
santai, dia berada di tengah-tengah teman sekelasnya seperti biasa, lalu
melirik ke arah kursi di dekat jendela dan berkata.
“Miura-san
juga mungkin sebenarnya orang yang lucu, ‘kan?”
“…Eh?”
Suara itu
ditujukan kepada Miura-san yang tampak sedikit bingung. Karakter santai itu terus melanjutkan,
“Dandanan
Jiraikei itu, bukannya itu cuma gaya berpakaiannya saja? Karena mungkin dia tidak
ingin terlibat dengan semua orang.”
“Agena-san,
apa yang kamu
katakan?”
Miura-san
terlihat terkejut. Semua orang di sekitarnya juga memandang dengan rasa ingin
tahu. Meskipun begitu, tidak ada yang tiba-tiba mendekat atau mengelilinginya.
Akhirnya,
Agena melirik ke arahku dan mengedipkan mata, jadi aku hanya menundukkan kepala
sebagai balasannya.
†
† †
Aku
bertemu dengannya lagi di koridor sekolah.
Saat
waktu pulang tiba, suasana tegang mulai terasa.
“…Maizono.”
Tempat
itu sangat ramai. Meski begitu, dia tetap
memanggilku.
“Ah.”
Aku
menoleh dan membalasnya dengan tersenyum.
Dia mendekat dengan hati-hati. Lalu, dia menyentuh pipiku yang dipukul dengan
lembut.
“…Apa
mungkin, Maizono yang melakukan ini?”
“Tidak,
pada akhirnya aku tidak melakukan apa-apa.”
Aku hanya baru saja memastikan keinginanku sendiri.
Namun, jika harus diungkapkan,
“Yang
ingin aku lakukan hanyalah… mengubah dunia Miura-san.”
“Uhh…Dasar bodoh.”
Tidak
banyak yang bisa diungkapkan. Tapi hanya
ada satu hal yang bisa ditunjukkan.
Dengan
lembut, aku mengulurkan tanganku kepadanya
dan berkata.
“Ayo
pulang.”
Setelah aku mengatakan itu, Miura-san sedikit terkejut. Dia mengusap
matanya dan mengangguk dengan senyuman yang secerah bunga mekar.
Aku
merasa lega ketika melihat raut wajahnya.