Otonari no Tenshi-sama Jilid 9 Bab 1 Bahasa Indonesia

Bab 1 — Tepat Di Depan Mata Setelah Bangun

 

Saat membuka matanya, Amane merasa seperti terbangun di dalam surga dunia. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk, ia langsung berpikir begitu.

Begitu membuka matanya, hal yang pertama kali dilihatnya adalah sesosok gadis manis yang terbungkus helai rambut berwarna keemasan, berbaring dengan lembut dalam pelukannya.

Dengan rambut berkilau yang tampaknya telah dirawat dengan baik, Mahiru bersandar di tubuh Amane dengan tenang, matanya yang bagai permata menatap ke arahnya.

Pemikirannya masih belum bekerja penuh karena baru saja terbangun, jadi Amane sempat bingung mengapa Mahiru bisa ada di sini, namun kemudian teringat bahwa dia menginap di sini kemarin, dan merasa lega.

Rupanya hari ini Mahiru tidak akan keluar dari pelukan Amane, dan menunggu Amane bangun.

Mahiru yang segera menyadari Amane telah bangun, bergerak perlahan di dalam pelukan Amane untuk menemukan posisi yang nyaman, lalu menatapnya dengan malu-malu.

“Selamat pagi, Amane-kun.”

“...Pagi. Sudah berapa lama kamu bangun?”

“Mungkin sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku ingin menikmati wajah tidurmu sebentar lagi sebelum membuatkan sarapan.”

“...Kamu senang melihat wajahku saat tidur?”

“Tentu saja. Itu menjadi sumber energiku, tau?”

Berkat dirimu, aku penuh energi sejak pagi ini, dan seperti yang dia katakan, Mahiru memasang wajah puas dan bersemangat. Merasa geli, Amane memeluk Mahiru erat-erat seolah ingin menyamarkannya.

Mahiru yang kaget karena dipeluk secara mendadak, tapi saat Amane berbisik pelan, “beri aku energi juga”, dia segera membalas pelukannya, seolah menerima Amane.

Karena Mahiru melakukannya dengan santai, itu berarti masih ada waktu, jadi Amane bisa menikmati kelembutan, kehangatan, dan wangi manis yang menyegarkan Mahiru. Mahiru hanya tertawa kecil, “Kamu masih manja seperti biasa,” tanpa berkomentar apa-apa.

Meskipun Amane ingin mengatakan “Siapa yang membuatku jadi begini?”, sepertinya Mahiru juga sudah paham. Dia tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan Amane bersandar padanya.

Adanya sosok yang dicintai, yang bisa menyerahkan dirinya sepenuhnya padanya, dan yang juga menerima dirinya, membuatnya merasa penuh di dalam hatinya.

Tenggelam dalam kehangatan yang tak ingin dilepaskan, Amane merasakan kebahagiaan yang memenuhi seluruh dirinya.

Matanya hampir saja terpejam karena terlalu bahagia di pagi hari ini, tapi Mahiru sepertinya menyadari napasnya mulai berubah menjadi dengkuran, dan menepuk punggung Amane.

“Amane-kun, tolong jangan tidur lagi.”

"...Tapi aku ingin bermalas-malasan seperti ini lebih lama lagi.”

“Tak kusangka kalimat itu akan keluar dari mulut murid teladan sepertimu, Amane-kun.”

Menyadari bahwa mereka berdua pada dasarnya adalah orang-orang yang rajin di sekolah, Amane pun tertawa mendengar Mahiru yang mengejeknya.

Namun, situasi saat ini terlalu memabukkan, seolah mampu meluluh-lantakkan segala hal yang biasanya serius dalam diri mereka.

“Apa kamu benar-benar tak ingin keluar dari selimut? Apa ini yang disebut 'pesona selimut'?”

“Kurasa lebih tepat untuk menyebutnya sebagai 'pesona Mahiru'.”

Keberadaan Mahiru justru menjadi godaan yang lebih kuat dibandingkan selimut, bisa-bisa ia malah membolos sekolah bersama Mahiru.

Mahiru, yang sebenarnya menjadi godaan itu sendiri, menghela napas setengah geli setengah kesal, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukan Amane.

“Kalau begitu, aku akan pergi agar kamu terbebas dari kuasaku. Nah, ayo bangun dan bersiap-siap.”

“...Aku tahu, tapi...”

“Aku tidak akan selalu memanjakanmu. Ayo, bangun dan cuci muka agar segar.”

Mahiru, yang tahu Amane akan berusaha menariknya kembali ke dalam selimut, dengan cepat menarik selimut itu. Sebenarnya Amane memang berniat untuk bangun, tapi melihat Mahiru yang terlihat senang membangunkannya, dirinya diam-diam tersenyum geli.

Di masa depan, bangun dengan cara seperti ini juga tidak buruk, ya.

Amane memang tipe orang yang bisa bangun tepat waktu jika mau, tapi jika ada yang membangunkannya, meski tak merepotkan Mahiru, bangun lebih awal untuk bermesraan juga tak masalah. Dirinya tidak ingin merepotkannya, tapi Mahiru sepertinya senang merawatnya, jadi boleh juga sesekali bergantung dan bersikap manja kepadanya.

Memikirkan hal tersebut dengan tenang, meski merasa sedikit kedinginan, Amane bangkit dari tempat tidur dan mengambil baju ganti.

Saat dirinya membuka lemari, Mahiru tampak sedikit tak nyaman, hal itu membuat Amane terkekeh pelan sambil menahan tawa.

“Ganti bajunya, bagaimana? Apa perlu aku ke kamar mandi duluan?”

“...Iya, silakan. Jangan mengintip, ya.”

“Siapa juga yang mau mengintip. Mengintip itu harus dapat izin dulu, kan?”

Meskipun mereka berdua berpacaran, dia tak berniat mengintip saat ganti baju. Ada masalah privasi, dan rasa malu jauh lebih mendominasi saat ini.

Bukan masalah jika Mahiru melihatnya ganti baju, tapi Mahiru sendiri pasti akan jadi salah tingkah dan tak bisa saling bertatapan. Amane tidak mau membuat suasana pagi hari mereka menjadi aneh.

“Ap-Apa kamu ingin melihatnya?”

“...Walaupun aku memang ingin melihatnya, aku tak ingin melakukan sesuatu yang akan mengganggu suasana hatimu di pagi hari.”

“Be-Begitu, ya...”

“Jadi, soal itu tidak perlu. Tidak semua hal harus kita tunjukkan satu sama lain.”

Tentu saja sebagai laki-laki, dirinya ingin melihatnya, tapi itu bukanlah sesuatu yang harus dilakukan saat ini juga. Menurunya, rahasia seperti itu harus dilihat dengan persetujuan bersama, dan itu tidak boleh dilakukan di pagi hari sebelum berangkat sekolah.

Amane mengangkat bahunya dan meninggalkan ruangan sambil mengatakan bahwa Ia sangat memahami sampai sebatas itu, tapi ia mendengar suara Mahiru yang sedikit geli dan terheran, “Itu juga sisi yang bagus sekaligus menjengkelkan darimu, Amane-kun...”.

 

 

Setelah mengganti pakaiannya, Amane memakan sarapan yang cukup berat seperti yang dia katakan kemarin — telur dadar, salmon panggang saikyoyaki, beberapa lauk kecil, sup miso, dan nasi putih. Setelah itu, ia merapikan penampilannya untuk bersiap pergi ke sekolah.

Karena Amane sudah mempersiapkan buku pelajaran dan barang-barang lainnya sejak kemarin, dia hanya perlu memakai dasi dan blazer. Tapi ada sedikit hal yang membuatnya ragu-ragu, sehingga ia masih memegang dasinya.

“Ada apa?”

Melihat Amane yang berdiri ragu-ragu, Mahiru yang memperhatikannya pun bertanya dengan heran. Kemudian Amane perlahan-lahan menyodorkan dasi dan pin dasi yang ia dapatkan sebagai hadiah ulang tahun kemarin ke arah Mahiru.

Bagaimanapun juga, karena ia ingin memakainya, Amane ingin orang yang memberinya hadiah memakaikan dasi itu untuknya.

“Apa kamu mengikatkan dasinya untukku?”

Saat Amane bertanya padanya dengan ragu-ragu, Mahiru berkedip berulang kali, tapi sepertinya memahami maksudnya dan segera memasang senyum mekar dan mengangguk, “Baiklah.”

Dengan gerakan yang hati-hati dan anggun, Mahiru mengambil dasi dan pin itu dari tangannya, lalu berdiri di depan Amane yang duduk di sofa. Dia dengan cepat dan rapi mengikatkan dasinya.

Setelah itu, Mahiru dengan gerakan yang sangat hati-hati memasangkan pin dasi yang indah itu ke dasi Amane. Meskipun jarang dipakai selain untuk acara resmi, pin dasi pemberiannya itu terasa pas dan cocok.

“... Apa itu kelihatan cocok?”

“Karena aku yang memilihkannya untukmu, Amane-kun, jadi tentu saja kelihatan cocok.”

Mahiru tersenyum dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, membuat Amane juga ikut tersenyum.

“Karena penilaian Mahiru memang jitu. Jadi aku merasa bersyukur kalau itu memang cocok.”

“Itu sudah sempurna. Perhatian pada detail fashion itu penting untuk berpenampilan gaya.”

“Bukan karena aku ingin tampil bergaya, tapi hanya ingin tahu apakah benda pemberianmu kelihatan cocok atau tidak.”

“Jangan khawatir, itu kelihatan cocok, kok.”

Meskipun Mahiru terkadang menilai Amane terlalu tinggi, dalam hal penilaian penampilan, penilaiannya cukup objektif. Jadi tidak ada masalah.

Meski pin dasi itu hanya terlihat sedikit melalui sambungan blazer, tetapi detail kecil yang modis semacam ini juga penting untuk suasana.

Ketika memakai barang pemberiannya, Mahiru, Shu merasa senang dan postur tubuhnya terlihat lebih tegap. Mungkin karena perasaan bahwa dia harus pantas berada di samping Mahiru.

Sepertinya hadiah dari Mahiru ini membuat Amane jadi lebih bersemangat, ada perasaan geli dan senang, serta rasa percaya diri yang lebih mantap mengalir dari dalam dirinya.

“... Kamu benar-benar terlihat sangat keren saat percaya diri ya, Amane-kun.”

 

Mahiru bergumam dengan suara kecil kepada Amane yang sedang mengenakan blazer dan merapikan kemejanya.

“Bagaimana jika aku sedang tidak percaya diri?”

“Kamu kelihatan manis, tapi juga terlihat kuat.”

“Yah, sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku koemntari, tapi sudahlah. Sekarang aku terlihat bagus, 'kan?”

“Ya, kamu kelihatan sangat menarik.”

“... Apa aku sudah cukup pantas untuk berdiri di sampingmu, Mahiru?”

Amane tidak ememiliki keraguan untuk berdiri di sampingnya. Tapi terkadang ia masih meragukan apakah dirinya terlihat cocok berada di sampingnya. Meskipun Amane tidak berniat untuk mundur dari posisi tersebut, tapi ia masih penasaran dengan penilaian objektif orang lain.

Meskipun dirinya terus berusaha memperbaiki diri, Amane tidak yakin apakah hasilnya sudah terlihat.

Walaupun dirinya tahu jawaban Mahiru, tapi tanpa sadar ia jadi bertanya. Mahiru pun tersenyum maklum seraya dengan penuh kasih sayang membelai pipi Amane.

“Tenang saja, Amane-kun. Baik dari dalam maupun luar, kamu itu luar biasa. Bukan hanya perasaanku saja, tapi secara objektif juga, kamu adalah orang yang sangat menarik.”

“Begitu ya, syukurlah kalau begitu. ... Ayo berangkat ke sekolah.”

“Baik.”

Saat Amane berdiri dan mengulurkan tangan, Mahiru langsung menyambutnya tanpa ragu. Karena Mahiru selalu menunjukkan perasaan tulusnya kepada Amane, jadi dirinya bisa berdiri tegak di samping Mahiru dan memegang tangannya saat mereka berjalan bersama.

Perubahan dirinya sampai sejauh ini adalah berkat Mahiru.

(Aku tidak akan pernah melepaskan genggaman ini)

Sembari dipenuhi tekad untuk tidak akan pernah melepaskannya dan selalu membahagiakan Mahiru, Amane tersenyum lembut pada Mahiru ketika mereka berdua keluar dari rumah.

 

 

“... Dilihat dari suasana hatimu, sepertinya kemarin itu menyenangkan ya?”

Keesokan harinya di sekolah, seperti yang sudah dapat diduga, Amane mendapat ejekan dari Itsuki.

Setelah berpisah dengan Mahiru yang sepertinya ada urusan di ruang guru dan memasuki ruang kelas, ia langsung disambut dengan cengiran Itsuki. Tampaknya Chitose belum datang ke sekolah.

Meskipun ini memang hal biasa dan bisa diprediksi, tetap saja berhadapan langsung dengan ejekannya membuat Amane merasa malu, hingga tanpa sadar alisnya berkerut.

“Jangan bicara dengan nada misterius begitu. Aku hanya diucapkan selamat seperti biasa, kok.”

“Lagi-lagi mengelak begitu~.”

“Kamu ini.”

“Aku cuma bercanda, kok. Omong-omong, rencana Shiina-san sepertinya berjalan lancar, ya. Bagus deh.”

Setelah menepuk bahu Amane untuk menenangkannya, Itsuki mengangguk dengan wajah penuh arti, membuat Amane hanya bisa menggeram pelan dan menghela napas.

“... Terima kasih karena sepertinya Mahiru ikut bekerja sama denganmu.”

“Yah, aku sendiri sebenarnya tidak melakukan apa-apa, sih. Malahan Chii dan Kido-san lah yang lebih banyak membantu dan memberi saran.”

“Tapi kamu tetap menyembunyikannya, 'kan? Aku sangat berterima kasih untuk itu.”

“Yah, memang lebih baik jadi kejutan, 'kan. Syukurlah kamu bisa merayakan ulang tahunmu dengan puas. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”

Itsuki, yang memang selalu perhatian, tersenyum dan menepuk bahu Amane, membuat Amane pipinya karena merasa senang dan malu saat ia menjawab, “...Ou.”

Dirinya juga harus berterima kasih kepada Chitose yang tidak ada di sini. Dia pasti juga banyak membantu Mahiru. Meskipun ia pasti akan diejek, tapi hal itu tidak seberapa dibandingkan dengan pertolongan yang telah diterimanya. Jadi AAmane akan menerimanya dengan senang hati.

Saat menghela napas bahagia karena memiliki teman-teman yang mau merayakan ulang tahunnya, teman-teman sekelasnya yang tampaknya mendengar pembicaraan itu pun menghampirinya.

“Lho, Fujimiya-kun kemarin ulang tahun?”

“Iya, kemarin ulang tahunnya.”

Saat Itsuki mengiyakan dan menegasknya, teman-teman sekelasnya berseru dengan suara agak keras,

“Lho, kenapa kok tidak bilang- bilang? Shiina-san juga tidak bilang apa-apa, jadi aku sama sekali tidak tahu!”

“Ah, itu karena... ada rencana kejutan, atau semacamnya...”

“Begitu ya. Tapi kalian tidak mengatakan apa-apa, jadi agak mencurigakan... Hari ini tidak ada apa-apa, ‘kan? Bagaimana kalau sekaleng jus?”

“Kalau begitu, saya akan memberikan karamel ini. Ini hanya tersedia dalam waktu terbatas dengan rasa beras Nametake.”

“Itu kan yang rasanya aneh sekali, jangan memberikannya kepada Fujimiya,”

“Apaan sih? Tapi rasa unik ini justru membuat orang ketagihan, tau.”

“Kamu ini memang tidak punya selera.”

“Jahat! Rasa nametake itu enak, tahu!”

“Memang enak, tapi terlalu pahit dan bahannya kurang cocok untuk dibuat karamel.”

“Argumen logis kalian malah menyakitiku dan perusahaan!”

Terlihat beberapa teman sekelas menghampiri mereka, membuat Amane sangat bingung, tapi Itsuki hanya tersenyum kecil sambil berbisik, “Mereka anak-anak baik, jadi terima saja.”

Setelah Amane memutuskan untuk berubah di hadapan teman-teman sekelasnya, jarak di antara mereka memang sedikit berubah. Tapi, kini mereka dengan bebas menyapa dan memberinya selamat, membuat dadanya terasa hangat.

Kalau dirinya terus terkungkung dan menghindari berinteraksi dengan orang lain, Amane tak akan pernah berada di tengah-tengah teman-teman sekelasnya seperti ini.

“...Semuanya, terima kasih. Aku merasa sangat senang.”

Dengan suara yang tak bisa menyembunyikan rasa malunya, Amane mengucapkan terima kasih, lalu teman-teman sekelas tersenyum cerah, membuatnya sekali lagi bergumam pelan, “Terima kasih.”

 

 

“...Tanpa disadari, Amane-kun sudah menjadi populer, ya.”

Mahiru, yang baru saja masuk kelas, melihat Amane yang dikerumuni teman-teman dengan ekspresi antara senang dan kaget.

Wajar saja Mahiru terkejut, karena biasanya Amane tak pernah dikelilingi seperti ini. Tapi, ini bukan karena Amane mendadak jadi populer, melainkan teman-teman sekelas yang dengan tulus memberinya selamat.

“Ah, Shiina-san, selamat pagi. Tenang saja, kami takkan mengambil Fujimiya-kun darimu, kok.”

“Bu-Bukan itu yang kukhawatirkan. Aku hanya merasa kaget saja melihat Amane-kun dikelilingi seperti ini.”

“Yah, terakhir kali Amane dikerumuni begini saat ia mengumumkan tentang hubungannya dengan Mahirun, sih. Aku juga kaget.”

Chitose, yang datang bersama Mahiru, melihat keributan di sekitar Amane lalu tersenyum mengejek ke arahnya.

“Kalau Amane yang dulu melihat ini, pasti ia akan sangat terkejut.”

“Kurasa ia akan terpaku tanpa bisa berkata apa-apa.”

Amane sendiri merasa dirinya yang dulu memang dipenuhi aura suram. Tipe seperti dirinya saat ini pasti akan sulit dipahami bagi dirinya yang dulu. Tapi, Amane cukup menyukai dirinya yang sekarang.

Meski tak bisa dikatakan kalau Amane bisa berusaha sepenuhnya untuk berdiri di samping orang yang paling dicintainya, tapi setidaknya dirinya tidak gampang minderan seperti dahulu. Dengan mendapatkan kepercayaan diri, Amane merasa memiliki ruang lebih di dalam hatinya, itulah ekspresi yang paling tepat.

Amane yang merasakan secara langsung bagaimana cinta bisa mengubah seseorang, merasa malu, pedih, sekaligus rindu ketika mengingat dirinya di masa lalu.

Setelah menelan semua itu, Amane hanya tersenyum tipis, membuat Chitose berkata dengan riang, “Kelihatannya kamu sekarang lebih santai, ya.”

“Amane tuh memang bisa menjadi contoh yang bagus tentang perubahan seseorang karena mendapatkan cinta,” ujar Chitose.

“Berisik. Memangnya kenapa?” balas Amane.

“Bukan apa-apa, kupikir itu hal yang bagus kok. Menurutku, kamu terlihat lebih menikmati dirimu sendiri sekarang,” kata Chitose sambil mengetuk-ngetuk pipinya dengan telunjuk. Saat Amane melirik Mahiru, Mahiru tersenyum lembut sambil mengangguk.

“Iya, Amane-kun sekarang tertawa lebih tenang daripada dulu.”

“Benar, tatapannya saat melihat Shiina-san sudah jelas sekali beda dari dulu.”

“Jika pasangannya ada;ah Shiina-san, kurasa itu wajar saja. Lagipula, ia sangat menyayanginya.”

“Bahkan akhir-akhir ini lebih manja dari Tenshi-sama.”

“...Aku sudah memahaminya jadi yolong jangan terus-terusan memperhatikan itu. Aku sadar kalau aku terlalu manis pada Mahiru,” ucap Amane, menyadari bahwa teman-temannya memang sering memperhatikan sikapnya yang lembut pada Mahiru. Suara persetujuan dari teman-teman sekelas, baik laki-laki maupun perempuan, bisa terdengar di sana-sini.

Ketika rasa malu yang baru perlahan-lahan naik dari dalam dadanya dan membuat sekitar bibirnya terasa gatal, Chitose tiba-tiba bertepuk tangan dan berkata, “Nah, cukup segini saja, kalau tidak Amane bisa jadi cemberut lagi, lho.”

Sebenarnya Amane berpikir, 'Kalau memang mau memberiku ucapan, harusnya kau katakan sejak awal,' tapi sepertinya Chitose punya caranya tersendiri untuk memberi selamat kepada Amane.

Chitose pun tersenyum lebar, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang sudah dibungkus dari dalam tasnya.

“Jadi, walaupun satu hari terlambat, ini hadiah dariku dan Ikkun!”

“...Terima kasih, kamu dan Mahiru sudah banyak mengurusku.”

“Ufufufu. Tentu saja, aku kan sahabat terbaiknya Mahirun. Aku harus mendukung segala rencana manis teman tercintaku, ‘kan? Nah, silakan dibuka!”

Dengan suara yang terdengar lebih bersemangat dari biasanya, Chitose menyerahkan kotak itu kepada Amane. Kotak hadiah itu ternyata cukup berat.

Jika Itsuki dan Chitose yang memilihnya, biasanya memang tidak pernah salah. Amane berpikir kalau mereka takkan memberikan sesuatu yang aneh di saat seperti ini.

Meski begitu, berat kotak itu membuat Amane jadi penasaran.

“...Boleh aku tanya isinya apaan?”

“Hee, kammu yakin ingin bertanya isinya sekarang? Yah, aku tidak keberatan untuk memberitahumu, sih” ujar Chitose sambil melirik ke arah Mahiru sekilas, membuat Amane merasa was-was.

“Oi, apa-apaan maksud tatapanmu itu?”

“Ahaha, bercanda kok. Isinya tidak berbahaya, kok. Itu hanyalah paket produk mandi, yang aromanya disukai Mahirun, katanya bagus untuk metabolisme. Bisa kalian pakai berdua.”

“...Kenapa digunakan berdua? Bukankah biasanya digunakan oleh satu orang?”

Meskipun isinya memang bagus, ucapan tambahan Chitose membuat dahi Amane berkerut. Meski mereka sudah melakukan beberapa kontak fisik, status mereka saat ini masih dalam ‘berpacaran dengan murni’. Jadi, Amane tidak suka jika orang lain berpikir mereka sudah sedekat itu sampai mandi bersama.

“Orang lain akan salah paham,” kata Amane sambil mengerutkan keningnya, yang dibalas Chitose dengan nada tidak puas, “Awww…” dengan cara yang membuatnya ingin mencubit pipi Mahiru, tapi Ia berhasil menahannya.

“Jangan mengatakan apa pun yang mungkin disalahpahami orang,” ulang Amane.

“Inilah sebabnya kamu sebut pengecut.”

“Itsuki, diamlah.”

“Ya, ya, tentu saja… Meskipun aku tidak diam saja, aku merasa semua orang sudah tahu kalian berdua menjadi sangat mesra dan tak terpisahkan… Aduh, oke, aku mengerti.”

Amane menekankan tinjunya ke pinggang Itsuki saat Ia berjalan mendekat, sensasi polos dan keras yang kembali membuatnya merasakan sedikit kekalahan. Namun, setelah berhasil membungkam Itsuki, Amane menghela nafas dalam-dalam.

“Aku benar-benar menghargai hadiah dan pemikiran yang kalian berdua berikan, tapi tolong, jangan katakan apa pun yang tidak seharusnya kamu katakan,” Amane entah bagaimana berhasil menjaga pipinya agar tidak terbakar rasa malu saat Ia kembali duduknya dengan hadiah dipegang dengan hati-hati di tangannya.

Itsuki mengikutinya, meletakkan tangannya di pinggang Amane dengan sikap yang berlebihan. “Katakan, Amane…” Setelah menjauh dari kelompok teman sekelasnya, Itsuki mencondongkan tubuh ke dekat telinga Amane.

“Apa?”

“Tidak ada yang mengatakan bahwa kalian harus mandi bersama. Asumsinya adalah kalian akan bergiliran jika salah satu dari kalian menginap…”

“…Berisik.”

“Tapi aku membisikkannya dengan sangat pelan!?”

Amane, terlambat menyadari bahwa Ia telah menggali kuburannya sendiri, menggigit bibirnya dan berbalik, sementara Itsuki tertawa dan menampar punggung Amane untuk menggodanya.

 

 

“Oh, apa Shiina-san sudah membocorkannya sendiri, ya?”

Sewaktu makan siang, Amane mengucapkan terima kasih kepada Ayaka karena telah membantu Mahiru, dan dia membalas senyuman nakalnya. Tanpa mengungkapkannya, Ayaka diam-diam berkolaborasi dengan Mahiru untuk mengatur perayaan kejutan Mahiru, yang pada saat yang sama disyukuri oleh Amane , dia juga merasa sedikit tertipu. Keheningan Ayaka berarti Souji ikut serta, menyiratkan bahwa keseluruhan acara telah dirahasiakan oleh semua orang yang ambil bagian.

Tingkat kolaborasi ini tidak diragukan lagi berkat popularitas Mahiru. Meski Amane mau tak mau harus mengakui pengaruhnya, di dalam hatinya ia mempertanyakan perlunya rencana rumit seperti itu. Tentu saja, keinginan Mahiru untuk mengejutkan Amane pastilah menjadi motivasi utamanya.

“Apa kamu sendiri yang menemukan bahan rahasianya?”

“Kurang lebih begitu. Menurutku rasanya mirip, itu saja.”

“Jadi wajar saja kamu langsung mengetahuinya ya. Mungkin kopi di tempat bibiku enak sekali.”

“…Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu menyarankan kopi pada Mahiru?”

“Oh, Shiina-san kesulitan menentukan kuenya, jadi saat kami mencari-cari di buku resep dan majalah, aku menyarankan untuk memasukkan kopi ke dalamnya,” Ayaka tersenyum.

Sementara Amane tersenyum pahit, Ia setuju kalau itu enak, jadi Ia hanya mengangguk.

“Dari kelihatannya, kamu cukup puas dengan hasilnya, jadi semuanya baik-baik saja, aku yakin Bibi Fumika juga akan merasa senang.”

“…Aku sangat berterima kasih atas bantuan Owner, tapi apa kita harus memberikan semua detailnya?”

Mengucapkan terima kasih atas bantuannya adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Meskipun Ia masih tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman ini mengingat sifatnya yang terlalu periang, Amane percaya bahwa menceritakan sebagian dari apa yang terjadi dengan Fumika tidak dapat dihindari menghadapi kegembiraannya yang tak terbatas adalah hal yang menakutkan.

Ayaka sepertinya memahami maksud Amane, karena dia tersenyum sedikit masam dan bergumam, “Y-Yah, menurutku penjelasan singkat saja sudah cukup. Bibiku bukan tipe orang yang terlalu banyak mengorek mendalam… mungkin .”

Kata 'mungkin' itu berhasil menambah kegelisahan Amane, tapi mengingat Fumika bukanlah orang yang jahat, dan percakapan itu akan menjadi makanan yang baik baginya, Ia pikir itu akan baik-baik saja selama itu tidak terlalu berlebihan.

“Pokoknya, terima kasih banyak. Karena sudah berusaha keras untuk orang sepertiku… meskipun Mahiru akan marah jika aku mengatakan itu.”

“Santai saja~. Membantu merayakan ulang tahun teman adalah hal yang wajar untuk dilakukan.:

Ayaka kemudian mengeluarkan sebuah kotak yang agak besar dan terbungkus dari ranselnya. Kotak itu agak terlalu besar untuk dipegang dengan satu tangan. Amane sedikit terkejut karena dirinya tidak mengharapkan hadiah darinya. “Sepertinya kejutanku cukup sukse juga!” Pernyataan cerianya menyadarkannya kembali ke dunia nyata.

“Ini, ini dariku dan Sou-chan. Terimalah.”

“Kamu tidak perlu bersusah payah seperti ini, tapi…terima kasih. Boleh aku bertanya apa isinya?”

“Protein!”

“Tidak ada perubahan di sana, ya.”

Respons energiknya membuat Amane tertawa dan menerima hadiah itu, lalu dengan bangga Ayaka berseru, "Yang itu enak banget dan daya serapnya tinggi! Bahkan Sou-chan pun menyetujuinya”, sambil memamerkan wajah puas, yang membuat Amane tertawa lebih keras lagi.”

Seandainya Souji bersama mereka, Amane bisa membayangkan dia membalas, “Jangan jadikan aku sebagai kelinci percobaanmu,” dengan ekspresi jengkel di wajahnya.

Menyadari apa yang Amane pikirkan, Ayaka tersenyum cerah dan menambahkan, “Jangan khawatir, Sou-chan berkata 'Yah, protein tetaplah protein, jadi aku yakin itu baik-baik saja,' padahal dia punya banyak! jangan malu!” Dia mempertahankan senyum cerianya.

Kedengarannya seperti eksperimen laboratorium yang mencurigakan, pikir Amane, tapi setelah melihat senyum cerah Ayaka yang tak terduga, Ia memutuskan untuk menyimpan pikirannya sendiri. Terkadang, tidak sembarangan bicara merupakan hal yang baik.

“Bagaimanapun, terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan. Kamu telah banyak membantu, Kido.”

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku ikut campur karena aku menginginkannya, dan sebenarnya, Sou-chan juga menyuruhku untuk tidak ikut campur.”

“Aku tidak berpikir kalau kamu terlalu ikut campur. Kamu benar-benar telah banyak membantu kami.”

“Hmm, tapi hanya karena aku ingin, jadi kamu jangan terlalu khawatir, Fujimiya-kun. Ditambah lagi, ada untungnya juga bagiku.”

“Seperti apa?”

“Heh heh heh… Jika kamu rukun dengan Sou-chan, suasana hatinya akan lebih baik. Dan saat suasana hatinya sedang baik, aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyentuh ototnya.”

“…Jadi begitu.”

Meski Amane tersenyum kecut melihat motif Ayaka yang nakal dan mementingkan dirinya sendiri, ada hal lain yang lebih dari yang terlihat, yaitu kualitas yang bisa diketahui oleh siapa pun yang mengenalnya. Kecenderungan alaminya untuk peduli pada orang lain terlihat jelas dari interaksi Amane yang terbatas, tampaknya dia benar-benar menikmati melakukannya.

Terlebih lagi, Ayaka punya kebiasaan meremehkan bantuannya, mendesak Amane untuk tidak khawatir akan membalas bantuan apa pun. Oleh karena itu, setelah berterima kasih atas pertimbangannya, Amane mengangkat bahu dan berkata, “Baiklah, selama kamu dan Kayano baik-baik saja dengan hal itu, maka menurutku itu tidak masalah.”

 

 

“Hari ini cukup menakjubkan, bukan?”

Setelah mereka kembali ke rumah dan selesai makan malam, Mahiru menggumamkan ini dengan nada lembut saat mereka bersantai di sofa bersama.

Amane mengerti persis apa yang Mahiru maksudkan dan menjawab, “Ya.”

Mahiru kemudian mengendurkan pipinya karena kegembiraan murni, seolah dia sendirilah yang dirayakan. Kelegaan, kepuasan, dan kegembiraan. Ekspresinya menunjukkan kombinasi emosi yang halus saat dia tersenyum pada Amane, membuatnya merasa sangat malu karena secara tidak sengaja mengalihkan pandangannya ke TV.

Di atas meja kopi di antara sofa dan TV terdapat sejumlah hadiah yang Amane terima dari teman-temannya. Dimulai dengan hadiah dari Itsuki, Chitose, dan Ayaka, ia juga menerima beberapa dari teman sekelas yang belum pernah dekat dengannya, yang diberikan kepadanya dalam kegembiraan saat ini. Mereka kebanyakan mengambil makanan ringan dan minuman, tapi Amane merasa malu sekaligus gembira menerima berkah dari teman-temannya meski berusaha sekuat tenaga untuk tidak memperlihatkannya. Tahun lalu, tidak ada keriuhan apa pun di kelas karena ia hanya memberi tahu Itsuki dan Chitose tentang hari ulang tahunnya, jadi sebagai perbandingan, perayaan yang diterima Amane tahun ini terasa hampir tidak nyata.

Sebagai seseorang yang biasanya menganggap dirinya acuh tak acuh, Amane tidak terlalu mendambakan perayaan besar seperti itu. Namun, Ia merasa sangat senang menerima ucapan selamat ulang tahun seperti itu.

“…Aku tidak menyangka semua orang akan memberikan ucapan selamat sebesar itu padaku. Meskipun aku tidak permen rasa nasi jamur enoki itu, sih.”

Mahiru terkikik. “Secara pribadi, aku sedikit penasaran.”

“Kamu mungkin membutuhkan sesuatu untuk membersihkan langit-langit mulutmu setelahnya, itu sudah pasti.”

Mahiru, dengan rasa penasarannya yang lebih besar akan pengetahuan kuliner, lebih tertarik pada makanan ringan eksotis dibandingkan Amane. Sementara Amane menghargai sikapnya, Ia tidak terlalu suka berpetualang dengan seleranya, dengan sopan menolak makanan yang tidak biasa itu, seolah ingin menebusnya, dirinya malah diberi permen rasa sup daging sapi, yang tampak seperti kubus kaldu pekat. Mungkin teman sekelasnya benar-benar ahli dalam pilihan camilan eksentrik ini.

Walaupun dirinya merasa bingung namun sedikit terhibur dengan hobi tak terduga dari teman sekelas yang jarang ia ajak bicara, Amane melihat semua hadiah yang diberikan kepadanya oleh teman dan teman sekelasnya dan sedikit kecemasan mulai menutupi kegembiraannya.

“…Apa benar-benar boleh kalau semua orang merayakanku sebegitu meriahnya?” Kata-kata Amane terucap tanpa diduga.

Ekspresi lembut Mahiru dengan cepat berubah, digantikan oleh campuran rasa jengkel dan kegelisahan, menatapnya dengan cemberut samar. “Kenapa kamu tampak begitu khawatir? Alasan mengapa teman sekelas kita memberi selamat padamu adalah karena kamu telah berhasil berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan mereka. Itu semua adalah hasil dari kebaikanmu sendiri, Amane-kun. Paham?”

“Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud merendahkan diri atau apa pun. Entah bagaimana, aku masih merasa kalau semuanya terasa tidak nyata. Itu saja. Aku biasanya tidak memberitahu orang-orang mengenai ulang tahunku.”

Amane merasa kalau dirinya memberi tekapan kepada mereka yang tidak terlalu dekat dengannya untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dirinya benar-benar merasa senang hanya dengan menerima beberapa kata ucapan selamat dari mereka.

Ada jauh lebih banyak orang dibandingkan sebelumnya, jadi kamu tidak bisa menyalahkanku karena terkejut, itulah pesan yang ingin disampaikan Amane.

“Hehe, itu membuktikan bahwa sudah seberapa banyak kamu diakui dan diberkati oleh orang-orang di sekitarmu, Amane-kun.”

“Yah, kuharap begitu.”

“Amane-kun.” Mahiru membalas dengan suara tidak setuju, yang menyebabkan Amane tersenyum masam. Menghadapi tatapannya yang begitu tegas hingga mendesak, Jangan meremehkan dirimu sendiri , tidak mungkin dia tetap terperosok dalam hal-hal negatif.

“Maaf, maaf—aku tahu… aku merasa senang.”

“Ya… Tolong, terimalah ucapan selamat mereka dengan tulus.” Mahiru bersandar di lengan atas Amane dengan senyumnya yang biasa, dan merasakan sedikit tekanan dan beban, Ia mengendurkan pipinya dan melirik ke arah Mahiru. bahkan bertindak seolah-olah itu adalah hari istimewanya. Hal ini membuatnya percaya bahwa kegembiraannya benar-benar tulus.

…Jadi, kenyataannya, Mahiru menganggap ulang tahun sebagai acara yang harus dirayakan.

Faktanya, hal ini terutama berlaku jika hari ulang tahun itu milik teman dekat atau seseorang yang disayanginya. Bahkan jika itu untuk seseorang yang tidak terlalu dia kenal, Mahiru akan tetap memberikan ucapan selamat yang tulus teringat bagaimana ulang tahun Mahiru tahun lalu datang dan pergi tanpa adanya perayaan, duri dingin dan tajam menusuk perasaan hangat dan tidak jelas yang menumpuk di hatinya sepanjang hari tepatnya, itu adalah peringatan yang mendesaknya untuk mengevaluasi kembali realitas situasi, dan itu juga menjadi pemicu untuk mendorong Amane menanyakan pertanyaan tertentu kepada Mahiru.

“Umm…”

“Ya?”

Amane bermaksud untuk memanggil dengan suara sehalus mungkin, tanpa ada duri atau tepian kasar, tapi Mahiru, setelah merasakan perubahan halus dalam suaranya, berhenti bersandar padanya dan menegakkan punggungnya, tidak karena hati-hati tetapi mungkin untuk mengantisipasi diskusi penting.

Amane berdehem. “Kamu tahu, um, aku bukan tipe yang gampang menyimpan rahasia, jadi kamu mungkin akan menyadari sesuatu atau menjadi curiga padaku jika aku mencoba menyembunyikan sesuatu—dan itu akan berdampak buruk bagiku jika kamu mengetahuinya. dan tidak senang dengan hal itu. Jadi, kupikir aku akan memberitahumu terlebih dahulu.”

“Apa itu?”

“Ulang tahunmu bulan depan, kan?”

“Ah…ya, setelah kamu menyebutkannya.” Mahiru tampak terkejut seolah hal itu baru saja terpikir olehnya. Kemudian, setelah beberapa saat merenung, dia terdiam. Dilihat dari reaksinya yang terlambat, dia benar-benar tidak menyadari ulang tahunnya sendiri itu murni sebagai peristiwa yang tidak menarik baginya. Itu bahkan tidak menarik perhatiannya, menyebabkan responsnya tertunda.

Amane merasakan ketidakpedulian yang luar biasa terhadap dirinya sendiri, yang sulit untuk dilihatnya. “Bagimu, merayakan ulang tahunmu bukanlah perasaan yang menyenangkan, bukan?”

“Bukannya aku menganggapnya tidak menyenangkan… tapi lebih seperti aku benar-benar tidak peduli tentang hal tersebut.”

Seperti yang dikatakan Mahiru, dia tidak pernah terlalu peduli dengan hari ulang tahunnya sendiri. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sudah diketahui Amane sejak ulang tahunnya yang terakhir, tapi mendengarnya diucapkan secara blak-blakan, bahkan setelah mereka mulai berpacarab, masih membuatnya merasa sedih.

“Bagiku, itu hanyalah hari yang menandai bertambahnya usia satu tahun, bukan hari untuk merayakannya. Aku hampir tidak pernah merayakannya,” Mahiru menjelaskan. “Ah— Tapi aku senang ketika kamu merayakannya tahun lalu! Aku tidak peduli pada orang-orang yang merayakan hari itu—sepertinya aku tidak bisa mengurus masalahku sendiri.” Dia melambaikan tangannya ke udara sebagai tanda terima kasih. Perayaan kecil yang dia alami tahun lalu masih segar dalam ingatannya.

Menyadari bahwa Ia telah membuatnya khawatir, Amane merasa sedikit bersalah dan meminta maaf. “Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu mengatakan semua itu padamu, hari itu tidak terlalu istimewa.”

Pola asuh Mahiru dan lingkungan tempat dia dibesarkan, yang sangat disadari oleh Amane, memperjelas mengapa hari ulang tahunnya sendiri tidak penting baginya, itu saja tidak cukup.

Meskipun ini hanya masalah egonya, Amane berharap Mahiru merasa seolah-olah dia benar-benar dicintai, bahwa dia tidak mendapatkan kebahagiaannya, dan bahwa kelahirannya adalah peristiwa yang patut dirayakan.

“Um, ini mungkin hanya keegoisanku sendiri…tapi bagiku, ulang tahunmu adalah hari yang sangat spesial.”

“Spesial…”

“Sama seperti kamu menganggap ulang tahunku istimewa, aku juga menganggap ulang tahunmu lebih istimewa daripada ulang tahun orang lain.”

Amane sudah mendengar dari banyak orang bahwa Mahiru telah berusaha keras untuk mempersiapkan ulang tahunnya. Ia juga tahu bahwa perasaan cinta Mahiru padanya sangat dalam dan tulus, datang dari lubuk hatinya yang paling dalam.  Amane tidak ingin menjadi seseorang yang hanya duduk santai dan menikmati cintanya. Amane berusaha membalas cintanya dengan jumlah yang sama—jika tidak lebih—untuk semua yang telah diberikan Mahiru padanya.

“Mahiru, aku sangat mencintaimu sehingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sangat bersyukur dan gembira karena kamu dilahirkan ke dunia ini, dan aku akan selamanya dipenuhi dengan rasa syukur, aku selalu berterima kasih padamu karena telah dilahirkan, bertemu denganku, dan jatuh cinta padaku… Bagiku, hari kelahiranmu adalah hari yang sangat istimewa.”

Tidak diragukan lagi, Mahiru adalah cahaya kehidupan Amane. Hari kedatangannya ke dunia ini merupakan hari yang sangat istimewa, dan Ia hanya ingin Mahiru menyadari hal ini.

“Jadi, uh—kalau menurutmu itu tidak menyenangkan, bolehkah aku juga merayakan ulang tahunmu? Sama seperti kamu yang merayakan hari ulang tahunku? Bolehkah aku, dari lubuk hatiku yang paling dalam, mengungkapkan rasa terima kasihku yang tulus karena kamu dilahirkan ke dunia ini? ”

Amane tidak akan memaksakan sebuah perayaan tanpa mempertimbangkan keinginan orangnya sendiri mengenai masalah tersebut. Jika Mahiru merasa tidak nyaman dengan gagasan itu, Ia akan dengan senang hati memperlakukan hari itu seperti hari lainnya siap untuk menghentikan topik tersebut dan melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka seperti biasa. Namun, jika Ia setuju dengan ide tersebut, Amane bertekad untuk merayakannya sebaik mungkin dengan memanfaatkan semua sumber daya yang dimilikinya orang-orang disekitarnya yang bersyukur atas kelahirannya.

Sembari masih menatap lurus ke arahnya, Amane menunggu jawaban Mahiru setelah mengajukan pertanyaan itu. Segera setelah itu, Ia melihat perubahan pada ekspresi Mahiru yang berbeda dari beberapa saat sebelumnya—sebuah ekspresi terkejut pada Amane dengan tidak percaya.

“…Kamu yakin?” tanya Mahiru.

“Kamu tidak menentangnya?” balas Amane kembali.

“Tidak, tidak, tidak sama sekali. Umm, aku sangat senang. Hanya saja, memikirkan orang sepertiku akan dirayakan…”

“Mahiru, kamu masih ingat sebelumnya? Bukannya kamu melihatku seolah kamu tidak ingin aku meremehkan diriku sendiri? Tidak baik kalau kamu melakukan hal yang sama, tahu.” menunjukkan kebingungan, ketidakpastian, dan kecemasannya—sebelum menariknya dengan kuat. Sambil menggoda dengan memainkan pipinya, yang tidak terlalu empuk atau lembek dalam kelembutannya, Amane berusaha dengan lembut menghilangkan perasaan negatif yang mungkin meresap ke dalam hatinya. Lalu, suara yang benar-benar konyol, “Owkay, akhu—akhu mengherti…” keluar dari mulutnya, yang tidak bisa menutup seluruhnya.

Meski Amane berhati-hati agar tidak menimbulkan rasa sakit, hal itu pasti tetap mengejutkan Mahiru, karena dia terus menatapnya dengan ekspresi bingung bahkan setelah Ia melepaskannya. Saat Ia bertanya, “Apa kamu menyadari seberapa berharganya kamu bagiku sekarang?” warna wajahnya mulai mereda, menunjukkan bahwa dia yang bermain-main dengan pipinya bukanlah satu-satunya alasan dia terkejut.

Dia bergumam pelan, namun tanpa kata-kata, “Ah…” dan “Uuu…”, lalu, dengan ragu-ragu, dia mendongak untuk menghadap Amane.

“…Terima kasih banyak. Hanya merayakan ulang tahunku olehmu, Amane-kun, sudah membuatku sangat bahagia… Ini adalah perasaan yang aneh. Aku selalu percaya bahwa ulang tahunku tidak penting sama sekali.”

“Kalau begitu, mulai tahun ini dan seterusnya, aku akan memastikan bahwa kamu tidak lagi punya alasan untuk terus mempercayai hal itu.”

Ketidakpedulian Mahiru kemungkinan besar berakar pada hubungan rumit yang dia miliki dengan orang tuanya. Hal tersebut merupakan aspek dari dirinya yang tidak akan pernah bisa sepenuhnya dihapus Amane, dan juga tidak ingin Ia hapuskan. Ini adalah bagian dari apa yang membentuk Mahiru menjadi dirinya yang sekarang.

Jelas sekali bahwa ketidakpedulian ini berasal dari titik lemah dalam dirinya—yang dia tidak ingin orang lain sentuh. Oleh karena itu, Amane ingin menghapus sikap apatis yang tampaknya meremehkan ini orang-orang yang menyayanginya, dan mensyukuri keberadaannya.

“Mengadakan pesta besar-besaran dengan semua orang… itu bukan gayamu, ‘kan, Mahiru? Mari kita rayakan dengan tenang, bersama-sama.”

“…Oke.”

Meski mudah bergaul, Mahiru juga merupakan gadis yang pemalu—atau lebih tepatnya, waspada—dan karena itu, dia lebih menyukai lingkungan yang tenang bahkan saat ulang tahunnya. Karena dia memilih untuk tidak memberitahukan hari ulang tahunnya kepada banyak orang, Amane merasa bahwa merayakannya secara pribadi akan menjadi ide yang lebih baik. Tampaknya, sekarang, Mahiru tidak segan memberi tahu teman-teman dekatnya tentang ulang tahunnya yang akan datang. Percakapan dengannya dan Chitose yang selalu bersemangat bisa menjadi cara yang bagus untuk mencari cara untuk merayakannya.

Saat Amane perlahan namun pasti merencanakan pengaturan di masa depan, Ia melihat Mahiru sedang menatapnya dengan saksama.

Amane tidak bisa menahan tawa kecilnya. “Kamu benar-benar tidak terbiasa mengadakan pesta untukmu sendiri ‘kan, Mahiru?

“Ak-Aku tahu, tapi…”

“Yah, aku senang kamu sepertinya tidak keberatan dengan ide tersebut… Jadi, itu berarti aku akan bergerak di belakang layar untuk menyiapkan pesta untukmu sekali ini saja.

Mahiru terkikik. “Oke~.”

Setelah berdiskusi tentang merayakan ulang tahunnya, Amane merasa akan adil jika ia secara blak-blakan mengumumkan niatnya untuk membuat pengaturan secara rahasia menyebabkan segala kemungkinan kecemasan tentang perayaan itu, Ia memutuskan untuk meminta izin atas 'perilaku mencurigakan' yang tak terelakkan. Sebagai tanggapan, Mahiru mulai terkikik bahagia.

Senyuman ringan dan suara ceria Mahiru membawa rasa lega bagi Amane, dan Ia mulai mengelus kepala Mahiru saat Mahiru bersandar pada sentuhan Amane dengan sedikit rasa membutuhkan.

“Aku akan melakukan yang terbaik untuk membuatmu sebahagia mungkin. Aku juga akan berusaha meneliti berbagai hal dari berbagai sudut dan sudut pandang.”

“Dan kamu membiarkan semua ini terjadi di depan orang itu sendiri?”

“Ah—”

“Hehe. Sejujurnya, kamu terkadang bisa begitu ceroboh.”

“Aku tidak bisa berdebat denganmu di bagian situ. Kamu tepat sasaran.”

Usai mendengar ini, Mahiru terkekeh, tawanya terdengar lembut dan merdu.

“Aku akan menantikannya.”

“Tentu. Aku akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi harapanmu.”

“Oke. Kalau begitu, aku akan menunggu dengan penuh semangat.”

Melihat Mahiru, yang sebelumnya acuh tak acuh, kini bersemangat menyambut ulang tahunnya yang akan datang, membuat Amane lebih senang dari apa pun. Dengan anggukan tegas, Amane memutuskan saat itu juga untuk membuat bulan-bulan yang tersisa menjadi kenangan tak terlupakan bagi Mahiru.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama