Penerjemah: Maomao
Bab 3 — Demi Siapa Kamu Melakukannya
Bagian 7
Di atas
tempat tidur, Kotoha hanya duduk dan menatap keluar dengan kosong. Dari ruang
rumah sakit, terlihat kampus di seberang jalan. Hari ini mungkin adalah hari
ujian masuk. Di tengah hujan salju yang rintik, terlihat sosok-sosok siswa SMA
yang terlihat tegang dan kedinginan saat berjalan. Itu adalah tempat yang sudah
tidak mungkin lagi dapat dijangkaunya.
Kotoha
menghela napas dalam-dalam. Dia sudah menghabiskan semua tenaganya. Secara
mental, dia juga sangat terpuruk. "Ugh..." Sebuah rasa sakit yang
tajam mengena di kepalanya, dan tanpa sadar dia mengeluarkan suara keluhan.
Sejak dipindahkan ke Tokyo, dia sudah merasakan nyeri tumpul terus-menerus,
tetapi sekarang rasa sakit yang tajam datang tanpa peringatan.
Kemarin,
Kotoha pingsan dan jatuh. Itu karena kondisi kesehatannya yang memburuk. Sejak
saat itu, dia tidak sadarkan diri dan baru saja kembali sadar di tengah malam.
Tanpa mendengarkan kata-kata ibunya yang khawatir atau pertanyaan dokter yang
datang, dia langsung mengambil novel karya Haruhiko Fuyutsuki yang ada di
samping bantalnya. Itu bukan untuk kesenangan, tetapi untuk memastikan apakah
dia masih bisa membaca huruf. Tangan yang gemetar karena ketakutan.
Kurang
dari dua bulan lagi, novel yang dia buat bersama Yuuto Hiiragi akan diterbitkan.
Jangan
ambil kekuatanku untuk membaca kata-kata──jangan ambil kekuatanku untuk membaca
cerita ini sampai saat itu tiba. Setelah itu, aku tidak lagi membutuhkan hidup
ini.
Kotoha
berharap seperti itu.
Oleh
karena itu, ketika dia bisa memahami kalimat pembuka dengan baik, air mata pun
mengalir. Namun, setelah itu, dia diberitahu bahwa batas waktu sudah dekat.
"Apakah
aku tidak akan bertahan sampai hari rilis...?"
Secara
fisik dan mental, Kotoha tertekan, dan kata-kata itu pun terlepas dari
bibirnya. Dokter mengatakan kalau jika dia tidak menjalani operasi dalam
beberapa hari ke depan, dia berada dalam kondisi berbahaya yang bisa
mengakibatkan kematian. Namun, jika dia menjalani operasi, kemungkinan besar
dia tidak akan bisa membaca cerita lagi.
Dengan begitu,
masa depan untuk lulus dari SMA dan Kampus serta menjadi editor sepertinya
sudah tidak mungkin lagi. Jika demikian, dia akan bertaruh pada sedikit
harapan.
──Dia
berharap untuk tetap hidup hingga terbitnya karya terbaru Haruhiko Fuyutsuki
tanpa menjalani operasi.
Ketika
dia memegang puncak dari cerita yang telah dia bangun bersama Yuuto, jika dia
sudah tidak bisa merasakan keindahan setiap huruf yang tertulis di sana, maka
bagi dia hidupnya tidak memiliki arti lagi. Selama ini, hanya kisah Yuuto yang ada
baginya. Untuk itu, dia telah mengorbankan jiwa dan hidupnya.
Dia tidak
bisa menghancurkan semuanya di akhir. Hingga tulangnya terbakar habis, dia
hanya bisa melanjutkan. 'Tapi, jika, aku bisa bertahan sampai saat itu...?'
Jika secara ajaib dia masih hidup hingga hari rilis buku itu, dan bisa membaca
karya terbaru Haruhiko Fuyutsuki seperti yang dia inginkan. Lalu, setelah itu?
"Apakah
aku harus menjalani operasi?"
Dengan
risiko hampir pasti akan kehilangan kekuatan membaca kata-kata. Dalam
pertanyaan itu, Kotoha mengeluarkan suara 'ah'.
Dia
menyadari. Ternyata, tidak ada jalan lain. Perasaan menyerah yang mirip dengan
keyakinan menyelimuti hatinya seperti air dingin.
Kehilangan
kata-kata berarti memutuskan impiannya untuk menjadi editor. Namun, itu bukan
satu-satunya hal. Sebenarnya, dia merasa lemah. Beberapa waktu setelah
penyakitnya terdeteksi, dia pernah berharap untuk mati. Yang menyelamatkannya
dari perasaan itu adalah cerita. Dan cerita itulah yang membentuknya dan
mendukungnya hingga saat ini.
Bagi
dirinya, cerita adalah inti dari segalanya. Itu adalah kekuatan untuk hidup.
Jika itu diambil darinya, tidak akan ada yang tersisa. Pastinya, saat dia
kehilangan kata-kata, dia tidak akan mampu menahan keputusasaan yang terbaring
di depan matanya. Cerita yang seharusnya menyelamatkannya dari keputusasaan
itu, tidak akan ada lagi baginya.
Ketakutan
akan hal itu sangat menyiksanya. 'Maafkan aku... Senpai...' Dia teringat
janji yang dia buat dengan Yuuto di rumah sakit Gifu beberapa hari sebelum
dipindahkan ke Tokyo. Yuuto, yang berjanji akan menggerakkan hati orang-orang
melalui novel dan membuatnya menjalani operasi, menunjukkan ketegasan yang
cukup besar bagi dirinya. Namun, Kotoha terpesona oleh perasaan itu dan tanpa
sadar menerima kata-katanya.
Namun,
janji itu mungkin tidak akan pernah terpenuhi.
Mungkin,
dia jauh lebih lemah daripada yang Yuuto bayangkan. Namun, jika bisa, dia ingin
sekali bertemu Yuuto sekali lagi, di akhir segalanya. Dia ingin berbicara
dengannya tentang karya. Meskipun hanya dalam waktu kurang dari setahun,
hari-hari bersama Yuuto lebih memuaskan daripada seluruh hidupnya yang telah
berlalu.
Namun,
sudah semalam sejak dia tumbang, dan Yuuto tidak hanya tidak datang, bahkan
tidak mengirimkan pesan sekalipun. Kotoha berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu
tidak bisa dihindari. 'Bukannya aku yang bilang untuk tidak mengunjungiku
sampai buku selesai?' Saat itu, dia sudah pulih secara mental. Dia tidak
boleh terus bergantung pada kruk setelah lukanya sembuh.
Dia harus
berjalan sendiri, berlari, karena itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan
kembali perasaannya. Kotoha tidak ingin selamanya berada di samping Yuuto dan
menjadi beban baginya. Kotoha ingin Yuuto melangkah jauh ke depan sebagai
penulis dengan mengandalkan dirinya.
Namun──
"Ternyata
rasanya lebih menyakitkan daripada yang aku bayangkan."
Dia
menggigit bibirnya dengan kuat. Rasanya seperti jantung terjepit. Kenyataan
bahwa Yuuto tidak ada di sini saat ini menimbulkan bayangan yang jauh lebih
gelap dalam hatinya daripada yang dia bayangkan. Berapa pun dia mencoba
meyakinkan diri sendiri, itu tidak akan berubah.
Dan
dengan itu, dia menyadari.
Dia
menyadari bahwa dia tidak hanya terikat pada seorang penulis bernama Haruhiko
Fuyutsuki, tetapi juga pada sosok manusia bernama Hiiragi Yuuto.
Aku sudah
jatuh cinta padanya, tanpa bisa menghindar lagi.
Senpai
tidak datang menjengukku di ruang perawatan, bahkan tidak mengirimkan satu
pesan pun. Hanya memikirkan dirinya saja sudah cukup untuk membuat hatiku
terasa hancur.
Aku ingin
melihat wajahnya.
Aku ingin
mendengar suaranya.
Aku ingin
menggenggam tangannya.
Perasaannya
hampir meluap.
“Aku
ingin bertemu dengan senpai…”
Saat
kata-kata itu terucap, semuanya sudah terlambat.
Pandangannya
mulai kabur oleh air mata. Suara isak tangisnya tak bisa dia tahan. Emosinya
meluap, tak terbendung.
Saat itu—
Suara
ketukan lembut terdengar di pintu.
Kotoha
terkejut dan segera menghapus air mata di wajahnya.
Apakah
itu ibuku? Atau dokter atau perawat?
“Silakan…
masuk,”
Dia
menjawab dengan suara yang bergetar, dan pintu ruang perawatan terbuka.
Aku
menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tapi semua usahaku seolah
sirna dalam sekejap.
Karena
yang muncul bukan ibuku, bukan dokter, dan bukan perawat.
Yang
berdiri di sana adalah Hiiragi Yuuto.
“Senpai…?”
“Aku
masuk, ya?”
Yuuto
berkata sambil melangkah masuk.
"Eh…?"
Apakah
aku sedang bermimpi?
Kotoha
bingung, tidak percaya bahwa Yuuto benar-benar datang—dia sudah menganggap itu
tidak mungkin.
"Tunggu…
tunggu sebentar!"
Dia
terbenam di bawah selimut, tidak tahu harus berbuat apa.
Apa yang
harus aku lakukan?
Karena
dia tidak menyangka Yuuto akan datang, rambutnya acak-acakan dan wajahnya
pucat, tanpa makeup sama sekali—
"Apa…
apa yang senpai lakukan di sini? Senpai bilang, kan? Kalau kita tidak akan
bertemu sampai buku senpai selesai!"
Tanpa
sengaja, kata-kata itu terlepas dari bibirnya.
Sungguh
ironis. Baru saja dia menangis merindukan Yuuto. Padahal, sebenarnya ada banyak
hal yang ingin dia bicarakan.
"Bagaimana
dengan ujiannya?"
"Salju
turun begitu deras, tapi kamu tidak sampai sakit, kan?"
Setelah
berbincang-bincang ringan seperti itu, Kotoha melanjutkan,
"Bagaimana
dengan revisi bukunya? Apakah pekerjaan penerbitan sudah mulai tenang? Apakah
senpai sudah mulai menulis karya baru? Bisakah senpai memberitahuku sedikit
tentang ceritanya?"
Meskipun
dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi terlibat dalam proses kreatif Yuuto seperti
sebelumnya, Kotoha sangat berharap bisa berbicara tentang hal-hal itu
bersamanya.
Saat dia
berpikir seperti itu, tiba-tiba terdengar suara dari balik selimut.
"Maaf,
sebenarnya aku ingin datang lebih awal."
Kotoha
merasa menyesal telah membuatnya merasa harus meminta maaf.
Namun, di
sisi lain, dia juga merasa sedikit bahagia.
Hanya
dengan mendengar kata-kata bahwa Yuuto ingin datang lebih awal sudah cukup
untuk membuatnya merasa senang.
'Aku,
ternyata secepat ini bisa terpengaruh,' dia
menghela napas.
Kotoha
perlahan mengeluarkan wajahnya dari selimut.
Di
samping tempat tidur, Yuuto berdiri dengan tampak canggung.
Melihatnya
seperti itu, Kotoha tidak bisa menahan tawa kecil.
Yuuto pun
tersenyum tipis, terpengaruh oleh senyumnya.
"Silakan
duduk," Kotoha berkata sambil mengangkat tubuhnya dan menawarkan kursi.
Setelah
itu, dia memandang Yuuto dari depan dan merasakan sesuatu.
Meski
hanya beberapa bulan tidak bertemu, Yuuto tampak lebih dewasa, seolah-olah
telah berubah menjadi sosok yang lebih matang.
Dia tidak
bisa mengatakan bahwa Yuuto tampak seperti orang yang berbeda, tetapi ada aura
yang menunjukkan seolah-olah bertahun-tahun telah berlalu, dan dia telah tumbuh
dewasa.
"Senpai,
apa… senpai merasa suasana diri senpai sedikit berubah?"
"Eh?
Ah, Inamura-san terus-menerus bilang agar aku berpakaian dengan baik..."
Yuuto
berkata demikian, dan dia memang mengenakan jaket abu-abu dengan rambut yang
tertata rapi menggunakan wax, terlihat jauh lebih tampan dibandingkan dengan
sosok yang Kotoha kenal. Namun,
"Bukan
itu maksudku..."
Rasanya
bukan hanya tentang penampilan fisik.
Kotoha
tidak bisa melepaskan pandangannya dari Yuuto. Namun, menatapnya langsung juga
terasa sedikit memalukan.
Dia
terjerat dalam perasaan aneh ini. Seharusnya, selama ini dia yang selalu
mengganggu Yuuto, tapi saat ini ada rasa cemburu yang sedikit mengganggu.
"Y-yah,
yang lebih penting lagi, ada apa tiba-tiba?"
Kotoha
bertanya, berusaha mengalihkan topik, dan ekspresi Yuuto langsung berubah
serius.
Yuuto
menatap Kotoha dengan tajam. Lalu, dia perlahan memasukkan tangannya ke dalam
tas kertas yang terletak di kakinya,
"Aku
membawa ini."
Dia
menyerahkan sesuatu kepada Kotoha.
Saat itu,
seluruh tubuhnya bergetar.
Tubuhnya
terasa hangat, jantungnya berdetak kencang.
Di depan
matanya, kilauan berwarna emas bertebaran, seolah-olah bersinar dengan indah.
Benda itu
jauh lebih indah daripada salju halus yang terlihat dari jendela, seolah-olah
berlipat-lipat kali lipat keindahannya.
Buku itu
tampak seperti terpisah dari seluruh pemandangan nyata, melayang di depan
Kotoha.
"Ini,
ini...!?"
"Hal
Penting bagi Sang Dewa Maut versi final. Aku menepati janjiku."
"Kenapa?
Tanggal rilisnya kan bulan Maret?"
Kotoha
dengan tangan bergetar menyentuh sampul keras buku itu.
Desainnya
sangat indah.
Gambar di
sampul menunjukkan pantai yang berkilau di bawah sinar bintang saat fajar,
dengan bayangan kecil dua orang berjalan berdampingan. Judul yang ditulis
dengan huruf lembut menghiasi sampul dengan indah.
Nama
penulis, Haruhiko Fuyutsuki, juga tertulis dekat judul, dan itu membuat Kotoha
terharu lebih dari segalanya.
Saat itu,
Kotoha teringat satu kemungkinan dan langsung menatap Yuuto dengan wajah cerah.
"J-jangan-jangan
ini adalah buku sampel?"
"Ah,
aku memohon agar mereka bisa menyelesaikannya sedikit lebih awal."
"Sedikit?
Biasanya, salinan contoh baru bisa siap setengah bulan sebelum rilis,
kan?"
Kotoha
tak bisa percaya dengan situasi ini, bergantian memandang Yuuto dan buku itu.
"Saat
mendengar Natsume jatuh sakit, aku berlari ke percetakan tadi malam. Aku
memohon agar mereka bisa membuat satu salinan sampel."
"Eh,
jadi kamu meminta dibuat dari semalam sampai pagi ini!? "
Kotoha
memahami seberapa tidak masuk akalnya hal itu, karena dia telah belajar untuk
menjadi editor.
"Ya,
kira-kira begitu."
"Kenapa
senpai melakukan hal yang begitu gila?"
"Untuk
menemui Natsume. Jika aku punya buku yang sudah selesai, aku bisa pergi bertemu
denganmu, kan?"
"Eh...
I-iya, itu memang benar, tapi..."
Saat
mendengar bahwa itu untuk bertemu, jantung Kotoha berdegup kencang.
"Ugh...
Seharusnya aku yang lebih senior, tapi sejak kapan senpai bisa mengucapkan
kata-kata manis seperti itu...?"
"Biarkan
saja. Yang lebih penting, apakah kamu ingat tentang janji kita?"
Kotoha
merasakan seolah air dingin dituangkan ke dalam hatinya mendengar kata-kata
Yuuto. Kenangan percakapan yang terjadi menjelang pindah rumah sakit muncul
kembali dalam ingatannya.
"Jika
kamu merasa ingin hidup sedikit saja setelah membaca novelnya, terimalah
operasi itu."
Saat itu,
jantung Kotoha berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia tidak merasa bersemangat
ketika seorang penulis berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan kembali
harapannya. Namun, di saat yang sama, dia juga merasa putus asa. Meskipun itu
adalah novel dari Haruhiko Fuyutsuki, dia tahu bahwa harapan itu tampaknya
tidak mungkin. Dan sekarang, setelah menerima pernyataan dari dokter tentang
sisa hidupnya, rasa putus asa itu semakin menguasai hatinya.
"Aku
ingat. Tapi—"
"Tidak
apa-apa, selama kamu ingat."
Tatapan
Yuuto yang langsung dan tulus membuat Kotoha terdiam, tidak tahu harus berkata
apa. Setelah menatap buku dengan desain yang indah itu, dia mengumpulkan keberanian
untuk menatap Yuuto.
"Senpai,
ada sesuatu yang belum aku katakan."
Kotoha
merasa perlu mengungkapkannya. Dia ingin menjelaskan bagaimana dia mendekati
Yuuto dengan menghasut Inamura untuk mengetahui keberadaannya, hanya untuk
membuatnya menulis novel.
Pasti
Yuuto datang ke sini karena dia masih belum mengetahui apa yang Kotoha lakukan.
Namun, dia tidak bisa menerima buku ini tanpa mengungkapkan kebenaran.
Mendapatkan
salinan sampel bukanlah hal sepele. Itu adalah hak istimewa yang hanya dimiliki
oleh mereka yang berkontribusi pada buku tersebut. Selain itu, Yuuto telah
menanamkan harapan dalam buku ini yang disebut janji
Meski
hasilnya adalah dibenci, dijauhi, atau dimarahi, aku harus mengatakannya.
"Senpai,
aku—"
"Baca
ini."
Namun,
sebelum Kotoha bisa mengungkapkan penyesalannya, Yuuto memotong ucapannya.
"Eh?
Tapi…"
"Sudahlah.
Natsume adalah editor yang bertanggung jawab untukku, kan?"
Dengan
nada tegas yang tidak memberi ruang untuk argumen, Yuuto berdiri. Dia segera
membalikkan badan dan keluar dari ruang perawatan tanpa memberi Kotoha
kesempatan untuk menghentikannya.
"Editor…"
Kotoha
merasakan campuran kebahagiaan dan rasa bersalah saat menyadari bahwa Yuuto
masih menganggapnya sebagai editor meskipun dia telah mundur. Dia menatap pintu
ruang perawatan yang tertutup.
"Masih—"
pikir Kotoha.
Jika
Yuuto masih menganggapnya sebagai editor, maka sebaiknya dia mengungkapkan
semua ini setelah menyelesaikan tugas terakhirnya. Menghadapi rasa bersalah
ini, dia bertekad untuk membaca novel Yuuto bukan sebagai seorang pembaca
biasa, tetapi sebagai editor yang bertanggung jawab. Itu adalah tanggung jawab
yang harus diemban oleh seseorang yang telah menipunya.
Dengan
lambat, Kotoha membuka buku yang sangat dia inginkan itu.
◆◆◆◆
Di ruang
tunggu rumah sakit, Yuuto menundukkan pandangannya ke lantai dan terdiam. Dalam
benaknya terbayang sosok Kotoha yang baru saja dilihatnya. Hanya dalam beberapa
bulan sejak pindah rumah sakit, pipinya menyusut, tangan dan kakinya ramping
seperti ranting, dan mata cekung. Keadaan itu justru menciptakan keindahan yang
rapuh, membuat perasaan Yuuto semakin tak tertahankan.
Sebelum
datang ke sini, dia telah mendengar cerita dari ibu Kotoha, tetapi ketika
melihatnya secara langsung, perasaan itu semakin menguat. Dia merasakan
bayang-bayang kematian yang tebal mengintai di balik keindahan itu. Kecemasan
membuat jantungnya berdebar kencang. Dia takut kehilangan Kotoha. Saat
mendengar bahwa Kotoha kehilangan kesadaran, Yuuto menyadari betapa berartinya
Kotoha baginya—lebih dari segalanya.
Karena
itu—Yuuto menatap jam di ruang tunggu. Waktu menunjukkan pukul satu setengah.
Dia ingat bahwa dia mengunjungi kamar Kotoha sekitar pukul satu, jadi sudah
tiga puluh menit berlalu. Dia merasa bersyukur Kotoha masih hidup dan telah
kembali sadar. Dia merasa lega bisa memberikan buku itu kepadanya dari lubuk
hatinya.
Kemarin,
Yuuto melompat ke kereta dan dengan konsentrasi dan kecepatan luar biasa,
memeriksa revisi yang dikirimkan Inamura melalui email. Untungnya, revisi itu
baru saja selesai dan tidak ada perubahan dari proof pertama. Segera setelah
tiba di Tokyo, dia bergegas ke percetakan bersama Inamura, bersujud dan
berusaha agar mereka bisa mencetak sampelnya. Mereka meminta mesin cetak
beroperasi di tengah malam saat tidak ada buku lain yang dicetak.
Untuk
menyelesaikan tugas itu, Yuuto telah merepotkan banyak karyawan percetakan yang
harus bekerja lembur. Meskipun semua orang mengetahui situasinya dan dengan
senang hati menerima permintaan itu, dia merasa perlu untuk mengunjungi mereka
kembali nanti untuk meminta maaf dan mengucapkan terima kasih.
Namun,
berkat usaha itu, dia akhirnya bisa berada di titik awal. Mengantarkan buku
kepada Kotoha bukanlah tujuan akhir. Dia masih belum tahu apakah buku itu bisa
mengubah perasaan Kotoha.
Inamura
memuji novel itu sebagai karya terbaik, dan Yuuto sendiri merasa sama. Namun,
dia bertanya-tanya apakah itu cukup untuk menggerakkan tekad Kotoha. Saat ini,
Kotoha mungkin sedang membaca buku yang dia berikan. Meskipun Kotoha membaca
dengan cepat, tidak mungkin dia bisa menyelesaikan novel yang cukup panjang
dalam waktu tiga puluh menit. Dia mungkin akan meluangkan waktu untuk
membacanya dengan seksama.
Rasa
cemas menyelimuti dirinya. Cerita yang telah dia ubah dari naskah drama menjadi
sangat berbeda. Dia telah mengubah karakter Hiyori, sang pahlawan, dan
melakukan satu perubahan besar lainnya. Perubahan ini mengharuskannya untuk
menulis ulang puluhan halaman.
Apa
pendapat Kotoha tentang cerita yang telah berubah itu? Apakah dia akan
menangis, tertawa, atau mungkin merasa marah? Yuuto berharap, setidaknya,
cerita itu bisa memberikan sedikit kekuatan untuk membantu mengangkat hati
Kotoha yang tengah terpuruk dalam keputusasaan.
Namun,
ini adalah cerita yang ditulis khusus untuknya.
Waktu
berlalu dengan lambat. Yuuto terus melihat jam, menyadari bahwa belum genap
sepuluh menit berlalu, berulang kali mengulangi tindakan itu. Dia mencoba
menghabiskan waktu dengan melihat ponsel atau membaca buku, tetapi matanya
hanya melayang, dan tidak ada yang masuk ke dalam pikirannya, sehingga akhirnya
dia berhenti.
Dia
merasa menyedihkan.
Dia telah
mencurahkan seluruh tenaga untuk menulis. Dia tenggelam dalam penulisan hingga
batas antara kenyataan dan cerita menjadi kabur, menggabungkan perasaannya
dengan emosi tokoh utama, Ren dan Hiyori. Rasanya seperti menyelam ke dalam
lautan dalam, sampai-sampai dia kadang-kadang lupa untuk bernapas.
Bagi
Yuuto sebelumnya, menulis adalah proses mentransfer cerita yang ada di dalam
kepala ke dalam bentuk tulisan. Namun, dua bulan terakhir itu sangat berbeda.
Selama menulis, Yuuto hidup di dalam ceritanya. Dia merasakan kehadiran para
karakter di sampingnya, mendengar napas mereka, mendengarkan kata-kata mereka,
dan melihat ekspresi mereka.
Pengalaman
kreatif seperti itu adalah yang pertama kalinya baginya.
Itulah
sebabnya, dia merasa tidak percaya diri. Jika dia tidak bisa menggerakkan hati
Kotoha, jika dia mengecewakan Kotoha── tidak, dia berusaha untuk tidak berpikir
seperti itu.
"Apakah
sudah saatnya…?"
Setelah
melalui tiga jam terpanjang dalam hidupnya, Yuuto akhirnya berdiri.
Setelah
mengetuk pintu, terdengar suara dari dalam, "Silakan masuk."
Saat
Yuuto masuk, Kotoha sedang duduk di atas tempat tidur, menatapnya dengan
tenang. Di pangkuannya, sebuah buku terletak dengan sampul menghadap ke atas.
Sepertinya dia sudah selesai membacanya.
Ekspresi
sebelumnya yang menunjukkan kegugupan kini tidak ada, dan wajahnya bahkan
memberikan kesan dingin.
Yuuto
merasakan seolah-olah hatinya tercekik melihat wajah Kotoha yang tampak tak
menunjukkan emosi. Namun, dia tidak bisa berdiri di ambang pintu selamanya, dan
melarikan diri juga bukan pilihan.
Dengan
perlahan, Yuuto mencoba bernapas dan duduk di kursi di samping tempat tidur.
"Saya
sudah membacanya," kata Kotoha dengan nada datar, lalu menundukkan
pandangannya dan melanjutkan, "Saya rasa ini sudah cukup baik."
"Benarkah?"
Serasa
ingin segera mempertanyakan sikapnya yang tampak meragukan itu.
Dia tidak
mengalihkan pandangan, wajahnya tak menunjukkan senyuman, dan hanya kata-kata
formal yang keluar dari mulutnya.
Yuuto
merasa mulutnya kering.
"...Bagian
mana yang menurutmu baik?"
"Bagian
mana yang...?"
Akhirnya,
sedikit ekspresi muncul di wajah Kotoha, tetapi itu hanya menunjukkan
kebingungan, jauh dari harapan Yuuto. Dia hanya membuat Kotoha merasa tersiksa
dengan pertanyaannya, dan dia bahkan tidak mau menatapnya.
"Eh,
jadi... kombinasi elemen fantasi dengan tema penyakit serius dan kematian itu
lebih terasah dibandingkan dengan naskah drama sebelumnya. Selain itu, cerita
dan karakternya juga sangat dipikirkan dengan baik. Seperti yang diharapkan
dari Haruhiko Fuyutsuki-sensei."
Rasa yang
disampaikan Kotoha terasa seperti komentar yang biasa saja, seolah-olah dia
terpaksa mengeluarkannya karena desakan Yuuto.
Tidak ada
pujian yang tulus untuk menghangatkan hati, maupun kritik yang tajam dan
membangkitkan semangat seperti yang pernah dia berikan saat mereka
berkolaborasi sebelumnya.
Apakah
dia tidak bisa membuat Kotoha terharu dengan drama Ren dan Hiyori, atau
membuatnya tertawa dengan interaksi mereka?
Apakah
novel yang ditulisnya tidak sampai ke hati Kotoha sama sekali?
Pemikiran
ini menjadi hasil terburuk yang bisa dia bayangkan.
Apa yang
dia takutkan kini menjadi kenyataan.
Yuuto
menutup matanya dan menghela napas dalam-dalam.
Kekecewaan
dan penyesalan menyebar dingin di dalam hatinya, seolah-olah seluruh panas
dalam tubuhnya diambil, membuat organ dalamnya terasa membeku.
Dia
menyadari bahwa novel yang dia tulis dengan sepenuh hati ternyata hanya sebuah
kesombongan semata.
"Semoga
sukses di masa depan, Fuyutsuki-sensei" ucap Kotoha, dengan senyum yang
jelas-jelas dipaksakan.
Yuuto
menahan napas, lalu perlahan berdiri.
"...Terima
kasih. Sampai jumpa," ucap Yuuto, membelakangi Kotoha dan melangkah pergi
dengan langkah yang goyah.
Sampai
jumpa? Sampai jumpa, apa maksudnya?
Apakah
dia benar-benar berpikir akan ada kesempatan lagi?
Dokter
sudah mengatakan bahwa Kotoha tidak akan bertahan lebih dari beberapa hari
lagi.
Jika dia
pergi dari sini, dia tidak akan pernah bisa bertemu dengan Kotoha lagi.
Itu tidak
boleh terjadi.
Memang
benar, novelnya mungkin tidak sedikit pun menyentuh hati Kotoha.
Mungkin
dia sama sekali tidak memahaminya.
Hal itu
sangat mengejutkan.
Namun,
jika itu yang terjadi, dia harus melepaskan rasa malu, gengsi sebagai penulis,
dan berjuang untuk mengungkapkan perasaannya.
Apakah
Kotoha akan merasa kecewa atau meremehkannya, itu tidak penting.
Dia tidak
boleh pergi dengan cara yang rapi dan menerima kenyataan untuk meninggalkan
Kotoha.
Itu
adalah salah satu pelajaran berharga yang dia pelajari dalam tiga tahun
terakhir.
Ada
hal-hal yang tidak akan tersampaikan tanpa kata-kata.
Yuuto
melangkah beberapa langkah, berhenti, menghela napas dalam-dalam, lalu
berbalik.
“Natsume,
aku—”
Namun,
kata-kata yang hampir keluar dari mulutnya terhenti.
Di sana,
Kotoha terlihat terkejut.
Dia
memeluk bukunya dengan hati-hati, dan air mata besar mengalir dari matanya.
“Eh...?”
Yuuto
tidak pernah mengira dia akan berbalik, sehingga Kotoha tertegun dan segera
menghapus air matanya.
Namun,
air mata itu terus mengalir tanpa henti dari matanya yang besar.
“Tidak,
tidak... Kenapa...?”
Kotoha
berusaha keras menghapus air matanya, tetapi usahanya sia-sia.
Ekspresi
dingin di wajahnya hancur berkeping-keping.
Dengan
wajahnya yang basah kuyup oleh air mata dan ingus, dia tampak seperti anak
kecil yang sedang menangis.
Yuuto
tertegun.
Dia tidak
bisa memahami perubahan Kotoha yang begitu mendalam, setelah sebelumnya begitu
dingin dan acuh tak acuh.
Dalam
benak Yuuto, kenangan tentang hari-hari yang dihabiskan bersama Kotoha muncul
kembali.
Di suatu
hari yang panas, Kotoha tiba-tiba muncul di depannya dan berkata untuk menulis
novel.
Mereka
berbagi cerita dan berdiskusi tentang cerita sampai tengah malam, menciptakan
sebuah naskah bersama.
Mereka
merayakan kesuksesan pertunjukan teater di festival budaya.
Untuk
meyakinkan Kotoha agar tidak memaksanya menulis, Yuuto mengungkapkan masa
lalunya. Namun, Kotoha tidak menyerah; sebaliknya, dia membantu Yuuto mengatasi
luka-lukanya.
Tetapi,
Kotoha jatuh sakit.
Ketika
dia hampir dipindahkan ke rumah sakit lain, Kotoha dengan sengaja melepaskan
tanggung jawabnya untuk mendorong Yuuto dari belakang.
Setiap
tindakan Kotoha adalah pengorbanan waktu dan tenaga yang sangat berarti
baginya.
Yuuto
berpikir, "Benar, tidak mungkin aku bisa tenang di depan sesuatu yang
begitu diperjuangkan."
Seandainya
hasilnya buruk, dia tidak seharusnya bisa bersikap acuh.
Dia
seharusnya bisa menangis dan marah, bertanya-tanya mengapa ini bisa terjadi.
Kotoha
berusaha menyembunyikan perasaannya.
Namun,
akhirnya, semuanya runtuh.
“Kenapa
senpai berbalik…?”
Kotoha
mengeluh dengan suara terisak, berusaha menahan napasnya.
Dia sudah
menyerah untuk menyembunyikan air matanya, wajahnya juga sudah basah kuyup.
“Setelah
semua usaha ini… aku berusaha untuk bersikap tenang sebagai editor… aku
berusaha membaca dengan tenang… padahal aku hampir bisa menyembunyikannya!”
Kotoha
meneteskan air mata sambil terisak.
“Novel
ini… sangat tidak adil…”
Meskipun
kata-katanya bertentangan, dia memeluk buku itu dengan penuh kasih sayang.
“Apakah…
apakah itu membosankan?”
Kotoha
menggelengkan kepalanya.
“Senpai
tahu itu tidak mungkin… itu tidak mungkin, kan?”
Dia
mengatur napasnya dengan susah payah sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata.
“Aku
benar-benar terharu! Seperti yang bisa senpai lihat, aku benar-benar tidak bisa
mengendalikan diri…! Sebagai editor, aku berusaha membaca dengan tenang, tapi
tiba-tiba aku malah berada dalam keadaan seperti ini!”
“Kenapa…
kamu berusaha menyembunyikannya?”
“Karena,
karena! Aku tidak tahu harus berbuat apa!”
Dengan
tatapan seolah-olah ingin menantang Yuuto, Kotoha menyeka air matanya.
“Ini
adalah cerita yang aku kenal, tapi juga cerita yang sama sekali berbeda. Kisah
Ren dan Hiyori begitu menyedihkan… membuatku merasa sedih, dan aku berpikir
mungkin aku bisa menangis. Tapi… tapi… cerita ini…!”
“Ya,
bukan itu. Ren, si pencabut nyawa, dan Hiyori yang menderita penyakit mematikan
bertemu, dan di tengah menghadapi banyak kematian, perasaan mereka satu sama
lain semakin dalam. Akhirnya, mereka berusaha melarikan diri dari takdir
kematian, tapi pada akhirnya Hiyori menerima kematian dan Ren mengantarnya.
Begitu naskah drama itu.”
“Benar…
itu adalah cerita dari naskah yang kita buat bersama, kan…?!”
Kenangan
malam musim panas ketika mereka berdua merancang cerita di kamar Yuuto muncul
kembali dalam ingatan.
Kenangan
itu terasa seperti kejadian yang terjadi jauh di masa lalu, namun juga seolah
baru terjadi kemarin.
“Cerita
ini seharusnya menggambarkan perjalanan menuju kematian Hiyori. Tapi,
mengapa...?!”
Kotoha
menghela napas dengan susah payah.
“Kenapa
cerita ini berubah menjadi kisah yang mengalahkan takdir kematian
Hiyori—menjadi kisah yang meraih 'kehidupan'...?!”
Suara
Kotoha yang penuh rasa sakit bergema di ruang perawatan.
“Itu
sederhana, kan?”
“Sederhana...?”
“Kenapa,
kamu tidak membacanya?”
“Tidak
membacanya? Aku sudah membacanya sampai akhir, loh!”
Kotoha
menatap dengan bingung, kepalanya sedikit miring.
“Lihat
bagian belakang buku itu.”
“Eh...?”
Kotoha
segera membuka bagian belakang buku yang dipegangnya. Di sana terdapat
informasi seperti nama penulis, penerbit, dan tanggal terbit, tetapi di
tengahnya—
“Kisah
ini aku persembahkan untukmu.” (Kono Monogatari wo Kimi ni Sasagu)
Sebuah
dedikasi untuk seorang gadis tertulis di sana.
“...!”
Kotoha
kaget, kata-katanya terhenti di tenggorokannya.
“Begitulah
adanya.”
“...Dedikasi
di tempat seperti ini sangat tidak biasa.”
Kotoha
mengatakannya dengan nada terkejut, lalu perlahan-lahan mengusap dedikasi itu
dengan jarinya.
“Apakah
senpai mengubah cerita ini untukku...?”
Mendengar
pertanyaan itu, Yuuto hanya bisa tersenyum pahit.
“Memang
benar bahwa saat mengubah naskah drama menjadi sebuah novel, aku banyak
mengubah cerita. Namun, aku tidak merasa kalau aku sudah 'memutarbalikkan'
cerita itu. Aku percaya kalau aku telah menciptakan sebuah kisah baru.”
Yuuto
perlahan mengambil tangan Kotoha yang tertegun. Tangannya yang ramping, namun
dia genggam dengan lembut.
“...Menentang
takdir kematian yang telah ditentukan adalah sesuatu yang tidak diizinkan oleh
sang dewa kematian. Oleh karena itu, Hiyori menerima takdirnya dan membiarkan
Ren membawanya ke dunia bawah. Itulah akhir dari cerita asli. Namun, cerita
baru ini berkembang jauh lebih besar dari itu.”
Kotoha
mengangguk kecil, menerima kata-kata Yuuto dan melanjutkan.
“Jika
begitu, kita harus melakukan sesuatu sebelum takdir kematian ditentukan. Ren
memiliki ide yang sangat gila. Dia melakukan perjalanan waktu ke masa lalu,
mengatur agar penyakit Hiyori terdeteksi jauh lebih awal daripada sejarah
aslinya, sehingga memperlambat perkembangan penyakitnya. Dia juga membangkitkan
kembali proyek pengembangan obat untuk penyakit langka yang hampir terhenti di
perusahaan farmasi. Dengan cara itu, takdir Hiyori yang seharusnya mati karena
penyakit bisa dihapuskan...”
Akibatnya,
pertemuan antara Hiyori dan Ren seharusnya tidak terjadi. Namun, tanpa
disengaja, Hiyori melihat Ren yang sedang melaksanakan tugasnya—sebuah
pertemuan yang sangat mirip dengan waktu sebelum perubahan, tetapi dengan
perbedaan mendasar bahwa Hiyori tidak memikul takdir kematian. Di sinilah
cerita berakhir.
Cerita
asli memiliki akhir yang sedih dan indah. Namun, cerita baru ini adalah akhir
bahagia yang dipenuhi harapan.
Kotoha
menghela napas dalam-dalam. Napasnya bergetar.
“Cerita
ini benar-benar kacau, dan penuh dengan kemudahan yang berlebihan. Jika saja
aku bisa melihat plot ini sebelumnya, mungkin aku akan meminta pengulangan.
Namun, …! Orang-orang yang diselamatkan oleh Ren dan Hiyori menjadi kunci di
dunia masa lalu, dan perasaan itu terakumulasi, ditambah dengan usaha Ren yang
gigih dan putus asa—aku tiba-tiba terbenam dalam cerita ini! Aku tidak bisa
berpikir lagi, seolah-olah aku menjadi Ren dan Hiyori! Ini semua hanya berdasarkan
semangat, dan terasa seperti cerita yang hampir tidak ada artinya. Ini sama
sekali tidak seperti gaya Fuyutsuki Haruhiko, namun…"
“Tidak
seperti diriku?”
“Tidak
ada cerita yang lebih menyentuh hatiku!”
Setelah
itu, Kotoha memandang Yuuto dengan tatapan penuh penyesalan, lalu seolah
menyerah, dia menundukkan alisnya dengan putus asa. Dengan kekuatan yang besar,
dia menggenggam tangan Yuuto kembali.
“...Aku
merasa, aku ingin hidup!”
Kata-kata
itu bergema di ruang rumah sakit. Yuuto melihat Kotoha yang terisak, dan
mengeluarkan napas kecil.
“Syukurlah...”
Perasaan
yang ingin disampaikannya sudah sampai kepada dirinya. Apa yang Yuuto masukkan
ke dalam cerita itu, akhirnya sampai ke hati orang yang paling ingin dia
sentuh.
“S-sungguh,
apa yang baik dari semua ini?! Tidak ada yang baik sama sekali! Senpai
mengerti, kan!? Aku sudah—”
“Artinya,
kamu ingin berjuang seperti Ren dan Hiyori, terikat pada hidup, dan ingin
meraih masa depan, kan?”
Yuuto
berpikir bahwa jika seseorang membaca cerita itu dan berharap untuk hidup,
pastinya itu adalah artinya. Namun, Kotoha terdiam sejenak, lalu mengeluarkan
suara “Uh!” sebelum menyerang Yuuto dengan kedua tangannya.
Namun,
serangannya tidak memiliki kekuatan dan hanya jatuh ke dada Yuuto. Dengan
dahinya menyentuh dada Yuuto, Kotoha terus-menerus memukulnya. Rasanya sama
sekali tidak menyakitkan.
Sambil
dibukul lembut, Yuuto perlahan membuka mulutnya.
“Aku
ingin kamu menjalani operasi.”
Tangan
Kotoha berhenti di atas dada Yuuto.
Yuuto
berbisik, namun jelas mengungkapkan perasaannya.
“Aku
ingin kamu hidup.”
Tangan
Kotoha bergetar kecil.
“Curang...”
Kotoha
menggetarkan bahunya.
“Aku
sudah bilang, kan? Jika aku mengalami gangguan bahasa setelah operasi, aku
tidak akan bisa berdiri di samping senpai sebagai editor lagi. Tidak, bukan
hanya itu. Cerita pentingku akan hilang dari hidupku. Aku tidak bisa menahan
ini... Aku takut! Namun...”
“Meski
begitu, aku ingin Natsume menjalani operasi. Aku ingin kamu hidup. Hidup dan
tetap di sampingku. Hanya kamu yang bisa melakukannya.”
"Uu...
Tolong jangan katakan hal yang memalukan seperti itu... Senpai curang..."
"Tidak
apa-apa, aku memang kejam. Aku mungkin hanya punya kemampuan untuk menulis
novel, tapi jika Natsume memilih untuk hidup, aku akan melakukan apa pun. Itu
bukan hanya untuk saat ini. Jika Natsume mau menjalani operasi, aku akan
melakukan hal yang sama di masa depan. Apakah ada yang bisa aku lakukan?"
Setelah
pertanyaan itu, ada sedikit jeda.
"Apa
pun... maksudnya?"
"Ya."
"Kalau
begitu... jika aku menjalani operasi dan akibatnya, aku tidak bisa lagi membaca
buku..."
Dia
terhenti di situ, kata-katanya menggantung di udara.
Ketika
pernyataan itu terhubung dengan kata-kata berikutnya, nada suaranya sedikit
meredup.
"...Aku
ingin kamu meninggalkanku sendirian."
"Natsume..."
"Jika
aku tidak bisa membaca, bertemu dengan senpai dalam keadaan seperti itu... Aku
tidak bisa menahan diri."
Kotoha
mengangkat wajahnya.
Dia
tersenyum samar, dengan air mata besar menggenang di sudut matanya.
Bahkan
Yuuto tahu bahwa itu bukan keinginan sebenarnya. Ketika dia terdiam sebelumnya,
pasti dia ingin mengungkapkan harapan yang lebih dalam. Namun, dia memilih
untuk tidak mengungkapkannya demi memperhatikan perasaan Yuuto.
"Tidak."
"Eh...?"
Kotoha,
yang masih tersenyum, tiba-tiba mengerutkan dahi.
"Ah,
eh, senpai? Kamu bilang akan melakukan apa pun, kan?"
"Apa
yang bisa kulakukan, itu tidak termasuk. Jika kamu tidak bisa membaca
lagi..."
"J-jika
aku tidak bisa membaca lagi...?"
"Aku
akan berjuang begitu keras. Aku akan menulis sebanyak mungkin novel dan
membiarkan Natsume membacanya. Dua puluh empat jam, tiga ratus enam puluh lima
hari, akan diisi dengan novel. Kita akan berrehabilitasi sampai Natsume bisa
membaca lagi. Selamanya, seumur hidup."
"Banyak
sekali... Seumur hidup...?"
Kotoha
menatap Yuuto dengan wajah terkejut.
"Begitu.
Aku ingin Natsume menjalani operasi, aku ingin dia ada di sisiku; keduanya
adalah keinginanku. Jadi, aku akan mengambil tanggung jawab sebesar itu dan aku
ingin melakukannya. Karena itu, aku tidak bisa menerima permintaan yang
membuatku tidak bisa mengambil tanggung jawab. Jika ada yang bisa aku lakukan,
katakan saja."
Kotoha
tetap menatap Yuuto dengan mata terbelalak, tetapi akhirnya tersadar.
Warna
matanya sedikit berubah.
"...Satu
karya setiap tiga bulan."
"Eh?"
"Apakah
senpai bisa menulis satu karya setiap tiga bulan?"
"Eh?
Ah, ah..."
Itu
adalah kecepatan yang cukup tinggi, tetapi dengan kecepatan menulis yang
didapat dari situasi ini, dia seharusnya bisa mempertahankan kualitasnya.
Setelah masuk universitas, waktu yang dimiliki pasti akan bertambah.
"Kalau
begitu, yah, aku rasa aku bisa melakukan itu."
"Oh,
dan satu lagi──"
"Masih
ada lagi...?"
Yuuto
terkejut dengan semangatnya yang lebih dari yang dia perkirakan. Dia mulai
sedikit menyesali ucapannya yang bilang akan melakukan apa pun.
"Bisakah
senpai beri tahu aku, apa pendapatmu tentang diriku?"
Terdapat
kejutan yang membuatnya hampir mengeluarkan suara aneh.
"...
Itu tidak ada hubungannya, kan?"
"Ada
hubungannya! Dan ini adalah hal yang sangat penting!"
"Jawaban
itu tidak akan mengubah keputusanmu untuk menjalani operasi, kan...?"
Jika
begitu, menjawabnya akan sangat menakutkan.
"Tidak
akan berubah. Keputusan untuk menjalani operasi sudah pasti."
"Eh...?"
Apa yang
dia katakan sekarang?
Dengan
wajah seolah itu hal yang biasa.
"Eh!?
Kamu benar-benar akan menjalani operasi!?"
"Haruhiko
Fuyutsuki akan menulis satu karya baru setiap tiga bulan untukku? Ini adalah
taruhan yang sangat menguntungkan, tidak masuk akal jika aku tidak mengambil
kesempatan ini. Jika setelah operasi keberuntungan datang dan aku bisa membaca
lagi, aku bisa menikmati banyak karya baru dari Haruhiko Fuyutsuki
sekaligus."
"Jadi,
tidak perlu menjawab pertanyaan yang tadi, kan...?"
"Itu
berbeda. Meskipun ada banyak kata kunci yang berat seperti tanggung jawab dan
seumur hidup, ada hal penting yang belum senpai tanyakan!"
"Itu,
kamu sudah tahu jawabannya dan tetap bertanya, kan...?"
"Aku
ingin mendengarnya dari mulut senpai."
Mata
Kotoha bersinar penuh harapan.
Tanpa
sadar, aura kematian yang menyelimuti dirinya menghilang.
Sebagai
gantinya, ada harapan untuk masa depan.
Yuuto
berpikir bahwa ia tidak bisa mengalahkan semangat Kotoha.
Namun, ia
merasa bahagia karena api semangat itu dinyalakan oleh ceritanya sendiri.
"Ah,
baiklah."
Ia
mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Cahaya
matahari yang indah menerobos celah di antara awan salju.
Keesokan harinya, Kotoha menjalani operasi.