Bab SS 1
"Hah?
Apa aku merasa kesepian saat Amane-kun berangkat kerja?” ucap Mahiru.
Ketika
Ayaka memanggilnya untuk makan siang bersama, Mahiru segera mendapati dirinya
ditanyai pertanyaan seperti itu, mendorongnya untuk mengulanginya kembali dengan
nada ingin tahu. Amane punya rencana untuk makan bersama Itsuki dan Yuuta hari
ini, sehingga mereka makan secara terpisah. Ayaka mengajak Mahiru untuk makan siang di kantin, di mana mereka berdua
menyiapkan kotak makan siang mereka dan mulai makan. Namun, tangan Mahiru
berhenti ketika Ayaka tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu, sumpitnya tidak bisa
bergerak.
“Yah, kamu tahu sendiri, sejak
ia mulai bekerja karena aku merekomendasikannya, aku akan merasa tidak enak
jika kamu akhirnya merasa cemas atau kesepian tanpa dirinya,” jelas Ayaka.
“Hm…”
Mahiru mulai berpikir. “Tentu saja, bohong
rasanya kalau mengatakan aku tidak kesepian…tapi aku tidak bermaksud
menahannya hanya karena itu. Lagipula, itu adalah pilihan Amane-kun, jadi tidak pantas saja bagiku
untuk menahannya.”
Sejak
Amane memulai pekerjaan paruh waktunya, Mahiru mendapati dirinya menghabiskan
lebih banyak waktu sendirian di rumah. Ada bagian dari dirinya yang sungguh-sungguh menunggu
kepulangannya setiap hari, sering kali berharap ia kembali lebih awal. Namun,
meski merasa kesepian, Mahiru
tidak pernah berpikir ingin melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Dia tidak
ingin menjadi penghalang yang menghambat Amane mencapai tujuannya. Jika dia
bertindak seperti itu, Mahiru akan langsung kecewa pada dirinya sendiri karena
membiarkan hal itu terjadi.
“Jika itu
adalah sesuatu yang sudah diputuskan
Amane-kun, wajar saja kalau aku mendukungnya, ‘kan?
Lagipula, ia bekerja keras untuk mencapai
tujuan jelas yang ada dalam pikirannya.”
“Bahkan
jika ia tidak memberitahumu alasannya?”
“Jika ia
memilih untuk tidak memberitahuku, maka ia pasti punya alasannya sendiri. Aku tidak mengharapkan ia menceritakan semuanya
kepadaku, aku
juga tidak mencoba mencampuri urusannya.”
“…Memangnya kamu tidak pernag merasa khawatir?” Ayaka bertanya
lebih lanjut.
“Khawatir…yah,
um, aku akan kesal jika ia menerima rayuan gadis lain, tapi aku tidak bisa
membayangkan Amane-kun bisa berselingkuh dariku.”
Mahiru
yakin bahwa Amane bukanlah tipe orang yang menempuh jalan berbahaya, jadi ia tidak
khawatir dalam hal itu, terutama mengenai perselingkuhan. Dia tahu tidak ada
orang yang bertunangan dengannya setulus Amane. Kasih sayangnya yang dalam dan
sifatnya untuk menghargai orang-orang yang kepadanya dia membuka hati adalah
sesuatu yang Mahiru pahami
dengan sangat baik.
Hasilnya,
ketika Mahiru dengan tegas menjawab, “Jadi, tidak, aku tidak khawatir,” Ayaka
menjawab dengan senyum gembira yang aneh, hampir seperti tertawa puas. Mahiru
bertanya-tanya apakah dia hanya membayangkan tawa lembut yang sepertinya
bergema sebagai tanggapannya.
“Sepertinya,
kamu sangat mempercayai Fujimiya-kun, ya?”
Ayaka mengamati.
“Hehe,
tapi tentu saja. Aku tahu kepribadian Amane-kun dengan sangat baik.”
“Kamu benar-benar jatuh cinta
padanya. Itu sangat jelas.”
“…A-Apa
itu memang kelihatan sangat jelas?”
“Lebih
tepatnya, siapa pun yang tidak bisa melihat hal itu dari percakapan kita pasti
buta. Bahkan tidak ada ruang bagi orang lain untuk ikut campur. Begitulah
betapa mesranya kalian satu sama lain.”
“Me-Mesra…”
Ayaka sekilas
mengalihkan pandangannya dan melontarkan senyuman penuh pengertian, lalu dengan
cepat kembali menatap Mahiru dengan ekspresi cerah dan ceria.
“Maksudku,
sepertinya kalian hanya saling memperhatikan satu sama lain. Kamu bahkan tidak
memperhatikan orang lain di sekitarmu.”
“Tapi itu
wajar saja. Kami sedang menjalin hubungan, jadi mana
mungkin aku akan melirik pria lain. Dan bahkan jika ada yang
mencoba mendekatiku, aku tidak akan menanggapinya…” Mahiru terdiam menjelang
akhir. “Um, kenapa kamu malah menyeringai begitu?”
“Oh,
bukan apa-apa—aku hanya sekali lagi terkejut melihat betapa besarnya cintamu
pada Fujimiya-kun,” jawab Ayaka. “Tapi aku penasaran
apa ia tahu seberapa dalam perasaanmu…”
Bagian
terakhir dari pernyataan Ayaka diucapkan dengan volume yang hampir tidak
terdengar oleh Mahiru, dan nada suaranya, hampir seolah-olah dia mencpba mencampuri urusan yang
bukan urusannya, menurut Mahiru terasa tidak
nyaman. Merasakan tatapan menenangkan dari orang-orang di sekitar mereka,
Mahiru menatap Ayaka dan menghela nafas.
“…Aku
bisa mengatur segalanya sendiri…” kata Mahiru, mengacu pada kesendiriannya.
“Tapi
sekarang Fujimiya-kun punya pekerjaan, orang lain mungkin melihatnya sebagai
kesempatan karena ia tidak lagi bersamamu seperti sebelumnya. Jadi aku hanya
berpikir aku akan mencoba untuk secara halus menjauhkan mereka, sebagai orang
yang memberi mereka harapan palsu itu.”
Bersyukur
atas perhatian Ayaka, Mahiru menunjukkan penghargaannya, tapi dalam hati dirinya bingung mengapa hal itu bisa
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mendekatinya.