Chapter 9 — 10 Oktober (Minggu) Asamura Yuuta
Hari kedua
festival budaya. Begitu melangkah masuk melewati gerbang SMA Suisei, aku langsung
merasakan suasana festival yang ceria.
Dengan
langit biru tanpa awan di bawah sinar matahari yang cerah, bendera-bendera dari
berbagai negara berkibar tertiup angin yang menandakan bahwa musim gugur telah
tiba.
Aku berhenti
sejenak sebelum mencapai gedung sekolah dan berdiskusi dengan Ayase-san tentang
dari mana kami akan mulai menjelajahi.
Kami mulai
dari lantai satu. Tentu saja, ada banyak rumah hantu dan kafe yang menjadi
favorit pengunjung. Makanan yang bisa disajikan terbatas karena tidak bisa
menggunakan api, jadi hanya ada yang bisa dipanaskan dengan hot plate atau microwave,
tetapi tetap ada crepe, jus, dan bahkan baby castella.
“Aku tidak pernah
terpikir tentang castella.”
“Rassanya enak.
Seharusnya kita juga bisa menyajikan ini di kafe kita.”
Mungkin
tahun lalu atau tahun sebelumnya juga ada, tetapi aku tidak menyadarinya.
Sebelumnya, aku tidak terlalu antusias menjelajahi festival budaya, jadi aku
tidak bisa menyadarinya.
Seperti yang
diharapkan, jumlah pengunjung festival sekolah kami memang banyak. Mungkin
karena lokasi sekolah yang dekat dengan stasiun. Sepertinya jumlah pengunjung
umum juga meningkat karena hari Minggu.
Sepertinya jenis
pertunjukan juga terasa sedikit meningkat dibandingkan tahun lalu.
Beberapa
kelas hanya melakukan pameran, tetapi ada satu pameran yang menarik
perhatianku.
Di aula, ada
pameran di mana teman-teman sekelas membawa drone untuk merekam tarian dan
permainan bola dari berbagai sudut. Ini ternyata cukup menarik. Melihat sesuatu
yang biasa dari sudut yang tidak biasa mengubah kesan terhadapnya. Meskipun ini
hanya pameran sederhana dengan layar yang dipasang di dalam kelas dan video
yang diputar secara berulang, aku ingin memberikan penghargaan untuk orang yang
memikirkan ide ini.
Festival
budaya juga merupakan ajang bagi klub-klub yang berkaitan dengan budaya.
Di gedung
kedua yang sejajar dengan gedung utama, yang juga disebut sebagai gedung kelas
khusus, klub fisika memamerkan robot, sementara klub kimia melakukan eksperimen
kimia yang berwarna-warni. Ada juga pameran foto astronomi dan fosil. Di gedung
klub, klub teh sedang menyajikan teh.
Ayase-san
ingin pergi ke sana, tetapi sayangnya tempatnya penuh dan sepertinya kami tidak
bisa masuk.
Di ruang
seni, karya-karya anggota klub seni dipamerkan, dan kebetulan ada juga fluid
art. Apa mereka sedang melakukan itu? Saat Ayase-san melihatnya, salah satu
anggota klub datang dan menunjukkan keberadaan kode QR yang terletak di samping
pameran. Ternyata klub seni telah mengambil foto karya mereka dan mempostingnya
di Instagram agar bisa dilihat kapan saja.
“Apa kamu
tertarik dengan hal-hal seperti ini?”
“Umm, ya.
Akhir-akhir ini aku sedikit tertarik…”
Setelah
Ayase-san menjawab demikian, anggota klub seni tadi memberitahu kami tentang
beberapa pameran yang akan diadakan dalam waktu dekat. Sepertinya anggota klub
itu juga menyukainya.
Setelah
mendengarkan sedikit pertunjukan dari klub orkestra di aula, kami kembali ke
gedung sekolah.
Kami memakan
yakisoba di stan kafe. Setelah perut kami terisi, aku dan Ayase-san melangkah
masuk ke dalam ruangan kelas Narasaka-san.
Karena kami
datang tepat pada waktunya, sepertinya ada tempat yang kosong. Kami diizinkan
untuk ikut serta dalam permainan escape room.
Sepertinya
para pesertanya terdiri dari 4 hingga 6 orang.
Ruang kelas
dibagi menjadi empat bagian, dan jika berhasil memecahkan teka-teki di satu
ruangan dalam waktu yang ditentukan, kami bisa melanjutkan ke ruangan
berikutnya. Jika tidak bisa memecahkan teka-teki, permainan berakhir di situ,
dan kami akan menerima kartu bertuliskan “hadiah hiburan” dan dikeluarkan ke
koridor. Ilustrasi anak kucing yang menangis di kartu itu sangat lucu. Meskipun
tidak bisa menyelesaikan teka-teki, sepertinya aku bisa memaafkan hanya dengan
kartu ini.
Selain aku
dan Ayase-san, ada dua siswa laki-laki dan dua siswa perempuan dari sekolah
lain.
Kami saling
menyapa dengan singkat, dan siswa yang bertugas sebagai pemandu mulai
menjelaskan. Rupanya orang yang bertugas sekarang adalah Narasaka-san. Mungkin
dia memperhatikan kami yang ikut serta.
“Baiklah, sekarang
kami akan membagikan kartu karakter ini. Total ada 8 karakter, jadi silakan
pilih salah satu yang kalian suka.”
Dia
berbicara dengan cara yang lebih sopan dari biasanya.
Ketika
melihat kartu yang dibagikan, ada nama karakter beserta profesinya.
“Arkeolog”, “Jurnalis”,
“Connoisseur”, “Polisi”, “Dokter”, “Insinyur”, “Detektif”, “Petualang”… Hmm.
Rasanya
seperti akan terjadi kejadian yang sedikit menyeramkan.
Jika dilihat
dengan seksama, di kartu karakter ada item bertuliskan ‘Kesempatan Petunjuk’.
Ternyata, ketika terjebak dalam teka-teki, setiap orang bisa mendapatkan satu
petunjuk. Kami berjumlah 6 orang, jadi kami harus memilih 4 orang dari sini.
Ayase-san memilih
“Arkeolog, dan aku memilih “Connoisseur”.
“Apa itu?”
“Kamu tidak
tahu istilah 'Connoisseur'? Istilah tersebut mengacu pada seseorang yang
tidak kekurangan uang dan menghabiskan waktu untuk membaca dan penelitian yang
mereka sukai.”
Dia bilang kalau
itu sangat menggambarkan diriku, tapi sebenarnya aku bukan orang kaya.
“Sekarang,
aku akan menjelaskan situasinya.”
Narasaka-san
mulai berbicara dengan nada suara yang sedikit ditekan.
“Tempat di
mana kalian semua berada sekarang adalah… sebuah kastil tua di sudut Eropa.”
Tiba-tiba
saja settingnya terjadi di luar negeri.
“Ah, karena
ini terlalu merepotkan, saat saling memanggil, kalian bisa menggunakan nama
kalian sendiri atau julukan. Pokoknya, ini adalah kastil tua, dan kalian
mengunjungi tempat ini karena berbagai alasan. Mari kita anggap ini adalah tur
wisata.”
Dan menurut Narasaka-san,
begitu kami masuk ke kastil, hujan mulai turun, petir menggelegar, dan jalanan
terhalang oleh tanah longsor—intinya, mereka tidak bisa keluar. Tidak hanya
itu, ternyata sudah ada orang yang hilang di kastil ini sejak sekitar seminggu
yang lalu.
Orang-orang
yang hilang itu hingga kini belum ditemukan.
“Setelah
berbagai kejadian, kalian semua terjebak hingga ke bawah tanah kastil.”
Tiba-tiba, kami
langsung dilempar ke dalam adegan klimaks.
“Jadi, mari
kita pecahkan teka-teki dan keluar dari kastil. Ruangan pertamanya adalah──”
Begitulah
cara permainan escape room dimulai. Karena ini adalah rencana yang
dibuat oleh Maru yang suka bermain game, permainan ini cukup serius. Meskipun
ruangan pertama hanya membutuhkan sedikit teka-teki untuk diselesaikan, ruangan
kedua dan ketiga membuat kami berpikir keras hingga batas waktu habis baru bisa
terpecahkan.
Dan
sekarang, ruangan keempat.
Setelah
mencapai titik ini, kami ingin menyelesaikannya.
Ngomong-ngomong,
dari segi cerita, tampaknya bangsawan yang tinggal di kastil ini di masa lalu
sedang mencari “kebenaran alam semesta”. Dan bangsawan yang merupakan
kepala keluarga itu meninggalkan catatan yang mengatakan “akhirnya aku
berhasil menemukannya” sebelum menghilang.
Di ruangan
terakhir, ada satu pintu. Sepertinya kami harus membuka pintu itu.
Jika gagal,
semua orang yang ada di ruangan itu akan dilemparkan ke luar angkasa──tunggu,
apa itu berarti akan dilempar melayang ke luar angkasa…?
“Dasar Maru,
ia benar-benar suka membawa cerita yang mirip dengan horor fiksi ilmiah murahan…”
Dan di pintu
terakhir tertulis:
'Persembahkan
vas dengan cinta sejati.'
Vas, ya.
Hmm, aku berpikir.
Dan kemudian
aku berpikir, tunggu… rasanya ada yang aneh.
“Mengapa
dinding yang berfungsi sebagai pintu ini berbingkai hitam dengan latar belakang
putih bersih?”
“Memangnya ada
yang aneh dengan itu?”
Orang yang
menanyakan itu adalah Ayase-san.
“Jika ini
terlihat seperti pintu, setidaknya harus ada sesuatu seperti pegangan, ‘kan?
Dan kenapa hanya bagian atas persegi panjang hitam itu yang ditempel dengan kertas
putih?”
“Mungkin itu
menggambarkan pintu dengan jendela?”
“Tapi, kalau
begitu, kenapa kertas putih itu diletakkan di tempat yang tepat agar terkena
cahaya…?”
Pintu yang
harus kami buka adalah tirai persegi panjang hitam setinggi badan yang
tergantung, dengan kertas putih ditempel di ketinggian kepala. Dan, lampu
menyinari dari belakang kami. Oleh karena itu, pada awalnya aku mendekat ke
kertas putih itu, berharap ada petunjuk tertulis di sana, tetapi bayangan
kepalaku membuatnya sulit untuk dilihat.
Meskipun aku
mendekat dan melihat dengan baik, kertas itu benar-benar putih dan tidak ada
yang tertulis di sana.
...Jujur
saja, meminta kami untuk memecahkan ini tanpa petunjuk adalah hal yang tidak
masuk akal, bukan?
Jadi, apa
yang harus kami lakukan?
“Ehmm, kalau
tidak salah cuma aku satu-satunya yang masih bisa mendapatkan petunjuk lagi, ya?”
Ayase-san
bertanya.
“Karena kita
sudah menghabiskannya sampai di sini.”
Sama seperti
di permainan poker, Ayase-san tampaknya tipe yang menyimpan kartu hingga saat
terakhir.
“Baiklah, karena
tidak ada waktu lagi. Aku akan menggunakannya. Aku ingin menggunakan 'Kesempatan
Petunjuk' dari 'Arkeolog' ini.”
Setelah mendengar
pernyataan Ayase-san, Narasaka-san membuka buku skenario yang sepertinya berisi
petunjuk.
“Hmm,
petunjuknya adalah… sesuatu yang paling tua di dalam ruangan ini menyimpan
petunjuk.”
“Sesuatu
yang paling tua…?”
Salah satu
dari dua gadis yang tampaknya dari sekolah lain berkata, “Oh, aku melihat itu
sebelumnya”, sambil mendekati meja belajar di dekat tirai yang masuk.
“Lihat, yang
ini.”
“Ini hanya
chip mainan.”
Siswa
laki-laki itu tampak bingung, tetapi siswi yang memegang chip plastik kuning
itu membaliknya.
“Lihat di
sini.”
Ternyata, di
belakangnya ada label kecil yang tertulis “koin sangat tua” yang
ditempelkan dengan selotip.
“…Habisnya,
kami tidak bisa mendapatkan koin kuno Eropa sih.”
Narasaka-san
berkata dengan sedikit cemberut.
...Ya, karena
kami hanyalah siswa SMA biasa.
Apa boleh
buat. Mari kita ikuti saja permainannya.
“Itu koin
yang cukup tua. Bagaimana, Profesor Ayase? Apa kamu tahu sesuatu?”
“Eh! Hmm…?”
Dengan
bingung, Ayase-san melihat ke arah Narasaka-san.
“Ya. Jadi,
aku akan memberikan petunjuk. Koin tua itu adalah koin yang terukir dengan
profil ratu pertama negara ini. Cuma itu saja!”
Semua orang
memegangi kepala mereka.
Tidak ada
yang mengerti.
Meskipun
disebutkan profil. Apa petunjuk ini sebenarnya?
“Baiklah. Waktunya
tinggal dua menit lagi.”
Profil,
profil, profil, profil… Pintu hitam pekat. Kertas putih di ketinggian kepala.
Lampu yang menyinari dari belakang. Tapi tidak ada yang tertulis di kertas itu,
dan meskipun mendekat, hanya bayangan kepalaku yang terlihat. Hanya wajahku,
atau mungkin hanya wajah. Wajah, wajah, wajah… profil… Hmm. Rasanya aku baru
kepikiran sesuatu.
“Ah… itu
dia. Vas Rubin…”
Lima pasang
mata, termasuk Ayase-san, tertuju padaku. Mereka semua menatapku.
“Satu menit
lagi!”
Aku tidak
tahu apakah ini benar atau tidak, tapi ya, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan
yang lain.
“Ayase-san,
bisakah kamu membantuku sebentar? Umm, coba berdirilah di sana.”
Aku
memintanya berdiri menghadap pintu dengan posisi menyamping. Lampu tepat
mengenai wajahnya sehingga bayangan profil Ayase-san jatuh di kertas putih. Aku
juga berdiri menghadapnya, hampir menyentuhkan hidungku ke wajahnya.
Karena
perbedaan tinggi badan kami, aku jadi sedikit membungkuk.
Ketika itu
terjadi, bayangan profil kami berdua jatuh di atas kertas.
Keempat
orang yang memperhatikan serentak berkata, “Ah.”
“Eh, ada
apa?”
Ayase-san
mengalihkan wajahnya, tetapi jika dia melakukannya, maka itu tidak akan
terlihat.
“Arahkan
wajahmu ke sini, Ayase-san.”
Setelah dia
menghadap lagi, aku mengambil foto dengan ponsel dan menunjukkannya.
“Ini, apaan?”
“Karena
sulit dipahami, aku akan menjelaskannya nanti. Tapi, secara logika, ini sudah
benar, ‘kan? Narasaka-san?”
Ketika aku
bertanya demikian, dia langsung tersenyum lebar.
“Benar
sekali! Ya. 'Persembahkan vas dengan cinta sejati' berhasil! Pintu
terbuka, dan kalian semua berhasil keluar dari kastil tua!”
Sorak sorai
kegembiraan terdengar di kelompok kami.
Namun, hanya
Ayase-san saja yang masih tampak kebingungan tentang apa yang terjadi. Aku
menunjukkan foto itu sekali lagi sambil menjelaskan.
“Kamu tidak
tahu tentang 'Vas Rubin'? Ini semacam ilusi optik, tetapi bukan pada
bayangan foto ini, fokuslah pada bagian putih.”
Aku
menjelaskan sambil mengikuti garis-garis di foto.
“Lihat,
bukankah itu terlihat seperti bentuk vas?”
Setelah beberapa
kali berkedip, Ayase-san juga bergumam, “Ah.” Setelah memastikan itu, aku
mencarinya di ponsel dan menunjukkan gambar 'Vas Rubin' yang sebenarnya.
Jujur saja, bayangan yang dibuat dengan wajah orang-orang di situ tidak mungkin
terlihat seindah vas tersebut.
Namun,
sebagai teka-teki, seharusnya logikanya sudah sesuai.
Karena
kelompok berikutnya tampaknya akan masuk, Narasaka-san mendorong kami untuk
mengambil kartu “Sukses Melarikan Diri” (yang bergambar kucing bersorak
sorai) dan menerima minuman kaleng sebagai hadiah.
Saat aku
meninggalkan ruang kelas, Maru datang untuk memberi salam. Ia terlihat kecewa,
tetapi aku juga hanya kebetulan bisa memecahkan teka-teki itu, jadi aku tidak
bisa terlalu membanggakannya.
Bagaimanapun
juga, bagi Maru yang membuat teka-teki tersebut, jika tidak ada satu pun yang
berhasil melarikan diri dari permainan ini, pasti akan ada keluhan di kemudian
hari. Jadi, penting juga untuk memiliki beberapa penantang yang berhasil
menyelesaikannya.
Kami berdua juga
ikut merasa senang, jadi kupikir itu bagus.
◇◇◇◇
“Jadi, kita
mau meminum ini di mana?”
Aku
mengangkat minuman kaleng yang diberikan oleh Narasaka-san.
“Aku sedikit
lelah. Aku ingin istirahat di suatu tempat.”
“Tempat
untuk istirahat, ya...”
Ruang
istirahat di sekolah seharusnya tidak bisa digunakan selama festival budaya.
Seingatku, klub tata boga sedang membuka stan di sana. Ada juga bangku di
halaman tengah—tapi seperti yang aku rasakan saat bertemu Maru di waktu
istirahat, tempat itu sangat populer, jadi belum tentu kami bisa duduk di sana.
Di sisi lain, kembali ke kelas kami juga terasa kurang tepat. Mungkin itu akan
mengganggu yang lain.
Lalu
tiba-tiba aku teringat tentang festival budaya tahun lalu.
“Bagaimana
kalau di sana?”
Aku mencoba mengusulkan
tempat itu kepada Ayase-san.
Di atas
tangga darurat gedung kelas khusus.
Tahun lalu,
kami memilih tempat itu karena paling jauh dari keramaian festival. Sepertinya
tahun ini juga kami bisa bersantai di sana.
Ayase-san
setuju, jadi dengan membawa hadiah minuman kaleng di tangan, kami pergi ke
tempat yang juga kami kunjungi tahun lalu. Setahun yang lalu, hembusan anginnya
terasa dingin, tetapi tahun ini belum sedingin itu.
Keramaian
siswa terdengar sampai ke lantai tertinggi tempat kami berada. Suara
samar-samar mungkin berasal dari musik band yang berpartisipasi secara
sukarela. Atau mungkin dari klub musik ringan. Suara ceria itu perlahan-lahan
menghilang ke langit yang mulai gelap.
“Asamura-kun,
kamu terlihat lega, ya.”
Saat
Ayase-san memberitahuku hal itu, aku hanya bisa tersenyum kecut. Sebenarnya,
itu benar. Aku memang merasa lega.
Fakta bahwa
kami pergi berkencan di festival budaya sekolah sebagai sepasang kekasih telah
berubah dibandingkan tahun lalu, tetapi aku masih merasa tidak nyaman dengan
keramaian, jadi tempat yang sepi seperti ini lebih membuatku tenang.
Kami tertawa
sambil berbincang bahwa ada hal-hal yang berubah dan ada yang tidak, lalu kami
meminum jus yang kami dapatkan sebagai hadiah.
Sisa-sisa
matahari bersinar merah menerangi awan.
Langit jingga
perlahan-lahan berubah menjadi biru tua.
Suara
berisik terdengar dari speaker, dan kemudian siaran yang menandakan berakhirnya
festival budaya SMA Suisei mulai diputar, mengarahkan para tamu dari luar.
Dalam tiga puluh menit ke depan, gerbang sekolah akan ditutup sementara.
Setelah itu,
hanya siswa SMA Suisei saja yang bisa bersenang-senang. Acara api unggun sudah
menanti.
“Mau ikut
bergabung?”
Saat aku
bertanya begitu, Ayase-san membalasnya dengan mengangguk.
“Mumpung
lagi di acara seperti ini. Aku ingin memiliki kenangan menari dengan
Asamura-kun.”
“Kalau
begitu, ayo kita pergi ke kelas dulu dan bantu bersih-bersih. Kalau kita
menunggu di sini hampir satu jam, tubuh kita bisa kedinginan.”
“Benar juga.”
Kalau
diingat-ingat lagi, tahun lalu kami membeli minuman hangat dan meminumnya di
sini, tetapi hadiah dari Narasaka-san adalah kaleng jus yang dingin.
Ketika kami berdua
kembali ke ruang kelas, ketua kelas terkejut dan bertanya, “Eh? Ada apa?”
Wajar saja
reaksinya begitu. Aku dan Ayase-san sepenuhnya dikecualikan dari membantu hari
ini, jadi dia pasti tidak menyangka kami akan datang untuk membantu
bersih-bersih.
“Cuma ingin
menghabiskan waktu.”
“Oh, begitu
rupanya. Kalian berdua akan ikut api unggun, ya?”
Ketua dengan
cepat menangkap maksud kami.
Tak lama
kemudian, langit mulai berwarna biru tua, dan di halaman sekolah, panggung
untuk api unggun dibangun dan api dinyalakan.
Rupanya ada
suatu masa dalam sejarah SMA Suisei di mana perayaan api unggun harus dihentikan
karena alasan bahaya. Konon, yang menghidupkan kembali tradisi itu adalah ketua
OSIS dari generasi sebelumnya, jadi kita harus berterima kasih kepada ketua
OSIS yang lalu.
Ketika para siswa
mulai berkumpul, aku dan Ayase-san juga bergabung dalam antrean.
Akhirnya,
musik untuk menari mulai mengalun dari speaker.
Aku berharap
kalau lagu yang diputar adalah lagu yang aku kenal, tetapi sepertinya bukan
musik tari dari masa SD yang hanya diajarkan secara cepat. Jadi aku tidak punya
pilihan lain selain menari dengan meniru gerakan orang lain.
“Sepertinya
kita harus lebih dekat satu sama lain.”
Ayase-san memberitahuku
demikian, dan aku menarik tubuhnya lebih dekat. Meski langkahku cukup
acak-acakan, tetapi setidaknya aku bisa menari tanpa terlihat terlalu aneh dan
menonjol.
“Aku penasaran,
kita terlihat seperti apa jika berdiri berdekatan seperti ini. Seperti saudara?
Atau memang terlihat seperti sepasang kekasih?”
“Entahlah. Aku
merasa kalau mungkin saja kedua-duanya.”
Aku menjawab
pertanyaan Ayase-san, tetapi jujur saja, aku tidak punya waktu untuk berpikir
dengan tenang.
Karena aku jadi
teringat dengan sensasi sentuhan kulit Ayase-san yang baru saja kurasakan tempo
hari.
Meskipun aku
terus merasakan goyangan payudaranya dan kedekatan pinggulnya, kami terus
bergerak dalam ritme yang nyaman satu sama lain. Ada teori yang mengatakan
bahwa tarian festival di masa lalu digunakan untuk mengukur kecocokan antara
pria dan wanita, entah itu benar atau tidak. Jika itu benar, mungkin kecocokan
kami tidak terlalu buruk. Aku terkadang berpikir seperti itu.
Lingkaran
tarian rakyat berputar mengelilingi sekitar api unggun.
Pria dan
wanita berganti posisi sambil bergandeng tangan dan menempelkan tubuh mereka
satu sama lain.
Satu, dua,
tiga. Di sini, kami bertukar posisi sambil tetap bergandeng tangan. Dia di
dalam lingkaran, aku di luar. Sambil mengayun-ayunkan tubuh, kami menempelkan
pinggang satu sama lain dan melangkah.
Karena ini
adalah tarian tanpa ada pergantian pasangan, aku dan Ayase-san terus menari di
sekitar api unggun sambil tetap berdekatan.
Jika
lingkungan kami segelap ini, mungkin tidak ada yang bisa tahu siapa yang menari
dengan siapa.
Namun, saat itu aku berpikir. Di suatu tempat di dalam hatiku,
mungkin ada perasaan bahwa aku tidak keberatan jika ada seseorang yang melihat
kami, bahkan sebaliknya, aku ingin mereka melihatnya. Karena aku ingin hubungan
kami melangkah lebih jauh.
“Saudara
tiri, sepasang kekasih. Mungkin kita terlihat seperti keduanya, tetapi aku... aku
lebih suka kalau kita terlihat seperti sepasang kekasih.”
“… Iya.”
Kulit kami
saling menyentuh dan disentuh secara langsung. Kami berdua saling bertukar suhu
tubuh. Aku bisa percaya tanpa keraguan bahwa apa yang terjadi di antara kami
bukanlah pengungkapan keinginan vulgar seperti yang aku khawatirkan, melainkan
merupakan tindakan konfirmasi kasih sayang yang nyata. Itu adalah pemahaman
yang baru bisa aku dapatkan setelah benar-benar bersentuhan secara langsung
dengannya.
Bahkan
sampai sekarang. Meskipun jarak di antara kami sangat dekat, kami tidak
terpengaruh oleh keinginan yang vulgar.
Tidak
apa-apa. Aku pasti bisa menjaga Ayase-san dengan baik, dan Ayase-san juga
menerimaku. Jadi, aku akan melangkah maju dengan percaya diri. Dimulai dari
level 1 sepasang kekasih, mari kita naik tingkat.
Tiupan angin
memicu percikan api dari panggung tengah ke langit yang gelap.
Pipi
Ayase-san bersinar merah karena disinari cahaya kobaran api unggun.