Bab 11 — Dirinya Yang Sangat Perhatian
Ini benar-benar yang
terburuk.
Mahiru
menggumamkan pemikiran ini dalam benaknya, berhati-hati untuk tidak
mengatakannya dengan keras. Dia merasa tidak enak badan sejak dia bangun, dan
saat dia tiba di sekolah, dia menyadari bahwa kondisinya
ini cukup parah. Kepalanya terasa berat, seolah-olah
terbebani oleh batu bata, dan pikirannya lebih lesu dari biasanya. Bergerak ke
sana kemari hanya memperparah kepalanya yang berat,
seolah-olah ditabrak benda tumpul, dan kadang-kadang, perut bagian bawahnya
terasa nyeri seolah-olah ada puluhan
jarum terus menerus ditusukkan ke dalamnya. Terlebih lagi, tubuhnya terasa
sangat hangat, dan rasa lelah terus-menerus menyelimutinya.
Mahiru
telah menerima fenomena ini sebagai bagian yang tak terhindarkan dari terlahir
sebagai seorang wanita, namun gangguan pada keseimbangan hormonnya sangat
menyebalkan. Meskipun dia merasa sedikit tidak stabil secara emosional, dia
mampu menekannya, menenangkan emosinya yang bergejolak dengan alasan dan
sesekali mengeluarkan helaan napas yang
lembut.
Entah itu
kabar baik atau buruk, kondisi Mahiru relatif ringan
dibandingkan dengan cerita horor yang dia dengar dari wanita lain. Asalkan dia meminum obat, dia bisa beraktivitas tanpa masalah besar. Namun jika
kondisinya semakin parah, dia mungkin harus
mengunjungi rumah sakit. Meski begitu, hal ini tidak
sepenuhnya tidak tertahankan untuk kehidupan sehari-hari dan tetap berada dalam
wilayah ketidaknyamanan yang besar. Meski dia menyesali jenis kelaminnya di saat-saat
seperti ini, Mahiru menyadari bahwa itu
bukanlah sesuatu yang bisa dia pilih.
Sepulang
sekolah, setelah minum obat dan berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya, dia
langsung pulang ke rumah tanpa jalan memutar. Dia telah menghabiskan waktunya
dengan tenang dan damai di rumah Amane, mencari hiburan mental...tapi setelah
beberapa saat, ketika Amane kembali ke rumah dengan tas belanja di tangan, Ia
menatapnya dengan saksama.
“Kamu
pulang lebih awal hari ini,” katanya.
“Ya.
Aku minta maaf karena menyerahkan
belanjaan hari ini kepadamu, Amane-kun.”
“Jangan
khawatir tentang itu,” Amane menenangkan. “Sepertinya kamu pulang lebih awal,
dilihat dari keadaannya, jadi aku jadi sedikit
penasaran.”
Amane
benar—hari ini, dia bergegas pulang ke rumah. Meskipun merasa tidak sehat
secara fisik, dia ingin menghabiskan waktunya dengan tenang, jauh dari
orang-orang. Dia telah meminum satu dosis obat lagi sebelum Amane kembali untuk
meringankan rasa sakitnya, tapi obat itu tidak sepenuhnya efektif atau bekerja
dengan cepat. Rasa sakit yang tumpul dan kelelahan yang berkepanjangan melanda
tubuhnya, terus menyiksa Mahiru dari dalam.
“Kupikir rasanya akan menyenangkan untuk bersantai
di rumah hari ini,” jawab Mahiru. Sambil tersenyum sambil meletakkan tangannya di
perutnya untuk menutupi sakit perutnya, dia
menyadari Amane sedang menatapnya dengan penuh perhatian sekali lagi.
Tatapannya sepertinya mencari, mencari sesuatu tentang dirinya.
“Apa
ada masalah?”
“Tidak, bukan apa-apa,” jawabnya, tampak
tenggelam dalam pikirannya, lalu menyibukkan diri dengan menyimpan bahan
makanan di dalam kulkas.
Merasa lega
dengan reaksi Amane, Mahiru dengan hampa
mengamati Amane saat Ia dengan
terampil menyimpan bahan-bahannya, dan merilekskan
postur tubuhnya saat duduk di sofa. Setelah Amane
selesai dan memanggil Mahiru
dari balik meja, dia menegakkan posisinya.
“Aku akan merebus air. Mau minum sesuatu?”
“Hah?
Oh ya, tolong.” Mahiru mengangguk tanpa banyak memikirkan usulan mendadak
Amane. Amane, yang sepertinya tidak menyadari keadaannya yang sedang terganggu,
menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya.
“Apa kamu
keberatan jika aku mencoba membuatkannya untukmu sendiri?” ia kemudian
bertanya.
“Oh, apa
kamu menawarkan untuk membuatkanku
salah satu minuman buatanmu, Amane-kun?”
“Iya. Aku akan menyiapkannya untukmu
sekarang, oke?”
Bersyukur
atas tawaran Amane untuk menyiapkan minuman hangat, Mahiru menyerahkan
segalanya padanya tanpa khawatir. Dalam pandangannya, meskipun Amane hanya menyajikan air panas
untuknya, itu saja sudah
cukup. Mahiru cukup mendinginkannya dan
menikmatinya perlahan. Karena tidak berminat untuk memaksakan diri, dia
memutuskan untuk mempercayakan tugas itu sepenuhnya kepada Amane dan bersandar
di sofa, tanpa sadar mendengarkan peluit ketel yang mendidih. Sebelum dia
menyadarinya, Amane telah kembali ke ruang tamu.
Ia
memegang satu cangkir di tangannya.
Hah?
Begitu pikiran itu terlintas di benak Mahiru,
Amane meletakkan cangkir di tangannya dan berkata, “Ini dia.” Cangkirnya,
didesain dengan struktur dua lapis untuk mencegah kehilangan panas, tidak panas
saat disentuh. Di dalamnya, berisi cairan berwarna kuning muda. Beberapa bahan
berserat sepertinya juga tercampur di dalamnya, tapi karena dia tidak terlalu
memperhatikan apa yang sedang dibuat Amane, dia tidak bisa mengidentifikasi
isinya.
Saat Mahiru memiringkan cangkirnya sedikit,
cairan, yang tampaknya berada di sisi yang kental, mengalir sedikit. Mungkin
itu telah diaduk sebelumnya, karena serat-serat di dalamnya berputar-putar dan menari-nari
seperti pakaian yang berjatuhan di mesin cuci, membentuk spiral dalam pusaran.
“…Ini apaan?”
“Minuman madu bercampur jahe. Bagus untuk tubuh dan akan
membantumu tetap hangat,” kata Amane sambil dengan lembut meletakkan selimut
yang disampirkan di kursi di atas bahu Mahiru. Dirinya
kemudian meletakkan tas misterius di pangkuan
Mahiru, membuatnya benar-benar bingung. Kehangatan
lembut dari cangkir di tangannya terasa menenangkan, dan sekarang tambahan
panas dan beban di pangkuannya membuatnya menatap Amane dengan bingung, yang
tetap mempertahankan ekspresi tenang.
“Letakkan
ini di perutmu,” usulnya.
Menyadari
tas misterius itu sebenarnya adalah botol air panas, Mahiru hampir mengeluarkan
suara. Berat dan suara yang dihasilkan ketika dia sedikit memiringkannya
memastikan bahwa itu berisi air panas. Ketika Amane
berkata, “Aku
akan merebus air,” ia pasti mengacu pada botol air
panas, bukan membuat minuman untuk dirinya sendiri, karena Mahiru melihat tidak ada minuman yang
disiapkan untuknya di dapur. Sepertinya Amane
merebus air hanya untuk minuman dan botol air panasnya.
Setelah duduk
agak jauh darinya, Amane tidak memasang
ekspresi serius di wajahnya, melainkan ekspresi datar dengan sedikit
kekhawatiran.
“Cobalah
untuk membuat dirimu nyaman. Apa kamu
lebih suka berbaring setelah selesai minum?”
“A-Aku baik-baik saja. Kondisiku tidak separah itu.”
“Kalau
begitu, kurasa kamu akan baik-baik saja seperti ini untuk saat ini. Beri tahu aku jika itu terlalu sulit untuk ditanggung.”
Menyadari
bahwa keadaan dirinya sudah benar-benar
ketahuan, Mahiru memperhatikan Amane dengan santai mengungkapkan bahwa Ia
menyadari kalau Mahiru merasa tidak enak badan, sambil memainkan remote AC
untuk menyesuaikan suhu.
“Um, ba-bagaimana kamu bisa mengetahuinya, Amane-kun?” dia bertanya.
“…Kamu
kelihatannya tidak enak badan, dan tanganmu berada di perutmu. Jika hal ini
terjadi secara teratur, kamu mulai
memperhatikan polanya, jika itu masuk akal.”
Amane
tampak agak menyesal saat Ia menjelaskan dirinya dengan canggung. Mahiru-lah
yang merasa kasihan karena membuatnya khawatir setelah Ia menyadari ada sesuatu
yang salah, tapi Amane tampaknya merasa terganggu oleh hal lain.
“M-Maaf kalau aku sudah membuatmu jijik,” Amane
mulai meminta maaf.
“Apa yang
membuatmu mengatakan itu?” Mahiru balik bertanya.
“Yah, eh,
kamu tahu, mungkin itu akan
membuatmu merasa tidak
nyaman jika seorang pria mengetahui atau mencoba menunjukkan pertimbangan untuk
hal semacam itu.”
Mahiru memahami maksud dibalik perkataan Amane.
Memang ada beberapa orang tidak
menyukai pertimbangan yang tidak diinginkan atau hanya memilih masalah mereka
tidak diperhatikan. Meskipun Mahiru
cukup terkejut saat mengetahui bahwa Amane menyadarinya, dirinya tidak merasa jijik, dan malah
bisa melihat bagaimana Amane menemukan jawabannya. Mereka berdua telah menghabiskan banyak
waktu—terutama setelah dia jatuh cinta padanya—sehingga
Mahiru sering tinggal di rumahnya sepulang sekolah. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan
kalau Mahiru hampir selalu ada di rumah Amane,
kecuali saat mandi atau tidur.
Mengingat
banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama, tidak aneh kalau Amane menyadari
ketidaknyamanan yang biasa dia alami. Meskipun Mahiru bisa bersimpati dengan
kekhawatiran Amane tentang kemungkinan sikapnya yang mengganggu, lebih dari
itu, dia merasa tenang ketika mengetahui bahwa
Amane begitu memperhatikannya.
“…Aku takkan suka jika ada orang asing yang
mengetahuinya, tapi kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama, Amane-kun.
Aku tidak keberatan jika itu kamu. Selain itu, ini salahku karena tidak sengaja
menunjukkannya di wajahku.”
“Oh, jadi
kamu berusaha untuk tidak memperlihatkannya.”
“Rasa
sakit ini adalah masalah bulanan—sungguh, ini sesuatu
yang tidak bisa dihindari. Itu hanya akan menimbulkan
kekhawatiran jika aku memperlihatkannya di wajahku.”
Mahiru
telah menerima bahwa keadaan
yang dideritanya tidak dapat dihindari dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya. Dia sudah terbiasa dengan rasa sakitnya, jadi dia berusaha untuk
tidak membiarkannya terlihat dalam ekspresi atau gerak tubuhnya ketika ada
orang lain di sekitarnya. Namun, sepertinya semua usahanya sia-sia karena Amane
berhasil mengetahui keadaan asli
dirinya.
Meskipun Mahiru tidak ingin membuatnya khawatir,
perasaannya jadi campur
aduk—juga senang karena dia peduli dan peduli padanya. Melihat Amane di
sebelahnya, yang sedang menatapnya dengan ekspresi serius, Mahiru merasakan kontradiksi emosi ini.
“Merawat
seseorang yang sakit adalah hal yang wajar untuk dilakukan,” jawab Amane.
“Ibuku sendiri yang mengalami hal yang sangat buruk, jadi aku sudah mendengar
banyak hal tentang hal itu… Jelas sekali bahwa aku akan melakukan apa pun yang
aku bisa untuk membantumu.”
Sifat
Amane yang penuh perhatian dan didikan luar biasa yang diberikan orangtuanya
terlihat jelas di saat-saat seperti ini. Selama setengah tahun terakhir ini,
hal tersebut menjadi semakin jelas bagi
Mahiru. Meskipun kadang-kadang ia berbicara
blak-blakan, Amane adalah orang yang jujur, mudah beradaptasi, dan sangat peka
terhadap orang-orang di sekitarnya. Ia
mempunyai kemampuan untuk menawarkan bantuan dengan cara yang tidak membuat orang lain tidak nyaman. Rasa
hormatnya terhadap orang lain datang secara alami seperti bernapas, dan Ia
selalu memperhatikan dan menghargai Mahiru dengan cara yang sama.
Kurangnya
rasa percaya diri dan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan diri sendiri
merupakan kelemahannya, namun semua hal itu
tampak sepadan dengan
kelebihannya. Kelemahan ini telah membaik akhir-akhir ini, dan Mahiru merasa
terdorong untuk mendukungnya ketika ia mengalami kekurangan. Baginya, Amane
adalah orang yang luar biasa.
“Itu sangat menggambarkan dirimu,
Amane-kun.”
“Itu
adalah hal yang normal untuk dilakukan… Jika aku sakit, bukannya kamu juga akan memastikan aku
beristirahat di tempat tidur?”
"Ya,
mungkin…”
“Tuh, ‘kan?” ujar Amane
sembari membusungkan dadanya dengan
penuh percaya diri, membuat Mahiru tertawa. Namun, rasa sakit yang tiba-tiba di
perutnya menyebabkan dia tegang sebentar. Amane menangkap perubahan kecil tersebut, dan matanya langsung
mencerminkan campuran antara kekhawatiran dan kesedihan.
“Um,
kalau kamu keadaanmu benar-benar separah itu,
mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat dengan tenang. Tapi, itu tergantung
bagaimana perasaanmu… Ada
orang yang menganggap orang lain mengganggu saat mereka sakit, dan ada pula
yang merasa rentan. Itu sebabnya mungkin yang terbaik bagimu adalah memutuskan
apa kamu ingin tinggal di sini atau kembali ke rumah,” Amane menjelaskan,
kata-katanya keluar dengan nada bergumam dan bingung.
Mahiru
menutup mulutnya dengan tangan, terkekeh ketika
mendengar jawabannya. Dia mendapati dirinya bingung dengan Amane, yang selalu begitu bijaksana,
dan dengan lembut menawarkan saran demi kepentingan terbaiknya.
“…Saat
ini, aku ingin tetap bersama denganmu,”
katanya, merasa bahwa sekarang, dia bisa dengan tulus mengandalkan
kehadirannya.
Awalnya, Mahiru seharusnya segera pergi agar
tidak merepotkan. Jika ini terjadi ketika mereka baru saja mulai berinteraksi,
dia pasti akan menemukan alasan apapun
untuk pulang. Namun, sekarang, Mahiru merasa cukup nyaman untuk bergantung pada
Amane. Sekali lagi, Mahiru dengan tajam merasakan bagaimana Amane telah
menyentuh bagian lembut dalam dirinya, membawa kehangatan yang menenangkan,
anehnya, membuat jantungnya berdebar.
“…Meski rasanya tidak terlalu parah, tapi aku hanya merasa
tidak nyaman saja saat aku bergerak sedikit.”
“Baiklah.
Kalau begitu, aku akan mengurus makan malam hari ini.”
“…Kamu mau memasak makan malam,
Amane-kun?”
“Serahkan
saja padaku. Berkat memiliki guru yang luar biasa, aku mampu membuat beberapa hidangan
sendiri.”
“Hehe,
jangan lupa kalau guru ini punya murid yang luar biasa juga.”
“Itu
semua berkat caramu mengajar, Mahiru. Kamu
benar-benar pandai dalam hal itu,” puji
Amane.
Meski
sebenarnya hal itu sebagian besar disebabkan oleh pembelajarannya yang cepat.
Pada awalnya, ia kesulitan memasak, sering kali membakar sayuran tumis atau
memasak telur dadar terlalu lama. Namun begitu Mahiru
menunjukkan kepadanya caranya dan menjelaskan teori di balik setiap langkah, Amane dengan cepat menyerap
pelajarannya. Amane, yang pandai belajar, menyamakan memasak dengan kimia, dan
pemahamannya tentang prosedur memasak meningkat pesat.
Meskipun
keterampilannya masih agak kasar, dirinya
sekarang dapat menyiapkan hidangan sendiri dan mengasah keterampilannya dengan
membantu setiap hari. Oleh karena itu, Mahiru tidak terlalu khawatir jika dia
memasak.
“Ada
sesuatu yang ingin kamu makan?”
“…Aku
tidak memiliki nafsu makan yang kuat, jadi sesuatu yang hangat dan ringan di
perut akan menjadi pilihan yang bagus.”
“Oke.
Aku akan mencoba membuat sesuatu
dengan bahan yang ada di dalam kulkas.”
“Kamu
telah menempuh perjalanan yang jauh,” kata Mahiru.
“Bahkan
aku bisa mempelajari satu atau dua hal, lho.”
“Hehe.” Percakapan ringan saja
sepertinya sudah meringankan kelelahan tubuhnya. Upaya Amane yang sengaja untuk
terdengar sedikit lebih ceria tampaknya merupakan upaya untuk mengalihkan
perhatiannya dari rasa sakitnya. Tampaknya, hal itu berhasil, karena terlibat
dalam percakapan membuatnya merasa lebih nyaman.
“…Apa
kamu sudah minum obat?”
“Ya,
sudah.”
“Baiklah.
Apa ada hal lain yang kamu ingin aku lakukan?”
Karena Ia
memintanya dengan sangat ramah, Mahiru merasa kalau
dia bisa terus dimanja selamanya, yang membuatnya sedikit ragu.
Tapi kemudian Amane berbisik padanya seperti iblis yang menggoda, “Kamu boleh bersandar padaku sebanyak yang
kamu mau,” membuat Mahiru mengerang kecil dan kemudian melirik ke arahnya.
“Aku
memang ingin tidur siang, ya. Tapi, aku…um, tidak ingin pulang.”
Menggunakan
tempat tidur Amane bukanlah
ide terbaik, jadi Mahiru
ingin tidur siang sebentar di sofa. Amane berkedip, tampak terkejut. Dia mengira Amane akan keberatan
dengan gagasan kalau Mahiru tidur di rumahnya—sebagai seorang pria dan seorang
wanita—tapi, sejujurnya, dia sudah tertidur di tempat Amane beberapa kali
sebelumnya. Selain itu, Mahiru
percaya bahwa Amane takkan
melakukan sesuatu yang tidak pantas kepada seseorang yang sedang tidak sehat.
Mahiru
menatapnya dengan pandangan ragu-ragu.
Bagaimana
jika ia menolaknya?
Sebaliknya,
Amane menunjukkan senyuman gelisah namun geli, lebih karena malu daripada tidak
setuju. Telapak tangannya yang besar kemudian dengan lembut digerakkan untuk
bertumpu pada kepalanya.
“Tentu
saja. Luangkan waktumu dan istirahatlah—aku akan selalu
di sini.”
“…Oke.” Menutup matanya perlahan, Mahiru
bersandar pada lengan Amane yang ada di sampingnya. Dia bisa merasakan tubuh Amane yang tersentak tiba-tiba, tapi dia
tidak berniat menjauh.
Ia
bilang kalau ia akan
tetap di sisiku.
Dengan
pemikiran itu, Mahiru mengira kedekatan sebanyak ini diperbolehkan. Kehangatan
yang menyebar dengan lembut dari tempat mereka bersentuhan sungguh menenangkan.
Ketika memalingkan wajahnya sedikit ke
arah Amane, dia disambut oleh aroma familiar dan menyegarkan yang mengingatkan
pada mint, bercampur dengan aroma lembut sabun dari pelembut kainnya. Aroma
lembut dan menenangkan ini membuat pipinya rileks, dan Mahiru melepaskan
kesadarannya saat dia menikmati kehangatan yang membahagiakan.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Ketika terbangun
dari mimpi indahnya, Mahiru
perlahan mengangkat kelopak matanya yang berat, hanya untuk mendapati
pandangannya dipenuhi warna abu-abu. Pikirannya, lebih lambat dari biasanya,
secara bertahap menelusuri kembali apa yang telah dia lakukan sebelumnya, dan terlambat menyadari bahwa dia
telah tidur siang. Masih dalam kondisi lesu, dia mengangkat kepalanya.
Apa ini?
Kilatan
obsidian muncul di pandangannya, dan bisikan lembut segera menyusul. “Pagi.”
Karena
terkejut, Mahiru terdiam sejenak karena
tidak mampu memahami situasinya. Lalu, pemilik suara itu, Amane, melanjutkan
dengan nada tenang seolah membangunkannya, “Apa tidurmu nyenyak?”
“…Selamat…pagi,”
Mahiru akhirnya berhasil menjawab, nada suaranya secara tidak sengaja meninggi
saat dia mengingat detail penting bahwa dirinya
tertidur sambil bersandar pada Amane.
Memang, rasanya masuk akal kalau dia merasa
hangat dan nyaman luar biasa, tidur sambil merasakan panas tubuh Amane.
Meskipun fisiknya sedikit kaku, secara mengejutkan dia merasa segar dan puas
secara mental.
“Uhhh,
izinkan aku mengatakan ini dulu. Kamu sendiri yang
melakukan ini saat kamu sedang tidur, dan… rasanya bukan hal
yang benar untuk dilakukan, jadi aku tidak melepaskanmu.”
“'Ini'…?” Mahiru bertanya, memiringkan
kepalanya dengan bingung saat dia memeriksa apa yang dimaksud Amane, dan
kemudian membenamkan wajahnya lagi ke pelukan Amane.
Ketika dia
mengikuti garis pandang Amane, Mahiru
melihat kalau dirinya dengan kuat menggenggam tangan Amane,
menjalin jari-jari mereka seolah menolak untuk melepaskannya, menyelipkan
tangannya di antara jari-jari kasar Amane. Dihadapkan pada kenyataan bahwa dia
tidak hanya bersandar padanya tetapi juga memegang tangannya, Mahiru hampir
mengerang, nyaris tidak bisa menahannya.
Amane
pasti tidak bisa bergerak bebas. Selain bersandar, dia juga telah dengan
sempurna merampas kebebasannya untuk menggerakkan salah satu tangannya. Amane
pasti sangat terganggu dengan hal ini.
“Ak-Aku
minta maaf. Aku pasti mengganggu.”
“Tidak, bukan itu masalahnya… Tetap saja, kamu
pasti merasa sedikit tidak nyaman mencoba tidur seperti itu. Sudah terlambat
untuk mengatakannya sekarang, tapi tidur sambil duduk pasti terasa tidak nyaman.”
“T-Tidak,
aku malah tidur nyenyak!” Mahiru berseru,
mencoba menjabat tangannya untuk menyangkal, hanya untuk menyadari bahwa
tangannya masih saling terkait. Dia dengan cepat mengendurkan cengkeramannya,
dan Amane, yang terhibur dengan reaksi paniknya,
dengan lembut melepaskan jari-jari mereka dengan gerakan hati-hati, sambil
terkekeh pelan.
Sambil
menahan suara yang dipenuhi rasa kehilangan, Mahiru tahu dia tidak bisa
bersandar padanya selamanya. Dia mengubah posisi dirinya untuk duduk dengan
benar di sofa dan menatap Amane, yang juga telah menyesuaikan diri dengan cara
yang sama. Amane sepertinya menyadari bahwa kondisinya telah membaik setelah
tidur siang, dan menatap mata Mahiru dengan lega.
“Apa efek obatnya sudah mulai mempan?”
“Ya,
sudah. Tubuhku terasa jauh lebih baik sekarang. Aku
minta maaf atas masalah ini.”
Seperti
yang dia katakan, Mahiru percaya bahwa dialah yang menanggung beban berat.
Pertama, dia telah membuat Amane khawatir, dan kedua, tindakannya pada dasarnya
telah membatasi pergerakan Amane, kemungkinan besar menyebabkan waktu yang agak
membosankan baginya saat Ia terpaku di sofa. Selain itu, dengan bersandar
padanya, dia telah menaruh sebagian besar bebannya padanya, sehingga membuatnya
lelah.
Meski
merasa sangat menyesal, Amane menunjukkan ekspresi yang sama seperti yang
selalu Ia tunjukkan. Faktanya, Amane
sepertinya tidak mengerti kenapa Mahiru
meminta maaf, mengedipkan mata hitamnya beberapa kali karena bingung.
“Mengapa?
Kamu tidak membuatku kesulitan sama sekali. Faktanya,
aku senang melihatmu bergantung padaku.”
“…Tolong jangan
coba-coba memanjakanku seperti itu.”
“Lihat
siapa yang berbicara. Kamulah yang
selalu berusaha memanjakanku,” balas Amane. “Biarkan aku membalas budi padamu,” tambahnya sambil dengan
main-main mengelus pipi Mahiru,
yang menyebabkan dia menyipitkan mata karena sensasi geli.
“Ini dan itu adalah masalah yang berbeda,”
jawab Mahiru sambil bercanda.
“Hah?
Jadi kamu mau bermain tidak adil
sekarang?”
Mahiru
terkekeh sebagai jawabannya. “Bagaimanapun juga, aku adalah wanita yang licik.”
Merasa cemas
kalau kekhawatirannya yang berlebihan akan membuatnya
gelisah, Mahiru tetap pada pendiriannya, menunjukkan rasa terima kasihnya pada
Amane yang baik hati dan sopan. Amane
tampak tidak puas dengan hal ini, membuatnya terkikik sekali lagi. Mungkin
berkat tidur siangnya yang ringan, tawa, atau efek obatnya, tubuhnya kini
terasa jauh lebih ringan meski sebelumnya agak kaku.
Ketika melirik sekilas pada jam dinding, sepertinya dia baru tidur
kurang dari satu jam. Pada saat ini, mereka biasanya sudah selesai menyiapkan
makan malam, membuatnya sadar bahwa dia telah merepotkan Amane lagi. Saat Mahiru memikirkan hal ini, dia mencoba
untuk berdiri dan berkata,
“Aku perlu menyiapkan makan malam…”
Namun, dia mendapati dirinya tidak mampu melakukannya. Bukan karena tubuhnya
terasa berat, tapi Amane secara fisik menahannya.
Lebih
tepatnya, Amane dengan
lembut tapi kuat memegangi tangannya, cengkeramannya yang lembut namun mendesak
dengan jelas menyampaikan niatnya untuk tidak membiarkannya berdiri.
“Kamu mendingan duduk saja,” katanya.
“Hah?
Tapi aku merasa lebih baik sekarang…”
“Tetap saja,
kamu masih belum pulih sepenuhnya, bukan? Kamu
masih terlihat sedikit lebih lesu
karena kelelahan. Selain itu,
aku sudah berjanji untuk memasak, ingat?
Biarkan aku menepati janjiku.”
Meski Amane sudah mengatakan kalau dirinya akan mengurus semuanya,
Mahiru ingin membantah bahwa keadaannya sudah cukup pulih untuk bisa
bergerak dengan normal. Namun, satu tatapan mata
Amane mengatakan padanya bahwa ia tidak mau mengalah. Ini adalah
sesuatu yang Mahiru mulai pahami tentang Amane sejak mereka semakin dekat:
meski Amane biasanya mudah menyerah, begitu Ia memutuskan sesuatu, tidak ada
yang bisa meyakinkannya untuk tidak menindaklanjutinya. Kapan pun hal ini
terjadi, mencoba melawan tidak ada artinya—Ia tidak akan menyerah sampai Mahiru
menyerah. Dan karena sifat keras kepala Amane biasanya demi orang lain, Mahiru
merasa sulit untuk menolak niatnya dengan tegas.
Sekarang
giliran Mahiru yang terlihat tidak senang dan memberinya tatapan mencela. Namun
Amane hanya terkekeh, matanya yang penuh tekad menunjukkan penolakannya untuk
mundur.
“Jangan
mulai cemberut begitu…
Berhentilah selalu mencoba menyelesaikan masalah sendiri. Kamu harus sesekali mengandalkanku.”
“…Oke.”
“Bagus.
Sekarang, duduk dan bersantai
saja—bayangkan kamu berada di perahu menunggu makananmu,” canda Amane. “…Ini
mungkin tidak cocok dengan perasaan kapal pesiar mewahmu, tapi tetap saja.”
“Ya
ampun.” Mahiru mau tidak mau tertawa mendengar lelucon Amane yang mencela dirinya
sendiri, yang jelas-jelas memang disengaja.
Amane
balas tersenyum dan dengan penuh kasih sayang mengelus kepala Mahiru.
Mengetahui isyarat ini dimaksudkan untuk meyakinkannya, Mahiru diam-diam
menerimanya dengan gembira. dia
meyakini kalau ini adalah sesuatu yang istimewa
yang Amane lakukan hanya untuknya.
“…
Mungkin butuh waktu cukup lama, jadi kamu bisa tidur lebih lama kalau kamu
mau,” sarannya.
“Tidak,
aku baik-baik saja jika seperti ini. Aku
akan mengawasi upaya beranimu
dari sini.”
“Kamu
terlalu khawatiran.” Dengan senyum geli di wajahnya,
Amane menuju dapur.
Mahiru
memperhatikannya pergi, dipenuhi dengan perasaan bahagia dan tenteram. Dia
tidak mengatakan itu karena khawatir. Dia benar-benar diliputi kegembiraan dan
rasa syukur melihat Amane berupaya
demi dirinya. Dia ingin menyaksikan setiap momen tindakan kepeduliannya,
meskipun Amane sendiri
mungkin tidak menyadarinya.
Melihat
Amane mengenakan celemek sederhananya terasa sangat disayanginya. Mengamatinya
seolah-olah Ia adalah keluarga, menuruti pemikirannya yang mementingkan diri
sendiri dan mungkin khayalan, Mahiru dengan penuh perhatian memperhatikan saat
Amane mulai meraba-raba bahan masakannya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Sekitar
satu jam kemudian, hidangan kukus dengan aroma harum berjejer di depan Mahiru.
Meski jarak antara sofa dan meja makan cukup dekat, Amane menemaninya dengan
sangat hati-hati. Mahiru sering berkedip karena kagum pada makanan yang telah
disiapkannya.
Dia sudah
menduga sesuatu seperti bubur berdasarkan permintaannya
akan makanan hangat dan ringan, tapi dia
justru dibuat terkejut melihat bahwa,
meskipun nasi masih tetap
digunakan, masakannya memiliki gaya kuliner yang berbeda.
Hidangan
yang disajikan di piringnya adalah
risotto berwarna krem, konsistensinya menunjukkan kekayaannya. Dari aroma dan
penampilannya, kemungkinan besar itu adalah risotto krim. Bukan hanya nasi,
tapi juga ditambahkan jamur dan bayam, memberikan aksen warna coklat
kecokelatan dan hijau.
“Ini adalah risotto yang dibuat dengan susu
kedelai. Ngomong-ngomong, aku mencoba membuatnya dengan nasi
mentah. Aku juga menggunakan beberapa jamur
dan bayam dari freezer, tapi apa kamu tidak
keberatan dengan itu?” Amane menjelaskan, menunjukkan
pertumbuhannya.
Terkejut
dengan penjelasan Amane, Mahiru terdiam sejenak karena terkejut. Amane
menyadari hal ini dan menambahkan, “Sudah kubilang aku akan membuatnya dengan
benar, tau.” Mahiru tidak
meragukannya dalam hal itu, tapi dia masih tidak
menyangka kalau Amane akan menyajikan hidangan
seperti ini, menyebabkan dia terkejut untuk sementara waktu.
“Ya,
menggunakan bahan-bahan itu tidak masalah. Kelihatannya memang enak sekali,”
jawab Mahiru.
“Syukurlah.
Aku khawatir kamu tidak akan menyukainya.”
“Masa?
Kamu sudah tahu kalau aku bukan orang yang pilih-pilih makanan, Amane-kun.”
“Yah, ya,
aku tahu itu, tapi menurutku mungkin kamu sedang tidak mood untuk itu atau
semacamnya.”
“Aku
tidak akan mengeluh setelah mengajukan permintaan yang tidak jelas dan
menyerahkan segalanya padamu…”
Mahiru
hanya tersentuh oleh perhatian dan semangat Amane, tapi Ia sebenarnya telah
pergi dan menyiapkannya untuknya. Terlebih lagi, Mahiru
telah menyaksikan perjalanannya dari hampir tidak bisa memasak hingga kini
memamerkan hasil kerja kerasnya. Bagaimana mungkin dia bisa mengeluh?
“Tetap
saja, aku terkejut kamu memutuskan untuk membuat risotto.”
“Itu
karena kamu sepertinya tidak kekurangan nafsu makan. Aku mencari beberapa resep secara
online, dan itulah yang kuputuskan.
Daripada menggunakan consommé, aku
menambahkan kecap putih, dan sedikit miso agar rasanya lebih enak. Aku sudah mencicipinya sendiri, dan kurasa hasilnya tidak terlalu buruk…”
“Kamu
bahkan telah memahami seni membuat penyesuaian sendiri…”
“Mendapat
kesan seperti itu membuatku merasa sedikit canggung,” Amane mengakui. “Aku bisa
melakukannya jika aku mencobanya, oke.”
Melihat
reaksi Mahiru yang tertegun,
Amane mendekat dengan sendok di tangannya, terlihat sedikit bingung. Mahiru
tersenyum dan berterima kasih padanya saat dia menerima sendok itu, lalu
mengalihkan perhatiannya kembali ke risotto yang baru dibuat.
“Bolehkah
aku memakannya sekarang?”
“Ya. Silakan,” jawab Amane sambil
memperhatikannya dengan tatapan sedikit gugup. Sambil tersenyum meyakinkan
padanya, Mahiru menggumamkan pelan, “Terima kasih untuk makanannya,” dan
menyendok beberapa risotto dengan sendoknya. Mengetahui itu masih panas, dia
meniupnya dengan lembut untuk mendinginkannya sebelum mencicipinya.
Risotto
memiliki tekstur yang kaya, dengan nasi yang dimasak dengan kekencangan
sempurna, menawarkan rasa unik di mulut. Rasanya
lebih ringan dari kelihatannya, kemungkinan karena terbuat dari beras mentah,
dengan kekentalan terkontrol yang memungkinkannya menyebar dengan nyaman di
mulutnya. Aroma mentega dan kehalusan susu kedelai langsung terlihat, sedangkan
kecap putihnya secara halus namun kuat memperkuat rasa, menciptakan rasa yang
lembut dan ramah.
Miso yang
disebutkan Amane pasti berkontribusi pada kekayaan hidangan yang halus namun
mendalam. Kehadirannya tidak terlalu kuat, memberikan kedalaman rasa tanpa
menguasainya—bahan rahasia sebenarnya. Jamur yang dicincang halus berpadu
sempurna dengan risotto, meningkatkan rasa umami secara keseluruhan dan
menciptakan rasa yang nyaman, gurih, dan menentramkan.
“…Bagaimana
menurutmu?” Amane
bertanya dengan sedikit ragu.
“Rasanya
enak,” jawab Mahiru.
“Bukannya kamu cuma mencoba menyanjungku?”
“Jangan
berasumsi begitu saja, ya ampun.”
Faktanya,
dia tidak terdiam memikirkan tanggapan yang sopan tapi tidak tulus, melainkan
karena dia benar-benar terkesan dengan kelezatan hidangannya.
Lagipula
tidak perlu ada sanjungan di antara kita. Mahiru
diam-diam menyampaikan pesan ini dengan tatapannya, yang ditanggapi Amane
dengan ekspresi sedikit penyesalan.
“Rasanya enak sekali,” desak Mahiru. “Aku tahu kalau kamu
membuatnya dengan sangat hati-hati. Rasanya lembut yang menonjolkan rasa
bahan-bahannya.”
“Senang
mendengarnya. Aku akan memakannya
juga.” Tampaknya malu dengan pujian tulus dari Mahiru, Amane mulai memakan
porsi risotto miliknya sendiri. Ia sudah mencicipinya saat memasak, jadi
reaksinya tidak sedramatis Mahiru, tapi Ia tampak menikmatinya, matanya
menyipit puas. “Ini memang enak, tapi perjalananku masih panjang dibandingkan
denganmu, Mahiru.”
“Mengapa
kamu harus membandingkannya dengan milikku? Aku
bingung. Dari sudut pandangku, dibutuhkan bakat yang cukup
besar untuk bisa mengejar sepuluh tahun pengalaman memasakku dengan begitu cepat.”
“Kalau
begitu, hal itu selalu mustahil bagiku.”
Meskipun
kemajuannya pesat, keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan memasak Amane masih
jauh dari level Mahiru. Meskipun dia
pernah berpikir bahwa dia akan merasa gelisah
jika Amane berhasil menyusulnya, dia
kemudian menyadari bahwa memasak bersama akan tetap memberinya kegembiraan yang
sama, membuatnya merasa sedikit malu atas keinginan egoisnya agar Amane tetap bergantung padanya.
“Kamu
bilang begitu, tapi makananmu sebenarnya enak,” Mahiru mulai menjelaskan.
“…Hidangan ini memiliki rasa yang sangat hangat—mungkin menenangkan? Bagiku,
rasanya kebaikanmu adalah salah satu bahannya.”
“Menurutku
kebaikan tidak bisa memengaruhi rasanya…” jawab Amane.
“Rasa
suatu masakan bisa sangat dipengaruhi oleh pikiran seseorang. Mengetahui bahwa kamu menaruh hati dan jiwamu untuk membuatnya bisa meningkatkan rasanya.”
Memasak
tidak hanya ditentukan oleh keterampilan. Meskipun cita rasa suatu hidangan
jelas dipengaruhi oleh kemampuan si juru masak, pikiran dan emosi si juru masak
juga berpotensi membentuk makanan yang mereka siapkan.
Mengetahui
upaya dan perhatian yang diberikan koki pada hidangannya membuat masakannya
semakin lezat bagi Mahiru.
“…Lagipula,
kamu menjadi juru masak yang lebih baik, Amane-kun. Nasinya dimasak dengan
sempurna, dan rasanya seimbang.”
“Aku merasa terhormat menerima pujianmu.”
“…Kamu
sedang menggodaku sekarang, bukan?”
“Tidak,
saya tidak bermaksud seperti itu,” ia menjelaskan. “… Sejujurnya, aku berterima
kasih padamu.”
“Akulah
yang seharusnya bersyukur, ya ampun.”
Mahiru
merasa sangat menghargai kesadaran Amane
akan kesehatannya yang buruk, kepeduliannya, membiarkannya bergantung padanya,
dan bahkan memasak untuknya. Karena kebaikan dan perhatiannya, Mahiru bisa
membiarkan dirinya bergantung padanya. Dia merasa sangat diperhatikan sehingga
dia tidak bisa meminta lebih, dipenuhi rasa syukur.
Amane
sendiri mungkin tidak sepenuhnya menyadarinya, tapi kemampuannya untuk bersikap
baik kepada orang lain—suatu sifat yang tampak alami tetapi sulit
didapat—adalah salah satu kekuatan terbesarnya. Mahiru menatapnya, menyadari
kalau Amane masih ragu dengan kata-katanya, dan bergumam, “Itu sangat menggambarkan sifatmu,” sebelum melanjutkan memakan
risotto-nya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Setelah
mereka berdua selesai makan dan meluangkan waktu sejenak untuk bersantai,
Mahiru menatap Amane, yang baru saja akan mulai beres-beres.
“Lain
kali…aku akan pastikan untuk tidak menjadi beban seperti itu,” dia mengungkitnya.
Bantuan
Amane-kun membuat segalanya lebih mudah kali ini, tapi menurutku tidak adil
kalau dia bersusah payah memasak untuk kami berdua.
…Atau
begitulah pikirnya, tapi respon bingung Amane membuatnya lengah. “Mengapa?” dia mendengarnya berkata,
matanya membelalak mendengar ucapan itu.
“Hah?
Apa maksudmu, 'Mengapa'? Memangnya
itu tidak merepotkanmu?”
“Tidak,
mengapa malah dianggap begitu?” Amane
menjawab, terlihat polos dan bingung. Namun, kata-katanya selanjutnya sangat
bisa diandalkan. “Jika ada, aku harap kamu bisa lebih mengandalkanku. Jika kamu merasa tidak enak badan dan
masih memaksakan diri, kamu hanya
akan memperburuk keadaan. Itu sebabnya aku akan jauh lebih bahagia jika kamu
beristirahat saja.”
“T-Tapi
tetap saja…”
“Lagipula,
itu sama sekali bukan beban bagiku.”
Amane kemudian tampak sedikit tidak puas ketika Ia bertanya, “Memangnya aku tidak bisa diandalkan?”
Mendengar
ini, Mahiru mengarahkan pandangannya ke bawah, tidak mampu menatap matanya.
“…Jika kamu mengatakan hal seperti itu, aku mungkin akan mulai terlalu
mengandalkanmu.”
“Kamu
bisa mengandalkanku semaumu. Lihat, Kamu
bahkan bisa memulainya sekarang juga. Duduk saja sementara aku membereskan
piringnya, oke? Serahkan sisanya padaku.”
“…Oke,”
Mahiru menjawab dengan lemah lembut.
Amane,
yang tidak menganggap Mahiru sebagai pembuat masalah sama sekali, tersenyum dan
berkata, “Bagus. Itulah yang ingin aku
dengar.” ia dengan lembut menepuk kepalanya, mendorongnya untuk menatapnya
dengan tatapan kosong.
Aku
mencintainya.
Ia adalah pria yang baik
hati, perhatian, dan pekerja keras. Ia
adalah seseorang yang selalu bisa Mahiru
andalkan. Cara Amane mendorong Mahiru untuk bergantung padanya, mengetahui
kalau dia mungkin enggan melakukannya, adalah sebuah isyarat pengertian dan
kepedulian yang mendalam. Jelas sekali bahwa Amane
telah sepenuhnya memahami sifat kemandiriannya
dan berbicara berdasarkan pemahaman itu.
Seseorang
seperti Amane-kun mungkin adalah suami yang ideal, mau tak mau Mahiru jadi membayangkan itu,
berpikir bahwa Ia akan menjadi suami yang ideal—baik hati, bijaksana, dan
selalu berusaha. Tenggelam dalam pikirannya, Mahiru terus menatap senyum dewasa
Amane dengan kagum sampai Ia mengangkat alisnya karena penasaran.
“…Apa
kamu mungkin merasa tidak enak badan lagi? Apa kamu ingin pulang dan
istirahat?” tanya Amane,
prihatin dengan ekspresi bingung Mahiru. Ia
sepertinya mendapat kesan bahwa kondisinya semakin memburuk.
Mahiru,
menyadari bahwa dia secara tidak sengaja telah membuatnya khawatir, dengan
cepat menggelengkan kepalanya. “T-Tidak, bukan itu! Hanya saja, um…maukah kamu
berjanji untuk tidak tertawa?”
“Kenapa
memangnya?”
“…Aku
berpikir kalau kamu akan menjadi suami yang baik, Amane-kun,” akunya, merasa
malu dengan ucapannya yang tidak sesuai dengan karakternya. Namun Amane, tidak
bereaksi negatif. Sebaliknya, ia tampak terkejut dan sedikit malu.
“Ak-Aku tidak bermaksud apa-apa, oke!?
Itu hanya terlintas di benakku karena kamu begitu peduli, mengambil inisiatif,
dan menjagaku…” Mahiru buru-buru menjelaskan, menyadari perasaannya terlalu
kentara.
Dia
sangat sadar bahwa dia tidak mampu menekan perasaannya, berbicara secara
impulsif tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kata-katanya. Kesadaran bahwa
emosinya tidak stabil seperti biasanya sungguh mengejutkan. Saat rona merah
mulai muncul di pipinya, Mahiru mencoba menyembunyikan rasa panas yang mengalir
ke wajahnya, tetapi tidak berpengaruh. Berada di bawah tatapan Amane sepertinya
hanya menambah bahan bakar ke dalam api, membuat perasaan senang dan malunya
semakin membara.
“Uuu…”
Karena tidak dapat menahan kecanggungannya, dia mengeluarkan erangan
menyedihkan—salah satu dari tiga suara paling menyedihkan yang pernah dia
buat—dan menundukkan kepalanya. Sebaliknya, Amane pun tampak terlihat bingung.
“A-Aku
senang kamu berpikir begitu…t-tapi aku hanya
melakukan sesuatu
yang akan dilakukan orang lain, oke? Ayo,
kamu harus benar-benar pergi dan istirahat,” ucap
Amane, kata-katanya keluar terlalu cepat, hampir
tersandung, saat ia dengan cepat mengumpulkan piring ke atas nampan dan
buru-buru mundur ke dapur.
Ditinggal sendirian, Mahiru tetap di sana, tubuhnya meringkuk, tidak mampu mengangkat kepalanya. Rasa sakit fisik yang dia rasakan telah hilang, digantikan oleh rasa hangat yang tak kunjung reda, dan butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan kembali kendali atas panas yang membara di dalam dirinya.