Gimai Seikatsu Volume 11 Chapter 9 Bahasa Indonesia

Chapter 9 — 10 Oktober (Minggu) Asamura Yuuta

 

 

Hari kedua festival budaya. Begitu melangkah masuk melewati gerbang SMA Suisei, aku langsung merasakan suasana festival yang ceria.

Dengan langit biru tanpa awan di bawah sinar matahari yang cerah, bendera-bendera dari berbagai negara berkibar tertiup angin yang menandakan bahwa musim gugur telah tiba.

Aku berhenti sejenak sebelum mencapai gedung sekolah dan berdiskusi dengan Ayase-san tentang dari mana kami akan mulai menjelajahi.

Kami mulai dari lantai satu. Tentu saja, ada banyak rumah hantu dan kafe yang menjadi favorit pengunjung. Makanan yang bisa disajikan terbatas karena tidak bisa menggunakan api, jadi hanya ada yang bisa dipanaskan dengan hot plate atau microwave, tetapi tetap ada crepe, jus, dan bahkan baby castella.

“Aku tidak pernah terpikir tentang castella.”

“Rassanya enak. Seharusnya kita juga bisa menyajikan ini di kafe kita.”

Mungkin tahun lalu atau tahun sebelumnya juga ada, tetapi aku tidak menyadarinya. Sebelumnya, aku tidak terlalu antusias menjelajahi festival budaya, jadi aku tidak bisa menyadarinya.

Seperti yang diharapkan, jumlah pengunjung festival sekolah kami memang banyak. Mungkin karena lokasi sekolah yang dekat dengan stasiun. Sepertinya jumlah pengunjung umum juga meningkat karena hari Minggu.

Sepertinya jenis pertunjukan juga terasa sedikit meningkat dibandingkan tahun lalu.

Beberapa kelas hanya melakukan pameran, tetapi ada satu pameran yang menarik perhatianku.

Di aula, ada pameran di mana teman-teman sekelas membawa drone untuk merekam tarian dan permainan bola dari berbagai sudut. Ini ternyata cukup menarik. Melihat sesuatu yang biasa dari sudut yang tidak biasa mengubah kesan terhadapnya. Meskipun ini hanya pameran sederhana dengan layar yang dipasang di dalam kelas dan video yang diputar secara berulang, aku ingin memberikan penghargaan untuk orang yang memikirkan ide ini.

Festival budaya juga merupakan ajang bagi klub-klub yang berkaitan dengan budaya.

Di gedung kedua yang sejajar dengan gedung utama, yang juga disebut sebagai gedung kelas khusus, klub fisika memamerkan robot, sementara klub kimia melakukan eksperimen kimia yang berwarna-warni. Ada juga pameran foto astronomi dan fosil. Di gedung klub, klub teh sedang menyajikan teh.

Ayase-san ingin pergi ke sana, tetapi sayangnya tempatnya penuh dan sepertinya kami tidak bisa masuk.

Di ruang seni, karya-karya anggota klub seni dipamerkan, dan kebetulan ada juga fluid art. Apa mereka sedang melakukan itu? Saat Ayase-san melihatnya, salah satu anggota klub datang dan menunjukkan keberadaan kode QR yang terletak di samping pameran. Ternyata klub seni telah mengambil foto karya mereka dan mempostingnya di Instagram agar bisa dilihat kapan saja.

“Apa kamu tertarik dengan hal-hal seperti ini?”

“Umm, ya. Akhir-akhir ini aku sedikit tertarik…”

Setelah Ayase-san menjawab demikian, anggota klub seni tadi memberitahu kami tentang beberapa pameran yang akan diadakan dalam waktu dekat. Sepertinya anggota klub itu juga menyukainya.

Setelah mendengarkan sedikit pertunjukan dari klub orkestra di aula, kami kembali ke gedung sekolah.

Kami memakan yakisoba di stan kafe. Setelah perut kami terisi, aku dan Ayase-san melangkah masuk ke dalam ruangan kelas Narasaka-san.

Karena kami datang tepat pada waktunya, sepertinya ada tempat yang kosong. Kami diizinkan untuk ikut serta dalam permainan escape room.

Sepertinya para pesertanya terdiri dari 4 hingga 6 orang.

Ruang kelas dibagi menjadi empat bagian, dan jika berhasil memecahkan teka-teki di satu ruangan dalam waktu yang ditentukan, kami bisa melanjutkan ke ruangan berikutnya. Jika tidak bisa memecahkan teka-teki, permainan berakhir di situ, dan kami akan menerima kartu bertuliskan “hadiah hiburan” dan dikeluarkan ke koridor. Ilustrasi anak kucing yang menangis di kartu itu sangat lucu. Meskipun tidak bisa menyelesaikan teka-teki, sepertinya aku bisa memaafkan hanya dengan kartu ini.

Selain aku dan Ayase-san, ada dua siswa laki-laki dan dua siswa perempuan dari sekolah lain.

Kami saling menyapa dengan singkat, dan siswa yang bertugas sebagai pemandu mulai menjelaskan. Rupanya orang yang bertugas sekarang adalah Narasaka-san. Mungkin dia memperhatikan kami yang ikut serta.

“Baiklah, sekarang kami akan membagikan kartu karakter ini. Total ada 8 karakter, jadi silakan pilih salah satu yang kalian suka.”

Dia berbicara dengan cara yang lebih sopan dari biasanya.

Ketika melihat kartu yang dibagikan, ada nama karakter beserta profesinya.

“Arkeolog”, “Jurnalis”, “Connoisseur”, “Polisi”, “Dokter”, “Insinyur”, “Detektif”, “Petualang”… Hmm.

Rasanya seperti akan terjadi kejadian yang sedikit menyeramkan.

Jika dilihat dengan seksama, di kartu karakter ada item bertuliskan ‘Kesempatan Petunjuk’. Ternyata, ketika terjebak dalam teka-teki, setiap orang bisa mendapatkan satu petunjuk. Kami berjumlah 6 orang, jadi kami harus memilih 4 orang dari sini.

Ayase-san memilih “Arkeolog, dan aku memilih “Connoisseur”.

“Apa itu?”

“Kamu tidak tahu istilah 'Connoisseur'? Istilah tersebut mengacu pada seseorang yang tidak kekurangan uang dan menghabiskan waktu untuk membaca dan penelitian yang mereka sukai.”

Dia bilang kalau itu sangat menggambarkan diriku, tapi sebenarnya aku bukan orang kaya.

“Sekarang, aku akan menjelaskan situasinya.”

Narasaka-san mulai berbicara dengan nada suara yang sedikit ditekan.

“Tempat di mana kalian semua berada sekarang adalah… sebuah kastil tua di sudut Eropa.”

Tiba-tiba saja settingnya terjadi di luar negeri.

“Ah, karena ini terlalu merepotkan, saat saling memanggil, kalian bisa menggunakan nama kalian sendiri atau julukan. Pokoknya, ini adalah kastil tua, dan kalian mengunjungi tempat ini karena berbagai alasan. Mari kita anggap ini adalah tur wisata.”

Dan menurut Narasaka-san, begitu kami masuk ke kastil, hujan mulai turun, petir menggelegar, dan jalanan terhalang oleh tanah longsor—intinya, mereka tidak bisa keluar. Tidak hanya itu, ternyata sudah ada orang yang hilang di kastil ini sejak sekitar seminggu yang lalu.

Orang-orang yang hilang itu hingga kini belum ditemukan.

“Setelah berbagai kejadian, kalian semua terjebak hingga ke bawah tanah kastil.”

Tiba-tiba, kami langsung dilempar ke dalam adegan klimaks.

“Jadi, mari kita pecahkan teka-teki dan keluar dari kastil. Ruangan pertamanya adalah──”

Begitulah cara permainan escape room dimulai. Karena ini adalah rencana yang dibuat oleh Maru yang suka bermain game, permainan ini cukup serius. Meskipun ruangan pertama hanya membutuhkan sedikit teka-teki untuk diselesaikan, ruangan kedua dan ketiga membuat kami berpikir keras hingga batas waktu habis baru bisa terpecahkan.

Dan sekarang, ruangan keempat.

Setelah mencapai titik ini, kami ingin menyelesaikannya.

Ngomong-ngomong, dari segi cerita, tampaknya bangsawan yang tinggal di kastil ini di masa lalu sedang mencari “kebenaran alam semesta”. Dan bangsawan yang merupakan kepala keluarga itu meninggalkan catatan yang mengatakan “akhirnya aku berhasil menemukannya” sebelum menghilang.

Di ruangan terakhir, ada satu pintu. Sepertinya kami harus membuka pintu itu.

Jika gagal, semua orang yang ada di ruangan itu akan dilemparkan ke luar angkasa──tunggu, apa itu berarti akan dilempar melayang ke luar angkasa…?

“Dasar Maru, ia benar-benar suka membawa cerita yang mirip dengan horor fiksi ilmiah murahan…”

Dan di pintu terakhir tertulis:

'Persembahkan vas dengan cinta sejati.'

Vas, ya.

Hmm, aku berpikir.

Dan kemudian aku berpikir, tunggu… rasanya ada yang aneh.

“Mengapa dinding yang berfungsi sebagai pintu ini berbingkai hitam dengan latar belakang putih bersih?”

“Memangnya ada yang aneh dengan itu?”

Orang yang menanyakan itu adalah Ayase-san.

“Jika ini terlihat seperti pintu, setidaknya harus ada sesuatu seperti pegangan, ‘kan? Dan kenapa hanya bagian atas persegi panjang hitam itu yang ditempel dengan kertas putih?”

“Mungkin itu menggambarkan pintu dengan jendela?”

“Tapi, kalau begitu, kenapa kertas putih itu diletakkan di tempat yang tepat agar terkena cahaya…?”

Pintu yang harus kami buka adalah tirai persegi panjang hitam setinggi badan yang tergantung, dengan kertas putih ditempel di ketinggian kepala. Dan, lampu menyinari dari belakang kami. Oleh karena itu, pada awalnya aku mendekat ke kertas putih itu, berharap ada petunjuk tertulis di sana, tetapi bayangan kepalaku membuatnya sulit untuk dilihat.

Meskipun aku mendekat dan melihat dengan baik, kertas itu benar-benar putih dan tidak ada yang tertulis di sana.

...Jujur saja, meminta kami untuk memecahkan ini tanpa petunjuk adalah hal yang tidak masuk akal, bukan?

Jadi, apa yang harus kami lakukan?

“Ehmm, kalau tidak salah cuma aku satu-satunya yang masih bisa mendapatkan petunjuk lagi, ya?”

Ayase-san bertanya.

“Karena kita sudah menghabiskannya sampai di sini.”

Sama seperti di permainan poker, Ayase-san tampaknya tipe yang menyimpan kartu hingga saat terakhir.

“Baiklah, karena tidak ada waktu lagi. Aku akan menggunakannya. Aku ingin menggunakan 'Kesempatan Petunjuk' dari 'Arkeolog' ini.”

Setelah mendengar pernyataan Ayase-san, Narasaka-san membuka buku skenario yang sepertinya berisi petunjuk.

“Hmm, petunjuknya adalah… sesuatu yang paling tua di dalam ruangan ini menyimpan petunjuk.”

“Sesuatu yang paling tua…?”

Salah satu dari dua gadis yang tampaknya dari sekolah lain berkata, “Oh, aku melihat itu sebelumnya”, sambil mendekati meja belajar di dekat tirai yang masuk.

“Lihat, yang ini.”

“Ini hanya chip mainan.”

Siswa laki-laki itu tampak bingung, tetapi siswi yang memegang chip plastik kuning itu membaliknya.

“Lihat di sini.”

Ternyata, di belakangnya ada label kecil yang tertulis “koin sangat tua” yang ditempelkan dengan selotip.

“…Habisnya, kami tidak bisa mendapatkan koin kuno Eropa sih.”

Narasaka-san berkata dengan sedikit cemberut.

...Ya, karena kami hanyalah siswa SMA biasa.

Apa boleh buat. Mari kita ikuti saja permainannya.

“Itu koin yang cukup tua. Bagaimana, Profesor Ayase? Apa kamu tahu sesuatu?”

“Eh! Hmm…?”

Dengan bingung, Ayase-san melihat ke arah Narasaka-san.

“Ya. Jadi, aku akan memberikan petunjuk. Koin tua itu adalah koin yang terukir dengan profil ratu pertama negara ini. Cuma itu saja!”

Semua orang memegangi kepala mereka.

Tidak ada yang mengerti.

Meskipun disebutkan profil. Apa petunjuk ini sebenarnya?

“Baiklah. Waktunya tinggal dua menit lagi.”

Profil, profil, profil, profil… Pintu hitam pekat. Kertas putih di ketinggian kepala. Lampu yang menyinari dari belakang. Tapi tidak ada yang tertulis di kertas itu, dan meskipun mendekat, hanya bayangan kepalaku yang terlihat. Hanya wajahku, atau mungkin hanya wajah. Wajah, wajah, wajah… profil… Hmm. Rasanya aku baru kepikiran sesuatu.

“Ah… itu dia. Vas Rubin…”

Lima pasang mata, termasuk Ayase-san, tertuju padaku. Mereka semua menatapku.

“Satu menit lagi!”

Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi ya, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan yang lain.

“Ayase-san, bisakah kamu membantuku sebentar? Umm, coba berdirilah di sana.”

Aku memintanya berdiri menghadap pintu dengan posisi menyamping. Lampu tepat mengenai wajahnya sehingga bayangan profil Ayase-san jatuh di kertas putih. Aku juga berdiri menghadapnya, hampir menyentuhkan hidungku ke wajahnya.

Karena perbedaan tinggi badan kami, aku jadi sedikit membungkuk.

Ketika itu terjadi, bayangan profil kami berdua jatuh di atas kertas.

Keempat orang yang memperhatikan serentak berkata, “Ah.”

“Eh, ada apa?”

Ayase-san mengalihkan wajahnya, tetapi jika dia melakukannya, maka itu tidak akan terlihat.

“Arahkan wajahmu ke sini, Ayase-san.”

Setelah dia menghadap lagi, aku mengambil foto dengan ponsel dan menunjukkannya.

“Ini, apaan?”

“Karena sulit dipahami, aku akan menjelaskannya nanti. Tapi, secara logika, ini sudah benar, ‘kan? Narasaka-san?”

Ketika aku bertanya demikian, dia langsung tersenyum lebar.

“Benar sekali! Ya. 'Persembahkan vas dengan cinta sejati' berhasil! Pintu terbuka, dan kalian semua berhasil keluar dari kastil tua!”

Sorak sorai kegembiraan terdengar di kelompok kami.

Namun, hanya Ayase-san saja yang masih tampak kebingungan tentang apa yang terjadi. Aku menunjukkan foto itu sekali lagi sambil menjelaskan.

“Kamu tidak tahu tentang 'Vas Rubin'? Ini semacam ilusi optik, tetapi bukan pada bayangan foto ini, fokuslah pada bagian putih.”

Aku menjelaskan sambil mengikuti garis-garis di foto.

“Lihat, bukankah itu terlihat seperti bentuk vas?”

Setelah beberapa kali berkedip, Ayase-san juga bergumam, “Ah.” Setelah memastikan itu, aku mencarinya di ponsel dan menunjukkan gambar 'Vas Rubin' yang sebenarnya. Jujur saja, bayangan yang dibuat dengan wajah orang-orang di situ tidak mungkin terlihat seindah vas tersebut.

Namun, sebagai teka-teki, seharusnya logikanya sudah sesuai.

Karena kelompok berikutnya tampaknya akan masuk, Narasaka-san mendorong kami untuk mengambil kartu “Sukses Melarikan Diri” (yang bergambar kucing bersorak sorai) dan menerima minuman kaleng sebagai hadiah.

Saat aku meninggalkan ruang kelas, Maru datang untuk memberi salam. Ia terlihat kecewa, tetapi aku juga hanya kebetulan bisa memecahkan teka-teki itu, jadi aku tidak bisa terlalu membanggakannya.

Bagaimanapun juga, bagi Maru yang membuat teka-teki tersebut, jika tidak ada satu pun yang berhasil melarikan diri dari permainan ini, pasti akan ada keluhan di kemudian hari. Jadi, penting juga untuk memiliki beberapa penantang yang berhasil menyelesaikannya.

Kami berdua juga ikut merasa senang, jadi kupikir itu bagus.

 

◇◇◇◇

 

“Jadi, kita mau meminum ini di mana?”

Aku mengangkat minuman kaleng yang diberikan oleh Narasaka-san.

“Aku sedikit lelah. Aku ingin istirahat di suatu tempat.”

“Tempat untuk istirahat, ya...”

Ruang istirahat di sekolah seharusnya tidak bisa digunakan selama festival budaya. Seingatku, klub tata boga sedang membuka stan di sana. Ada juga bangku di halaman tengah—tapi seperti yang aku rasakan saat bertemu Maru di waktu istirahat, tempat itu sangat populer, jadi belum tentu kami bisa duduk di sana. Di sisi lain, kembali ke kelas kami juga terasa kurang tepat. Mungkin itu akan mengganggu yang lain.

Lalu tiba-tiba aku teringat tentang festival budaya tahun lalu.

“Bagaimana kalau di sana?”

Aku mencoba mengusulkan tempat itu kepada Ayase-san.

Di atas tangga darurat gedung kelas khusus.

Tahun lalu, kami memilih tempat itu karena paling jauh dari keramaian festival. Sepertinya tahun ini juga kami bisa bersantai di sana.

Ayase-san setuju, jadi dengan membawa hadiah minuman kaleng di tangan, kami pergi ke tempat yang juga kami kunjungi tahun lalu. Setahun yang lalu, hembusan anginnya terasa dingin, tetapi tahun ini belum sedingin itu.

Keramaian siswa terdengar sampai ke lantai tertinggi tempat kami berada. Suara samar-samar mungkin berasal dari musik band yang berpartisipasi secara sukarela. Atau mungkin dari klub musik ringan. Suara ceria itu perlahan-lahan menghilang ke langit yang mulai gelap.

“Asamura-kun, kamu terlihat lega, ya.”

Saat Ayase-san memberitahuku hal itu, aku hanya bisa tersenyum kecut. Sebenarnya, itu benar. Aku memang merasa lega.

Fakta bahwa kami pergi berkencan di festival budaya sekolah sebagai sepasang kekasih telah berubah dibandingkan tahun lalu, tetapi aku masih merasa tidak nyaman dengan keramaian, jadi tempat yang sepi seperti ini lebih membuatku tenang.

Kami tertawa sambil berbincang bahwa ada hal-hal yang berubah dan ada yang tidak, lalu kami meminum jus yang kami dapatkan sebagai hadiah.

Sisa-sisa matahari bersinar merah menerangi awan.

Langit jingga perlahan-lahan berubah menjadi biru tua.

Suara berisik terdengar dari speaker, dan kemudian siaran yang menandakan berakhirnya festival budaya SMA Suisei mulai diputar, mengarahkan para tamu dari luar. Dalam tiga puluh menit ke depan, gerbang sekolah akan ditutup sementara.

Setelah itu, hanya siswa SMA Suisei saja yang bisa bersenang-senang. Acara api unggun sudah menanti.

“Mau ikut bergabung?”

Saat aku bertanya begitu, Ayase-san membalasnya dengan mengangguk.

“Mumpung lagi di acara seperti ini. Aku ingin memiliki kenangan menari dengan Asamura-kun.”

“Kalau begitu, ayo kita pergi ke kelas dulu dan bantu bersih-bersih. Kalau kita menunggu di sini hampir satu jam, tubuh kita bisa kedinginan.”

“Benar juga.”

Kalau diingat-ingat lagi, tahun lalu kami membeli minuman hangat dan meminumnya di sini, tetapi hadiah dari Narasaka-san adalah kaleng jus yang dingin.

Ketika kami berdua kembali ke ruang kelas, ketua kelas terkejut dan bertanya, “Eh? Ada apa?”

Wajar saja reaksinya begitu. Aku dan Ayase-san sepenuhnya dikecualikan dari membantu hari ini, jadi dia pasti tidak menyangka kami akan datang untuk membantu bersih-bersih.

“Cuma ingin menghabiskan waktu.”

“Oh, begitu rupanya. Kalian berdua akan ikut api unggun, ya?”

Ketua dengan cepat menangkap maksud kami.

Tak lama kemudian, langit mulai berwarna biru tua, dan di halaman sekolah, panggung untuk api unggun dibangun dan api dinyalakan.

Rupanya ada suatu masa dalam sejarah SMA Suisei di mana perayaan api unggun harus dihentikan karena alasan bahaya. Konon, yang menghidupkan kembali tradisi itu adalah ketua OSIS dari generasi sebelumnya, jadi kita harus berterima kasih kepada ketua OSIS yang lalu.

Ketika para siswa mulai berkumpul, aku dan Ayase-san juga bergabung dalam antrean.

Akhirnya, musik untuk menari mulai mengalun dari speaker.

Aku berharap kalau lagu yang diputar adalah lagu yang aku kenal, tetapi sepertinya bukan musik tari dari masa SD yang hanya diajarkan secara cepat. Jadi aku tidak punya pilihan lain selain menari dengan meniru gerakan orang lain.

“Sepertinya kita harus lebih dekat satu sama lain.”

Ayase-san memberitahuku demikian, dan aku menarik tubuhnya lebih dekat. Meski langkahku cukup acak-acakan, tetapi setidaknya aku bisa menari tanpa terlihat terlalu aneh dan menonjol.

“Aku penasaran, kita terlihat seperti apa jika berdiri berdekatan seperti ini. Seperti saudara? Atau memang terlihat seperti sepasang kekasih?”

“Entahlah. Aku merasa kalau mungkin saja kedua-duanya.”

Aku menjawab pertanyaan Ayase-san, tetapi jujur saja, aku tidak punya waktu untuk berpikir dengan tenang.

Karena aku jadi teringat dengan sensasi sentuhan kulit Ayase-san yang baru saja kurasakan tempo hari.

Meskipun aku terus merasakan goyangan payudaranya dan kedekatan pinggulnya, kami terus bergerak dalam ritme yang nyaman satu sama lain. Ada teori yang mengatakan bahwa tarian festival di masa lalu digunakan untuk mengukur kecocokan antara pria dan wanita, entah itu benar atau tidak. Jika itu benar, mungkin kecocokan kami tidak terlalu buruk. Aku terkadang berpikir seperti itu.

Lingkaran tarian rakyat berputar mengelilingi sekitar api unggun.

Pria dan wanita berganti posisi sambil bergandeng tangan dan menempelkan tubuh mereka satu sama lain.

Satu, dua, tiga. Di sini, kami bertukar posisi sambil tetap bergandeng tangan. Dia di dalam lingkaran, aku di luar. Sambil mengayun-ayunkan tubuh, kami menempelkan pinggang satu sama lain dan melangkah.

Karena ini adalah tarian tanpa ada pergantian pasangan, aku dan Ayase-san terus menari di sekitar api unggun sambil tetap berdekatan.

Jika lingkungan kami segelap ini, mungkin tidak ada yang bisa tahu siapa yang menari dengan siapa.

Namun, saat itu aku berpikir. Di suatu tempat di dalam hatiku, mungkin ada perasaan bahwa aku tidak keberatan jika ada seseorang yang melihat kami, bahkan sebaliknya, aku ingin mereka melihatnya. Karena aku ingin hubungan kami melangkah lebih jauh.

“Saudara tiri, sepasang kekasih. Mungkin kita terlihat seperti keduanya, tetapi aku... aku lebih suka kalau kita terlihat seperti sepasang kekasih.”

“… Iya.”

Kulit kami saling menyentuh dan disentuh secara langsung. Kami berdua saling bertukar suhu tubuh. Aku bisa percaya tanpa keraguan bahwa apa yang terjadi di antara kami bukanlah pengungkapan keinginan vulgar seperti yang aku khawatirkan, melainkan merupakan tindakan konfirmasi kasih sayang yang nyata. Itu adalah pemahaman yang baru bisa aku dapatkan setelah benar-benar bersentuhan secara langsung dengannya.

Bahkan sampai sekarang. Meskipun jarak di antara kami sangat dekat, kami tidak terpengaruh oleh keinginan yang vulgar.

Tidak apa-apa. Aku pasti bisa menjaga Ayase-san dengan baik, dan Ayase-san juga menerimaku. Jadi, aku akan melangkah maju dengan percaya diri. Dimulai dari level 1 sepasang kekasih, mari kita naik tingkat.

Tiupan angin memicu percikan api dari panggung tengah ke langit yang gelap.

Pipi Ayase-san bersinar merah karena disinari cahaya kobaran api unggun.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama