Bab 12 — Masa Depan Yang Akan Kita Jalani
Pertama
kalinya Mahiru disambut dengan rasa
permusuhan yang jelas adalah ketika usianya baru memasuki
dua digit.
“Kamu
sangat tidak adil, Shiina-san.”
Ada
teman sekelasnya yang tiba-tiba
berkata demikian dalam perjalanan pulang dari
sekolah, ketika mereka mendapati diri mereka berdua saja. Biasanya, Mahiru
berjalan pulang bersama beberapa temannya yang lain, tetapi hari ini, karena
mereka punya rencana lain, dia akhirnya berjalan bersama teman sekelasnya yang
lain, seorang gadis yang jarang berinteraksi dengannya. Mereka kebetulan sedang
menuju ke arah yang sama.
Mahiru
berinteraksi dengan semua orang di sekitarnya, dan karena itu, dia tidak merasa kesulitan untuk
berbicara dengan gadis itu. Mereka sedang terlibat dalam percakapan yang tidak
berbahaya dalam perjalanan pulang ketika dia menyuarakan komentar yang tidak
terduga ini. Wajar jika Mahiru merasa bingung.
“Aku 'tidak adil'? Apanya?”
Karena
tidak merinci apanya yang
tidak adil, Mahiru bingung dengan apa yang dimaksud gadis itu. Saat dia
menunggu penjelasan teman sekelasnya, gadis itu sepertinya salah mengira
ketenangannya sebagai kesombongan dan memelototinya. Permusuhan yang tiba-tiba
dari seorang gadis yang biasanya tenang dan pendiam membuat Mahiru terkejut,
membuatnya tidak yakin bagaimana harus menanggapinya.
Mahiru
selalu berperilaku baik di sekolah. Dia tidak pernah mengucilkan siapa pun dan
selalu berusaha bersikap ramah dan tetap tersenyum saat berbicara dengan orang
lain. Selain itu, dia tidak memperlakukan teman sekelasnya dengan cara yang
berbeda dibandingkan orang lain—dia bahkan mencoba secara halus untuk
menyertakan gadis itu jika diperlukan untuk memastikan dia tidak merasa
tersisih.
Jika gadis tersebut kesal karena hal itu,
Mahiru mungkin bisa memahami perasaannya. Namun, kata yang gadis itu gunakan
adalah ‘tidak adil’, yang sejauh Mahiru tahu, sepertinya tidak menunjukkan
perasaan negatif apa pun tentang cara dia berinteraksi dengan teman-teman
sekelasnya.
Sama
sekali tidak mengerti, ketidaktahuan Mahiru terlihat jelas. Frustrasi dengan
hal ini, alis gadis itu melengkung menunjukkan kejengkelannya, bibirnya
bergetar saat dia mencoba memutarbalikkan kata-katanya.
“Seperti,
Suzuki-kun sedang mengejarmu,” dia menjelaskan, nada suaranya terlalu tajam
untuk membuatnya merajuk. Menyadari hal itu, Mahiru sekarang memahami akar
ketidakpuasannya. Tapi dia masih tidak mengerti kenapa gadis itu menganggapnya ‘tidak
adil’. ‘Suzuki’ yang disebutkan gadis itu pastilah teman sekelas
laki-lakinya. Bocah ini adalah satu-satunya ‘Suzuki’ yang berinteraksi
dengan Mahiru akhir-akhir ini.
Memang
benar, Suzuki sudah beberapa kali berbicara dengan Mahiru dan bahkan
menggodanya beberapa kali, tapi di matanya, itu tidak lebih dari itu. Namun,
gadis itu tampak semakin marah dengan sikap Mahiru yang terlihat acuh tak acuh.
“Dia
selalu mengobrol denganmu, selalu berusaha menghabiskan waktu bersamamu, dan
selalu tertawa saat bersamamu!”
Dia benar
bahwa Suzuki, yang merupakan pembuat suasana hati di antara anak laki-laki, dan
Mahiru, yang menonjol di antara anak perempuan, memiliki kesempatan untuk
berbicara. Tapi itulah satu-satunya alasan. Meskipun Suzuki memang memberinya
cukup banyak perhatian, Mahiru, yang menanggapi semua orang dengan setara, merasa tidak adil diserang
karena sesuatu yang sepele.
“Suzuki-kun
jatuh cinta padaku duluan! Bisakah kamu tidak mengambilnya begitu saja
dariku!?”
“Aku bahkan tidak berusaha melakukannya,”
jawab Mahiru. Dia ingin menambahkan bahwa Suzuki bahkan bukan 'miliknya' sejak
awal, tapi dia merasa gadis itu sedang tidak berminat untuk mendengarkan, jadi
Mahiru menjawab dengan singkat.
“Kalau
begitu, mengapa kamu terus berbicara dengannya?” gadis itu bertanya. “Jika kamu
sebenarnya tidak menyukainya, mending hentikan
saja.”
“Aku
hanya pernah berbicara dengannya sebagai teman sekelas,” jawab Mahiru,
menyatakan hal itu sebagai fakta sederhana.
“Kamu
bohong!”
Tidak ada
kebohongan di balik kata-kata Mahiru. Dia hanya mengatakan kebenaran yang dia
lihat, tapi bagi gadis itu, ceritanya pasti terlihat berbeda. Tidak peduli
bagaimana Mahiru menjelaskan sudut pandangnya, sepertinya gadis itu takkan mempercayainya,
sehingga membuat Mahiru berada dalam situasi yang menyusahkan. Baginya, Suzuki
hanyalah teman sekelas, dan dia sama sekali tidak memiliki ketertarikan
romantis padanya. Faktanya, dia sebenarnya adalah tipe orang yang sulit dia
hadapi.
Mahiru,
meski berperilaku baik dan ramah, sebenarnya adalah orang yang pendiam dan
bergerak sesuai temponya
sendiri, dan dia memilih untuk tidak mengganggu kecepatannya. Mahiru tidak bisa
memaksakan dirinya untuk menyukai seseorang yang, meskipun tidak dekat,
mendekatinya seolah-olah mereka selalu menjadi teman baik, terutama ketika
mereka tidak memahami ketidaktertarikannya dan terus berusaha maju.
Tapi aku
mengerti kenapa dia berpikir seperti itu. Mahiru
merenung bahwa mungkin bukan hal yang tidak masuk akal jika gadis itu salah
paham, mengingat bagaimana si Suzuki
selalu terlalu ramah dan memaksa dengan semua orang, dan bahwa Mahiru selalu
berinteraksi dengannya dengan cara yang tidak konfrontatif.
Tapi aku
masih tidak ingat bertingkah seolah aku tertarik padanya,
pikir Mahiru kemudian. Dia merasa sedikit jengkel dengan situasi ini, dan hal
ini tidak dapat dihindari mengingat keadaannya.
“Masa bodo.
Yang penting, menjauhlah dari Suzuki-kun,
mengerti?” desak gadis itu.
Mahiru
menghela nafas sebagai jawabannya. “Jika itu yang kamu inginkan, Inoue-san.”
Meskipun
dia merasa agak diperintah, Mahiru tidak punya keinginan khusus untuk berbicara
dengan Suzuki selain menjadi teman sekelas, jadi dia menerimanya dengan mudah.
Dia sangat puas menjaga jarak tertentu darinya. Gadis itu mendengus
mendengarnya, tampak puas dengan jawabannya, dan melewati Mahiru, berlari
seolah-olah dia tidak lagi berguna baginya.
Dibiarkan
berdiri di sana, Mahiru memperhatikan gadis itu berlari pergi, tas sekolahnya
bergoyang-goyang. “Wow,” gumamnya. Meskipun Mahiru tidak
mengenalnya dengan baik, gadis itu, yang menurut Mahiru adalah pendiam dan menyendiri,
ternyata menyembunyikan sifat marahnya. Mengevaluasi kembali kesannya terhadap
gadis itu, Mahiru melanjutkan perjalanan pulang seperti biasanya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Ojou-sama,
biasanya orang menjadi defensif ketika mereka merasa seseorang yang mereka
sayangi akan direnggut,” Koyuki menjelaskan dengan lembut. “Hal ini sering
terjadi terutama pada anak-anak”
Karena dirinya tidak pernah jatuh cinta, Mahiru
tidak bisa memahami perasaan gadis itu. Ketika dia
mengatakan pada Koyuki, yang datang untuk melakukan pekerjaan rumah tangga,
tentang apa yang terjadi dalam perjalanan pulang dari sekolah, Koyuki dengan
lembut menjawab dengan senyum pahit. Cara Koyuki menjawab bukan untuk
memarahinya, melainkan dengan cara yang lembut dan persuasif, yang membuat Mahiru
semakin bingung.
Menjadi
agresif ketika sedang jatuh cinta adalah sesuatu yang dia tidak mengerti sama
sekali.
Mengapa
melampiaskannya pada orang lain? Dia terus bertanya-tanya.
“‘Direnggut’?”
Mahiru menirukan. “Tapi aku bahkan tidak menginginkannya.”
“Perkataanmu lumayan pedas,
Ojou-sama.”
Tapi itu
benar. Aku bahkan tidak menginginkannya, pikir
Mahiru dalam hati sambil menatap Koyuki, yang masih memiliki senyum masam di
wajahnya.
“Soalnya,
ketika seseorang jatuh cinta, mereka sering
kali merasa takut kehilangan orang yang
disukainya karena orang lain. Mereka menjadi cemas, takut akan kemungkinan
sesuatu yang mereka idam-idamkan direnggut begitu saja di depan mata mereka.
Jadi, untuk mencegah hal ini, mereka berusaha untuk menangkal lawan potensial yang
bisa menjadi ancaman bagi mereka.”
“Jadi dia
berusaha menjauhkanku?” Mahiru lalu bertanya.
“Tepat
sekali,” Koyuki menegaskan.
Penjelasan
ini membantu Mahiru lebih memahami alasan di balik perilaku gadis itu, tapi
juga membuatnya semakin bingung tentang aspek lainnya.
“Tapi
Suzuki-san bahkan bukan miliknya, ‘kan?
Jadi aku tidak mengerti kenapa dia menyuruhku untuk tidak ‘merenggutnya’
darinya. Sejak kapan dia mendapat hak untuk mengatakan hal seperti itu?” Mahiru
bertanya-tanya, bingung dengan asumsi gadis itu bahwa Suzuki sudah menjadi
miliknya.
Di atas
kepalanya, Mahiru tidak pernah menyadari adanya hubungan khusus antara dirinya
dan gadis itu...tapi bahkan ketika dia mencari ingatannya, dia masih tidak
dapat mengingat kapan gadis itu melakukan tindakan apa pun terhadap Suzuki. Dia
telah melihatnya mendekati si Suzuki
dengan takut-takut, tapi hanya itu yang dia sadari.
“Tidak
semua orang mampu memisahkan emosi dari fakta sepertimu, Ojou-sama. Mungkin kamu akan memahami perasaan ini suatu
hari nanti, jadi berhati-hatilah untuk tidak mengatakannya terlalu kasar. Dan
ingat, mengatakan bahwa kamu 'bahkan tidak menginginkan' seseorang
dapat menimbulkan perselisihan,
jadi sebaiknya simpanlah pemikiran tersebut untuk dirimu sendiri.”
“Mengapa
hal itu bisa terjadi?”
“Hal ini
dapat membuat mereka berpikir, 'Apa, jadi kamu tidak peduli dengan sesuatu
yang aku inginkan?'
Mereka mungkin merasa seolah-olah kamu meremehkan mereka dan keinginan mereka,
atau menyiratkan bahwa apa yang mereka inginkan sebenarnya tidak layak untuk
dicari.”
“Tapi itu
reaksi yang aneh, bukan?” ucap Mahiru.
“Memberitahu seseorang untuk tidak mengambil sesuatu, dan kemudian menjadi
marah ketika mereka mengatakan bahwa mereka bahkan tidak menginginkannya.”
“Bagaimanapun
juga, perasaan orang-orang itu rumit,” jawab Koyuki,
pengalaman hidupnya yang luas membuat Mahiru yakin akan sudut pandangnya.
Kalau
Koyuki-san bilang begitu, itu pasti benar, pikir
Mahiru. Namun demikian, dia masih tidak bisa membayangkan dirinya terlibat
dengan seseorang yang sangat terpengaruh oleh emosinya.
“Takut
kehilangan seseorang dan benar-benar memproyeksikan perasaan itu kepada orang
lain adalah dua hal yang berbeda. Kamu sendiri
juga memahaminya, bukan, Ojou-sama?”
"Ya,
memang.”
“Bagus
sekali,” Koyuki menyetujui, “…Aku percaya bahwa suatu hari, ketika kamu
menemukan seseorang yang spesial, kamu akan memahami perasaan itu—kecemasan
melihat orang yang kamu cintai memandangi gadis lain.”
“Seseorang
yang spesial bagiku…”
Meskipun Koyuki mengatakan itu, Mahiru tidak bisa memahami konsepnya.
Dari
semua hubungan yang Mahiru bangun, hubungan
yang menjadi favoritnya adalah ikatannya dengan Koyuki. Namun,
kesukaannya pada Koyuki, tentu saja, tidak berakar pada cinta romantis, dan
Mahiru juga tidak percaya bahwa dia akan mengembangkan perasaan terhadap
laki-laki yang lebih kuat daripada kesukaannya pada Koyuki. Dia pernah
menemukan sebuah buku yang menyatakan bahwa anak perempuan menjadi dewasa lebih
cepat secara mental, sebuah gagasan yang tampaknya benar baginya. Di matanya,
anak laki-laki di kelasnya terlihat agak kekanak-kanakan. Dia tidak pernah
meremehkan mereka, tetapi kecenderungan mereka untuk bertindak berdasarkan
dorongan hati atau emosi sering kali membuatnya merasa lelah.
Mahiru
juga sangat menyadari bahwa dia sudah dewasa untuk anak seusianya, membuatnya
semakin merasa tersisihkan
dari teman-temannya. Mungkin ini hanya masalah tidak menemukan titik temu dalam
percakapan mereka. Apa pun masalahnya, kesadaran diri ini membuatnya sulit
membayangkan jatuh cinta pada seseorang. Namun, dia menyimpan harapan bahwa
perasaan seperti itu mungkin terjadi seiring bertambahnya usia, dan berniat
untuk mengindahkan nasihat Koyuki, tetap berpikiran terbuka tentang masa depan.
“Jika aku
jatuh cinta, aku ingin berhati-hati agar tidak melampiaskannya
kepada
orang lain.”
“Itu keputusan bijaksana. Jika orang yang Ojou-sama sukai menyadari bahwa kamu kesal terhadap orang lain di
sekitarnya, berhubungan dengan mereka bisa menjadi tugas yang sulit.”
“Sulit…"
“Memang.
Sekarang, Ojou-sama, bayangkan ada seseorang yang mengaku kalau ia menyukaimu. Orang
ini kemudian mulai bersikap bermusuhan terhadap orang yang berinteraksi denganmu, bertindak semata-mata karena
keegoisan mereka sendiri. Bagaimana perasaan Ojou-sama
mengenai hal itu?”
“Itu akan
membuatku ingin menjaga
jarak.”
Jauh
lebih baik jika kita tidak bergaul dengan orang-orang seperti itu,
Mahiru menyadari. Bahkan baginya, hal tersebut
sudah sangat jelas.
“Tepat sekali. Kalau tidak, itu bisa jadi menakutkan,” Koyuki
menegaskan.
“Ya.”
Mahiru
tidak bisa membayangkan bahwa seseorang yang gagal menghargai apa yang dia
anggap penting bisa menghargainya dengan baik. Karena dia merasa orang seperti
itu akan memaksakan gagasan egoisnya tentang “kepedulian” dan akhirnya justru menyebabkan kesedihan, Mahiru tidak punya keinginan
untuk dekat dengan orang seperti itu. Sembari
merenungkan hal ini, apa Suzuki benar-benar menyukai Mahiru
atau tidak, kini tidak penting lagi. Fakta bahwa gadis itu telah bertindak
agresif terhadap seseorang yang Ia sayangi menandakan bahwa gadis itu
berpotensi membahayakan di mata Mahiru.
Mahiru
memahami bahwa perilaku agresif gadis itu dipicu oleh perasaan cemburu, yang
juga dianggapnya tidak adil. Meskipun Mahiru tidak marah dengan hal ini, mau
tak mau dia bertanya-tanya mengapa gadis itu tidak bisa menyalurkan perasaan
cemburu itu ke sesuatu yang lebih membantu
seperti mengembangkan dirinya sendiri.
“Itu
adalah sebuah misteri bagiku,” Mahiru memulai. “Mengapa dia hanya mengatakan
bahwa itu tidak adil, alih-alih berusaha agar diperhatikan oleh orang yang dia
sukai? Apa dia berpikir bahwa, dengan menyebut situasi ini tidak adil, pria yang dia sukai akan balik menyukainya?”
Jika
gadis itu menganggap Mahiru tidak adil, mungkin gadis itu bisa berusaha menjadi
seperti dirinya. Bukannya itu pilihan yang lebih
tepat untuk berusaha menarik perhatian pria itu? Meskipun Mahiru tidak mau
menegaskan bahwa dia tidak berusaha sama sekali, dari apa yang dia lihat, gadis
itu hampir tidak berusaha untuk menarik perhatiannya. Dia tidak secara aktif
memulai percakapan dan juga tidak berusaha memahami hal-hal yang disukainya.
Berharap
untuk dicintai kembali tanpa melakukan upaya seperti itu tampaknya hal yang sulit dipahami bahkan
bagi Mahiru, yang memang memiliki pemahaman terbatas tentang perasaan romantis.
“Hmm…
Ojou-sama, kamu tidak boleh menceritakan hal itu kepada orang lain, oke?”
“Aku
tahu. Aku hanya mengatakannya karena aku sedang berbicara denganmu, Koyuki-san.”
Meskipun usianya masih muda, Mahiru telah
mengetahui batasan interaksi sosial, memahami apa yang dapat menyebabkan
pengucilan. Dia selalu berusaha untuk tidak membuat orang lain merasa jengkel, menjalani kehidupannya sebagai gadis yang
berperilaku baik seperti biasanya. Mahiru tahu kalau pertanyaan sebelumnya
bukanlah pertanyaan yang harus dia tanyakan pada gadis yang dimaksud. Namun,
dia masih tidak dapat memahami pertanyaan ‘mengapa’ itu sendiri. Karena itu, dia memilih untuk
curhat hanya pada Koyuki, yang bukan hanya orang dewasa tapi juga seseorang
yang sangat dia percayai.
Bagi
Mahiru, bekerja keras adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Meski prosesnya
mungkin dipenuhi banyak rintangan, namun
tindakan memberikan usaha itu sendiri tidak menjadi beban baginya. Dia percaya
bahwa selama kondisinya tidak terlalu sulit, ketekunan bisa membuat dirinya mencapai tujuannya. Tapi justru
itulah sebabnya Mahiru menganggap semuanya
begitu membingungkan.
Tentu
saja, tidak ada yang pasti dalam hubungan antar manusia, tapi orang lain tidak
akan pernah berpaling darimu
kecuali kita sendiri sudah
melakukan upaya. Jadi, mengapa ada orang yang memilih untuk mengabaikan hal
itu? Apa mereka berpikir bahwa mengharapkan sesuatu saja sudah cukup untuk
mendapatkannya? Mahiru bertanya pada dirinya sendiri. Dan
kemudian, ada hal lain—sebuah pemikiran kecil namun penting. Bagi Mahiru, yang
telah mendambakannya namun belum pernah menerima kasih sayang/cinta tertentu
meskipun dia sudah berusaha sungguh-sungguh, ada satu lagi bagian penting yang
tidak dapat dia pahami. Dia telah diberikan cinta yang kuinginkan tapi tidak pernah
kudapatkan, jadi mengapa dia menginginkan lebih dari itu? Dan semuanya tanpa
memberikan upaya apa pun untuk mencapainya? Pikiran
seperti itu berputar-putar di benaknya.
Entah
Koyuki bisa merasakan emosi kompleks batin Mahiru atau tidak, dia diam-diam
tersenyum dan dengan lembut membungkuk agar bisa sejajar
dengan mata Mahiru.
“Ojou-sama,
secara alami dirimu sudah
memberikan segala upaya terbaikmu,
jadi mungkin akan sedikit sulit bagimu
untuk memahaminya.” Mahiru bisa mendeteksi sedikit rasa kasihan, bercampur
dengan nada getir dalam
suaranya. “Cuma ada sedikit
orang dari yang Ojou-sama bayangkan
yang dapat terus melakukan upaya
terbaik mereka, menahan rasa sakit demi sebuah
keinginan yang mungkin takkan pernah terpenuhi. Kemampuan untuk bertahan
seperti itu dapat dianggap sebagai bakat tersendiri.”
“Sebuah
bakat…”
“Pada umumnya, kebanyakan orang cenderung
berharap mendapat keberuntungan tanpa melakukan usaha apa pun… Mereka cenderung
menunggu solusi yang paling mudah.”
“Apa
nasib baik seperti itu benar-benar ada?” Mahiru bertanya dengan rasa ingin
tahu.
“Hmm,
coba kita lihat… Memang benar bahwa kadang-kadang, seseorang mungkin
mendapatkan keberuntungan semata-mata secara kebetulan. Namun, inti masalahnya
terletak pada bagaimana seseorang menggunakan keberuntungan tersebut,” jelas
Koyuki. “Orang-orang secara keliru percaya bahwa keberuntungan yang tiba-tiba
akan terus memberkati mereka berkali-kali. 'Oh, itu pernah terjadi sekali
sebelumnya, jadi pasti akan terjadi lagi,' atau begitulah asumsi
mereka...dan begitu mereka mengalami nasib baik itu sekali saja, mereka
kemudian mencoba mengulangi kesuksesan yang hanya terjadi satu kali itu untuk
kedua kalinya, dan pada gilirannya, sering kali mengabaikan upaya sebenarnya yang diperlukan untuk mencapainya.
Akibatnya, mereka berakhir dengan tangan kosong, membuang-buang waktu dan
mungkin satu-satunya kesempatan mereka untuk mendapatkan apa yang benar-benar
mereka inginkan.”
Nasihat
Koyuki mengingatkan Mahiru pada lagu anak-anak yang pernah dia dengar
sebelumnya, yang mana itu juga
terdengar seolah-olah itu berasal dari pengalaman kehidupan nyata. Dia
mendengarkan dengan tenang kata-katanya yang lembut, tapi tetap membawa ketegasan sebuah pelajaran tentang kehidupan.
Melihat hal ini, Koyuki memberinya senyuman
hangat. “Pembicaraan kita sedikit
menyimpang, tapi kamu adalah
seseorang yang bisa bertahan tanpa kenal lelah, Ojou-sama. Itu adalah sifat
yang luar biasa untuk dimiliki, dan sesuatu yang harus dibanggakan.” Koyuki meraih tangan
Mahiru. “Namun, Ojou-sama
tetap tidak boleh mengharapkan upaya yang sama dari orang lain, oke?”
Dirinya mungkin sudah tumbuh besar,
tapi tangan Mahiru masih lebih kecil dibandingkan tangan Koyuki, dan tangan itu
tertutup seluruhnya, memberikan Mahiru perasaan yang tidak bisa dia tolak.
Faktanya, dia menganggap sikap itu menyenangkan. Sebenarnya, Mahiru belum
pernah merasakan ada orang yang begitu peduli padanya, dan
Koyuki, yang memahami emosi aslinya, adalah satu-satunya orang yang sentuhannya
menurut Mahiru benar-benar menenangkan.
“Ojou-sama,
jika saatnya tiba ketika kamu
menemukan seseorang yang kamu sukai, Ojou-sama harus mengingat dengan baik
untuk memberikan upaya terbaikmu
untuk menarik perhatian mereka,” saran Koyuki dengan
lembut. “…Tidak ada keraguan dalam pikiranku bahwa orang yang
memenuhi standarmu akan sungguh luar biasa. Namun perlu diingat, orang-orang
mengagumkan seperti itu sering kali menjadi incaran banyak orang. Jika Ojou-sama gagal memanfaatkan kesempatan
untuk menjadikannya milikmu, hal itu
mungkin akan lolos begitu saja dari tanganmu.
Ojou-sama pastinya tidak ingin hal itu
terjadi bukan?”
“Iya, aku tidak mau…” Mahiru menggelengkan kepalanya
setuju, namun dia tidak bisa sepenuhnya membayangkannya. Gagasan memiliki
seseorang yang dia cintai di sisinya adalah sesuatu yang sulit dia bayangkan.
Sebenarnya, Mahiru tidak terbiasa dengan konsep seseorang yang dekat dengannya,
karena itu merupakan
pengalaman yang belum pernah dia alami. “Tapi itu hanya jika aku menemukan
seseorang yang kusuka, ‘kan? Aku tidak pernah berpikir kalau itu akan terjadi.”
“Ojou-sama,
bagaimana Ojou-sama
menggambarkan pasangan idealmu?”
Koyuki bertanya.
“…Seseorang
yang bisa menjadi keluarga bersamaku,” ungkap Mahiru. Begitu kata-kata itu
keluar dari mulutnya, wajah Koyuki menjadi muram, membuat Mahiru langsung
menyesal mengatakannya. Meskipun hal yang sama berlaku untuknya, Koyuki juga
sangat sensitif terhadap kata ‘keluarga’. Dia mengkhawatirkan situasi
orang tua Mahiru pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada orang lain.
Bagaimanapun
juga, Mahiru hampir putus asa. Tidak peduli seberapa besar dia berharap atau
menangis sampai air matanya mengering, atau berpegang teguh pada harapan itu,
orang tuanya tidak akan pernah memberinya kasih sayang.
Jadi, jika dia bisa menemukan dirinya mampu mencintai orang lain, dia
merindukan seseorang yang akan berdiri di sisinya dan menghabiskan hidupnya
bersamanya sebagai sebuah keluarga.
“Jika Ojou-sama berhasil
menemukan dan membina hubungan dengan orang yang tepat, aku yakin seiring berjalannya waktu,
Ojou0-sama dapat menciptakan sebuah
keluarga bersama. Namun sebelum mencapai tahap itu, apa ada hal spesifik yang ingin Ojou-sama cari dari pasangan saat berpacaran?”
“…Seseorang
yang mau mendengarkanku, tetap bersamaku,
dan membuatku merasa nyaman saat kita bersama adalah hal yang baik. Seseorang
yang memikirkan segala sesuatunya bersamaku ketika aku sedang kesulitan, dan
akan tetap berada di sisiku dan menungguku ketika masa-masa sulit. Pria macam itulah yang aku
inginkan,” jawab Mahiru sambil berpikir.
Meskipun
Mahiru merasa sulit membayangkan dirinya jatuh cinta, dia tahu bahwa jika momen
itu menjadi kenyataan, maka momen itu akan terjadi pada seseorang dengan
kualitas seperti itu. Seseorang yang dengan tulus mendengarkan kata-katanya, terus berada di sisinya, hanya
memandangnya, dan menyayanginya secara keseluruhan. Orang seperti itulah yang
dia impikan.
…Tapi apa
orang seperti itu akan benar-benar mencintaiku kembali?
Mahiru
percaya bahwa pada intinya, dia tidak memiliki pesona. Dia bisa memahami
mengapa seseorang mungkin menyukainya karena tindakan yang dia pertahankan,
tapi gagal membayangkan ada orang yang mencintainya apa adanya, tanpa mengenakan kedok ‘gadis baik’nya.
Terlebih
lagi, Mahiru belum merasakan bagaimana rasanya mengembangkan perasaan romantis
terhadap orang lain, jadi wajar saja jika
dia tidak bisa benar-benar memahami konsep tersebut.
Alangkah
baiknya jika orang seperti itu ada di suatu tempat. Dia
berpegang pada harapan tipis ini saat menatap Koyuki, menyadari cengkeraman
halus di tangannya.
“Ojou-sama,
jika saatnya tiba, kamu sendiri
pasti akan bertemu dengan orang yang luar biasa.”
“…Oke.”
“Meski
begitu, kamu tetap tidak boleh jatuh cinta pada pria busuk mana pun, oke?
Hindari orang-orang yang melihatmu
hanya sebagai objek, tidak
memperlakukanmu setara,
atau mencoba mendefinisikan siapa kamu
seharusnya. Carilah seseorang yang tulus dan baik hati, seseorang yang selalu
menghargai usahamu dan menerimamu apa adanya,” desak Koyuki. Suaranya semakin
serak, dia kemudian menambahkan, “…Ojou-sama, aku tidak bisa berada di sisimu
selamanya. Itu sebabnya, yang bisa kulakukan hanyalah berharap suatu hari nanti
kamu akan menemukan seseorang yang membuatmu bahagia.”
Mahiru
akhirnya mengerti kenapa Koyuki begitu ngotot dalam memberikan nasihatnya. Dia
tidak akan selalu ada untuknya.
Koyuki
bukanlah ibu Mahiru. Dia adalah seorang asisten
rumah tangga yang disewa—orang asing. Hubungan mereka rapuh, bergantung pada
keinginan orang tua Mahiru. Jika mereka memilih untuk memecat Koyuki, hubungan
mereka akan langsung hancur.
Meskipun
dia mengisi peran yang mirip dengan seorang ibu, Koyuki tidak pernah bertindak
sebagai ibu. Dia selalu memanggil Mahiru sebagai 'Ojou-sama', menjaga
sikap profesionalnya agar tidak memberikan Mahiru harapan yang salah. Koyuki
sadar bahwa dia tidak akan pernah bisa benar-benar menggantikan posisi ibu
Mahiru.
Menyadari
kebenaran ini, dikomunikasikan kepadanya dengan cara yang begitu jauh namun
begitu lugas, Mahiru menggigit bibirnya. Menyadari kesusahannya, Koyuki sekali
lagi menyelimuti tangan Mahiru dengan tangannya, memberikan kehangatan yang
menenangkan. Rasa panas lembut ini meresap dari tangan mereka yang tergenggam
hingga ke mata Mahiru, wajahnya hampir menangis.
“Kamu tidak boleh mengabaikan upaya
yang diperlukan untuk dipilih oleh orang yang akan memberimu kebahagiaan, oke, Ojou-sama? Kamu mungkin didekati oleh banyak
sekali orang. Beberapa orang mungkin mencoba memanfaatkanmu,
sementara yang lain mungkin mencoba meremehkanmu.
Namun, jangan
pernah lupa bahwa nilai yang telah ditanamkan
dalam Ojou-sama sendiri tidak
akan pernah berubah… Bukan hanya penampilan atau bakat saja. Seseorang yang
akan mencintaimu apa adanya suatu hari nanti akan muncul di hadapanmu.”
Meskipun
bukan ibunya, Koyuki adalah seseorang yang mengkhawatirkannya lebih dari siapa
pun, mengkhawatirkan masa depannya, dan dengan lembut membimbingnya menuju
jalan yang lebih cerah. Saat Koyuki mengucapkan kata-kata penuh perhatian itu,
Mahiru merasakan sesak di dadanya. Meski begitu, Mahiru mengangguk pelan
sebagai jawaban, sambil menundukkan kepalanya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Yah,
bisa dibilang, itulah caraku untuk tidak jatuh cinta pada pria busuk mana pun.”
Mahiru, yang matanya mengamati halaman-halaman yang tampak agak menguning dan
memudar, menutup buku harian yang sedang dibacanya, membiarkan kesannya tumpah.
Pada
akhirnya, semua yang diajarkan Koyuki-san
kepadaku ternyata benar, dan kualitas idealku sebagai seorang pasangan juga
tidak salah, pikir Mahiru. Dengan sebuah tepukan, suara
udara yang didorong keluar dan halaman-halaman yang bertepuk tangan bergema,
tapi Mahiru tidak terpengaruh saat dia menutup buku hariannya. Dia berdiri dan
meletakkannya di atas meja di depannya sebelum duduk kembali.
Tanpa
ragu-ragu, dia bersandar di kursinya dan menengadah seolah melihat ke belakang. Tatapannya bertemu dengan
pandangan Amane, yang selama ini menjadi sofa daruratnya. Karena sudah terbiasa
duduk di antara kedua kakinya, Mahiru, meski masih merasa sedikit malu, memilih
posisi ini daripada duduk di sebelahnya, diam-diam senang karena posisi itu
membuat mereka bisa semakin dekat. Namun, alis Amane sedikit berkerut.
Karena
mereka duduk berdekatan beberapa saat yang lalu, Mahiru tidak percaya Amane
punya masalah dengan posisi mereka saat ini, tapi ia tetap bertanya-tanya
apakah ada sesuatu yang salah. Saat dia
menatap mata Amane, Amane bergumam, “Kenapa aku merasa seperti sedang
diolok-olok di sini?” ekspresi sedih menutupi wajahnya.
Sekarang
menyadari bahwa Ia telah salah memahami gumaman Mahiru sebelumnya, Mahiru
buru-buru menggelengkan kepalanya dan menarik lengan Amane, yang tampak
ragu-ragu untuk memeluknya lagi, lebih dekat ke tubuhnya sendiri. “Tidak, itu
hanya kesalahpahaman. Saat aku membaca buku harianku, tiba-tiba aku teringat
apa yang diajarkan Koyuki-san
padaku tentang jangan pernah jatuh cinta dengan pria busuk.”
Sampai
beberapa saat yang lalu, Mahiru membaca ulang buku hariannya sambil duduk di
antara kedua kaki Amane. Amane, yang bisa dengan mudah membaca isinya dari
sudut pandangnya, memilih untuk tidak mengintip demi menghormati privasinya.
Namun, Mahiru masih membagikan cuplikan dari buku hariannya, mengenang berbagai
kejadian sambil berkata, “Oh, hal seperti ini pernah terjadi, bukan?”
Saat
mereka mengenang, tertawa bahagia bersama atas kenangan yang terekam, Mahiru
dan Amane merenungkan kejadian masa lalu. Namun, Mahiru berpikir kalau Amane
mungkin kesulitan bagaimana harus bereaksi terhadap cerita masa kecilnya, jadi
dia membaca bagian-bagian buku hariannya dengan tenang untuk dirinya sendiri.
Tampaknya hal ini menyebabkan Mahiru secara tidak sengaja bergumam pada dirinya
sendiri, yang mana Amane secara keliru menganggapnya sebagai pukulan halus
kepadanya.
“Oh,
hanya itu saja?” kata Amane. “Sepertinya kamu tiba-tiba ingin mengatakan sesuatu,
jadi…”
“Aku minta maaf atas kesalahpahaman
ini. Aku akhirnya mengatakannya dengan lantang saat aku mengenangnya…” jawab
Mahiru.
“Oh.
Tidak apa-apa, jangan khawatir.
Akulah yang sembarangan mengambil kesimpulan
dan mendapat ide yang salah.”
“…Untuk lebih
jelasnya, kamu jelas-jelas
bukan pria busuk, Amane-kun.”
“Tetapi aku adalah tipe orang yang manja dan
busuk,” candanya.
“Ya
ampun.” Mahiru dengan ringan memarahinya sebagai tanggapan atas leluconnya yang
menggoda. “Sejujurnya, akhir-akhir
ini kamu terus membicarakan dirimu sendiri dengan lelucon yang mencela diri
sendiri, Amane-kun.”
“Masa?” Amane menjawab dengan bingung.
"Memang.
Bagaimana bisa ada orang yang melihatmu dan mengklaim kalau kamu punya sifat
buruk, Amane-kun? Kamu itu orang
cerdas, pria yang cakap, tulus, tulus,
dan lembut. Kamu tidak hanya menemukan orang seperti itu setiap hari, tahu?”
“Apa kamu
yakin tidak menyaring pandanganmu dengan warna
bunga mawar? Apa kamu baik-baik saja?”
“Ya
aku baik-baik saja. Aku tidak memakai hal seperti itu.”
“Kalau
begitu, kamu pasti melihatku melalui semacam filter.”
“Seperti
yang sudah kubilang, tidak ada hal seperti
itu. Ya ampun.”
Amane
sepertinya tidak bisa menerima pujian yang jujur dan terus terang, yang membuat
Mahiru sedikit bingung. Dia memahami perasaannya, jadi dia memutuskan untuk
tidak memberikan pujian yang berlebihan. Amane sendiri mungkin percaya kalau
perjalanannya masih panjang, tapi di mata Mahiru, sosok Amane yang sekarang sudah
lebih dari cukup, bahkan sempurna dalam kemampuannya. Paling tidak, ia sekarang
sangat terampil dalam berbagai tugas rumah tangga, cukup untuk membuat malu
anak laki-laki lain seusianya.
Meskipun
Mahiru sangat menghormatinya, tampaknya Amane sendiri masih belum sepenuhnya
yakin akan nilai dirinya. Meskipun keinginannya untuk berkembang patut dipuji,
Mahiru berharap dia juga bisa lebih memahami kekuatan dan kualitasnya sendiri.
“Amane-kun, kamu sudah menjadi pria yang baik dan mandiri. Faktanya, kamu harus mengambil perubahan dengan
santai dan membiarkan dirimu
lebih dimanjakan, meskipun hanya untuk sehari. Itu akan memberiku kesempatan
sempurna untuk lebih memanjakanmu.”
“Tolong
jangan memanjakan orang yang mati-matian meminta untuk tidak dimanjakan. Aku
malah ingin memanjakanmu, Mahiru.”
“Tetapi
jika kamu melakukan itu, aku takkan berada dalam kondisi apa pun untuk
menghadapi orang lain lagi…”
“Menurutku
kita sudah melewati titik itu, kalau kamu bertanya padaku,” balas Amane sambil
tersenyum, sambil melingkarkan tangannya di perut Mahiru, yang membuat Mahiru
terdiam.
Mahiru
saat ini sedang duduk di antara kedua kaki Amane, menggunakan tubuhnya sebagai
sandaran, bersantai dengan nyaman. Itu adalah postur yang santai dan
memanjakan, yang tidak terpikirkan untuk dilakukan di tempat umum karena
keadaannya yang dimanjakan akan terlihat jelas. Bagi siapa pun yang melihatnya,
sepertinya Mahiru sedang dimanjakan oleh Amane.
Amane,
pada bagiannya, terlihat
benar-benar senang dengan perilaku Mahiru yang penuh kasih sayang, rela
membiarkan Mahiru melakukan apa yang diinginkannya dan bahkan mendorongnya
untuk lebih memanjakan. Dia tampak menyambut baik situasi mereka saat ini,
menikmati waktu bersama sepenuhnya.
“…
Maksudku, jika kamu lebih memanjakanku,” Mahiru menambahkan dengan lemah
lembut.
“Aku justru menyambutnya dengan tangan
terbuka,” Amane mengakui. “Aku masih ingin menghormati dan memperlakukan satu
sama lain secara setara, tapi di saat yang sama, aku juga hanya ingin terus
memanjakan dan menyayangimu,” bisik Amane dengan sangat lembut, sambil
mendekatkan bibirnya dan mencium bagian belakang kepala Mahiru.
Untuk
sesaat, Mahiru bertanya-tanya, Siapa sih
yang sudah mengubah
Amane-kun menjadi seorang perayu terampil
yang tanpa disadarinya?
Tapi dia segera menepis pemikiran itu, menyadari bahwa mungkin dia, bersama dengan
orang tuanya sendiri, adalah penyebab utama. Dia memutuskan untuk tidak
memikirkannya lebih jauh.
Bahkan
Mahiru sendiri, yang telah bersama Amane selama beberapa bulan, menyadari bahwa
tindakannya telah membentuk sifat menyayanginya, jadi dia tidak bisa
menyalahkan Amane sedikit pun. Terlebih lagi, dimanjakan dan dihujani cinta
oleh Amane bukanlah hal yang tidak menyenangkan baginya. Jadi, meski mengerang
malu, dia membiarkan Amane melakukan apa yang Ia inginkan.
Meski
Amane menghujaninya dengan kasih sayang, sifat hati-hati dan pemalunya tetap
tidak berubah. Perwujudan cintanya sangat lembut, sering kali hanya sebatas
mencium rambut Mahiru dan memeluknya dengan lembut. Amane memegang prinsip
untuk tidak pernah ingin melakukan apa pun yang mungkin membuat Mahiru tidak
nyaman. Terlepas dari kata-katanya yang berani, dalam praktiknya, dirinya sering bertindak agak pendiam.
Namun,
hari ini, Ia tampak berniat untuk melimpahi Mahiru dengan penuh kasih sayang.
Ia memeluk Mahiru yang pendiam dan menolak melepaskannya.
“…Aku
harus memberitahu Koyuki-san dalam waktu dekat,” renung Mahiru. Wajar jika dia
ingin berbagi dengan orang yang paling mengkhawatirkannya tentang bagaimana dia
menemukan seseorang yang dia cintai, bagaimana dia sekarang menjalin hubungan,
dan betapa dia merasa dihargai dalam ikatan yang baru ditemukan ini.
“Tentang hubungan pacaran kita?” tanya Amane.
“Ya,”
Mahiru menegaskan, “…bahwa aku telah menemukan pasangan idealku.”
“… 'Pasangan ideal'-mu? Aku?”
“Meskipun
pasangan idealku, tentu saja, adalah seseorang yang benar-benar mencintaiku…
Aku selalu menginginkan seseorang yang juga bisa menghormati dan merawatku
seperti gadis biasa—seseorang yang bersedia menerimaku apa adanya.”
Intinya, tipe ideal Mahiru adalah seseorang yang menghormati
dan mencintainya apa adanya, dan Amane dengan sempurna mewujudkan harapannya tersebut. Mahiru bisa dengan yakin mengatakan
bahwa tidak akan pernah ada orang lain yang menyayangi dan memahami dirinya, seseorang yang sangat
mencintainya dan menghormati pilihannya seperti Amane. Baginya, keberadaannya adalah mercusuar
pengertian dan terang dalam hidupnya.
“Yah, aku
merasa terhormat telah memenuhi standarmu,” jawab Amane.
“Justru
sebaliknya,” kata Mahiru. “Akulah yang terkejut karena bisa memenuhi standarmu,
Amane-kun. Sejujurnya, aku pasti
terlihat seperti segelintir orang sebelumnya.”
“Kamu
tidak boleh merendahkan dirimu sendiri seperti itu, Mahiru.”
“Tapi...”
Mahiru
mengenali kekuatan dan bakatnya sendiri. Namun, dia masih yakin ada kekurangan
signifikan dalam kepribadiannya. Di balik penampilan luarnya yang seperti gadis malaikat, dia memiliki pikiran
yang tajam dan kritis, namun pada hakikatnya dia juga merasa kesepian dan
gelisah. Dia merindukan kehadiran seseorang sekaligus menolak gagasan membiarkan
siapa pun terlalu dekat. Itulah sifat sebenarnya dari Shiina Mahiru—sebuah
mosaik kontradiksi.
Amane
berhasil menembus pertahanan Mahiru, menjangkau anak yang ketakutan di dalam batinnya. Dia tidak merobohkan temboknya
atau menyelinap melalui celah; sebaliknya, Ia langsung mengetuk pintu depan dan
berbicara padanya dengan sungguh-sungguh dan terus terang, dengan sabar
menunggu Mahiru mengulurkan tangannya padanya. Sifatnya yang tulus dan jujur
adalah sesuatu yang berharga, meskipun Amane sendiri mungkin tidak sepenuhnya
menyadari bahwa sifat yang dimilikinya itu
sangat berharga.
Ia
benar-benar tidak memahaminya,
kan?
Beberapa
orang mungkin menyebut Amane sebagai orang yang ragu-ragu atau kurang tegas,
tergantung pada sudut pandang mereka. Namun, bagi Mahiru, sifat-sifat inilah
yang membuat Amane luar biasa. Meski begitu, dia masih tidak bisa menyangkal
bahwa ada kalanya kehati-hatian pria yang
dicintainya terbukti sedikit merepotkan.
“Kurasa
aku tidak akan pernah bertemu orang yang lebih hebat darimu, Mahiru,” kata
Amane.
“Oh, apa
kamu menerimaku?” Mahiru menggoda dengan ringan.
“Kamu tahu, bukan itu masalahnya,” Amane menjawab dengan sungguh-sungguh.
“…Lagipula aku tidak sedang melihat orang lain selain kamu.”
Bahkan
tanpa diberi tahu, Mahiru sadar betul kalau Amane hanya memperhatikannya, jadi
dia tidak bisa menahan tawa. “…Ya, aku
tahu kok.”
Namun, Amane menganggap tawanya sebagai lelucon.
“Kenapa
kamu malah tertawa?” ia bertanya, membuat ekspresi
sedikit cemberut.
“Oh, aku
baru saja memikirkan betapa beruntungnya aku sebenarnya.” Pastinya, tidak ada
seorang pun di dunia ini yang tidak merasa bahagia setelah merasakan cinta dari
kekasihnya.
“…Mahiru,
apa kamu…merasa bahagia
sekarang?”
“Ya, aku sangat bahagia. Memangnya
kamu tidak bisa mengetahuinya
hanya dengan melihat wajahku?”
Mahiru
tidak pernah menganggap dirinya sebagai malaikat. Jauh dari itu. Di matanya,
dia hanyalah gadis yang mudah dimengerti—hanya gadis
yang bernama Mahiru. Kegembiraannya, kemarahannya, dan
kesedihannya semuanya peka terhadap kata-kata dan tindakannya, sama seperti
gadis lainnya. Saat Mahiru menatap Amane dari dalam pelukannya, Ia melihat
ekspresi santai di wajah Mahiru dan tersenyum lembut.
Ekspresi
lega melembutkan wajahnya. “…Benarkah? Syukurlah, kalau begitu,”
bisiknya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan dan kepuasan yang tulus.
Mendengar hal ini, pipi
Mahiru memerah karena malu, dan dia secara naluriah menarik lengan Amane lebih
dekat ke tubuhnya, memeluknya lebih erat lagi. Sebagai tanggapan, Amane menyesuaikan
pelukannya, menjadikannya lebih lembut dan kencang secara bersamaan,
membungkusnya dalam pelukan yang nyaman dan menentramkan.
“Aku tidak akan pernah berhenti
berusaha untuk membuatmu lebih
bahagia dan bahagia. Jika kamu menyadari ada kekurangan atau kegagalan yang aku
lakukan dengan benar, beri tahu aku.”
“Yah,
menurutku caramu hanya memikirkanku dan bukan dirimu sendiri adalah sesuatu
yang harus benar-benar mulai kamu perbaiki.”
Kelemahan
Amane terletak pada kecenderungannya untuk mengabaikan dirinya sendiri demi
Mahiru. Meskipun niatnya itu memang mulia,
Mahiru tidak merasa bahagia jika diprioritaskan dibandingkan kesejahteraannya,
dan Amane, karena keinginannya untuk menyenangkannya, terkadang mengabaikan
fakta itu. Mahiru paham bahwa penting untuk menunjukkan dan menegur perilaku
ini dengan lembut. Jika dibiarkan, hal ini bisa menimbulkan masalah yang
merugikan keduanya dalam jangka panjang.
“A-Aku
tidak bermaksud seperti itu… Bagiku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Jika
aku hanya melihat senyumanmu, maka itu sudah
membuatku bahagia juga.”
“Kamu
sungguh bodoh, Amane-kun.”
“…Mengapa
kamu malah mengatakan itu?”
“Maksudku,
kamu pasti sadar kalau aku juga merasakan hal yang sama, kan?” Mahiru
menjelaskan, yakin kalau Amane yang tanggap akan mengerti. Bagaimanapun, mereka
persis sama dalam hal itu.
Amane
dengan cepat memahami maksud Mahiru dan, tampak kecewa, menurunkan alisnya dan
meminta maaf dengan kalimat sederhana, “… Maaf, itu salahku.”
Kejujurannya adalah aspek lain yang Mahiru
hargai, dan dia tersenyum hangat padanya, merasakan kasih sayang yang mendalam
pada sifat-sifat tulus ini.
“Selama
kamu mengerti. Bukankah aku sudah memberitahumu ini sebelumnya, Amane-kun?
Karena aku mencintaimu, melihatmu terlihat begitu bahagia membuatku merasakan
kegembiraan yang sama… Jadi tolong, jangan hanya memprioritaskan aku. Kamu juga
harus memprioritaskan dirimu sendiri, oke?”
Sama
seperti kebahagiaan Amane yang dikaitkan dengan kebahagiaan Mahiru,
kegembiraannya juga terhubung dengan kebahagiaan Amane. Melihat orang yang
dicintainya menghabiskan hari-harinya tanpa penderitaan dan dengan senyuman
selalu memberinya kebahagiaan terbesar, mengisi hatinya dengan kepuasan yang
luar biasa. Karena mereka berdua mempunyai perasaan yang sama, Mahiru menganggap
dirinya benar-benar beruntung. Dia yakin Amane merasakan hal yang sama.
“Dan
tolong, izinkan aku membuatmu bahagia juga, Amane-kun. Kita seharusnya bahagia Bersama-sama, kan?”
Tidak
cukup bagi Mahiru hanya merasa bahagia atau mencapai kebahagiaan sendirian. Hal
terpenting adalah menemukan kebahagiaan bersama Amane.
Mereka
takkan pernah benar-benar bahagia jika salah satu jenis kebahagiaan tersebut
tidak ada. Itu hanya akan memicu awal dari kesengsaraan.
“…Ya,”
jawab Amane, kata-katanya sedikit tercekat. Mahiru memperhatikan wajahnya yang
perlahan berubah menjadi senyuman lembut dan sedikit kabur. Dari posisinya yang
terletak di antara kedua kakinya, dia menggeser tubuhnya menghadap dia dan
mengambil posisi tradisional, berlutut tegak. Dan begitu saja, seolah ingin
menyegel kata-katanya dengan kata-katanya sendiri, Mahiru dengan lembut
menempelkan bibirnya ke bibir Amane. Saat Mahiru melepaskan bibirnya dan
menatap mata Amane dengan dekat namun penuh kasih sayang, Amane sempat menunjukkan ekspresi terkejut
sebelum raut wajahnya berubah menjadi malu-malu,
bibirnya mengerucut erat.
“…Apa itu
membuatmu bahagia?” Mahiru
bertanya, senyum jahat terlihat di wajahnya.
Tatapan mata
Amane melembut seolah mengatakan bahwa Ia telah dikalahkan dengan senang hati,
tatapannya tetap hangat dan dekat. “…Mungkin aku bisa melakukannya dengan
sedikit lagi.”
Setelah
itu, Amane juga memasang senyum nakal, melingkarkan lengannya di tubuh Mahiru
dan menariknya mendekat, membenamkan wajahnya di lehernya. “Ihh dasar.”
Saat gerakan penuh kasih sayang ini menggelitik tubuh dan hatinya, Mahiru
terkikik pelan dan berbicara dengan suara yang lebih penuh kasih sayang
daripada memarahi, menerima ciuman Amane.
Aku harus
menulis tentang betapa bahagianya aku sekarang,
pikir Mahiru, sambil mempertimbangkan bagaimana menyimpulkan catatan hariannya
untuk hari itu.