Chapter 4
Pada
suatu malam tidak lama setelah bulan November
tiba.
Aku
sedang melihat layar laptop yang terbagi menjadi lima layar kecil di dalam kamarku.
“Maaf
semuanya. Demi aku...”
Raion-san
terlihat canggung di ruangan bergaya Jepang
di seberang layar.
“Tidak
apa-apa! Kami semua adalah tim pendukungnya
Hanada-san! Sejak
lama Maria juga selalu khawatir pada Onee-chan.”
“Salam
kenal, namaku Maria. Terima kasih banyak sudah mengurus
kakakku. Mohon bantuannya untuk ke depan.”
Dengan
latar belakang ruangan yang tertata rapi di sisi lain layar, Kurose-san, yang
diperkenalkan oleh Luna,
menundukkan kepalanya.
“Te-Tentu saja...!”
Raion-san
menjawab dengan suara lirih dan agak malu-malu, tapi ia tetap membungkuk dalam-dalam.
“Maria
bekerja di departemen editorial
yang sama dengan Ryuto dan sedang mengejar karir
menjadi editor. Jadi kupikir dia bisa membantu!”
“Jangan
membuat targetnya terlalu tinggi begitu, Luna.”
“Tak
apa-apa! Nah, yang ini
sahabatku, Nikoru.”
Luna
menunjuk ke sudut kanan bawah layar, tapi di layarku penempatannya berbeda, dan Yamana-san berada
di samping Luna.
“Halo!
Aku menyebut diriku penggemar puisi, jadi aku sedikit tertarik untuk mencoba
menulis lirik.”
Dia mengatakan itu sambil
tertawa santai, tidak seperti Yamana-san
yang biasanya.
“Terima
kasih semuanya... Senang bertemu kalian.”
Dan
dimulailah pertemuan penulisan lirik untuk lagu yang ditulis Raion-san untuk pacarnya, Kitty-san.
Sepertinya
rapat ini bermula dari percakapan telepon antara Luna dan Yamana-san.
Saat aku
berkonsultasi mengenai masalah Raion-san tentang penulisan
liriknya, dia pun
mengundang semua anggota di sini.
“Jadi
lagunya benar-benar belum selesai selain intronya ya?”
“Ya...
Meskipun ada beberapa bagian yang sudah jadi...”
Raion-san
menjawab pertanyaan Luna.
“Tapi,
kalau begini, mungkin itu tidak
akan menyentuh Kitty-chan sama sekali, jadi aku berpikir untuk membuang
semuanya termasuk intro.”
“Apa!?
Itu sih bakal masalah! Kalau kamu melakukan itu, apa kamu
bisa menyelesaikannya dalam sebulan lagi!?”
Luna
terdengar panik.
“Menulis
lirik biasanya memakan waktu berapa lama, Nikoru?”
“Eh?
Entahlah, aku tidak tahu... Tapi katanya, kalau penulis profesional bisa
menyelesaikannya dalam sehari.”
“Benar,
menulis lirik lagu berbeda
dengan komik karena prosesnya
lebih sederhana. Seorang editor pernah bilang, penulis cepat bisa menulis satu novel pendek dalam seminggu.”
“Apa?! Itu gila! Menyelesaikan satu buku dalam
seminggu?!”
“Hal semacam
itu cuma khusus untuk penulis yang sangat cepat, tapi orang-orang seperti mereka juga tidak bisa selalu menulis secepat
itu.”
Kurose-san
sepertinya mendapat informasi itu dari sumber yang berbeda. Berbeda denganku, dia sepertinya sering melakukan
riset kepada Fujinami-san atau editor lainnya terkait pekerjaannya di masa
depan, jadi aku
sedikit mengaguminya.
“Berarti
secara jadwal, masih ada banyak waktu ya... Karena masih sebulan lagi.”
“Benar,
kalau begitu kita bisa menentukan tenggat waktunya dulu. Ada editor yang bilang bahwa apapun projectnya, kita harus selalu menetapkan tenggat waktunya dulu.”
“Ah,
benar juga! Kalau begitu...”
“Sebulan
lagi, 'kan? ... Kebetulan itu dekat
dengan Natal!”
“Eh,
sudah sedekat itu?!”
Setelah mendengar
suara Luna, aku juga ikut terkejut
dan melihat kalender di ponselku.
Lebih
tepatnya, tinggal satu bulan lebih beberapa
hari lagi hingga Natal tiba. Tahun
ini pun, tanpa terasa sudah dekat dengan musim tersebut.
“Eh,
kalau begitu bagaimana kalau kamu
menyanyikannya untuk pacarmu saat malam Natal? Itu romantis banget, ‘kan?!”
Yamana-san mengusulkan hal itu dengan antusias. Tak disangka kalau dia rupanya gadis yang menyukai hal-hal
romantis juga.
“Wah,
ide bagus tuh! Ayo
lakukan itu, Hanada-san!"
Luna juga
tampak bersemangat.
“Eh?
Hah....tapi, aku 'kan tidak bisa
sembarangan pergi ke rumah Kitty-chan...”
“Biar
aku yang mengajak Onee-chan!
'Ayo makan malam bersama saat Natal' begitu!”
“Kurasa sebaiknya biar aku saja yang mengajaknya ketimbang kamu, Luna. Dia mungkin akan marah dan berusaha menolak sambil
mengatakan hal-hal seperti 'Karena kamu sudah punya pacar, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku di malam Natal'.”
Kurose-san
berkata demikian menanggapi perkataan Luna.
“Benar
juga. Kalau begitu, aku akan menyerahkan itu pada Maria... Lalu, dimana kamu akan menyanyikannya?”
“Mumpung di
hari yang spesial, bagaimana kalau di tempat yang ada
lampu-lampu Natal yang indah?”
“Ah,
benar... Oh iya, bukannya
Hanada-san sering bermain musik di jalanan? Kira-kira
apa kamu tahu ada tempat yang bagus di depan stasiun atau sejenisnya gitu?”
“Ah,
itu...”
Raion-san
membalas seolah-olah baru teringat
sesuatu.
“Ada
alun-alun di depan Stasiun Yokosuka, dan saat musim dingin,
pohon besar di sana dihiasi lampu-lampu seperti pohon Natal. Tempat itu sering
digunakan untuk pertunjukan musik jalanan...”
“Ah,
kalau begitu di sana saja!”
Akhirnya,
tanggal dan tempatnya sudah diputuskan.
“Satu-satunya
yang tersisa tinggal memikirkan liriknya saja...”
Ujung-ujungnya,
kami kembali ke masalah awal dan hal itu membuat kami semua terdiam
sejenak.
“Umm...”
Kemudian Raion-san
membuka suara.
“Kira-kira untuk para wanita.... apa yang
ingin kalian dengar dari pacarmu?”
“Hmm,
begini ya!”
Orang yang
paling bersemangat menjawab pertanyaan itu adalah Luna.
“'Aku
ingin memelukmu', 'Aku menginginkanmu', atau 'Aku
ingin memilikimu seutuhnya' mungkin?”
“Woi,
Luna! Nafsumu terlalu kelihatan jelas!”
Yamana-san tertawa terbahak-bahak ketika mendengar jawaban Luna.
“...Haa...”
Raion-san
terlihat kebingungan dengan semangat Luna, namun tetap menulis di kertas yang
ada di meja.
Sementara
itu, aku...
“...”
Aku tidak
tahu harus menatap ke mana di layar laptopku,
jadi aku melihat-lihat sekeliling ruangan sambil menyusun pikiranku.
Apa-apaan itu tadi...
Luna
menyebutkan ‘hal
yang ingin dikatakan pacarnya’...
Pacar Luna adalah aku... Jadi, semua itu adalah hal yang ingin Luna katakan
padaku...?! Begitu?!
──Aku
ingin memelukmu.
──Aku
menginginkanmu.
──Aku
ingin memilikimu seutuhnya...
Aku
mencoba mengatakan semuanya di kepalaku, tapi aku bahkan tidak bisa
membayangkannya, jadi aku menyerah.
Itu mustahil.
Lagian,
pertama-tama, apa maksudnya dengan ‘Aku
ingin memelukmu’? Kapan
aku harus mengatakannya? Bukannya sebaiknya langsung memeluk saja kalau bisa?
Kalau tidak bisa, ya percuma saja mengatakannya.
“Oh
ya, kita pasti juga ingin dibilang 'imut'
atau 'cantik', iya ‘kan?”
Lalu
Yamana-san menambahkan.
“Bener
banget, bukannya kamu
pengin dikatakan ‘Aku menyukaimu’ juga,
'kan Nikoru?”
“Iya,
setiap hari juga boleh.”
“Bagaimana kalau
'Aku mencintaimu'?”
“Kalau yang
itu sih cukup sesekali saja. Kalau setiap hari, rasanya jadi terdengar palsu.”
“Aku
paham banget!”
Luna dan
Yamana-san saling menanggapi dengan penuh semangat.
Sementara
Raion-san menulis dengan cepat.
“...Lalu,
apa ada kata-kata yang tidak ingin
didengar?”
“Hmm,
apa ya?”
Ketika Luna terlihat sedang berpikir keras, Yamana-san malah jadi semakin bersemangat.
“Aku
ada! Aku ada! Perkataan 'Kamu adalah gadis yang
terbaik' itu menyebalkan! Memangnya siapa yang jadi keduanya?! Bikin kesal saja!”
“Jangan-jangan
itu yang sering dikatakan Sekiya-san dulu?”
“Iya!
Setiap aku cemburu pada perempuan lain, itu yang selalu dikatakannya! Ugh, setelah mengingatnya masih bikin aku jengkel saja!”
“Ah...”
Luna
tersenyum masam.
“Kalau
begitu, kata-kata apa yang akan membuatmu senang?”
“Aku pasti
akan memaafkannya kalau dibilang 'Hanya kamu saja'!
Berarti hanya aku satu-satunya! Iya, iya, bagus!”
“Ah,
aku paham perasaan itu.”
Luna bereaksi sembari
mengangguk-angguk.
Sepertinya
aku tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu... Aku jadi merasa cemas.
“Ada
satu kata-kata yang sangat membuatku senang saat aku baru berpacaran dengan Ryuuto.”
Luna
mulai bercerita dengan riang.
“Dia
bilang, 'Ini pertama kalinya aku berpacaran,
dan aku tidak punya teman perempuan yang dekat, jadi aku tidak akan pergi
dengan perempuan lain.'”
Sekarang setelah diingat-ingat lagi, sepertinya
aku memang pernah mengatakan itu... Semua mata seakan tertuju padaku, membuatku merasa sangat malu.
“Aku langsung merasa, 'Aku adalah seseorang
yang spesial baginya saat ini.' ....Aku
sangat senang...”
Luna
berkata dengan bahagia dan pipi yang merah merona.
“Kata-kata
yang membuat kita merasa 'spesial' itu penting, menurutku... Ah, maaf!
Pembicaraan ini tidak ada hubungannya dengan menulis lirik ya?”
“Tidak,
ini sangat berguna untuk dijadikan referensi.”
Raion-san
menjawab dengan serius, sambil mencatat.
Kemudian,
ia berhenti menulis dan tiba-tiba mengangkat wajah.
“...Tapi,
aku bisa mengerti kenapa cowok akan mengatakan 'Kamu adalah gadis yang
terbaik.' Pria memang cenderung mementingkan peringkat dan
persaingan.”
Raion-san
tersenyum getir dan memandang jauh.
“Karena mereka
ingin menjadi yang terbaik... Jadi, saat ada pacarmu
yang mengatakan 'Kamu
yang terbaik'...kurasa mereka
mengatakannya tanpa niat jahat karena mereka ingin membuat pacarnya bahagia...”
Ucapan Raion-san
terdengar seperti gumaman.
“Tentu
saja, aku ingin mengalahkan para mantannya... Aku ingin menjadi 'pria nomor
satu' di antara semua pria yang dikenalnya.”
Setelah mendengar
itu, Yamana mendongak ke atas sembari menghela
napas. Latar
belakangnya tampak seperti kafe yang stylish, tapi aku hanya bisa melihat sedikit kursi yang dia sandari.
“Jadi
begitu rupanya. Aku jadi sedikit mengerti sekarang.”
Katanya
sambil sedikit mengembungkan pipi.
“Kalau
dia menjelaskan begitu, mungkin aku tidak akan kesal seperti itu. Harusnya dia
bilang begitu."
“Mana
mungkin kami bisa mengatakannya. Itu terlalu memalukan untuk
dikatakan. Aku juga tidak akan menjelaskannya
jika bukan di tempat seperti ini.”
Raion-san
tersenyum masam.
“Tapi
sebaliknya, pria akan merasa tertekan jika pacarnya mengatakan 'Hanya kamu' padanya,
meskipun itu orang yang sangat disayanginya. Rasanya
kayak begitu berat.”
“Ehh?!”
“Kenapa?!”
Luna dan
Yamana-san berseru kaget secara bersamaan.
“Yah bagaimana ya... meskipun dia punya
banyak hal penting lain seperti pekerjaan atau hobinya, jika si gadis mengesampingkan itu semua
demi fokus pada pacarnya,
itu bisa membuat pacarnya
merasa sesak... Saat putus, ia akan merasa bebas dan senang.”
Tiba-tiba,
Raion-san tersadar.
“Ah, yang aku maksud bukan tentang Kitty-chan, itu cerita masa
lalu."
Setelah
mengatakan itu, ia perlahan menundukkan pandangannya.
“Tapi
ternyata, perempuan juga hanya ingin mengungkapkan kata-kata yang diinginkannya
pada pasangannya... Aku baru menyadari
hal itu sekarang.”
Kemudian saat
itu, Kurose-san yang dari tadi diam akhirnya mulai
angkat bicara.
“...Pria
ingin menjadi ‘number one’,
sementara wanita ingin menjadi ‘only one’
ya.”
Ketika mendengar
itu, Luna dan Yamana-san terlihat
bersemangat.
“Wah,
Maria, kamu hebat! Apa kamu ingin jadi penulis lirik, bukannya editor?"
“Ah,
itu yang ingin aku katakan!”
“Sama seperti
'Satu-satunya bunga di dunia'
ya.”
Raion-san
berkata.
“Ah,
itu kan lagu yang ada di buku pelajaran
musik SD!”
“Itu
memang lagu yang bagus.”
"...Lagu
dari penyanyi yang sama juga ada 'Lion Heart'. Dari situlan asal usul namaku, tau.”
Tiba-tiba
Raion-san mulai bercerita.
“Waktu
ibuku sedang mengandungku, lagu
itu sedang populer. Katanya, saat mereka tahu aku laki-laki, mereka berharap
aku bisa menjadi pria yang bisa melindungi orang yang kusayangi seperti 'Lion
Heart'.”
“Wah,
itu cerita yang indah sekali!”
“...Dulu
aku merasa sangat malu karena namaku terdengar unik sekali.”
Raion-san
tersenyum simpul menanggapi kegirangan Luna.
“Saat
pertama kali aku bertemu
Kitty-chan, aku juga
menceritakan itu. Ternyata kami banyak berbagi cerita unik tentang nama, jadi
kami jadi cepat akrab.”
"Memang,
nama kakakmu juga unik banget! Katanya, itu pemberian ayah, karena ibu yang
memilih namaku dan Luna.”
“Tapi,
karena karakternya dirancang ibu, tetap ada keunikannya tersendiri ya.”
“Tapi
aku suka nama ini!”
“Aku
juga.”
Mendengar
obrolan hangat dua bersaudari
ini, aku jadi tersenyum.
“Oke,
kembali ke topik penulisan lirik.”
Aku
teringat dengan tujuan awal kami dalam
mendukung Raion-san dalam menulis lirik.
“Jadi,
kurang lebih begitulah kata-kata yang ingin didengar wanita?”
“Ah,
Maria belum kasih pendapatnya!”
Pada saat
itulah tiba-tiba Luna menyadari sesuatu.
“Kalau kamu
bagaimana, Maria? Ada kata-kata yang ingin kamu dengar dari pacarmu, atau yang tidak ingin kamu dengar?”
“Aku
'kan belum punya pacar, jadi tidak tahu.”
Kurose-san
menjawab singkat.
“Be-Begitu ya,
kalau begitu... Kata-kata yang ingin kau dengar dari pria yang kamu sukai?”
“Pastinya
sih kalimat 'Maukah kamu jadi pacarku?'.”
“...Iya,
benar.”
Lalu
Yamana-san angkat bicara.
“Kalau
dari pria yang mungkin jadi pacarmu nanti, kata-kata apa yang akan membuatmu
senang?”
“...Kata-kata
yang tidak dibuat-buat untuk menyanjungku.”
Setelah
berpikir sejenak, Kurose-san menjawab.
“Jika pria
yang tidak kusukai mengatakan sesuatu seperti 'Kamu
cantik' atau 'Aku menyukaimu',
itu terasa klise dan tidak membuatku menyukainya lebih dalam.”
Setelah mendengar
jawaban Kurose-san, kedua wanita lain tampak tidak begitu paham.
“Kalau
begitu, aku lebih senang mendengar kata-kata yang mencerminkan sifat dan hati
nuraninya. Kata-kata yang bisa membuatku mengenalnya
lebih dalam.”
Tapi aku
tahu. Aku tahu betapa senangnya Kurose-san
saat Naoki memanggilnya “imut”.
Kalau
dipikir-pikir lagi sekarang,
mungkin pada saat itulah
dia sudah menyukai Sato-san.
Kurose-san
mungkin berbeda dengan Luna. Dia hanya bisa berpacaran dengan orang yang
benar-benar dia sukai.
Jadi, dia
ingin pria tersebut menunjukkan daya tariknya terlebih dahulu, baru kemudian
membuatnya jatuh cinta.
Sato Naoki
memiliki daya tarik tersebut.
Itulah sebabnya kata-kata “imut” darinya sangat berpengaruh pada Kurose-san.
Mungkin
ini ada hubungannya dengan pandangan cintanya yang terbentuk karena selalu
dibilang “aku menyukaimu” dan “imut” sejak dulu seolah-olah itu adalah sebuah sapaan.
Karena Kurose-san
adalah orang yang memiliki prinsip kuat seperti itu, aku berpikir kalau dia mungkin takkan gampang jatuh cinta pada Kujibayashi-kun. Tapi setidaknya, aku ingin mereka berdua bisa menjadi teman.
Dua orang
yang berteman denganku memiliki
kesamaan denganku, dan
menurutku kesamaan tersebut akan membantu mereka memahami satu sama lain.
Setelah
memikirkan hal itu, aku kembali fokus pada rapat.
“Kurang
lebih seperti itu ya? Raion-san, apa itu bisa
sedikit membantu?”
“...Ya.
Aku akan berusaha keras.”
Raion-san
mengangguk dengan semangat.
“Terima
kasih banyak atas waktunya, semuanya.”
Sifatnya
yang jujur dan sopan memang menjadi daya tariknya. Pasti itulah yang membuat
pacarnya juga selalu berterima kasih dan mengungkapkan perasaan. Meskipun ia orang yang
seperti itu, sepertinya ia melarikan diri tanpa mengatakan sesuatu yang
penting.
Ketika aku melihat
Raion-san, dan mendengar ucapan Luna tadi... Aku sedikit merefleksikan sikapku
sendiri.
“Luna.”
Saat
suasana pertemuan jarak jauh ini akan
berakhir, aku memanggil Luna.
“Bisa
kita bicara sebentar setelah ini?”
“Eh?”
Luna
terlihat bingung.
“Ah,
iya, boleh...”
“Kalau
begitu, kami duluan ya?”
“Ah iya
benaar juga, kami pamit dulu ya~”
Tampaknya
Kurose-san dan Yamana-san berusaha
memberi kami waktu berdua.
“Sekali
lagi, terima kasih banyak.”
Raion-san
juga keluar dari obrolan grup
setelah mengucapkan terima kasih.
Yang tersisa
hanya aku dan Luna saja yang ditampilkan di layar.
“...Ada
apa, Ryuuto?”
Sekarang setelah tinggal kami berdua, Luna
terlihat gugup.
“Umm,
itu...”
Aku juga
jadi gugup.
“Kita berdua sudah berpacaran hampir empat
setengah tahun, ‘kan...”
“Ah,
iya. Tepat di sekitar Natal.”
“Ya...”
Sembari
mengingat perkataan Luna tadi, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengatakannya,
“...Kamu tahu, kamu adalah pacar pertamaku, dan
sejak awal kamu memang
spesial bagiku...”
Aku masih
tak sanggup menatap matanya melalui layar.
“...Dan sekarang kamu masih
tetap spesial untukku.”
Akhirnya
aku berhasil mengatakannya.
“Ryuuto...”
Wajah Luna
berseri-seri. Matanya terlihat berkaca-kaca, meskipun kualitas gambar kurang
jelas sehingga aku tidak bisa memastikannya.
“Ryuuto adalah pria yang paling terbaik bagiku.”
Luna
berkata dengan tulus sambil
meletakkan tangannya di dadanya.
“Kamu adalah
pria yang paling keren, paling istimewa, dan yang paling aku cintai!”
“Luna...”
Padahal
aku ingin membuatnya senang, tapi malah aku yang jadi senang.
Aku ingin
mengatakan sesuatu yang lebih
banyak lagi, tapi yang kuingat adalah kata-kata Luna sebelumnya.
── Aku
ingin memelukmu.
── Aku
menginginkanmu.
── Aku
ingin memilikimu seutuhnya...
“...”
De-Demi bisa
mengatakan itu...! Rintangannya
terlalu sulit...!
Tapi...
── Kalau
ini drama, aku bisa membiarkan karakter laki-laki mengucapkan semua kata-kata
yang ingin didengar pasangannya. Tapi di dunia nyata, manusia tidak bisa melakukan
sesukanya seperti itu.
Aku ingat
keraguan Luna waktu itu.
Keraguan
itu terus mengganggu pikiranku.
Jika Luna
memang menginginkan aku mengucapkan kata-kata itu... Mungkin itu adalah isyarat
bahwa dialah yang ingin aku ucapkan.
Kalau
begitu, aku...aku ingin mengatakannya pada Luna.
“Aku...
selalu...berpikir.... ingin
memelukmu...”
Dengan
susah payah, akhirnya aku bisa mengatakannya.
“Ryuuto...”
Luna bergumam dengan suara bergetar.
“Duhh~ kenapa
sih harus lewat online begini...”
Suaranya
terdengar frustrasi.
“Aku
ingin kamu memelukku tahu~...
Ryuuto...”
Wajah Luna
semakin dekat ke layar.
“Dan
aku ingin kita bersama sampai pagi...”
Desahan
nafasnya membuat jantungku berdebar-debar melalui layar.
“Luna...”
“Bisakah
kamu mengatakan
itu lagi saat kita bertemu nanti?”
Aku baru
akan menjawab “Ya”, tapi kemudian tersadar.
Sekarang
kami terpisah secara fisik, jadi kami hanya
bisa bertukar kata-kata.
Kalau aku
mengatakan “Aku ingin
memelukmu” di depan
Luna secara langsung, kelanjutannya...yah, kita sudah
tahu kelanjutannya.
Tapi...
──Karena kita sudah sampai sejauh ini... jadi mungkin...menikah duluan bisa menjadi pilihan, ‘kan?
Aku tidak
tahu apa aku boleh mengatakan hal-hal seperti itu pada Luna, yang baru saja
mengatakannya padaku. Aku sudah memutuskan untuk menghargai keinginannya, tidak
seperti mantan-mantan pacarnya
sebelumnya.
Akhirnya,
aku kembali pada masalah yang sedang kami hadapi.
“...Hmm...”
Saat aku
terus memikirkan hal itu, aku hanya bisa memberikan jawaban yang ambigu.
Entah apa
yang dipikirkan Luna tentang sikapku, tapi dia masih tersenyum manja.
“Aku
masih belum ingin mematikan sambungan... Hei, bagaimana kalau kita melakukan
panggilan tidur?”
“Pa-Panggilan tidur...?"
Apa-apaan itu?!
“Maksudnya
kita tetap terhubung lewat telepon sampai tertidur.”
“Me-Memangnya
kamu bsia tidur sambil begitu...?”
Aku
khawatir jika aku menggertakkan
gigi atau mendengkur, itu akan mengganggu dan bisa
menyebabkan insomnia.
“Entahlah. Aku
pernah ketiduran saat menelepon Nikoru, tapi dia yang memutuskan duluan saat
sadar aku sudah tidur.”
Yah,
kalau tidak ada kesepakatan untuk ‘panggilan
tidur’,
pasti akan berakhir seperti itu.
“Ap-Apa yang
namanya, 'panggilan tidur' itu budaya para pasangan, ya...?”
“Belakangan
ini aku sering melihatmua di media sosial. 'Aku
melakukan panggilan tidur dengan pacarku, aku sangat bahagia♡'.”
“Begitu
ya...”
Sepertinya
selera Luna dan aku memang agak berbeda. Aku yakin
kalau pasti tidak pernah melihat postingan pengungkapan
rahasia para anggota Ken’s Kids.
“Nee~ Ayo
kita coba~♡”
“Ba-Baiklah...”
Entah
bagaimana, kami jadi melanjutkan dengan panggilan tidur setelah pertemuan jarak jauh.
Karena dia kesulitan untuk tidur dengan layar yang
menyala, jadi kami
beralih ke panggilan suara di LINE.
“Ryuuto, kamu benar-benar sudah berbaring di
tempat tidur?”
“Eh?!
Kita beneran tiduran?”
“Kalau
tidak tiduran sambil mengobrol, kita tidak
akan bisa ketiduran, tau?”
“Benar
juga...”
Karena Luna
bilang begitu, aku juga ikut berbaring di tempat tidur.
“Ryuuto? Kamu sudah di tempat tidur?”
Ketika aku
sudah berbaring, aku bisa mendengar suara Luna di dekat telingaku... hal itu membuatku jadi berdebar-debar.
“Iya...”
Saat aku
menjawab sambil merasa gelisah, Luna
terkekeh.
“Mungkin
karena sedang di tempat tidur kali ya... Entah kenapa, rasanya jadi...
sedikit erotis, ya...?”
“Eh?!”
“Cuma
aku saja? Apa Ryuuto juga enggak begitu?”
Dengan
nada menggoda dan sedikit merengek, aku tak bisa melawan Luna.
“...Tentu saja...aku juga sama...”
“Asyik, aku berhasil! Ryuuto juga mesum!”
Luna
tertawa senang.
“Lantas,
buat Ryuuto-kun yang mesum,
apa yang ingin kamu lakukan denganku?”
Luna
bersuara riang di seberang telepon.
“Aku...”
Terdengar
suara gesekan kain.
“Aku ingin
berciuman denganmu tau,
Ryuuto~!”
“...?!”
Lu-Luna?! Kenapa dia sampai seantusias itu...? Apa dia mabuk?
Tidak, saat rapat online dia masih kelihatan
normal. Ini... mungkin efek relaksasi di tempat tidur,
memicu ‘napsu
alami’...!
“Ryutooo...
Chu~♪”
“!?”
Aku bisa mendengar suara kecupan Luna di telingaku.
Dia
mencium ponselnya... Jantungku dibuat
berdebar keras.
“...Ryuuto juga, coba lakukan?”
“Eh?!”
Meskipun aku merasa malu untk melakukannya, tapi aku
tetap mencium ponselku seperti yang dimintanya.
“...Su-sudah.”
“Ehh~, tapi
aku tidak mendengar
suaranya! Coba buat suaranya sih~!”
“It-Itu sih
mustahil, maaf.”
“Eeh?!”
Aku
membuat Luna terdengar kecewa. Maafkan aku.
“Ahh~... Kalau saja Ryuuto ada di sampingku sekarang...”
Tiba-tiba
Luna berkata seperti itu.
“Sekarang
aku sedang memeluk Chii-chan, membayangkannya kalau itu
kamu, Ryuto♡”
“Eh?!”
“Ryutooo...
Peluk~!”
Aku kembali
mendengar suara gesekan kain.
Sepertinya
Luna benar-benar memeluk sesuatu.
“...Bisakah
kamu memeluk sesuatu juga, Ryuuto?”
“Eh?!
Uh, ya...”
Meskipun
begitu, di sekitarku tidak ada boneka atau guling yang pas. Jadi, aku tidak punya pilihan lain selain
memeluk selimut.
“Kamu sudah memeluknya?”
“I-iya...”
“Coba panggil
namaku?”
Suara
manja Luna terasa menggelitik di telingaku.
“...Lu-Luna...”
“Ryutooo...”
Luna sepertinya
sedang memeluk Chii-chan dengan nafas yang terengah-engah.
“...Haa...aku merasa tenang.....rasanya seolah-olah Ryuto memelukku...”
Saat dia
bilang begitu, selimut ini terasa seperti Luna, membuatku jadi panas.
“Nee, Ryuuto, coba katakan 'aku menyukaimu'?”
Luna
meminta dengan suara yang semakin manja.
"...Aku su-suka...”
“Ah,
apa itu peragaan ulang dari 'Susuki desu'?”
Mungkin
dia mengingat pernyataan cintaku sewaktu
kelas 2 SMA di masa lalu. Aku
jadi semakin malu karena aku tidak berniat melakukan itu.
“Coba dibisikkan
dengan lebih lembut?”
Tapi, aku tak bisa menolak rengekan
manis Luna.
“...Aku...
menyukai...mu...”
“Hmm~~~~...”
Luna
mengerang seakan-akan ingin menghayati pengakuanku.
“...Aku
juga, menyukaimu...”
Bisikannya
yang menggoda telingaku membuat
merinding seluruh tubuhku.
Percakapan
ini benar-benar berbahaya.
Sekarang aku
jadi memahami
perasaan para pasangan
yang kecanduan panggilan tidur.
“Ah...
Aku jadi terlalu tenang dan mengantuk...”
Suara Luna
perlahan-lahan semakin pelan.
“Ryuuto...”
Aku bisa mendengar kembali
suara gemirisik
pakaiannya, seperti dia memeluk sesuatu.
“Aku...
sayang kamu...♡”
Suaranya
yang manis terasa seperti seakan-akan dia sedang mengelus
bulu halus di telingaku.
Lama-kelamaan,
terdengar suara napas teratur dan dalam.
“...Luna?”
Tidak ada
jawaban. Yang terdengar hanya suara dengkuran
pelan.
Panggilan
telepon kami masih terhubung, dan kemudian terdengar suara
gesekan pakaian serta desahan “Mmh...”
Dia terlalu
tak berdaya.
Karena ini
di dalam kamar pribadinya, perasaan santainya terpancar begitu jelas.
Situasi
ini terlalu erotis sampai-sampai
membuatku tak tahan mendengarnya.
“Aku jadi tidak bisa tidur...”
Dengan
mata yang terbakar gairah, aku terus mempertahankan ponsel di dekat telinga.
◇◇◇◇
“Kurose-san,
terima kasih untuk kemarin lusa.”
Saat aku bertemu Kurose-san di pekerjaan paruh
waktuku di departemen editorial, aku mengucapkan
terima kasih atas rapat jarak jauh itu.
“Sama-sama.
Jika ada yang bisa kubantu, jangan sungkan-sungkan.”
Dia malah
menanggapinya dengan tangan terbuka.
“Lalu,
bagaimana? Lirik lagunya, apa itu sudah
hampir selesai?”
“Umm...”
Dua hari
lalu, Raion-san terlihat sangat semangat, tapi sejak itu tidak ada kabar
kemajuannya.
“Entahlah...”
Jujur
saja, aku merasa kesal
pada diriku sendiri.
Meskipun
aku menerima permintaannya untuk
membantu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mendukungnya dengan baik, jadi aku hanya bisa diam. Sementara waktu
terus berlalu, dan aku semakin merasa cemas.
“Oh
iya, Kashima-kun,”
Saat aku sedang dilanda tekanan batin, Kurose-san
berkata padaku.
“Apa kamu mau
minum-minum lagi malam ini? Sudah lama sekali kita
tidak melakukannya, 'kan?”
“Hah?”
“Kalau
sudah Desember, bar pasti ramai. Anggap saja ini perayaan kecil karena sudah
bekerja keras.”
Sekarang
aku jadi mengingatnya, sebentar lagi sudah memasuki bulan Desember.
“Ah,
iya, boleh.”
“Kalau
begitu, sepulang kerja nanti ya.”
Dia
tersenyum tipis lalu pergi.
Aku
penasaran apa ada hal baik yang terjadi padanya.
◇◇◇◇
““Bersulang!””
Setelah jadwal pekerjaan kami selesai, kami
bersulang di kedai izakaya langganan.
Meskipun
bukan akhir pekan, tempat ini masih ramai
dengan karyawan yang sudah melonggarkan dasi dan melepas jas. Sepertinya musim
pesta akhir tahun sudah dimulai.
“Selamat
untuk pekerjaan paruh waktu kita.”
Setelah
meneguk bir pertamanya dengan nikmat, Kurose-san berkata dengan nada serius.
“Kira-kira sudah
hampir setengah tahun, ya? Aku senang kamu mau bergabung, jadi pekerjaanku jadi
lebih mudah. Terima kasih, ya.”
“Tidak,
justru aku yang harus bilang begitu...”
Aku tidak
bisa mengatakannya dengan jelas karena malu, tapi aku menundukkan kepala ke
arah Kurose-san sambil menikmati minuman
beralkohol.
Berkat
kerja di editorial, pandanganku menjadi
lebih luas. Aku senang bisa berinteraksi lagi dengan Kurose-san, dan juga bisa
dekat dengan orang-orang
hebat seperti Kamonohashi-sensei.
“Pada waktu
itu, aku senang kamu mau mengajakku.”
Melihatku
begitu, Kurose-san menampilkan
senyumannya.
“.....Kalau
dipikir-pikir, cuma kamu satu-satunya laki-laki yang bisa
kuajak dengan santai seperti ini, ya.”
“...Bagaimana
dengan Kujibayashi-kun? Apa kalian masih saling
menghubungi lewat LINE?”
Saat aku menanyakan hal seperti itu, Kurose-san
mengangguk, seperti teringat sesuatu.
“Ah...
Iya.”
Lalu, dia
mengeluarkan ponselnya dari dalam tas
yang tergeletak di bawah.
“Lihat
ini.”
Layar
percakapan di ponsel Kurose-san menunjukkan banyak sekali pesan yang dihapus,
lalu dilanjutkan dengan kiriman stiker dari “Harry
Pochhari” yang juga terhapus bersih.
Setelah
itu, ada percakapan seperti ini:
Kujibayashi Haruku
Maaf
Ini
pertama kalinya aku
bertukar pesan dengan Wanita lain
selain keluarga, jadi aku
tidak tahu harus bagaimana, jadi mohon maaf atas pemandangan yang kurang
pantas.
Aku akan mengatur ulang kembali.
Mohon
maafkan kekurangajaranku
sebelumnya.
Maria
Tidak
masalah sama sekali, tapi terima
kasih sudah mengatakannya.
Kujibayashi Haruku
Bagaimana
harimu hari ini?
Hariku biasa-biasa saja.
Roti panggang yang aku beli dari minimarket hari ini rasanya
enak.
Maria
Keseharianku
juga biasa saja.
Dedaunan musim gugut di
kampus terlihat sangat
indah, jadi aku merasa
tenang ketika melihatnya.
Kujibayashi Haruku
Di kampus
kami juga sedang musim gugur.
Tapi karena ada banyak
pohon ginko, jadi aroma daun
ginkonya selalu mengganguku
setiap tahun.
Maria
Aku cukup
menyukai buah ginko.
Aku
hanya pernah memakannya yang dikukus dalam mangkuk teh.
Kujibayashi
Haruku
Aku
juga suka memakannya.
Sejak
kecil, keluargaku
selalu membelinya di restoran ryotei,
lalu digoreng dengan garam, rasanya
enak sekali.
Maria
Aku
belum pernah mengunjungi
ryotei.
Keluargamu
pasti berkecukupan, ya.
Kujibayashi
Haruku
Karena
menunggu makanan lama, anak-anak biasanya gampang
sekali bosan.
Tapi
mungkin cocok untuk ngobrol santai sebagai orang dewasa.
Maria
Wah, aku jadi ingin sekali pergi ke sana.
Kujibayashi
Haruku
Saat kamu
dewasa nanti, kamu pasti akan punya kesempatan.
Biasanya
kamu makan di restoran mana?
Maria
Karena
pergi dengan teman perempuan, tempat yang sering dikunjungi adalah kafe atau toko kue.
Kujibayashi
Haruku
Apa yang biasanya kamu pesan?
Maria
Aku menyukai
jenis makanan manis apa saja, tapi saat ini aku sedang ingin roti panggang.
Kujibayashi
Haruku
Kebetulan
sekali, aku
juga makan itu hari ini.
Maria
Aku
jadi ingin makan itu setelah membaca pesanmu.
Percakapan
itu diakhiri dengan Kujibayashi-kun yang
mengirim stiker Chikyawa yang terkejut.
“...Ahaha...”
Aku
mengenali semua percakapan ini.
Karena semua
pernyataan dari Kujibayashi-kun merupakan
hasil rekayasaku.
Aku
menerima tangkapan layar balasan Kurose-san, lalu menulis balasan yang
diharapkan Kujibayashi-kun,
kemudian aku sunting, dan Kujibayashi-kun akan mengirimnya jika tidak ada
keberatan. Ini adalah hasil percakapan yang terbentuk setelah proses
yang sangat rumit.
──Dia bilang ingin
pergi ke ryotei! Bukannya
kesempatan untuk mengajaknya!
──Tapi tempat itu bukanlah tempat yang cocok untuk
pasangan muda
──Dia ingin makan roti panggang! Kali ini kamu pasti bisa mengajaknya!
──Aku hanya pernah makan yang
dari minimarket, jadi aku tidak tahu restoran mana yang bagus
──Aku akan ikut mencarinya! Aku akan menanyakan itu ke Luna juga!
──Aku tidak ingin melakukan
sesuatu di luar kemampuanku
──Kenapa
sih?!
──Aku takut ditolak
──Mana mungkin dia akan menolakmu dengan alur seperti ini!
──Aku sama sekali tidak
mengerti hati perempuan
“Ahaha...”
Saat
mengingat percakapan canggung itu, mau tak mau
aku hanya bisa tertawa
getir.
Meski Kujibayashi-kun mempunyai dua
kesempatan untuk mengajak kencan Kurose-san,
tapi ia tak bisa menyepakati pertemuan.
Mungkin kelambanan ini memang sesuai dengan tempo Kujibayashi-kun.
“...Sepertinya
hubungan kalian tampak membaik, ya?”
Saat aku
berkata begitu, Kurose-san menelengkan kepalanya dengan bingung.
“Entah
kenapa, rasanya ia menjadi orang yang berbeda. Kashima-kun, kamu tidak
mengedit percakapannya, 'kan?”
“Eh?!
Ti-tidak kok!”
Aku panik
dan berteriak karena tebakannya tepat sasaran,
tapi Kurose-san hanya tertawa.
“Biasanya
gadis-gadis yang melakukan itu. Anak cowok mana mungkin melakukan itu, iya, ‘kan?”
“...Memangnya para gadis suka saling
mengedit?”
“Lebih
tepatnya sih, gadis-gadis suka nyebarin screenshot percakapan
cowoknya ke grup dan bilang 'Bukannya
orang ini rada sangklek, ‘kan?'”
“Eh...
“
Apa-apaan
itu, mengerikan banget...
Aku mengernyit dengan pergaulan para gadis,
tapi Kurose-san tersenyum tipis.
“Tapi
aku tidak pernah melakukannya. Teman perempuanku yang pakai aplikasi
kencan suka berbagi percakapan dengan cowok yang mereka
temui di sana di grup obrolan.”
“Begitu
ya...”
Syukurlah
percakapan Kujibayashi-kun tidak
tersebar. Tapi gadis-gadis
memang menakutkan. Mungkin kekhawatiran Kujibayashi-kun tidak terlalu berlebihan.
“...Awalnya
dia memang sedikit berlebihan, tapi sebenarnya dia bukan orang jahat. Apa kamu
mengerti?”
“Iya.”
Kurose-san
tersenyum. Melihat
tanggapannya yang begitu membuatku merasa lega.
“Kalau
kamu tidak keberatan, bisakah
aku sesekali ikut ngobrol lewat LINE?”
“Kalau
dia menghubungi. Tapi mungkin juga ia takkan menghubungi lagi."
“Aku
yakin ia akan menghubungi...”
Aku akan menyuruhnya untuk mengirimnya... Tapi saat aku berpikir
begitu, Kurose-san tersenyum lembut.
“Aku
tidak punya laki-laki yang mau menghubungiku bahkan ketika aku tidak punya
urusan khusus, dan aku tidak mengerti pentingnya tetap berhubungan dengan
seseorang yang bukan pacarku.”
Setelah
mengatakan itu, Kurose-san tersenyum lembut.
“Tapi
kalau percakapan seperti ini, aku sedikit menikmatinya.”
◇◇◇◇
Dan kemudian,
bulan Desember pun tiba.
Suatu
hari, Icchi mengirim pesan di grup LINE yang terdiri
dari kami bertiga, “Ada
yang ingin aku bicarakan.” Ia pasti ingin membicarakan
tentang kehamilan Tanikita-san.
Sejak
telepon di Okinawa itu, Icchi tidak pernah menghubungi kami lagi, tapi aku
sudah mendengar dari Luna bahwa kehamilan Tanikita-san sudah pasti. Nisshi juga
pasti sudah mendengarnya dari Yamana-san.
Sembari merasakan
suasana yang sedikit berat, kami bertiga
akhirnya sepakat untuk bertemu, sama
seperti saat insiden Chamotaro dulu.
Pada hari
Minggu, kami bertiga berkumpul di stasiun O di siang
hari lalu pergi ke restoran keluarga China yang dulu
sering kami kunjungi sewaktu SMA, sekitar 15 menit berjalan kaki.
Icchi
yang sekarang tidak makan sebanyak dulu, tapi hari ini ia memesan nasi goreng
dan ramen porsi besar, lalu menghabiskannya dengan luar biasa.
Setelah
itu ia mengambil minuman di bar minuman,
lalu dengan wajah serius ia menghadap
ke arahku dan Nisshi yang duduk di
seberang meja.
“...Aku
memutuskan untuk menikah dengan Akari.”
Aku dan
Nisshi saling bertukar pandang.
“Umm...
Selamat?”
“Apa
ini baik-baik saja?”
Nisshi
berkata, dan aku menimpali.
Biasanya ini
akan menjadi kabar gembira, tapi raut
wajah Icchi justru tampak muram.
Sejak
bertemu dengannya hari ini,
kami berdua tahu ia terlihat lesu. Jadi kami
cukup terkejut mendengar pengumuman bahagia ini.
“...Terima
kasih...”
Icchi
berkata dengan suara hampir tak terdengar.
“La-lalu, soal upacara pernikahan kalian...?”
“Kami takkan
mengadakannya... karena itu
bukan prioritas sekarang... Akari sudah mulai mengalami mual-mual.”
“Be-Begitu ya.”
Aku sadar
kalau pertanyaanku kurang sensitif,
tapi aku benar-benar tidak tahu harus bertanya apa.
“Lalu,
soal uang bagaimana? Masih ada lebih dari setahun sebelum kamu lulus, 'kan?”
Nisshi
bertanya dengan hal yang praktis.
“Nah,
soal itu...”
Icchi
menggigit bibirnya sebelum berkata.
“...Aku
sudah berhenti kuliah.”
““Apa?!””
Aku dan
Nisshi berseru bersamaan.
“Ayahku
benar-benar marah besar...
Berkat ibuku,
setidaknya aku tidak dicoret dari kartu keluarga,
tapi katanya 'Orang tak senonoh
sepertimu tidak pantas kuliah. Cepat kerja untuk menghidupi istri dan anakmu kelak.'”
Kami
berdua kehilangan kata-kata saat mendengar cerita
Icchi.
“Sekarang
aku bekerja di proyek konstruksi alumni kampusku.”
“...Kamu bekerja sebagai apa di proyek
konstruksi itu?”
Aku
bertanya dengan ragu tentang pekerjaan Icchi di proyek konstruksi, karena sulit
membayangkan dirinya bisa ada di sana.
“Aku
jadi pekerja biasa. Tipe pekerja yang
sering disebut pekerja kuli, begitu.”
“...”
Sungguh tak
disangka, Icchi yang dulu lebih suka main game daripada
mengangkat barang berat, sekarang jadi pekerja kuli...
Aku merasa terkejut, tapi sekarang mengerti
kenapa ia makan begitu lahap tadi.
“Aku
dibentak terus setiap
hari, kerja terus-terusan sampai capek. Ketika pulang,
Akari sudah mual-mual sampai lemas.”
“...Jadi
kalian berdua sudah tinggal bersama?”
“Lebih
tepatnya, aku diusir dari rumahku.”
““Ehh?!””
“Sekarang
aku tinggal di rumah orang tua Akari bersama keluarganya.”
““Hah?!””
Kami
terus-menerus dibuat terkejut
dengan perkembangan yang mengejutkan ini.
“It-Itu
pasti merepotkan, ya...”
Icchi
mengangguk ketika mendengar tanggaanku.
“Ibunya
Akari bahkan mencucikan bajuku yang kotor, aku jadi merasa tidak enakan dengannya.”
“Haa...”
“Itulah
sebabnya orang tua Akari jadi marah pada orang tuaku, sehingga menyebabkan hubungan
kedua belah pihak jadi memburuk.”
“Begitu
ya...”
“Pada awalnya,
ayahku bilang akan membayari uang untuk menggugurkan, asalkan aku bisa lulus kuliah. Tapi Akari
memutuskan untuk melahirkan anak kami,
jadi ia bilang 'Terserah kamu saja di
keluarga Tanikita', seakan-akan menghancurkan kehidupan putranya sendiri.”
“.....”
Permasalahannya
sudah berada di luar jangkauanku, jadi
aku kehabisan kata-kata untuk menanggapinya.
Nisshi
juga tampaknya merasakan hal yang
sama, kami hanya diam mendengarkan cerita Icchi.
“Pokoknya,
aku tidak bisa tenang di rumah maupun di luar, setiap hari rasanya seperti di neraka...”
"..."
Kehidupan
sehari-hari Icchi terdengar begitu menyedihkan.
“Kalian
berdua, hati-hati jangan sampai gagal memakai kontrasepsi
seperti aku...”
Mendengar
kata-kata Icchi yang terdengar dipaksakan, Nisshi tersenyum miris.
“Apanya yang
gagal kontrasepsi, hubungan
kami 'kan belum sampai tahap itu.”
“Ehh?”
“Nisshi,
jangan-jangan kamu dan Yamana-san belum
melakukannya...?”
Sementara
aku dan Icchi menatapnya, Nisshi balas mengangguk dengan malu-malu.
Begitu
ya... Aku tidak bisa berkomentar apa-apa, tapi mereka 'kan baru pacaran sejak
musim semi, wajar saja kalau belum sampai tahap itu.
“...Kasshi. Apa kamu tahu sampai sejauh mana hubungan Nikoru dengan mantan pacarnya?”
“Hah?”
“Mantan
pacarnya adalah pacar pertamanya Nikoru, iya
‘kan? Aku dengar mereka putus di tengah jalan, jadi aku
penasaran apa mereka benar-benar melakukannya
sampai akhir atau tidak....
Kasshi, karena teman dekat mantan pacarnya, kamu pasti tahu sesuatu, ‘kan?”
“Umm...”
Ketika Nisshi
bertanya begitu, aku
mencoba mengingat-ingat kenangan masa laluku.
“Kalau
kamu menanyakan hal itu padaku, aku
tidak tahu pasti...”
Aku
memang pernah mendengar dari kamar cewek bahwa mereka tidak jadi melakukannya
saat study tour semasa SMA dulu.
Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
Pada awalnya
mereka kelihatan baru akan melakukannya kalau Sekiya-san
berhasil diterima kuliah kedokteran... Tapi karena ia harus
ikut program khusus, jadi pada akhirnya aku tidak tahu perkembangan hubungan
mereka bagaimana.
Setelah Sekiya-san berhasil diterima dengan
sukses, mereka justru langsung
putus.
Meskipun aku kadang-kadang
berbincang dengan Sekiya-san, aku tidak akan bertanya hal-hal pribadi kecuali ia sendiri yang menceritakannya.
“Tapi,
karena ini tentang Sekiya-san,
kurasa ia tidak akan bisa menahan diri
sampai bertahun-tahun seperti
aku.”
Aku
tersenyum, tapi rasanya sedih.
“....Ehh?””
Tiba-tiba
Nisshi dan Icchi berseru bersamaan.
“Kasshi, apa
kamu sudah menahan diri selama itu?”
“Kapan
pertama kali kamu berhubungan badan
dengan Shirakawa-san?”
Ups, aku
baru menyadari kalau belum cerita ke mereka.
“...Sebenarnya,
aku belum pernah...”
Aku
mengatakannya tanpa ada yang disembunyikan, tapi Nisshi dan Icchi bereaksi
sangat kaget ketika mendengar pengakuanku.
““Masih
belum pernahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh?!””
Teriakan
mereka bergema di dalam restoran.
Pengunjung di sekitar kami mengalihkan perhatian mereka
kepada kami, dan bahkan robot pelayan yang
bergerak di lorong sepertinya berhenti sejenak karena terkejut dengan suara mereka.
“Ah,
ja-jangan sampai berteriak sekeras itu napa.”
“Ka-Kamu
kenapa, Kasshi? Bukannya
kalian berdua sudah berpacaran
1,2,3.... 4 tahun sejak kamu SMA!”
“Apa
kamu dilarang berhubungan s*ks
oleh agamamu sebelum menikah?”
Aku masih
kewalahan dengan reaksi mereka yang panik mendesakku, seolah-olah tak bisa memahaminya.
“Tidak,
ya.... ada beberapa kali
kesempatan kami bisa melakukannya,
tapi... aku selalu melewatkannya...”
Saat aku
mengatakan ini, aku teringat penderitaanku baru-baru ini dan merasa tidak
berdaya.
Tapi
mereka berdua tidak
menyerah begitu saja.
“Bukannya pacarmu
itu Shirakawa-san? Masa 4 tahun tidak pernah melakukan itu sama sekali?”
“Ngapain
gengsi sih? Shirakawa-san sendiri sudah memiliki pengalaman sama banyak cowok,
harusnya kamu bisa langsung
ambil kesempatan!”
Aku
mengerti maksud mereka, tapi...aku mengangkat bahuku
dengan pasrah.
“...Iya,
aku memang pengecut.”
“Bener
sekali! Sekarang juga langsung temui
dia!”
“Asli, apa
sih yang kamu pikirin?! Kamu
tinggal melakukannya saja!”
“Hari
kelulusan! Ayo jadikan hari ini
sebagai hari kelulusan
keperjakaanmu!”
“Karena
kamu pengecut, maka gunakan cara seorang pengecut
dengan
menyembah-nyembah meminta izin dulu!"
“...Udahlah, jangan bahas aku lagi!”
Aku merasa sangat menyedihkan jika topik inibahas
lebih lanjut, jadi memaksa mengubah topik.
“Topik
sekarang adalah membahas Nisshi,
‘kan!? ... Makanya, jika dipikirkan secara logis,
aku merasa ada hubungan seperti itu
antara Yamana-san dan Sekiya-san.”
Ketika aku
memaksakan diri untuk mengembalikan pembicaraan, Icchi
tampak masih ingin membicarakan topikku, tetapi Nisshi terlihat lesu.
“…Yah,
kurasa memang begitu, ya.”
Ia
menunduk dan menghela napas dalam-dalam.
“Hah…
Mungkin karena aku, ya… Mungkin aku tidak bisa merasakan hal seperti itu…”
“Ngomong-ngomong,
Icchi, bagaimana caramu bisa menjalin
hubungan seperti itu dengan Tanikita-san?”
Karena
Nisshi dalam suasana hati yang murung, dan aku
tidak ingin pembicaraan kembali membahas
diriku, jadi aku
bertanya kepada Icchi.
Aku merasa bahwa bertanya hal seperti ini
kepada Icchi mungkin aman. Ia
pasti sudah menjadi orang yang sangat bahagia, hampir menjadi seorang ayah.
“Eh?”
Icchi awalnya tampak bingung sejenak, tetapi
setelah mengingat masa lalu, wajahnya menjadi ceria.
“Tidak, yah, karena Akari sangat bersemangat…”
Dengan
senyum tak tertahankan, Icchi mulai menceritakan.
“Pada
hari kami mulai berpacaran,
di Love hotel…”
““Eh──!””
Dengan kata
lain.
Setelah
ciuman di jalanan pada
hari insiden Chamotaro, mereka langsung berhubungan
badan di hari yang sama…?
“Apa
itu! Aku tidak percaya! Semoga ini hanya jebakan! Semoga mereka mati saja!”
Nisshi
sangat bersemangat.
“Tapi
lihat, hasilnya malah seperti
ini…”
Setelah
mengatakan itu, Icchi tampak kembali ditarik dalam kenyataan dengan ekspresi
lesu.
“Kalian berdua masih beruntung…”
Icchi
mengeluarkan suara penuh perasaan seolah-olah benar-benar berpikir demikian.
“Aku
sudah berada di kuburan kehidupan… sudah di ambang neraka…”
Setelah
berkata demikian sambil menutupi wajahnya, Icchi membuat kami
kembali kehilangan kata-kata.
“…Hmm?”
Icchi
mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menatap layar selama beberapa saat.
Kemudian,
ia menatap kami dan berkata.
“…Maafkan aku, aku harus pulang sekarang.”
“Ada
apa?”
“Sepertinya
Akari sedang tidak enak badan. Meskipun ini
hari libur, ketika aku menelepon pihak
rumah sakit, mereka bilang, 'Kalau Anda
merasa khawatir, datanglah dan kami akan memeriksanya,'
jadi aku harus mengantarnya.”
“Eh,
serius?”
“Pasti
rasanya sulit, ya… semoga cepat sembuh.”
“Terima
kasih. …Nah, aku pergi dulu.”
Icchi,
dengan cara yang khas, menghitung biayanya dengan cepat dan meninggalkan
uangnya, sementara aku dan Nisshi terdiam sejenak.
“…Kurasa kita juga harus pergi."
“Iya,
setuju.”
Entah
kenapa, aku jadi teringat pada
insiden Chamotaro.
Pada saat
itu, aku sama sekali tidak membayangkan Icchi akan berada dalam situasi seperti
ini.
◇◇◇◇
Kami berdua
berjalan menyusuri jalanan
menuju stasiun di sore hari. Dengan dinding beton yang memisahkan rel kereta
dan jalan raya di sebelah kiri, aku dan Nisshi berjalan berdua di trotoar yang
cukup lebar, tanpa banyak bicara. Karena trotoarnya lebar, sepeda sesekali
melintas di samping kami, dan aku merasa itu berbahaya dan mengganggu.
Tiba-tiba,
Nisshi membuka mulutnya.
“…Aku
berencana untuk memberi tahu Nikoru.”
“Eh?”
“Hari natal
sudah lumayan dekat, ‘kan? Kalau kita bertemu di malam
Natal, aku akan mengajaknya, 'Aku ingin bersamamu malam ini.'”
Nisshi
berkata demikian sambil tidak menatapku, dengan
kedua tangan diselipkan di saku celananya.
“Rasanya
sungguh lucu sekali karena kami benar-benar tidak pernah berada dalam suasana seperti
itu… tidak ada yang berubah dari saat kami berteman dulu. Tapi, karena ini hari istimewa,
tidak ada salahnya jika aku mengatakannya, kan? Karena
aku adalah pacarnya Nikoru.”
Aku
mengangguk, memahami apa yang dikatakan
Nisshi.
“Iya.
Benar.”
“Aku
mengerti. Mungkin Nikoru tidak
ingin aku mengatakannya. Dia yang menjaga hubungan kita tetap seperti teman.”
Dengan
kata-kata itu, Nisshi menggigit bibirnya.
“…Tapi,
aku sudah… merasa tersiksa dalam keadaan ini. Jadi, jika Nikoru menolakku… aku tidak keberatan
kembali menjadi orang asing, bukan teman maupun
kenalan.”
Ada cahaya tegas di dalam tatapan matanya.
“…Jadi kamu sudah memutuskannya, ya?”
“Iya,
aku sudah memutuskannya. Karena
kamilah yang berpacaran.”
Kata-kata
itu membuatku terkejut.
“Mana
mungkin cuma aku yang terus-menerus menahan diri,
‘kan?”
Itu memang
benar.
Walaupun
Luna berharap kalau kami tidak akan melakukan itu sampai kami menikah, tidak ada salahnya
untuk menyampaikan bahwa aku tidak berpikir demikian.
——Kebahagiaan
bukanlah sesuatu
yang harus diusahakan oleh salah satu pihak... Tapi sesuatu yang akan muncul
ketika kalian berdua saling berjalan bersama.
Aku jadi teringat kata-kata kakak perempuannya Luna dan
merasa sangat yakin tentang itu.
“…Semoga
semuanya berjalan baik.”
Ketika aku mengatakannya, Nisshi akhirnya
menatapku dan tersenyum.
“Kamu
juga, Kasshi.”
Aku
merasa malu seolah-olah dia bisa membaca pikiranku yang sedang memikirkan
diriku sendiri, jadi aku hanya tersenyum kembali.
Setelah aku berpisah dengan Nisshi dan turun
dari kereta di Stasiun K, ponselku mendadak bergetar.
Ketika
aku melihatnya, itu adalah panggilan masuk dari Kamonohashi-sensei.
“Halo,
ini Kashima.”
Karena
baru keluar dari gerbang, aku berjalan menuju taman stasiun yang tenang sambil
menjawab telepon.
“Halo, bagaimana
kabarmu?”
Suara Kamonohashi-sensei terdengar ceria
seperti biasa.
“Bagaimana
kabar Kurose-san setelah itu? Apa Sato-kun masih mengganggunya?”
“Kupikir
semuanya sudah tidak masalah lagi. Terima kasih banyak
untuk waktu itu.”
“Ah,
itu sebenarnya cukup menyenangkan,
jadi tidak apa-apa.”
Percakapan
terhenti sejenak di situ,
dan aku merasa bingung tentang apa yang harus dibicarakan dengan mangaka terkenal itu, sambil diam-diam
berkeringat dingin.
Maksudku…
Sepertinya
Kamonohashi-sensei adalah orang yang perhatian kepada orang-orang terdekatnya,
tetapi apa dia benar-benar meneleponku hanya untuk menanyakan tentang
Kurose-san?
Saat aku berpikir seperti itu, di ujung
telepon, sensei memulai pembicaraan, “Begini.”
“Fujinami-kun
sepertinya akan keluar dari Penerbitan Iidabashi.
Apa kamu tahu sesuatu tentang itu?”
“Eh!?”
Aku sangat terkejut sampai-sampai tidak bisa menahan suara
asliku. Burung merpati yang ada di tanah taman terbang karena suaraku.
“Apa
maksudnya!?”
“Tadi,
Fujinami-kun tiba-tiba menghubungiku dan bilang, 'Aku akan keluar dari jabatan
ini sebelum akhir tahun,' jadi aku tanya dia mau pindah ke departemen mana, dan
dia memberi kesan akan keluar dari perusahaan. Dia bilang, 'Mari kita makan
bersama untuk terakhir kalinya,' dan sudah menentukan hari untuk bertemu,
mungkin dia akan bilang di sana, tapi itu membuatku takut! Aku sudah takut
bertemu orangnya langsung,
dan aku ingin tahu segera. Kira-kira
apa kamu tahu alasannya?”
“Eh…
aku sama sekali tidak tahu…”
Aku hanya
bisa menjawab dengan kebingungab. Fujinami-san selalu bilang, “Kerja itu menyenangkan” dan "Aku merasa puas,”
jadi ini benar-benar seperti petir di siang bolong.
“Aku
pikir Fujinami-kun adalah orang yang sukses dan semangat, tapi tiba-tiba dia
ingin keluar. Aku jadi berpikir, apa ada masalah atau skandal yang terjadi?
Jika itu bukan masalah seperti itu, tidak apa-apa sih.”
“…Kurasa bukan masalah seperti itu.
Sungguh, aku tidak pernah mendengar
apa-apa darinya.”
Jika ada
kejadian seperti itu dan menjadi perbincangan di dalam departemen editorial,
pasti informasi itu akan sampai ke telingaku yang hanya seorang pekerja paruh
waktu. Meskipun aku tidak tahu, Kurose-san pasti sudah berbicara dengan editor
lain, jadi dia juga akan memberitahuku.
“Kalau
begitu tidak apa-apa… tapi sayang sekali. Aku pikir mungkin suatu saat aku bisa
bekerja sama dengan Fujinami-kun.”
Suara
Kamonohashi-sensei terdengar benar-benar begitu
kecewa. Sepertinya ia tidak menggambar manga baru-baru
ini, tetapi mungkin ia benar-benar ingin bekerja dengan Fujinami-san. Sambil
menghormati Fujinami-san, pertanyaan yang sebelumnya tidak terjawab kembali
muncul di pikiranku. Seperti biasa, lirik lagu dari
Raion-san belum juga maju.
“…Ehm, Kamonohashi-sensei.”
“Ya?”
“Maaf
jika ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya, tetapi… menurut Anda, keterampilan apa yang
dibutuhkan seorang editor?”
“Hah,
aku tidak tahu! Tanyakan saja kepada editor lah!”
Pertanyaanku
yang sudah aku putuskan dengan hati-hati, langsung ditolak mentah-mentah oleh
Kamonohashi-sensei.
“Tidak,
maksudku, dari sudut pandang seorang mangaka
saja sudah cukup…”
Karena
saat ini aku benar-benar bingung tentang penulisan lirik
Raion-san, aku berusaha lebih keras dari biasanya.
Kamonohashi-sensei lalu berpikir sejenak.
“Ini
juga sulit. Seorang mangaka itu kumpulan dari berbagai kepribadian, jadi semua
orang memiliki karakter yang berbeda, dan apa yang mereka gambar pun sangat
bervariasi, ‘kan?
Jika seorang mangaka menggambar cerita hard-boiled, mungkin dia ingin editor
yang paham tentang senjata, bukan?”
Bukan itu
yang aku maksud… pikirku, tapi
sensei menambahkan, “Tapi,”
“Sebaiknya
kamu menyukai penulis yang kamu tangani. Kami juga berusaha untuk menyukainya.”
“Apa
maksud Anda editor yang bertanggung jawab?”
“Ya.”
Setelah
sampai di bangku taman, aku pun duduk.
Di bawah tangga yang luas, ada lapangan rumput bulat di mana anak-anak
berlarian dengan ceria.
“Jika
itu datang dari seseorang yang kamu suka dan percayai, meskipun mereka
mengkritik dengan keras, kamu akan merasa ingin mendengarkannya, ‘kan? Terutama di masa muda, aku
sering menerima banyak kritik dari editor, tetapi aku bisa mendengarkannya karena aku merasakan cinta
terhadap karyaku dan diriku. Jika itu tidak ada, maka sama saja dengan
orang-orang yang mencaci maki di internet, kan? Yah, mungkin tidak persis sama sih, hahaha.”
Kamonohashi-sensei
tertawa sendirian.
“Ada
banyak mangaka yang bilang, 'Istriku adalah editor terbaik.' Kami tahu bahwa
orang yang kami sampaikan karya adalah orang biasa yang suka manga dan buku,
bukan kritikus, jadi itu sudah cukup. Oleh karena itu, untuk konten, wakili
pembaca umum dengan menyampaikan pendapatmu yang tulus. Agar mereka bisa
mendengarkan dengan jujur, penting untuk membangun hubungan saling mempercayai. Jika kamu mulai menangani
seorang penulis, mulailah dengan membaca karya-karya sebelumnya atau mengobrol
tentang latar belakang dan kehidupan pribadinya untuk mengenalnya. Jika kamu
mengenalnya, kamu bisa menyukainya. Sebaliknya, mungkin juga kamu bisa tidak
suka, tapi ya sudah, namanya juga
pekerjaan! Hahaha!”
Setelah mendengar
itu, aku terkejut.
Aku
merasa ada sesuatu yang mendalam
dari apa yang dikatakan Kamonohashi-sensei menjadi
penyebab nasihatku kepada Raion-san tidak berjalan dengan baik. Aku juga
memberi nasihat kepada Kujibayashi-kun
mengenai tanggapannya terhadap LINE untuk Kurose-san.
Meskipun
aku merasa aneh untuk mengatakannya, hingga saat ini, hal itu berjalan cukup
baik. Aku sudah berteman dengan Kujibayashi-kun
hampir tiga tahun, jadi aku tahu banyak tentang sisi baiknya. Meskipun dia
terkadang mengatakan hal yang konyol, aku bisa bersikap sabar dan berusaha
memahami maksud sebenarnya. Ia
juga merasakannya, dan di tempat-tempat yang perlu dia kompromikan, ia mau
mendengarkan apa yang aku katakan.
Aku merasa
alasan kenapa aku tidak bisa memberikan nasihat kepada
Raion-san sepertinya berasal dari ketidaktahuanku tentang dirinya.
◇◇◇◇
Pada malam
itu, aku menghadapi Raion-san di layar komputer.
“Jadi, bagaimana
dengan perkembangan liriknya?”
Saat aku
bertanya lagi, Raion-san tampak sedikit canggung.
“Ya... setelah rapat jarak jauh tempo hari, aku sempat merasa termotivasi, tapi karena
pekerjaan di siang hari, jadi malamnya aku merasa
mengantuk sekali...”
“Ahaha...”
Aku hanya
bisa tertawa pada pernyataan yang tidak berdaya itu. Sepertinya orang ini perlu
perhatian dan bimbingan seperti Kujibayashi-kun.
...Berbicara
tentang itu.
“Kalau boleh
tahu, sejak kapan Raion-san bercita-cita ingin menjadi seorang penyanyi sekaligus penulis lagu?”
Ketika
aku mengajukan pertanyaan itu, Raion-san membuka matanya lebar-lebar karena terkejut.
Kemudian
ia menatap ke arah langit-langit seraya
bergumam,“Hmm....”.
“....Setelah
aku lulus SMA, ibuku menikah lagi,
dan aku tidak punya rumah yang bisa kukunjungi dengan santai... Ketika aku
tidak tahu harus berbuat apa, yang terlintas di pikiranku adalah menjadi
seorang penyanyi-penulis lagu.”
Setelah
mengatakannya, ia menyipitkan matanya seolah-olah
mengenang masa lalu.
“Ketika
aku masih kecil dulu... baik dalam belajar maupun
olahraga, aku tidak pernah pandai dalam hal apapun, tetapi hanya saat menyanyi,
ibuku akan memujiku. Itulah sebabnya aku jadi suka menyanyi.”
Mungkin karena teringat masa itu, Raion-san
tersenyum kecil.
“Aku
menyanyikan berbagai lagu, seperti 'Lagu Mencuci Piring' atau 'Lagu Mencuci
Pakaian,' dengan lirik yang sembarangan dan melodi yang terdengar familiar,
sambil membantu pekerjaan rumah... Aku senang melihat ibuku tertawa
mendengarnya.”
Namun saat ia mengatakan itu,
ekspresi di wajahnya tiba-tiba menjadi suram.
“Itulah
sebabnya, aku berpikir, jika aku menyanyi, mungkin aku
bisa membuat orang lain bahagia lagi... Karena itu, aku merasa telah merepotkan
Ryuuto-san dan yang lainnya... Aku
benar-benar minta maaf.”
Dengan
mengatakan itu, Raion-san menundukkan kepalanya melalui layar.
“Karena
aku tidak bisa menyelesaikan lagu untuk orang yang aku sukai tanpa bantuan
orang lain... Aku pikir, aku memang tidak memiliki bakat.”
“Ah,
itu sama sekali tidak benar... Dari sudut
pandangku, bisa menulis dan menciptakan lagu saja sudah luar biasa.”
Mendengar
dukunganku, Raion-san hanya bisa tersenyum pahit dan menggelengkan kepala.
“Seorang
senior yang pernah menjadi penyanyi-penulis lagu jalanan dan sudah merilis CD
pernah bilang padaku. 'Aku pernah bertemu dengan penyanyi terkenal yang bisa
hidup dari lagu-lagu mereka, tetapi mereka semua bukan orang biasa. Baik saat
mereka sangat senang sampai ingin menari, atau saat mereka sangat menderita,
kata-kata dan melodi selalu mengalir dari dalam tubuh mereka, dan jika mereka
tidak menyanyi dan mengeluarkannya, otak mereka akan tersumbat dan mati. Mereka
adalah makhluk seperti itu sejak lahir.'”
Setelah
berbicara dengan tenang, Raion-san berkata dengan pelan.
“...Aku
bukan orang seperti itu.”
“Itu...”
“Tapi,
meskipun aku hanyalah orang
biasa, lagu-laguku... Kitty-chan memujiku seperti ibuku yang dulu, 'Hebat,
bagus!'... Itu membuatku senang... dan aku jadi sulit untuk
melepaskannya...”
Dengan
ekspresi yang bahagia sekaligus sedih, Raion-san terus
melanjutkan.
“Di
sudut kepalaku, aku selalu berpikir untuk bekerja di toko pamanku suatu saat
nanti. Ibuku juga pasti merekomendasikan sekolah kuliner untuk itu... Tapi, aku
tidak punya kesempatan... Sulit untuk melepaskannya, juga karena Kitty-chan
mendukungku, tetapi kenyataan yang membawaku untuk menghadapi itu juga berkat
keberadaan Kitty-chan.”
Setelah
mengatakan itu, Raion-san terdiam sejenak, lalu membuka mulutnya lagi seolah
merenungkan sesuatu.
“...Jadi,
lagu terakhir yang akan aku buat ini, meskipun bagi orang lain bukanlah lagu
yang luar biasa... Aku ingin membuatnya menjadi sesuatu yang bisa membuat
Kitty-chan benar-benar bahagia... Semakin aku memikirkannya, semakin terasa
tekanan untuk 'menulis lirik yang bagus,' dan kata-kataku menjadi tidak
keluar...”
Saat
mendengarkan cerita Raion-san, aku tiba-tiba berpikir bahwa mungkin aku bisa
membantunya.
Namun,
berlawanan dengan harapanku, ekspresi Raion-san semakin suram.
“Tapi,
jika aku tidak bisa menemukan ide, mungkin sudah tidak mungkin lagi. Mungkin
lebih baik menyerah dan pergi meminta maaf kepada Kitty-chan meskipun itu
terlihat konyol...”
“Jangan
bilang begitu. Mari kita coba lagi tanpa menyerah.”
Dengan
semangat, aku berbicara ke arah mikrofon untuk memberi semangat pada Raion-san
yang ada di layar.
“Apa kamu
bisa menceritakan
kenanganmu bersama Kitty-san?”
“Eh?”
Raion-san
tampak kebingungan.
“Aku
baru menyadarinya sekarang. Apa
yang kurang dari lagu ini adalah kekhususannya. Bukan lagu cinta yang
terdengar biasa, tetapi lagu yang hanya bisa menyentuh satu orang di dunia ini,
yaitu Kitty-san...
Jika kita ingin mewujudkan keinginan
Raion-san untuk membuatnya, kita harus menulis tentang pengalamanmu dengan
Kitty-chan, bukan kata-kata yang abstrak.”
Aku
merasa senang telah mendengarkan cerita ini. Dengan antusias, aku mengungkapkan
ide ini.
“Kita
bisa mengumpulkan kenangan kalian berdua dan mengubahnya menjadi lirik lagu. Kita bisa memilih episode mana
yang ingin dipilih dan bagaimana menyusunnya... Aku juga akan ikut berdiskusi.”
“Jika
diingat kembali dan dikatakan seperti itu... rasanya sulit...”
“Itu sama sekali tidak sulit.”
Aku
berkata pada Raion-san yang tampak bingung.
“Bukannya
kamu baru saja memberitahuku hal itu? Lagu yang membuat ibumu
senang ketika kamu kecil adalah... lirik yang bisa kamu ucapkan langsung dari
apa yang kamu lihat, ‘kan?”
“Ah...”
“Kamu
pernah menceritakan itu sebelumnya. Pada hari pertama
kamu bertemu Kitty-chan, kalian berbincang seru tentang 'Nama Keren dan Nyeleneh.'
Cerita-cerita seperti itu, tolong ceritakan lebih banyak. Mari kita jadikan itu
liriknya. Bersama-sama.”
Mendengar
kata-kataku, Raion-san mengangguk penuh
semangat.
“...Baiklah.
Terima kasih banyak.”
Sejak
hari itu, aku mulai bekerja
sama untuk menulis lirik dengan Raion-san.
Dan lagu
terakhir Raion-san sebagai “seseorang yang mengaku-ngaku sebagai penyanyi sekaligus
penulis lagu” akhirnya selesai
sehari sebelum malam Natal.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya