Chapter 5 — Dan Kemudian, Aktingnya Menjadi Nyata
Keesokan
paginya, di ruang makan rumah Suou yang bersejarah,
terdapat suasana tegang yang aneh di meja makan.
Orang yang
duduk depan meja panjang adalah kepala keluarga Suou, Suou Gensei. Putrinya, Yumi. Dan mantan suaminya, Kyoutaro,
serta putra mereka yang saat ini dalam keadaan terasing dan tidak diakui,
Masachika.
Bagi pihak
yang mengetahui hubungan di antara mereka, mereka pasti akan terkejut melihat
kombinasi yang aneh ini, tapi setelah sekitar sepuluh menit sarapan dimulai,
sejauh ini tidak ada ketegangan yang terjadi dan interaksi mereka berlangsung
damai.
“Ngomong-ngomong,
berkat saran dari Gensei-san
pada pertemuan bulan lalu, pembicaraannya bisa
berjalan lancar. Terima kasih banyak.”
“Begitu, ya. Apa Grayder masih tetap sama?”
“Ya,
malahan sepertinya beliau semakin
bersemangat setelah cucunya lahir.”
Namun, hanya
Kyoutaro dan Gensei saja yang berbicara sejak beberapa
waktu lalu, sementara Masachika dan Yumi
hanya diam-diam
menikmati makanan mereka. Hal yang sama berlaku untuk Natsu dan Ayano yang
sedang melayani, mereka sepenuhnya menjaga suasana dan melayani dengan tenang.
“Masachika-sama,
apa Anda ingin menambah
roti lagi?”
“Tidak,
terima kasih.”
“Baiklah,
saya mengerti.”
Pertanyaan
yang tidak mengganggu percakapan, lembut dan tidak mencolok. Gerakan yang tidak
mengganggu pandangan, lancar
dan tanpa cela. Meskipun sudah sepenuhnya
menghilangkan keberadaan mereka, mereka tetap menjalankan tugas dengan baik.
Natsu dan Ayano baru saja bergantian menjaga Yuki semalam, dan Ayano, yang baru
berusia lima belas tahun, sudah mencapai tingkat keahlian dalam melayani. Hanya
saja...
“Hugh~~♡”
Jika saja
dia tidak bergetar setelah berbicara dengan Masachika.
(Sembunyikan
kegembiraanmu...
tidak, sembunyikan kebahagiaanmu, Ayano. Itu terlihat jelas di tubuhmu.)
Meskipun
ekspresinya tetap datar seperti biasa, dari sudut pandang Masachika, ada
kepuasan dan rasa terharu yang mengalir dari seluruh tubuhnya yang seolah
berkata, “Saya sekarang sedang melayani
Masachika-sama...!”. Bahkan Masachika bisa
merasakan bahwa di belakang Ayano, terdapat cahaya yang memancar saat dia
menatap kosong dengan kilauan di matanya. Bagi Ayano, tampaknya bisa melayani
Masachika dengan kemampuan terbaiknya di sini jauh lebih
penting daripada fakta bahwa Gensei
dan Masachika bisa duduk
bersama setelah beberapa tahun.
(Yah, aku merasa sedikit bersyukur dengan kesetiaan itu sekarang... mungkin
sebaiknya aku menambahkan julukan
‘tempoku sendiri’ kepada
pelayan M yang
pendiam, tak bersuara, dan tanpa ekspresi ini, lalu
mengubahnya dari 5M menjadi
6M.) (TN: Buat yang lupa julukan 5M itu dari mana,
itu berasal dari deskripsi karakter Ayano yang Mukuchi, Mugon, Muhyoujo
M Maid, yang kalau diartikan menjadi [Pelayan M yang pendiam, tak
bersuara dan tanpa ekspresi], lalu tadi Masachika menambah julukan baru ‘My
Pace/temponya sendiri’, makanya dari 5M menjadi 6M :v, kalau ditanya apa maksud
Pelayan M, yah kalian sudah tahu sendiri maksudnya wkwkwk)
Masachika
diam-diam tertawa kecil saat memikirkan hal itu sejenak. Namun, ia segera mengencangkan ekspresi wajahnya
kembali.
(Ah, aku
terlalu santai. Yah, meskipun
sepertinya tidak ada yang melihatnya sih.)
Melihat
ke arah Gensei dan Kyoutaro yang masih melanjutkan percakapan mereka,
Masachika dengan ringan
mengangkat bahunya. Namun,
“Masachika-san,
apa, ada yang salah?”
Mendengar
panggilan tak terduga itu, Masachika terkejut dan menoleh. Ternyata bukan hanya
Masachika saja yang
terkejut, Gensei dan
Kyoutaro juga terdiam sejenak. Namun, mereka segera melanjutkan percakapan
seolah-olah tidak terjadi apa-apa, meskipun
suasananya masih terasa
kikuk dan canggung. Masachika tidak punya
waktu untuk memikirkan sikap mereka dan hanya menatap Yumi dengan penuh perhatian.
“Ehm, maksudnya
ada yang salah?”
“Yah,
karena sepertinya kamu tadi sedikit tersenyum...”
Masachika
terdiam dan terkejut saat Yumi mengatakan hal ini sambil menatap wajah
Masachika, sementara tatapannya masih sedikit mengembara. Ia tidak bisa menghindar dan
menjawab dengan jujur.
“Tidak,
aku hanya merasa lucu melihat Ayano yang begitu
ceria dan bersukacita...”
“!?”
Dari
belakang punggungnya, Masachika bisa merasakan kalau Ayano menegakkan
punggungnya. Yumi
mengalihkan pandangannya ke arah Ayano.
“Ayano-san?
Apa benar begitu?”
“Ya──. Saya merasa sangat senang bisa melayani
Masachika di sini... mungkin itu sedikit terlihat dalam sikap saya. Saya benar-benar mohon
maaf.”
“Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf segala...”
Yumi tampak sedikit canggung saat melihat Ayano yang serius
menundukkan kepala. Di saat itu, Natsu mencoba meredakan suasana dengan
berbicara.
“Ayano?
Menjadi serius itu bagus, tapi menurutku lebih baik jika kamu merasa malu
daripada minta maaf, loh.”
“Merasa
malu... begitu ya.”
Menanggapi saran bercanda dari Natsu, Ayano
menempelkan kedua tangan di pipinya tanpa ekspresi. Setelah berpikir sejenak,
dia sedikit berpose dan berkata.
“Poh.”
“Memangnya
kamu ini Hachishaku-sama*?” (TN: Hantu urban legend dari jepang)
“Hachishaku-sama?”
“Tidak,
bukan apa-apa.”
“??”
Sambil terus
memegangi pipinya dengan kedua tangannya, Ayano
menampilkan wajah ekspresi tanda
tanya, sementara Kyoutarou tertawa kecil.
“Kalian
berdua akrab sekali, ya.”
“...Hmm,
yah, karena kami berdua adalah teman masa kecil.”
Sambil
mengatakan itu, Masachika
melirik ke arah Gensei, tetapi Gensei tampak tidak marah dan terus makan dalam
diam. Masachika merasa lega dalam hati bahwa suasana tidak terlalu tegang, dan
ia mencari kesempatan untuk memulai pembicaraan.
Ketika
kopi disajikan setelah makan, Masachika mengambil keputusan.
Yang
penting ialah jangan sampai salah
posisi. Saat ini, Masachika berada di sini sebagai teman sekolahnya Yuki, bukan sebagai cucu Gensei.
Dirinya menyadari hal itu dan memilih
kata-katanya dengan
hati-hati.
“Gensei-san.”
Masachika
merasakan suasana di dalam ruangan sedikit bergetar ketika ia memanggil nama Gensei dengan sebutan formal. Yumi dan Natsu menurunkan alis
mereka, saling melirik antara Gensei dan Masachika secara bergantian dengan mata mereka.
Di sisi lain, Kyoutaro tetap tenang, dan Gensei juga mengalihkan wajahnya ke
Masachika tanpa mengubah ekspresinya.
“Ada
apa?”
“Saya minta
maaf atas permintaan mendadak ini.
Tapi kalau Anda berkenan, apa saya boleh
meminta waktu sekitar tiga puluh menit setelah ini?”
“…Baiklah.”
Setelah mengatakan itu dan mengangguk,
Gensei berdiri tanpa menyentuh kopi yang disajikan.
“Mari
kita pindah tempat. Bawakan kopinya ke ruang kerjaku."
“Dipahami.”
Saat
Natsu mengambil nampan, Gensei menatap Masachika dengan tajam.
“Ikuti
aku.”
Setelah
mengatakan itu, ia berjalan cepat tanpa menunggu jawaban. Masachika
terburu-buru berdiri... dan dengan
hati-hati agar tidak terlihat kasar. Saat melewati Kyoutaro, Masachika merasakan tepukan lembut di
pinggangnya.
“!!!”
Ketika melihat
ke arah ayahnya, Kyoutaro memberikan
anggukan lembut dengan ekspresi hangat seperti biasa. Masachika membalas
anggukan itu dan mengikuti Gensei keluar dari ruang makan.
(Ah,
seharusnya lebih baik jika aku
membiarkan pintu terbuka untuk Natsu-san.)
Masachika
memikirkan hal itu sambil mendengar
suara Natsu yang keluar dari ruangan sedikit terlambat sambil membawa dua
cangkir kopi di nampan. Masachika
berpikir bahwa dirinya merasa
tegang karena tidak dapat melakukan perhatian kecil yang biasanya bisa
dilakukannya.
(Tapi,
setidaknya aku menyadarinya sekarang, jadi masih ada sedikit ruang untuk
bernapas...)
Sambil
menganalisis dirinya sendiri dengan cara yang tampak seperti urusan orang lain,
Masachika mengikuti Gensei masuk ke dalam ruang
kerja. Kemudian, ia menahan pintu dan
menyambut Natsu yang datang dari belakang.
“Terima
kasih banyak, Masachika-sama.”
“Tidak
masalah.”
“Permisi.”
Setelah
membungkuk di pintu masuk, Natsu melihat Gensei yang berdiri di belakang meja kerja, lalu meletakkan dua
cangkir kopi di atas meja.
“Saya
akan meletakkannya di sini.”
“Ah,
terima kasih.”
“Saya
merasa terhormat.”
Setelah menerima
pujian dari Gensei, Natsu membawa nampan kosong dan keluar dari ruangan.
Beberapa detik kemudian, Gensei perlahan-lahan
berbalik untuk menghadap
Masachika.
“Jadi,
apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?”
Matanya
yang dingin memancarkan sorot mata tajam.
Pandangan matanya tidak
menunjukkan sedikit pun kasih sayang kepada cucunya. Namun, pada saat yang
sama, Masachika juga tidak merasakan permusuhan atau kebencian terhadap orang
yang telah meninggalkan rumah ini. Dengan sedikit rasa lega, Masachika
berbicara dengan tekad. Kata-kata yang akan menentukan
masa depannya.
“Aku akan
mengatakannya langsung pada intinya.
Aku ingin kamu mengembalikan statusku sebagai penerus keluarga Suou.”
Itulah yang diputuskan Masachika saat
ia memeluk Yuki yang sedang sakit
semalam. Ia tidak
ingin mengorbankan adiknya lebih jauh. Masachika
tidak ingin membuat adik perempuannya menanggung tanggung
jawab yang seharusnya dipikulnya.
Cukup dirinya
saja yang terikat dengan rumah ini karena ia tidak
memiliki semangat maupun
impian sama sekali. Jika ia bisa memberikan kebebasan kepada
adik perempuannya, maka mengabdikan hidupnya
untuk rumah ini tidaklah menjadi masalah.
“......”
Begitu mendengar
permintaan Masachika, alis Gensei bergerak sedikit, dan suasana di
sekelilingnya seketika langsung berubah.
Dari suasana seorang kepala rumah tangga yang menyambut teman sekolah cucunya,
menjadi suasana kepala keluarga Suou.
Dan kemudian, ia bertanya kepada Masachika dengan suara yang jelas lebih
berbobot dan mengintimidasi.
“Aku
sudah memperlakukanmu sebagai teman
sekolah cucuku sejak kemarin... Aku yakin kamu mengerti apa maksudnya saat kamu
mengatakan itu, ‘kan?”
“Tentu
saja.”
Masachika
menjawab dengan tegas tanpa merasa tertekan. Gensei perlahan melangkah
mendekat, melihat Masachika dengan aura yang mengintimidasi.
“Jika
memang begitu, mulai sekarang, aku akan memperlakukanmu sebagai
orang yang telah meninggalkan rumah ini... Kamu mengerti bahwa kamu tidak bisa
mengeluh jika aku mengusirmu sekarang?”
Intimidasi
Gensei dari jarak dekat yang bahkan bisa membuat pria dewasa pun
merasa tertekan. Namun, Masachika tidak mundur dan menatap langsung ke arah matanya. Ia diam-diam merasa lega setelah
memastikan bahwa tidak ada permusuhan atau kebencian di dalam tatapannya. Intimidasi ini hanya bersifat
formalitas. Orang yang ada di hadapannya adalah seorang realis yang
rasional. Jadi, tidak ada alasan untuk merasa takut.
“Meski
begitu, kamu tidak akan mengusirku. Karena menerima usulanku akan menguntungkan keluarga
Suou.”
Gensei
menatap Masachika yang dengan tegas menyatakan pendapatnya
tanpa ragu dalam keheningan. Suasana
yang dipenuhi ketegangan berlangsung selama beberapa detik.... Gensei kemudian berbalik dan
berjalan ke sisi meja kerjanya, lalu duduk di kursi dengan suara berderit.
Setelah menyatukan tangannya di atas meja, ia sedikit meredakan suasana mengintimidasinya dan
berkata.
“Baiklah,
setidaknya aku akan mendengarkan penjelasanmu. Keuntungan apa yang akan didapatkan keluarga
Suou jika aku mengembalikanmu ke rumah ini?”
Diminta untuk melanjutkan, Masachika
mendekati meja kerja dan dengan tegas menyatakan fakta.
“Sederhana
saja. Keluarga Suou akan mendapatkan penerus yang lebih baik daripada Yuki.”
Mendengar
nada yang sangat angkuh itu, Gensei
menyipitkan matanya dan bersandar pada sandaran kursi. Ia kemudian berbicara dengan
tenang dan datar.
“Memang benar kalau Yuki bukanlah tandinganmu
dalam hal bakat bawaan.”
Setelah terus terang mengakui kejeniusan Masachika, Gensei dengan dingin
melanjutkan, “Tetapi, cuma itu saja.”
“Yuki
selalu memberikan hasil yang melebihi
harapanku selama enam tahun terakhir. Lantas,
bagaimana denganmu? Sejak meninggalkan rumah ini, apa yang sudah kamu capai?”
Seolah-olah
bisa melihat kehidupan Masachika yang malas dan
terpuruk, Gensei terus berbicara tanpa ampun.
“Tanpa
mempelajari sesuatu, tanpa mengasah kemampuanmu, dan bahkan tidak membangun relasi. Kamu membiarkan bakat yang
diberikan padamu berkarat dan terus mengabaikan tanggung jawabmu sebagai orang berbakat. Memangnya kamu benar-benar berpikir bisa
menjadi penerus yang lebih baik daripada Yuki? Kengakkuhanmu
itu juga harus ada batasnya.”
Setelah
mengucapkan semua itu
dengan nada meremehkan, Gensei kembali berbicara dengan tenang.
“Selain
itu, kamu pernah
meninggalkan rumah ini sekali. Jika aku membawa
kembali orang yang seperti
itu, itu akan meremehkan Yuki sebagai penerus saat ini, serta keputusanku
sebagai kepala keluarga Suou. Aku takkan pernah
mengambil keputusan yang akan mencemari nama baik Suou.”
Setelah Gensei mengatakan itu dengan jelas,
Masachika langsung menjawab.
“Itu
bohong. Jika memang
benar-benar demikian, kamu tidak akan mendengarkan ceritaku dan akan segera
mengusirku.”
Masachika
membantah pernyataan Gensei secara langsung dan melanjutkan dengan argumennya.
“Mengembalikanku
tidak akan mencemari nama Suou. Karena keluarga Suou dikenal sebagai keluarga yang sangat rasional dan
mengutamakan hasil.”
Masachika
menganggap Gensei sebagai seorang rasionalis yang dingin, tetapi bukan hanya Masachika saja yang mendapat kesan seperti itu. Gensei...
tidak, anggota keluarga Suou secara keseluruhan
dikenal sebagai sosok seperti itu oleh seluruh masyarakat
kalangan atas di negara ini. Meskipun selalu menghasilkan orang yang berbakat, nama
keluarga Suou dikenal sebagai keluarga berdarah dingin yang
tidak pernah mencampurkan perasaan pribadi, bahkan terhadap keluarga sendiri.
Sebenarnya,
setelah Masachika meninggalkan rumah, Gensei bahkan
memperlakukannya seolah-olah dirinya tidak pernah ada. Meskipun Masachika adalah cucu yang sebelumnya
sangat ia pedulikan, begitu menjadi orang
lain, Gensei tanpa ampun menghapus
keberadaannya. Sifat dingin
seperti itulah keluarga Suou.
Oleh karena itu, meskipun posisi penerus dipindahkan dari Yuki ke Masachika,
tindakan itu tidak serta merta merugikan reputasi keluarga Suou. Asalkan itu
masuk akal.
“Aku
sudah pernah meninggalkan rumah sekali?
Daripada itu, seharusnya kamu lebih memikirkan siapa yang lebih layak sebagai
penerusmu... dan keluarga Suou.”
Tanpa
mengiyakan atau membantahnya, Gensei menanggapi pernyataan
Masachika dengan
tenang.
“Walaupun
memang begitu masalahnya, hal
itu tidak mengubah fakta kalau kamu tidak memenuhi syarat
sebagai penerusku. Aku tidak akan menilai seseorang yang tidak menorehkan hasil apa pun.”
“Memang
benar aku menjalani kehidupan yang terpuruk dibandingkan
saat berada di rumah ini... tapi, bukan berarti aku tidak
melakukan apa-apa. Selain itu, jika aku mendapat
hasil yang bisa diterima
semua orang.... terutama
untukmu, Jii-sama, aku akan menunjukkannya mulai sekarang.”
Masachika
meletakkan tangannya di atas meja kerja dan menatap Gensei dengan tegas, lalu menyatakan.
“Aku
akan menggunakan pengalaman dan relasi yang aku dapatkan saat mendukung
Yuki sebagai wakil ketua di sekolah SMP,
dan membuat Kujou Alisa terpilih sebagai ketua OSIS SMA Akademi Seirei. Aku akan menyingkirkan Yuki dan bergabung dengan Raikoukai.
Itulah hasil yang akan aku tunjukkan padamu.”
Masachika
tidak mengandalkan emosinya. Karena itu tidak ada artinya bagi Gensei.
“Aku
yang berhasil memenangkan pemilihan dengan dua pasangan yang berbeda dan
memutuskan untuk bergabung dengan Raikoukai, dan Yuki yang kalah dalam
pemilihan karena kehilangan bantuanku, sehingga tidak bisa masuk Raikoukai. Siapa di antara kami yang lebih layak sebagai
penerus keluarga Suou, itu seharusnya sudah jelas.”
Dirinya bahkan tidak dalam posisi negosiasi yang baik.
Karena itu bukan cara bernegosiasi yang Massachika pelajari dari Gensei.
Oleh
karena itu, Masachika tidak menundukkan kepalanya,
ia hanya menatap langsung ke arah Gensei dan berkata.
“Aku
akan mengatakannya sekali lagi. Jika
aku mengalahkan Yuki dalam pemilihan OSIS mendatang
dan berhasil masuk ke dalam Raikoukai, aku ingin kamu mengembalikan statusku sebagai penerus keluarga Suou.”
Gensei
menatap kembali ke arah Masachika yang menutup mulutnya. Setelah
beberapa saat keheningan berlalu..... akhirnya Gensei perlahan
membuka mulutnya.
“....Baiklah.”
“!!!”
“Jika
kamu bisa mengalahkan Yuki dalam pemilihan OSIS mendatang dan mendapatkan
kualifikasi untuk bergabung dengan Raikoukai... aku akan menyambutmu
kembali sebagai anggota keluarga Suou.”
Masachika hampir merasa sedikit lega setelah mendengar itu, tapi ia segera mengembalikan konsentrasinya saat mendengar kata “Tapi” dari Gensei.
“Namun,
pada saat itu, aku takkan langsung
menunjukmu sebagai pengganti. Kamu dan Yuki akan diperlakukan
sebagai kandidat penerus yang setara.”
Dengan kata
lain, Masachika hanya
diletakkan di garis awak
persaingan untuk menjadi penerus. Namun, itu tidak masalah. Yuki mungkin tidak terlalu tertarik dengan posisi kepala keluarga Suou, dan
dia juga tidak berambisi untuk
menjadi diplomat. Jadi, tidak ada alasan untuk bersaing, dan jika dirinya berhasil membuat Yuki
mundur tanpa perlawanan, itu saja
sudah cukup.
“Itu
tidak masalah.”
Kali ini
Masachika merasa lega, tapi ia
hanya mengangguk sambil duduk tegak tanpa
menunjukkannya. Namun, pembicaraan belum masih selesai.
“Selain itu, aku
ingin mengatakan kalau aku tidak mengakui kemenanganmu sebagai wakil ketua OSIS.”
“…Hah?”
“Itu
sudah jelas. Jika kamu ingin mengalahkan Yuki, kamu
harus bertarung sebagai kandidat ketua OSIS yang setara.”
Masachika
dibuat terdiam ketika mendengar kata-kata yang tidak
terduga itu, tapi Gensei dengan
tegas menyatakan bahwa dia tidak akan menerima bantahan.
“Jika
kamu mengalahkan Yuki dalam pemilihan, menjalankan
OSIS sebagai ketua selama satu tahun, dan berhasil mendapatkan kualifikasi
untuk bergabung dengan Raikoukai, pada saat itu aku akan
mengakuimu sebagai kandidat penerusku.”
◇◇◇◇
“……”
Bunyi
detakan jarum detik yang menandakan waktu berlalu
bergema di dalam ruangan.
Setelah
berbicara dengan Gensei, Masachika mengunjungi kamar Yuki dan mengawasi adiknya
yang masih tidur.
Menurut penuturan Ayano, yang bergantian merawatnya
sepanjang malam dengan Natsu, saat fajar
tiba, Yuki sempat terbangun sedikit dan demamnya sudah turun, serta
kesadarannya juga sudah
jelas. Nyatanya, wajahnya terlihat jauh lebih baik dibandingkan kemarin, dan
napasnya tampak tenang.
(Mungkin obatnya mulai bekerja…)
Saat Masachika memikirkan hal itu dan berterima
kasih kepada Ayano yang sedang tidur siang, Yuki tiba-tiba membuka matanya.
“……”
Matanya
yang masih tampak linglung menatap
langit-langit, dan bibirnya yang kering perlahan mulai mengucapkan kata-kata.
“Aku tadi bermimpi seperti itu.”
“Mimpi
tentang apa?”
“Dengan kata
lain, aku sebagai gadis miko
pemula, diberi sapu bambu yang tampaknya biasa-biasa ini, tapi ternyata wujud asli dari sapu bambu tersebut adalah
tombak bambu yang digunakan untuk mengeksekusi orang Kristen tersembunyi, salah
satu dari 'tombak pembunuh orang suci' Longinus.”
“Sepertinya
kamu benar-benar memimpikan sesuatu yang sangat menarik!!”
Masachika
berkomentar dengan sedikit bersemangat dan
langsung menyela. Namun, Yuki mengabaikannya dan terus menatap langit-langit
dengan serius.
“……Aku
tahu langit-langit ini.”
“Jangan
tiba-tiba berkata seperti itu setelah kamu
baru bangun!!”
Masachika
melupakan interaksinya dengan Gensei dan terus menanggapi
dengan konyol ketika melihat sikap adik perempuannya yang tiba-tiba kembali normal.
Kemudian,
Yuki menyeringai lebar, mengangkat selimutnya,
berdiri, dan melepaskan kepang rambutnya yang panjang, mengibaskannya ke
belakang. Rambut hitam panjangnya melambai seperti jubah hitam pekat.
Sambil
memancarkan aura yang bermartabat, Yuki meletakkan kedua tangan di
pinggangnya dan membusungkan dadanya, lalu dia berteriak
dengan berdiri tegak.
“Aku,
bangkit kembali!!”
“Kamu
masih sedikit tersegel, jadi
tenanglah dulu oke~”
“Siapa
yang kamu panggil raja iblis, hah!?”
“Dewa
jahat, dewa jahat.”
“Fumu,
baiklah kalau begitu. Hei, cepat ambilkan air, dasar serangga tengik.”
“Jangan
terlalu terbawa suasana begitu. Apa kamu mau aku menyegelmu lagi?”
“Hah,
coba saja kalau bisa.”
Sambil
melihat dari ketinggian dengan sinis, Yuki tertawa mengejek, dan Masachika
dengan cepat meraih selimut, lalu dalam
waktu tiga detik dirinya sudah
membungkus adiknya seperti makanan gulung.
Dalam
sekejap mata, Yuki terbungkus dan mulai
berkedip-kedip sebelum berjuang seperti ulat.
“Ugaaaahhh~~~!
Dasar, dasar kau! Berani-beraninya
makhluk rendahan sepertimu mengurungku
dua kali!”
“Makhluk
tingkat atas yang menganggap manusia sebagai makhluk rendah biasanya adalah
karakter yang harus dikalahkan.”
“Guuuhh——, aku tidak akan memaafkanmu,
tidak akan memaafkanmu... meskipun butuh berabad-abad, aku pasti akan bangkit
kembali dan menguasai dunia ini──”
“Iya,
iya, sudah cukup.”
“Mmmph!”
Masachika
menutupi wajah Yuki dengan bantal untuk membuatnya diam saat dia melanjutkan sandiwara kecilnya.
Namun,
“Tiiidaaaaakkkk! Aku akan dibunuh! Aku akan terlihat seperti mati karena
sakit padahal sebenarnya mati karena tercekik! Bahkan jika kamu membunuhku, warisanku tidak
akan jatuh ke tanganmu!”
“Jangan
tiba-tiba mulai drama yang menegangkan!”
Masachika
segera mengangkat bantalnya saat
Yuki mulai berakting lagi. Ia kemudian
menghela napas panjang dan dengan nada keheranan
berkata,
“Ini serius,
kamu itu masih belum sepenuhnya sembuh, jadi kamu harus tenang sedikit... tenggorokanmu masih sakit,
kan?”
“Hmm...
iya sih.”
Mendengar
kata-kata serius Masachika, Yuki mengerucutkan bibirnya dan mengangguk pelan, lalu dia menghela napas seolah menyerah.
“Baiklah, aku paham... aku akan tenang, jadi bisa enggak kamu lepaskan ini?”
“Kalau
aku melepaskannya, kamu pasti akan berulah lagi.
Ditolak.”
“Kalau
begitu, aku boleh tetap
begini terus?”
“Apa
maksudmu?”
“Petunjuk:
air suci.”
“Rupanya
kamu punya alasan bagus, toh!”
Ketika
Masachika dengan cepat melepaskan selimutnya, Yuki berteriak, “A~re~” sambil berguling-guling di atas tempat tidur, dia lalu berdiri dengan kakinya di
samping tempat tidur dan mengangkat kedua tangannya secara diagonal. Dia
kemudian melihat Masachika dengan curiga.
“…Tidak,
aku tidak akan memberi nilai atau apa pun, oke?
Itu bahkan tidak terlalu artistik.”
“Begitu ya,
apa kamu lebih menyukai kalau aku berguling-guling, melepaskan pakaianku dan
berpose telanjang?”
“Itu
akan langsung membuatmu keluar. Ayo~
cepetan buang air kecil sana.”
“Di
kamar Onii-chan?”
“Di
toilet lah!!”
Yuki meninggalkan kamarnya sambil tertawa ceria.
Melihat punggungnya, Masachika
menghela napas campuran antara keheranan dan lega, lalu mengeluarkan ponselnya
untuk mengirim pesan kepada Ayano bahwa Yuki sudah bangun.
Sambil
menunggu dengan menuangkan air dari teko
ke dalam gelas yang dibawanya, Yuki kembali setelah tampaknya mencuci wajahnya.
“Ahh~~rasanya segar sekali.”
“Ini
airnya.”
“Makasih~”
Yuki menerima
gelas dari tangan Masachika dan meminumnya
dalam satu tegukan.
“Puhha~... eh?"
Kemudian,
setelah melihat wajah Masachika, Yuki
berkedip-kedip dan bertanya,
“Onii,
kenapa kamu ada di sini?”
“Kamu baru
menanyakan itu sekarang!? Aku sudah bicara denganmu kemarin, lho!?”
“Di
toilet?”
“Di
kamar ini!! Lagipula, bagaimana mungkin kita
bisa mengobrol
di toilet!?”
“Berbagi
toilet?”
“Itu
adalah kata-kata yang tidak berlaku untuk pria dan wanita.”
“Berbagi
toilet (dengan makna mendalam).”
“Ya, ya, aku mengerti. Jadi, tolong jangan mengatakannya lebih
jauh.”
“Hehe,
kalau kamu tidak menahan suara dengan benar, orang-orang di luar bisa
mendengarnya, loh?”
“Sudah
kubilang jangan sampai mengatakan itu!”
“Benar, kamu
perlu duduk di sana... hehe, kamu sudah melakukannya
dengan baik. Bagus, bagus.”
“Sudah
kubilang──”
“Hehe,
mungkin sudah saatnya berhenti pakai popok, ya?”
“Oh,
jadi maksudnya pelatihan toilet untuk
anak kecil. Kalau begitu, maafkan
aku.”
“Hayo~ memangnya kamu salah paham tentang apaan~?”
“…Perawatan.”
“Cara
mengelak itu terlalu dipaksakan loh,
Brother.”
“Berisikkkkk,
Kalau kamu masih berulah lagi, aku
akan menggulungmu lagi.”
“Hah,
memangnya kamu pikir trik yang sudah kamu tunjukkan sekali akan berhasil
lagi? Sepertinya kamu terlalu meremehkanku──”
Pengemasan
selesai.
“…Di sini panas, tau.”
“Berkeringat
sedikit juga tidak ada salahnya, kan?
Lagipula, kamu baru saja minum air.”
“Begitu
rupanya, jadi kamu ingin memicu acara mengelap tubuhku setelah berkeringat.”
“Setidaknya
tahan dulu otak otakumu saat sakit.”
“Sayang
sekali! Aku sudah meminta Ayano untuk menyiapkan air hangat dan handuk untuk
situasi seperti ini!”
“Apa-apaan dengan ide bodoh yang sangat tidak masuk akal itu?”
Saat
Masachika berbicara seperti itu,
ia mendengar suara ketukan, dan ketika
Masachika menjawab “Ya”, Ayano masuk membawa baskom
berisi air hangat dan handuk.
“Maaf sudah membuat Anda
menunggu, Yuki-sama.”
“Ayano~!
Waktunya pas banget~!”
“Terima
kasih.”
“Hah,
bukankag seharusnya kamu tidur siang…?”
“Ya,
saya sekarang sudah baik-baik saja.”
“Tidak, mending tidur sana. Kemarin kamu hanya tidur
sekitar empat jam, ‘kan? Biar aku yang akan merawat Yuki…”
Sambil
berkata demikian, Masachika menerima baskom dan handuk dari tangan Ayano dan
meletakkannya di samping tempat tidur, sementara Ayano terlihat bingung dan
mengalihkan pandangannya.
“Tapi…”
“Ayano, Onii-chan ingin mengelap tubuhku sendiri.”
“!! Baiklah,
saya mengerti. Maka saya akan kembali ke kamar.”
“Cara
meyakinkannya itu tidak memuaskan,
lho!?”
Mengabaikan
komentar Masachika, Ayano segera keluar dari kamar dalam sekejap mata.
Sementara Masachika dibuat terkejut
dengan kecepatannya, ia
merasa bajunya ditarik dari samping. Ketika ia
menoleh, Yuki yang duduk di atas tempat tidur dengan
posisi bersimpuh,
menundukkan wajahnya seolah-olah dia merasa
malu, dan kemudian dia
menatap menengadah ke arah Masachika.
“Onii-sama?
Bisakah kamu mengelap punggungku?”
“Sejak kapan
kamu membebaskan diri dari ikatan?”
“Hmph,
setelah yang kedua, nilai ketahanan meningkat dan waktu ikatan menjadi lebih
singkat, itu sudah menjadi pengetahuan umum, ‘kan?”
“Itu sih khusus untuk permainan. Sejak kapan
kamu berhenti jadi manusia?”
“Eh?
Apa aku terlalu imut untuk dianggap manusia?”
“Kalau
Alya atau Masha-san sih mungkin, tapi kamu ya
terlihat seperti manusia.”
“Hmm?
Apa kamu baru saja membicarakan
gadis lain?”
“Iya,
memangnya kenapa?”
“Pukulan
di selangkangan.”
“Jangan
bercanda──”
Yuki dengan cepat memukul selangkangan
Masachika dengan kepalan tangannya. Masachika langsung membungkuk dan melompat
mundur. Meskipun tidak ada tenaga di dalamnya, ia merasakan sensasi nyeri di area sensitifnya, dan menatap
Yuki dengan tatapan penuh kebencian. Namun, Yuki tiba-tiba memejamkan matanya
dan menarik selimut ke dekatnya dengan badan gemetaran.
“Onii-sama,
ada apa...? Yuki takut... Tolong kembalilah
menjadi Onii-sama yang baik seperti biasanya?”
“Setelah
memukul selangkanganku, apa maksudmu dengan 'ada apa'?”
“Selang,
kangan? Onii-sama,
apa yang sedang kamu bicarakan...?
Uhuk, uhuk, aku sama sekali tidak mengerti...”
“Jangan
pura-pura sakit hanya saat seperti ini.”
“Aku
tidak mengerti, tidak mengerti... Uhuk,
uhuk.”
Melihat
Yuki yang terus berpura-pura, Masachika menghela napas dan berkata pelan,
“Meski karakternya
digambarkan sebagai 'adik
perempuan' di sinopsis dan profilnya, tapi ketika cerita
dimulai, dia justru sebenarnya
adalah adik tiri.”
“Dasar
kampret, aku akan membunuhmuuuuuuu!!”
Yuki segera melepaskan kedok karakter adik perempuan yang polos nan lucu dan langsung menyerang
Masachika. Dia berdiri di atas tempat tidur dan mencengkeram kerah Masachika,
menatapnya dengan mata memelotot
dan berbisik dengan suara berat dari jarak dekat.
“Ingat....dengarkan
ini baik-baik. Pengaturan adik perempuan tiri itu sendiri tidak masalah. Adik
tiri yang menjadi keluarga karena kedua orang
tua yang menikah lagi, atau adik tiri yang
diadopsi dan tumbuh seperti keluarga, itu semua sangat menarik... Namun, jika memang begitu, penulis seharusnya menyatakan dengan jelas kalau di adalah
'adik tiri'... Jangan sampai membuat orang salah paham bahwa itu adalah adik
kandung...”
“Kamu terlalu marah, itu
menakutkan."
“Hahhh?”
“Tidak,
ancaman apa ini?”
Saat adik perempuannya yang sangat marah menatapnya dengan tajam, Masachika hanya menatap balik dengan
tatapan datar meskipun dia menggenggam bajunya.
Tiba-tiba Yuki
berbisik,
“Monster
peliharaan yang tiba-tiba mulai berbicara dengan lancar setelah mendapatkan
keterampilan evolusi atau telepati.”
“Aku
akan membunuhmu, dasar brengsekkkk!!”
Masachika
segera membalas dengan menggenggam baju
adiknya dan berdiri, menatapnya dari atas. Dengan mata yang terbuka lebar, ia
menatap Yuki sambil berbisik dengan suara
yang dalam.
“Denganrkan
baik-baik....Jika itu naga, maka tidak
masalah. Mereka pasti akan mulai berbicara pada suatu saat, dan bahkan bisa berubah menjadi
manusia, jadi itu tidak masalah. Tapi untuk hewan kecil hingga ukuran menengah, terutama karakter
maskot yang duduk di kepala atau bahu protagonis, itu tidak boleh. Jika kalian
mau berbicara, seharusnya dari awal sudah berbicara. Jangan tiba-tiba mulai
berbicara setelah sebelumnya hanya mengeluarkan suara-suara saja. Tidak semua
hal harus disesuaikan dengan manusia. Ada perbedaan antara hewan peliharaan
yang pintar dan menggemaskan dengan teman setia yang bisa diajak bicara. Pahami
itu.”
“Dialog
panjang dan cepatmu
menakutkan. Bagaimana kamu bisa mengingatnya?”
Masachika
dan Yuki saling menginjak ranjau masing-masing, saling menatap tajam.
“Hei,
adikku.”
“Apa,
kakakku?”
“Meski aku
sendiri yang memulainya,
tapi bukannya percakapan ini
terlalu tidak berguna?”
“Iya,
benar banget.”
Mereka berdua mengangguk setuju, lalu secara
bersamaan melepaskan tangan dan merapikan kerah mereka. Setelah itu, mereka
menghela napas panjang untuk menenangkan pikiran, dan melanjutkan percakapan
seolah tidak terjadi apa-apa.
“Nah,
mengesampingkan hal itu...
memang benar kalau Alya-san dan
Masha -san itu imut... Aku bisa melihat bahwa
mereka semakin cantik akhir-akhir ini dan
terlihat semakin jauh dari manusia.”
“Uhm?
Semakin cantik? Apa iya?”
“Lah, kenapa
kamu malah tidak tahu? Itu cukup jadi
pembicaraan di akademi, tau.”
“Eh seirus? Aku benar-benar tidak tahu tentang
itu.'
Setelah
berkata demikian, Masachika berpikir dan berkata, “Tidak,
tunggu?”
(Kalau
dipikir-pikir...)
Memang benar kalau Masachika pernah mendengar
rumor tentang Alisa yang
semakin cantik. Tapi dirinya mengira bahwa itu berarti Alisa
menjadi lebih ramah, lebih sering tersenyum, dan suasananya menjadi lebih
ceria.
(Tidak, tapi itu memang benar... Aku merasa kalau Alya maupun Masha-san terlihat semakin
cantik belakangan ini...?)
Namun, Masachika mengira itu disebabkan oleh
keadaan mentalnya sendiri. Karena ia menyadari
perasaan kedua gadis itu, Masachika
juga mulai lebih memperhatikan mereka dibanding sebelumnya, sehingga terlihat
seperti itu.
“Ada gosip
yang mengatakan bahwa itu
karena dia sudah punya pacar.
Atau mungkin karena sedang jatuh cinta. Ada yang bilang begitu~”
“!!!”
“Tapi
itu hanya rumor dari sebagian kecil orang, lho~ Bagaimana
pendapatmu tentang itu?”
“Aku
tidak tahu.”
Masachika menjawab dengan wajah datar,
tetapi Yuki membuka matanya lebar-lebar dan menepuk-nepuk tempat tidur.
“Jangan
melamun begitu! Ini sudah jadi bahan
pembicaraan!'
“Kalau
begitu, aku akan minta ikan tuna.”
“Siapa
yang bilang bahan sushi sudah ditangkap? Kalau bukan aku, tidak ada yang bisa
membalas lelucon itu.”
“Jadi,
kita sejalan, ya.”
“Aww,
aku jadi malu.”
“Iya, iya, kamu imut, memang imut kok.”
Masachika mengatakannya dengan nada datar
sambil menatap Yuki yang menutup pipinya dengan kedua tangan dan menggeliat.
Lalu, Yuki tersenyum bangga dan berdiri dengan semangat.
“Hmph,
tentu saja...! Dia menjadi
lebih imut karena kekuatan cinta? Bahkan jika dia mendapatkan
buff sebesar itu, itu tetap sia-sia! Tidak peduli
seberapa imutnya Alya-san, dia tidak akan pernah bisa
mengalahkan daya tarikku yang sudah dihitung dengan sempurna!!”
“Kamu
bahkan bilang sendiri kalau itu
dihitung.”
“Tentu
saja lah, dasar idiot! Kalau
ada orang seperti ini secara alami, rasanya pasti
bikin takut!”
“Sekarang
ada di depan mataku.”
“Iya,
benar... Kebiasaan itu luar biasa, ya. Awalnya hanya
melalui perhitungan, tapi tanpa
kusadari, entah bagaimana sekarang ini jadi alami...”
Tiba-tiba
Yuki menatap jauh dengan ekspresi melankolis. Masachika juga menyadari untuk
siapa perhitungan itu, lalu sedikit menundukkan alisnya, dan memeras handuk
yang direndam air panas.
“Yah,
pokoknya aku akan mengelap tubuhmu.”
“Yay~”
Sambil
berseru begitu, Yuki membelakangi Masachika dan
duduk dengan posisi yang nyaman, melepas piyama bagian atas sehingga tubuhnya
telanjang bagian atas.
Dengan
tangan kiri menutupi dadanya, dia mengangkat rambutnya dengan tangan kanan
untuk memperlihatkan tengkuknya, lalu melemparkan tatapan menggoda dari atas
bahunya.
“Oh...
sangat menggoda~”
“Asalkan kamu tidak mulutmu, sih.”
Sambil membalas dengan nada sinis, Masachika
mengelap punggung Yuki dengan handuk basah. Yuki langsung mengencangkan
punggungnya dan bergetar.
“Fuhyaaaaaa, ooohhhhh.”
“Suara
aneh macam apa itu?”
“Aah~♡ Punggungku, nngh, sensitif♡ Aaahn~.”
“Jangan
mengerang.”
“Aah~~
rasanya tidak tertahankan, ohh~~."
“Jangan
bertingkah seperti kakek tua.”
“Fuhyaa~
rasanya nikmat~~.”
“Jangan
meleleh.”
“Eh,
tunggu, bisa tidak jangan
menyentuhku?”
“Jangan
menghindar."
“Ra-Rasanya
bikin frustrasi, tapi aku bisa merasakannya...!”
“Jangan
menyerah.”
“Ah,
sepertinya ada pintu baru yang terbuka──”
“Jangan
dibuka.”
“Haha,
lucu banget.”
“Benarkah?”
“Di
situ kamu seharusnya bilang 'itu konyol'!!”
“Maaf, ya!!”
Masachika
meminta maaf setelah mendapat teguran dari Yuki. Sambil menatap kakaknya, Yuki
merampas handuk dari tangannya dan mulai mengelap lengan kirinya.
“Sebagai
hukuman, sekarang kamu harus
mengelap bagian depan juga.”
“Sejak
awal kamu sudah berniat begitu, ‘kan?”
“Walaupun
begitu, lihat sedikit di ketiakku~☆”
“Tidak
butuh, tidak butuh.”
“Ngomong-ngomong,
apa kamu mengetahui sesuatu tentang
Alya-san
dan Masha-san yang
sedang jatuh cinta?”
“Sudah
kubilang aku bilang tidak tahu.”
Meskipun
sedikit terkejut, Masachika tetap berpura-pura tidak tahu. Namun, ketika Yuki
menatapnya dengan tajam dari atas bahunya, hatinya berdebar kencang.
“Ya,
tidak apa-apa sih.”
“......”
Ketika
melihat sikap Yuki yang seolah-olah bisa melihat semuanya, Masachika
tidak bisa bertanya, “Apa
maksudmu?” dan
hanya terdiam. Sebagai gantinya, Masachika cepat-cepat mengalihkan topik.
“Oh iya, ngomong-ngomong tentang Alya, aku
jadi mengingat sesuatu...”
“Hmm~~?”
“...Tidak,
jangan langsung melepas celanamu.”
“Kenapa?
Kamu tidak bisa mengelapku kalau tidak
dilepas, ‘kan?”
Setelah
mengatakan itu dengan tenang, Yuki melepas celananya dan
mulai mengelap bokong dan paha dengan posisi berlutut, lalu duduk untuk
mengelap kakinya.
“Hey,
pass.”
Setelah
selesai mengelap, dia melempar handuk ke belakang punggung Masachika.
“Bukankah
itu seharusnya kalimat yang diucapkan oleh penerima?”
Sambil
mengomentari, Masachika dengan mudah menangkap handuk yang dilemparkan secara
tiba-tiba dan mencelupkannya ke dalam baskom.
Ketika ia
mengalihkan pandangannya kembali, Yuki yang berbalik di atas tempat tidur
tersenyum sambil menutupi dadanya dengan kedua lengan.
“Jurus
rahasia: menutupi dada tapi tidak
menutupi perut.”
“Apa-apaan itu?”
“Gadis
polos yang mati-matian berusaha keras menutupi dadanya,
tanpa menyadari bahwa perutnya yang terbuka justru memicu hasrat lelaki.”
“Jadi, maksud dari 'polos' itu
berarti tidak mempunyai rasa
malu, ya?”
Mendengar
komentar dingin Masachika, Yuki menepuk-nepuk tempat tidur dengan kedua tangan,
merasa marah.
“Siapa
yang kamu panggil tidak tahu malu!”
“Tentu
saja kamu lah.”
“Meski kamu
bilang begitu, Ani-ja
jelas-jelas melihat dadaku.”
“Berisik,
cepat ganti baju saja.”
“Iy~a.”
Yuki
menjawab dengan sembarangan, dia mengenakan sandal dan
berjalan ke lemari dengan hanya mengenakan celana dalam.
“Sudah
kubilang, merasa
malu sedikit napa...”
Masachika
mengeluh sambil memalingkan wajahnya ketika Yuki melintasi di depannya tanpa
menutupi tubuhnya. Namun, Yuki tidak memperhatikan dan dengan santai melepaskan
sisa pakaiannya sehingga dia telanjang bulat, lalu mulai mengganti baju.
(Serius,
rasa malunya benar-benar mirip seperti
anak TK...)
Sambil
mengeluh di dalam hatinya, Masachika merasa aneh jika ia terlalu
memperhatikan, jadi ia terus memalingkan wajahnya dan melanjutkan pembicaraan.
“Jadi,
mengenai Alya...”
“Hmm~?
Ya.”
“……Maaf.
Aku sudah memberitahu Alya bahwa
kita adalah kakak beradik.”
“Ah,
begitu? Hee~~ jadi akhirnya kamu membicarakannya, ya.”
“Iya...
rasanya tidak mungkin untuk menyembunyikannya
lebih lama lagi.”
“Yah, tidak apa-apa, kan? Suatu saat
pasti akan ketahuan. Jadi, lebih cepat lebih
baik.”
Masachika
bertanya dengan hati-hati kepada Yuki yang tampak tidak terlalu peduli.
“……Apa iya begitu?”
“Hmm? Tapi yah~, rasanya
agak disayangkan aku tidak
bisa menggodanya sebagai heroine teman masa
kecil yang akrab.”
“Yang
kamu maksud 'yang akrab' itu pasti pasangan mantan ketua-wakil ketua OSIS, ‘kan? Jangan pakai istilah yang
membingungkan. Dan jangan menggodanya dari awal.”
“Tunggu dulu? Bukannya aku
masih bisa menggodanya sebagai
adik kandung saja?”
“Sudah
kubilang jangan menggodanya.”
“Namun,
sebagai adik perempuan brocon berhati
murni yang tidak ingin kakaknya diambil darinya,
aku tidak bisa membuang ide untuk menghalangi kisah percintaan Alya-san.”
“Sudah
kubilang, dengarkan perkataanku.”
“Hoo~~♪
Mimpiku jadi semakin berkembang luas~~~~~♪”
“……Aku ikutan senang kalau kamu merasa senang.”
Setelah
mengganti pakaian tidur barunya, Yuki melompat ke atas
tempat tidur dengan langkah menari, lalu berbaring telentang dan tersenyum
lebar.
“Begitu
rupanya, jadi Onii-chan bisa datang ke sini berkat Alya-san,
ya~”
“Y-Ya, bisa dibilang begitu.”
“Hmm~~begitu
ya~ jadi begitu ya~~~ Wah,
sebagai adik, aku ikut merasa senang Onii-chan
bisa mendapatkan rekan yang
baik.”
“…”
Begitu mendengar
kata-kata Yuki, Masachika merasa
canggung dan membuang muka. Melihat kakaknya yang seperti itu, Yuki tersenyum
lembut dan berkata dengan nada serius.
“Tapi
sebenarnya, aku harus
berterima kasih kepada Alya-san.
Berkat dirinya, Onii-chan
bisa datang ke sini.”
Itu pasti perasaan tulus tanpa maksud lain
dari Yuki. Namun, bagi Masachika
saat ini, kata-kata itu… terasa menusuk dan membangkitkan rasa bersalah.
“…Aku minta maaf karena sudah
membuatmu merasa kesepian sampai sekarang.”
“O-Oh, kenapa kamu tiba-tiba bilang begitu?”
Karena tidak
bisa menahan diri lagi, Masachika akhirnya menundukkan kepalanya, dan Yuki bangkit dengan senyum
bingung sambil berkata dengan nada bercanda.
“Ada
apa? Apa jangan-jangan Ojii-sama bilang
sesuatu?”
Sambil tersenyum sedih melihat kebaikan
adiknya, Masachika
mengangkat kepala dan melanjutkan.
“Tidak…
Jii-sama tidak ada hubungannya.
Sebenarnya, aku seharusnya memberitahumu lebih awal.”
Masachika kemudian menundukkan kepalanya lagi dengan dalam.
“Aku minta
maaf karena sudah membuatmu
memikul semua beban itu. Meskipun terlambat… mulai
sekarang, aku yang akan menanggung beban itu."
“Eh,
ummm… hah?
Maaf, aku masih tidak
mengerti. Apa maksudmu?”
Dengan
ekspresi serius, Masachika memberi tahu Yuki yang memiringkan
kepalanya dengan senyum bingung di wajahnya.
“Aku
meminta kepada Jii-sama
untuk mengembalikanku ke dalam keluarga Suou.”
“…………Hah?”
“Apa
yang kamu tanggung seharusnya merupakan
beban yang harusnya kupikul.
Aku tidak bisa terus mengalihkan pandanganku
dari kenyataan bahwa aku mengorbankanmu lebih jauh lagi.”
Setelah
mendengar kata-kata lugass
Masachika, Yuki perlahan menundukkan wajahnya... dan berbisik pelan.
“Pengorbanan?
Hah? Apa kamu serius?”
Suara
rendahnya membuat Masachika bingung.
“Yuki──”
“Aku!”
Yuki menyela panggilan Masachika dan
berteriak.
“Aku
memutuskan tinggal di rumah ini dengan
keinginanku sendiri! Aku ingin melakukan apa yang bisa aku
lakukan untuk rumah dan keluarga ini!”
Yuki lalu berdiri
di atas tempat tidur dan menatap
Masachika dengan tajam. Raut wajahnya
menunjukkan kemarahan yang sangat jelas.
“Pemikiranku
sama sekali tidak berubah! Aku selalu menjalani kehidupanku tanpa
pernah mengubah pemikiran itu! Dan setelah melihat itu dari dekat, Onii-chan seharusnya tahu bahwa aku──”
Suaranya
terhenti sejenak, Yuki menggigit giginya dan berteriak.
“Apa
aku hanya terlihat seperti korban yang malang di
matamu?!”
Teriakan
itu membuat Masachika terkejut. Namun, sebelum Masachika bisa mengatakan
sesuatu, Yuki menendang bahu kakaknya dengan kakinya.
“Jangan
bercanda! Keluar! Cepat keluar sana!!”
Setelah
mengulangi beberapa kali tendangan, Yuki secara harfiah
mengusir Masachika keluar dari ruangan. Setelah
itu, dia menutup pintu dengan keras dan membelakangi pintu sambil menghela
napas berat.
“Hah,
hah... ugh, uhuk, uhuk,
euh.”
Mungkin karena dirinya
terlalu bersemangat, batuknya kembali muncul dan Yuki
mengernyitkan wajahnya.
“Ugh...
ah, rasanya berat sekali.”
Sebenarnya,
Yuki sebelumnya berusaha keras untuk menunjukkan dirinya yang ceria. Meskipun
ingatannya tentang malam sebelumnya samar, dia merasa telah menunjukkan sisi
dirinya yang sangat lemah di hadapan
kakaknya. Oleh karena itu, untuk menghapus kesan itu, dia berusaha menunjukkan
dirinya yang biasa.
(Entah
itu akting atau semangat palsu... jika aku terus melakukannya, itu
pasti akan menjadi nyata, kan?)
Seharusnya
begitu. Dia telah berusaha keras melakukan
itu selama ini. Akan tetapi...
kakaknya malah menyuruhnya untuk berhenti.
“Jangan
bercanda, dasar sialan...”
Kemarahan
Yuki kembali memuncak, dan dia
melontarkan kata-kata kasar. Dia
tahu bahwa kakaknya merasa bersalah terhadapnya. Namun, dia tidak menyangka bahwa
kakaknya masih menganggapnya sebagai sosok yang patut dilindungi dan
dikasihani.
“Ahhh~~ sialan, dasar
menyebalkan. Semua ini karena terjangkit flu.”
Dia berjalan dengan langkah kaki yang
berat menuju tempat tidur, dan di tengah perjalanan, dia berhenti saat melihat cermin.
(...
Tidak, mungkin bukan
karena flu, ya.)
Dalam pantulan cermin, terlihat tubuhnya yang
kecil dan kurus. Kesan
tubuhnya yang selalu lemah dan terbaring di tempat tidur tidak pernah hilang,
bersamaan dengan posisinya sebagai adik perempuan.
Kedua hal
ini menjadi alasan utama mengapa Masachika menganggapnya sebagai sosok yang
harus dilindungi.
(Kenapa...
aku harus menjadi adik perempuan Onii-chan?)
Seandainya
saja dia lahir sebagai kakak perempuan.
Hanya
karena satu tahun perbedaan urutan kelahiran, Yuki secara otomatis dianggap
sebagai sosok yang harus dilindungi oleh Masachika.
Jika Yuki
adalah kakak perempuan,
Masachika tidak akan merasa terbebani seperti
itu. Ia tidak seharusnya merasa begitu
terbebani hingga menyangkal seluruh dirinya.
(Yah, meskipun itu hanya asumsi yang
tidak berarti.)
Setelah mengalihkan
pandangannya dari cermin, Yuki mendekati tempat tidur dengan langkah goyah dan
terjatuh ke atasnya. Setelah
berbaring tengkurap untuk sementara waktu, dia
mendengar suara ketukan diikuti oleh suara Ayano.
“Yuki-sama?
Apa Anda baik-baik saja?”
“……”
Ketika
Yuki tidak menjawab, Ayano tampaknya menganggapnya sedang tidur. Dengan suara
kecil, dia berkata, “Permisi”, dan masuk ke dalam ruangan
tanpa suara.
Melihat
Yuki yang tidur tengkurap
tanpa selimut, Ayano mendekat untuk menutupi Yuki dengan selimut──
“Yuki-sama?
Apa Anda masih terbangun?”
Menyadari
Yuki yang membuka mata dan menatap kasur
dengan tajam, Ayano terlihat bingung dan menggerakkan tangannya.
“Ehm,
apa yang... sedang terjadi?
Tadi saya bertemu dengan Masachika-sama yang tampak linglung karena suatu alasan...”
Setelah mendengar
nama itu dari mulut Ayano, Yuki merasa kesal lagi. Dia kemudian meletakkan
kedua tangan di tempat tidur dan mengangkat tubuhnya, menatap ke udara sambil
berkata.
“Ayano.”
“Ya,
ada apa Yuki-sama?”
“…Aku pasti akan memenangkan pemilihan OSIS tahun depan.”
“Eh,
ah, ya. Saya mengerti.”
Ayano
terlihat bingung dan tidak sepenuhnya mengerti mengapa Yuki mengatakan hal itu,
namun dia mengangguk ragu. Tanpa melihat ke arahnya, Yuki menggigit giginya dan
berbisik pelan.
“Jika aku
menang... aku akan membuatnya sadar kalau aku
tidak lemah atau menyedihkan lagi.”
Yuki
kemudian mengumumkan kepada kakaknya yang
tidak ada di tempat itu.
“Aku
akan memberimu
pelajaran, Onii-chan."