Bab 1 — Tepat Di Depan Mata Setelah Bangun
Saat membuka
matanya, Amane merasa seperti terbangun di dalam surga dunia. Dengan mata yang
masih sedikit mengantuk, ia langsung berpikir begitu.
Begitu
membuka matanya, hal yang pertama kali dilihatnya adalah sesosok gadis manis
yang terbungkus helai rambut berwarna keemasan, berbaring dengan lembut dalam
pelukannya.
Dengan
rambut berkilau yang tampaknya telah dirawat dengan baik, Mahiru bersandar di
tubuh Amane dengan tenang, matanya yang bagai permata menatap ke arahnya.
Pemikirannya
masih belum bekerja penuh karena baru saja terbangun, jadi Amane sempat bingung
mengapa Mahiru bisa ada di sini, namun kemudian teringat bahwa dia menginap di
sini kemarin, dan merasa lega.
Rupanya hari
ini Mahiru tidak akan keluar dari pelukan Amane, dan menunggu Amane bangun.
Mahiru yang
segera menyadari Amane telah bangun, bergerak perlahan di dalam pelukan Amane
untuk menemukan posisi yang nyaman, lalu menatapnya dengan malu-malu.
“Selamat
pagi, Amane-kun.”
“...Pagi.
Sudah berapa lama kamu bangun?”
“Mungkin
sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku ingin menikmati wajah tidurmu sebentar
lagi sebelum membuatkan sarapan.”
“...Kamu
senang melihat wajahku saat tidur?”
“Tentu saja.
Itu menjadi sumber energiku, tau?”
Berkat dirimu,
aku penuh energi sejak pagi ini, dan seperti
yang dia katakan, Mahiru memasang wajah puas dan bersemangat. Merasa geli, Amane
memeluk Mahiru erat-erat seolah ingin menyamarkannya.
Mahiru yang
kaget karena dipeluk secara mendadak, tapi saat Amane berbisik pelan, “beri
aku energi juga”, dia segera membalas pelukannya, seolah menerima Amane.
Karena Mahiru
melakukannya dengan santai, itu berarti masih ada waktu, jadi Amane bisa
menikmati kelembutan, kehangatan, dan wangi manis yang menyegarkan Mahiru. Mahiru
hanya tertawa kecil, “Kamu masih manja seperti biasa,” tanpa berkomentar
apa-apa.
Meskipun Amane
ingin mengatakan “Siapa yang membuatku jadi begini?”, sepertinya Mahiru juga
sudah paham. Dia tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan Amane bersandar
padanya.
Adanya sosok
yang dicintai, yang bisa menyerahkan dirinya sepenuhnya padanya, dan yang juga
menerima dirinya, membuatnya merasa penuh di dalam hatinya.
Tenggelam
dalam kehangatan yang tak ingin dilepaskan, Amane merasakan kebahagiaan yang
memenuhi seluruh dirinya.
Matanya
hampir saja terpejam karena terlalu bahagia di pagi hari ini, tapi Mahiru
sepertinya menyadari napasnya mulai berubah menjadi dengkuran, dan menepuk punggung
Amane.
“Amane-kun, tolong
jangan tidur lagi.”
"...Tapi
aku ingin bermalas-malasan seperti ini lebih lama lagi.”
“Tak
kusangka kalimat itu akan keluar dari mulut murid teladan sepertimu, Amane-kun.”
Menyadari
bahwa mereka berdua pada dasarnya adalah orang-orang yang rajin di sekolah, Amane
pun tertawa mendengar Mahiru yang mengejeknya.
Namun,
situasi saat ini terlalu memabukkan, seolah mampu meluluh-lantakkan segala hal
yang biasanya serius dalam diri mereka.
“Apa kamu
benar-benar tak ingin keluar dari selimut? Apa ini yang disebut 'pesona
selimut'?”
“Kurasa
lebih tepat untuk menyebutnya sebagai 'pesona Mahiru'.”
Keberadaan Mahiru
justru menjadi godaan yang lebih kuat dibandingkan selimut, bisa-bisa ia malah
membolos sekolah bersama Mahiru.
Mahiru, yang
sebenarnya menjadi godaan itu sendiri, menghela napas setengah geli setengah
kesal, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukan Amane.
“Kalau
begitu, aku akan pergi agar kamu terbebas dari kuasaku. Nah, ayo bangun dan
bersiap-siap.”
“...Aku
tahu, tapi...”
“Aku tidak
akan selalu memanjakanmu. Ayo, bangun dan cuci muka agar segar.”
Mahiru, yang
tahu Amane akan berusaha menariknya kembali ke dalam selimut, dengan cepat
menarik selimut itu. Sebenarnya Amane memang berniat untuk bangun, tapi melihat
Mahiru yang terlihat senang membangunkannya, dirinya diam-diam tersenyum geli.
Di masa
depan, bangun dengan cara seperti ini juga tidak buruk, ya.
Amane memang
tipe orang yang bisa bangun tepat waktu jika mau, tapi jika ada yang
membangunkannya, meski tak merepotkan Mahiru, bangun lebih awal untuk
bermesraan juga tak masalah. Dirinya tidak ingin merepotkannya, tapi Mahiru
sepertinya senang merawatnya, jadi boleh juga sesekali bergantung dan bersikap
manja kepadanya.
Memikirkan
hal tersebut dengan tenang, meski merasa sedikit kedinginan, Amane bangkit dari
tempat tidur dan mengambil baju ganti.
Saat dirinya
membuka lemari, Mahiru tampak sedikit tak nyaman, hal itu membuat Amane
terkekeh pelan sambil menahan tawa.
“Ganti bajunya,
bagaimana? Apa perlu aku ke kamar mandi duluan?”
“...Iya,
silakan. Jangan mengintip, ya.”
“Siapa juga
yang mau mengintip. Mengintip itu harus dapat izin dulu, kan?”
Meskipun mereka
berdua berpacaran, dia tak berniat mengintip saat ganti baju. Ada masalah
privasi, dan rasa malu jauh lebih mendominasi saat ini.
Bukan
masalah jika Mahiru melihatnya ganti baju, tapi Mahiru sendiri pasti akan jadi
salah tingkah dan tak bisa saling bertatapan. Amane tidak mau membuat suasana
pagi hari mereka menjadi aneh.
“Ap-Apa kamu
ingin melihatnya?”
“...Walaupun
aku memang ingin melihatnya, aku tak ingin melakukan sesuatu yang akan mengganggu
suasana hatimu di pagi hari.”
“Be-Begitu,
ya...”
“Jadi, soal
itu tidak perlu. Tidak semua hal harus kita tunjukkan satu sama lain.”
Tentu saja
sebagai laki-laki, dirinya ingin melihatnya, tapi itu bukanlah sesuatu yang
harus dilakukan saat ini juga. Menurunya, rahasia seperti itu harus dilihat
dengan persetujuan bersama, dan itu tidak boleh dilakukan di pagi hari sebelum
berangkat sekolah.
Amane
mengangkat bahunya dan meninggalkan ruangan sambil mengatakan bahwa Ia sangat
memahami sampai sebatas itu, tapi ia mendengar suara Mahiru yang sedikit geli
dan terheran, “Itu juga sisi yang bagus sekaligus menjengkelkan darimu,
Amane-kun...”.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Setelah
mengganti pakaiannya, Amane memakan sarapan yang cukup berat seperti yang dia
katakan kemarin — telur dadar, salmon panggang saikyoyaki, beberapa lauk kecil,
sup miso, dan nasi putih. Setelah itu, ia merapikan penampilannya untuk bersiap
pergi ke sekolah.
Karena Amane
sudah mempersiapkan buku pelajaran dan barang-barang lainnya sejak kemarin, dia
hanya perlu memakai dasi dan blazer. Tapi ada sedikit hal yang membuatnya
ragu-ragu, sehingga ia masih memegang dasinya.
“Ada apa?”
Melihat
Amane yang berdiri ragu-ragu, Mahiru yang memperhatikannya pun bertanya dengan
heran. Kemudian Amane perlahan-lahan menyodorkan dasi dan pin dasi yang ia
dapatkan sebagai hadiah ulang tahun kemarin ke arah Mahiru.
Bagaimanapun
juga, karena ia ingin memakainya, Amane ingin orang yang memberinya hadiah
memakaikan dasi itu untuknya.
“Apa kamu
mengikatkan dasinya untukku?”
Saat Amane
bertanya padanya dengan ragu-ragu, Mahiru berkedip berulang kali, tapi
sepertinya memahami maksudnya dan segera memasang senyum mekar dan mengangguk, “Baiklah.”
Dengan
gerakan yang hati-hati dan anggun, Mahiru mengambil dasi dan pin itu dari
tangannya, lalu berdiri di depan Amane yang duduk di sofa. Dia dengan cepat dan
rapi mengikatkan dasinya.
Setelah itu,
Mahiru dengan gerakan yang sangat hati-hati memasangkan pin dasi yang indah itu
ke dasi Amane. Meskipun jarang dipakai selain untuk acara resmi, pin dasi
pemberiannya itu terasa pas dan cocok.
“... Apa itu
kelihatan cocok?”
“Karena aku
yang memilihkannya untukmu, Amane-kun, jadi tentu saja kelihatan cocok.”
Mahiru
tersenyum dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, membuat Amane juga ikut
tersenyum.
“Karena penilaian
Mahiru memang jitu. Jadi aku merasa bersyukur kalau itu memang cocok.”
“Itu sudah
sempurna. Perhatian pada detail fashion itu penting untuk berpenampilan gaya.”
“Bukan
karena aku ingin tampil bergaya, tapi hanya ingin tahu apakah benda pemberianmu
kelihatan cocok atau tidak.”
“Jangan
khawatir, itu kelihatan cocok, kok.”
Meskipun
Mahiru terkadang menilai Amane terlalu tinggi, dalam hal penilaian penampilan,
penilaiannya cukup objektif. Jadi tidak ada masalah.
Meski pin
dasi itu hanya terlihat sedikit melalui sambungan blazer, tetapi detail kecil
yang modis semacam ini juga penting untuk suasana.
Ketika
memakai barang pemberiannya, Mahiru, Shu merasa senang dan postur tubuhnya
terlihat lebih tegap. Mungkin karena perasaan bahwa dia harus pantas berada di
samping Mahiru.
Sepertinya
hadiah dari Mahiru ini membuat Amane jadi lebih bersemangat, ada perasaan geli
dan senang, serta rasa percaya diri yang lebih mantap mengalir dari dalam
dirinya.
“... Kamu
benar-benar terlihat sangat keren saat percaya diri ya, Amane-kun.”
Mahiru
bergumam dengan suara kecil kepada Amane yang sedang mengenakan blazer dan
merapikan kemejanya.
“Bagaimana
jika aku sedang tidak percaya diri?”
“Kamu
kelihatan manis, tapi juga terlihat kuat.”
“Yah, sebenarnya
ada banyak hal yang ingin aku koemntari, tapi sudahlah. Sekarang aku terlihat bagus,
'kan?”
“Ya, kamu
kelihatan sangat menarik.”
“... Apa aku
sudah cukup pantas untuk berdiri di sampingmu, Mahiru?”
Amane tidak
ememiliki keraguan untuk berdiri di sampingnya. Tapi terkadang ia masih
meragukan apakah dirinya terlihat cocok berada di sampingnya. Meskipun Amane tidak
berniat untuk mundur dari posisi tersebut, tapi ia masih penasaran dengan penilaian
objektif orang lain.
Meskipun dirinya
terus berusaha memperbaiki diri, Amane tidak yakin apakah hasilnya sudah
terlihat.
Walaupun
dirinya tahu jawaban Mahiru, tapi tanpa sadar ia jadi bertanya. Mahiru pun
tersenyum maklum seraya dengan penuh kasih sayang membelai pipi Amane.
“Tenang
saja, Amane-kun. Baik dari dalam maupun luar, kamu itu luar biasa. Bukan hanya
perasaanku saja, tapi secara objektif juga, kamu adalah orang yang sangat
menarik.”
“Begitu ya,
syukurlah kalau begitu. ... Ayo berangkat ke sekolah.”
“Baik.”
Saat Amane berdiri
dan mengulurkan tangan, Mahiru langsung menyambutnya tanpa ragu. Karena Mahiru
selalu menunjukkan perasaan tulusnya kepada Amane, jadi dirinya bisa berdiri
tegak di samping Mahiru dan memegang tangannya saat mereka berjalan bersama.
Perubahan
dirinya sampai sejauh ini adalah berkat Mahiru.
(Aku tidak
akan pernah melepaskan genggaman ini)
Sembari
dipenuhi tekad untuk tidak akan pernah melepaskannya dan selalu membahagiakan
Mahiru, Amane tersenyum lembut pada Mahiru ketika mereka berdua keluar dari
rumah.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“... Dilihat
dari suasana hatimu, sepertinya kemarin itu menyenangkan ya?”
Keesokan
harinya di sekolah, seperti yang sudah dapat diduga, Amane mendapat ejekan dari
Itsuki.
Setelah
berpisah dengan Mahiru yang sepertinya ada urusan di ruang guru dan memasuki
ruang kelas, ia langsung disambut dengan cengiran Itsuki. Tampaknya Chitose
belum datang ke sekolah.
Meskipun ini
memang hal biasa dan bisa diprediksi, tetap saja berhadapan langsung dengan
ejekannya membuat Amane merasa malu, hingga tanpa sadar alisnya berkerut.
“Jangan
bicara dengan nada misterius begitu. Aku hanya diucapkan selamat seperti biasa,
kok.”
“Lagi-lagi
mengelak begitu~.”
“Kamu ini.”
“Aku cuma
bercanda, kok. Omong-omong, rencana Shiina-san sepertinya berjalan lancar, ya.
Bagus deh.”
Setelah
menepuk bahu Amane untuk menenangkannya, Itsuki mengangguk dengan wajah penuh
arti, membuat Amane hanya bisa menggeram pelan dan menghela napas.
“... Terima
kasih karena sepertinya Mahiru ikut bekerja sama denganmu.”
“Yah, aku
sendiri sebenarnya tidak melakukan apa-apa, sih. Malahan Chii dan Kido-san lah yang
lebih banyak membantu dan memberi saran.”
“Tapi kamu
tetap menyembunyikannya, 'kan? Aku sangat berterima kasih untuk itu.”
“Yah, memang
lebih baik jadi kejutan, 'kan. Syukurlah kamu bisa merayakan ulang tahunmu
dengan puas. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”
Itsuki, yang
memang selalu perhatian, tersenyum dan menepuk bahu Amane, membuat Amane
pipinya karena merasa senang dan malu saat ia menjawab, “...Ou.”
Dirinya juga
harus berterima kasih kepada Chitose yang tidak ada di sini. Dia pasti juga
banyak membantu Mahiru. Meskipun ia pasti akan diejek, tapi hal itu tidak
seberapa dibandingkan dengan pertolongan yang telah diterimanya. Jadi AAmane
akan menerimanya dengan senang hati.
Saat
menghela napas bahagia karena memiliki teman-teman yang mau merayakan ulang
tahunnya, teman-teman sekelasnya yang tampaknya mendengar pembicaraan itu pun
menghampirinya.
“Lho,
Fujimiya-kun kemarin ulang tahun?”
“Iya,
kemarin ulang tahunnya.”
Saat Itsuki
mengiyakan dan menegasknya, teman-teman sekelasnya berseru dengan suara agak
keras,
“Lho, kenapa
kok tidak bilang- bilang? Shiina-san juga tidak bilang apa-apa, jadi aku sama
sekali tidak tahu!”
“Ah, itu
karena... ada rencana kejutan, atau semacamnya...”
“Begitu ya.
Tapi kalian tidak mengatakan apa-apa, jadi agak mencurigakan... Hari ini tidak
ada apa-apa, ‘kan? Bagaimana kalau sekaleng jus?”
“Kalau
begitu, saya akan memberikan karamel ini. Ini hanya tersedia dalam waktu
terbatas dengan rasa beras Nametake.”
“Itu kan
yang rasanya aneh sekali, jangan memberikannya kepada Fujimiya,”
“Apaan sih?
Tapi rasa unik ini justru membuat orang ketagihan, tau.”
“Kamu ini
memang tidak punya selera.”
“Jahat! Rasa
nametake itu enak, tahu!”
“Memang
enak, tapi terlalu pahit dan bahannya kurang cocok untuk dibuat karamel.”
“Argumen
logis kalian malah menyakitiku dan perusahaan!”
Terlihat
beberapa teman sekelas menghampiri mereka, membuat Amane sangat bingung, tapi Itsuki
hanya tersenyum kecil sambil berbisik, “Mereka anak-anak baik, jadi terima
saja.”
Setelah Amane
memutuskan untuk berubah di hadapan teman-teman sekelasnya, jarak di antara
mereka memang sedikit berubah. Tapi, kini mereka dengan bebas menyapa dan
memberinya selamat, membuat dadanya terasa hangat.
Kalau dirinya
terus terkungkung dan menghindari berinteraksi dengan orang lain, Amane tak
akan pernah berada di tengah-tengah teman-teman sekelasnya seperti ini.
“...Semuanya,
terima kasih. Aku merasa sangat senang.”
Dengan suara
yang tak bisa menyembunyikan rasa malunya, Amane mengucapkan terima kasih, lalu
teman-teman sekelas tersenyum cerah, membuatnya sekali lagi bergumam pelan, “Terima
kasih.”
✧ ₊
✦
₊ ✧
“...Tanpa disadari,
Amane-kun sudah menjadi populer, ya.”
Mahiru, yang
baru saja masuk kelas, melihat Amane yang dikerumuni teman-teman dengan
ekspresi antara senang dan kaget.
Wajar saja
Mahiru terkejut, karena biasanya Amane tak pernah dikelilingi seperti ini.
Tapi, ini bukan karena Amane mendadak jadi populer, melainkan teman-teman
sekelas yang dengan tulus memberinya selamat.
“Ah,
Shiina-san, selamat pagi. Tenang saja, kami takkan mengambil Fujimiya-kun darimu,
kok.”
“Bu-Bukan
itu yang kukhawatirkan. Aku hanya merasa kaget saja melihat Amane-kun
dikelilingi seperti ini.”
“Yah,
terakhir kali Amane dikerumuni begini saat ia mengumumkan tentang hubungannya
dengan Mahirun, sih. Aku juga kaget.”
Chitose,
yang datang bersama Mahiru, melihat keributan di sekitar Amane lalu tersenyum
mengejek ke arahnya.
“Kalau Amane
yang dulu melihat ini, pasti ia akan sangat terkejut.”
“Kurasa ia
akan terpaku tanpa bisa berkata apa-apa.”
Amane
sendiri merasa dirinya yang dulu memang dipenuhi aura suram. Tipe seperti
dirinya saat ini pasti akan sulit dipahami bagi dirinya yang dulu. Tapi, Amane
cukup menyukai dirinya yang sekarang.
Meski tak
bisa dikatakan kalau Amane bisa berusaha sepenuhnya untuk berdiri di samping
orang yang paling dicintainya, tapi setidaknya dirinya tidak gampang minderan
seperti dahulu. Dengan mendapatkan kepercayaan diri, Amane merasa memiliki
ruang lebih di dalam hatinya, itulah ekspresi yang paling tepat.
Amane yang
merasakan secara langsung bagaimana cinta bisa mengubah seseorang, merasa malu,
pedih, sekaligus rindu ketika mengingat dirinya di masa lalu.
Setelah
menelan semua itu, Amane hanya tersenyum tipis, membuat Chitose berkata dengan
riang, “Kelihatannya kamu sekarang lebih santai, ya.”
“Amane tuh memang
bisa menjadi contoh yang bagus tentang perubahan seseorang karena mendapatkan
cinta,” ujar Chitose.
“Berisik.
Memangnya kenapa?” balas Amane.
“Bukan
apa-apa, kupikir itu hal yang bagus kok. Menurutku, kamu terlihat lebih
menikmati dirimu sendiri sekarang,” kata Chitose sambil mengetuk-ngetuk pipinya
dengan telunjuk. Saat Amane melirik Mahiru, Mahiru tersenyum lembut sambil
mengangguk.
“Iya, Amane-kun
sekarang tertawa lebih tenang daripada dulu.”
“Benar,
tatapannya saat melihat Shiina-san sudah jelas sekali beda dari dulu.”
“Jika
pasangannya ada;ah Shiina-san, kurasa itu wajar saja. Lagipula, ia sangat
menyayanginya.”
“Bahkan akhir-akhir
ini lebih manja dari Tenshi-sama.”
“...Aku
sudah memahaminya jadi yolong jangan terus-terusan memperhatikan itu. Aku sadar
kalau aku terlalu manis pada Mahiru,” ucap Amane, menyadari bahwa
teman-temannya memang sering memperhatikan sikapnya yang lembut pada Mahiru. Suara
persetujuan dari teman-teman sekelas, baik laki-laki maupun perempuan, bisa terdengar
di sana-sini.
Ketika rasa
malu yang baru perlahan-lahan naik dari dalam dadanya dan membuat sekitar
bibirnya terasa gatal, Chitose tiba-tiba bertepuk tangan dan berkata, “Nah,
cukup segini saja, kalau tidak Amane bisa jadi cemberut lagi, lho.”
Sebenarnya Amane
berpikir, 'Kalau memang mau memberiku ucapan, harusnya kau katakan sejak
awal,' tapi sepertinya Chitose punya caranya tersendiri untuk memberi
selamat kepada Amane.
Chitose pun
tersenyum lebar, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang sudah dibungkus dari dalam
tasnya.
“Jadi,
walaupun satu hari terlambat, ini hadiah dariku dan Ikkun!”
“...Terima
kasih, kamu dan Mahiru sudah banyak mengurusku.”
“Ufufufu.
Tentu saja, aku kan sahabat terbaiknya Mahirun. Aku harus mendukung segala
rencana manis teman tercintaku, ‘kan? Nah, silakan dibuka!”
Dengan suara
yang terdengar lebih bersemangat dari biasanya, Chitose menyerahkan kotak itu kepada
Amane. Kotak hadiah itu ternyata cukup berat.
Jika Itsuki
dan Chitose yang memilihnya, biasanya memang tidak pernah salah. Amane berpikir
kalau mereka takkan memberikan sesuatu yang aneh di saat seperti ini.
Meski
begitu, berat kotak itu membuat Amane jadi penasaran.
“...Boleh
aku tanya isinya apaan?”
“Hee, kammu
yakin ingin bertanya isinya sekarang? Yah, aku tidak keberatan untuk
memberitahumu, sih” ujar Chitose sambil melirik ke arah Mahiru sekilas, membuat
Amane merasa was-was.
“Oi, apa-apaan
maksud tatapanmu itu?”
“Ahaha,
bercanda kok. Isinya tidak berbahaya, kok. Itu hanyalah paket produk mandi,
yang aromanya disukai Mahirun, katanya bagus untuk metabolisme. Bisa kalian
pakai berdua.”
“...Kenapa digunakan
berdua? Bukankah biasanya digunakan oleh satu orang?”
Meskipun
isinya memang bagus, ucapan tambahan Chitose membuat dahi Amane berkerut. Meski
mereka sudah melakukan beberapa kontak fisik, status mereka saat ini masih dalam
‘berpacaran dengan murni’. Jadi, Amane tidak suka jika orang lain
berpikir mereka sudah sedekat itu sampai mandi bersama.
“Orang lain
akan salah paham,” kata Amane sambil mengerutkan keningnya, yang dibalas
Chitose dengan nada tidak puas, “Awww…” dengan cara yang membuatnya
ingin mencubit pipi Mahiru, tapi Ia berhasil menahannya.
“Jangan
mengatakan apa pun yang mungkin disalahpahami orang,” ulang Amane.
“Inilah sebabnya
kamu sebut pengecut.”
“Itsuki,
diamlah.”
“Ya, ya,
tentu saja… Meskipun aku tidak diam saja, aku merasa semua orang sudah tahu
kalian berdua menjadi sangat mesra dan tak terpisahkan… Aduh, oke, aku
mengerti.”
Amane
menekankan tinjunya ke pinggang Itsuki saat Ia berjalan mendekat, sensasi polos
dan keras yang kembali membuatnya merasakan sedikit kekalahan. Namun, setelah
berhasil membungkam Itsuki, Amane menghela nafas dalam-dalam.
“Aku
benar-benar menghargai hadiah dan pemikiran yang kalian berdua berikan, tapi
tolong, jangan katakan apa pun yang tidak seharusnya kamu katakan,” Amane entah
bagaimana berhasil menjaga pipinya agar tidak terbakar rasa malu saat Ia
kembali duduknya dengan hadiah dipegang dengan hati-hati di tangannya.
Itsuki
mengikutinya, meletakkan tangannya di pinggang Amane dengan sikap yang
berlebihan. “Katakan, Amane…” Setelah menjauh dari kelompok teman sekelasnya,
Itsuki mencondongkan tubuh ke dekat telinga Amane.
“Apa?”
“Tidak ada
yang mengatakan bahwa kalian harus mandi bersama. Asumsinya adalah kalian akan
bergiliran jika salah satu dari kalian menginap…”
“…Berisik.”
“Tapi aku
membisikkannya dengan sangat pelan!?”
Amane,
terlambat menyadari bahwa Ia telah menggali kuburannya sendiri, menggigit
bibirnya dan berbalik, sementara Itsuki tertawa dan menampar punggung Amane
untuk menggodanya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Oh, apa
Shiina-san sudah membocorkannya sendiri, ya?”
Sewaktu makan
siang, Amane mengucapkan terima kasih kepada Ayaka karena telah membantu
Mahiru, dan dia membalas senyuman nakalnya. Tanpa mengungkapkannya, Ayaka
diam-diam berkolaborasi dengan Mahiru untuk mengatur perayaan kejutan Mahiru,
yang pada saat yang sama disyukuri oleh Amane , dia juga merasa sedikit
tertipu. Keheningan Ayaka berarti Souji ikut serta, menyiratkan bahwa
keseluruhan acara telah dirahasiakan oleh semua orang yang ambil bagian.
Tingkat
kolaborasi ini tidak diragukan lagi berkat popularitas Mahiru. Meski Amane mau
tak mau harus mengakui pengaruhnya, di dalam hatinya ia mempertanyakan perlunya
rencana rumit seperti itu. Tentu saja, keinginan Mahiru untuk mengejutkan Amane
pastilah menjadi motivasi utamanya.
“Apa kamu
sendiri yang menemukan bahan rahasianya?”
“Kurang
lebih begitu. Menurutku rasanya mirip, itu saja.”
“Jadi wajar
saja kamu langsung mengetahuinya ya. Mungkin kopi di tempat bibiku enak
sekali.”
“…Ngomong-ngomong,
apa yang membuatmu menyarankan kopi pada Mahiru?”
“Oh,
Shiina-san kesulitan menentukan kuenya, jadi saat kami mencari-cari di buku
resep dan majalah, aku menyarankan untuk memasukkan kopi ke dalamnya,” Ayaka
tersenyum.
Sementara
Amane tersenyum pahit, Ia setuju kalau itu enak, jadi Ia hanya mengangguk.
“Dari
kelihatannya, kamu cukup puas dengan hasilnya, jadi semuanya baik-baik saja,
aku yakin Bibi Fumika juga akan merasa senang.”
“…Aku sangat
berterima kasih atas bantuan Owner, tapi apa kita harus memberikan semua
detailnya?”
Mengucapkan
terima kasih atas bantuannya adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Meskipun Ia
masih tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman ini mengingat sifatnya
yang terlalu periang, Amane percaya bahwa menceritakan sebagian dari apa yang
terjadi dengan Fumika tidak dapat dihindari menghadapi kegembiraannya yang tak
terbatas adalah hal yang menakutkan.
Ayaka
sepertinya memahami maksud Amane, karena dia tersenyum sedikit masam dan
bergumam, “Y-Yah, menurutku penjelasan singkat saja sudah cukup. Bibiku bukan
tipe orang yang terlalu banyak mengorek mendalam… mungkin .”
Kata 'mungkin'
itu berhasil menambah kegelisahan Amane, tapi mengingat Fumika bukanlah orang
yang jahat, dan percakapan itu akan menjadi makanan yang baik baginya, Ia pikir
itu akan baik-baik saja selama itu tidak terlalu berlebihan.
“Pokoknya,
terima kasih banyak. Karena sudah berusaha keras untuk orang sepertiku…
meskipun Mahiru akan marah jika aku mengatakan itu.”
“Santai saja~.
Membantu merayakan ulang tahun teman adalah hal yang wajar untuk dilakukan.:
Ayaka
kemudian mengeluarkan sebuah kotak yang agak besar dan terbungkus dari
ranselnya. Kotak itu agak terlalu besar untuk dipegang dengan satu tangan.
Amane sedikit terkejut karena dirinya tidak mengharapkan hadiah darinya.
“Sepertinya kejutanku cukup sukse juga!” Pernyataan cerianya menyadarkannya
kembali ke dunia nyata.
“Ini, ini
dariku dan Sou-chan. Terimalah.”
“Kamu tidak
perlu bersusah payah seperti ini, tapi…terima kasih. Boleh aku bertanya apa
isinya?”
“Protein!”
“Tidak ada
perubahan di sana, ya.”
Respons
energiknya membuat Amane tertawa dan menerima hadiah itu, lalu dengan bangga
Ayaka berseru, "Yang itu enak banget dan daya serapnya tinggi! Bahkan
Sou-chan pun menyetujuinya”, sambil memamerkan wajah puas, yang membuat Amane
tertawa lebih keras lagi.”
Seandainya
Souji bersama mereka, Amane bisa membayangkan dia membalas, “Jangan jadikan aku
sebagai kelinci percobaanmu,” dengan ekspresi jengkel di wajahnya.
Menyadari
apa yang Amane pikirkan, Ayaka tersenyum cerah dan menambahkan, “Jangan
khawatir, Sou-chan berkata 'Yah, protein tetaplah protein, jadi aku yakin itu
baik-baik saja,' padahal dia punya banyak! jangan malu!” Dia mempertahankan
senyum cerianya.
Kedengarannya
seperti eksperimen laboratorium yang mencurigakan, pikir Amane, tapi setelah melihat senyum cerah Ayaka
yang tak terduga, Ia memutuskan untuk menyimpan pikirannya sendiri. Terkadang,
tidak sembarangan bicara merupakan hal yang baik.
“Bagaimanapun,
terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan. Kamu telah banyak membantu,
Kido.”
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Aku ikut campur karena aku menginginkannya, dan
sebenarnya, Sou-chan juga menyuruhku untuk tidak ikut campur.”
“Aku tidak
berpikir kalau kamu terlalu ikut campur. Kamu benar-benar telah banyak membantu
kami.”
“Hmm, tapi
hanya karena aku ingin, jadi kamu jangan terlalu khawatir, Fujimiya-kun.
Ditambah lagi, ada untungnya juga bagiku.”
“Seperti
apa?”
“Heh heh
heh… Jika kamu rukun dengan Sou-chan, suasana hatinya akan lebih baik. Dan saat
suasana hatinya sedang baik, aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk
menyentuh ototnya.”
“…Jadi
begitu.”
Meski Amane
tersenyum kecut melihat motif Ayaka yang nakal dan mementingkan dirinya
sendiri, ada hal lain yang lebih dari yang terlihat, yaitu kualitas yang bisa
diketahui oleh siapa pun yang mengenalnya. Kecenderungan alaminya untuk peduli
pada orang lain terlihat jelas dari interaksi Amane yang terbatas, tampaknya
dia benar-benar menikmati melakukannya.
Terlebih
lagi, Ayaka punya kebiasaan meremehkan bantuannya, mendesak Amane untuk tidak
khawatir akan membalas bantuan apa pun. Oleh karena itu, setelah berterima
kasih atas pertimbangannya, Amane mengangkat bahu dan berkata, “Baiklah, selama
kamu dan Kayano baik-baik saja dengan hal itu, maka menurutku itu tidak masalah.”
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Hari ini cukup
menakjubkan, bukan?”
Setelah
mereka kembali ke rumah dan selesai makan malam, Mahiru menggumamkan ini dengan
nada lembut saat mereka bersantai di sofa bersama.
Amane
mengerti persis apa yang Mahiru maksudkan dan menjawab, “Ya.”
Mahiru
kemudian mengendurkan pipinya karena kegembiraan murni, seolah dia sendirilah
yang dirayakan. Kelegaan, kepuasan, dan kegembiraan. Ekspresinya menunjukkan
kombinasi emosi yang halus saat dia tersenyum pada Amane, membuatnya merasa
sangat malu karena secara tidak sengaja mengalihkan pandangannya ke TV.
Di atas meja
kopi di antara sofa dan TV terdapat sejumlah hadiah yang Amane terima dari
teman-temannya. Dimulai dengan hadiah dari Itsuki, Chitose, dan Ayaka, ia juga
menerima beberapa dari teman sekelas yang belum pernah dekat dengannya, yang
diberikan kepadanya dalam kegembiraan saat ini. Mereka kebanyakan mengambil
makanan ringan dan minuman, tapi Amane merasa malu sekaligus gembira menerima
berkah dari teman-temannya meski berusaha sekuat tenaga untuk tidak
memperlihatkannya. Tahun lalu, tidak ada keriuhan apa pun di kelas karena ia
hanya memberi tahu Itsuki dan Chitose tentang hari ulang tahunnya, jadi sebagai
perbandingan, perayaan yang diterima Amane tahun ini terasa hampir tidak nyata.
Sebagai
seseorang yang biasanya menganggap dirinya acuh tak acuh, Amane tidak terlalu
mendambakan perayaan besar seperti itu. Namun, Ia merasa sangat senang menerima
ucapan selamat ulang tahun seperti itu.
“…Aku tidak
menyangka semua orang akan memberikan ucapan selamat sebesar itu padaku.
Meskipun aku tidak permen rasa nasi jamur enoki itu, sih.”
Mahiru
terkikik. “Secara pribadi, aku sedikit penasaran.”
“Kamu
mungkin membutuhkan sesuatu untuk membersihkan langit-langit mulutmu
setelahnya, itu sudah pasti.”
Mahiru,
dengan rasa penasarannya yang lebih besar akan pengetahuan kuliner, lebih
tertarik pada makanan ringan eksotis dibandingkan Amane. Sementara Amane menghargai
sikapnya, Ia tidak terlalu suka berpetualang dengan seleranya, dengan sopan
menolak makanan yang tidak biasa itu, seolah ingin menebusnya, dirinya malah
diberi permen rasa sup daging sapi, yang tampak seperti kubus kaldu pekat.
Mungkin teman sekelasnya benar-benar ahli dalam pilihan camilan eksentrik ini.
Walaupun
dirinya merasa bingung namun sedikit terhibur dengan hobi tak terduga dari
teman sekelas yang jarang ia ajak bicara, Amane melihat semua hadiah yang
diberikan kepadanya oleh teman dan teman sekelasnya dan sedikit kecemasan mulai
menutupi kegembiraannya.
“…Apa
benar-benar boleh kalau semua orang merayakanku sebegitu meriahnya?” Kata-kata
Amane terucap tanpa diduga.
Ekspresi
lembut Mahiru dengan cepat berubah, digantikan oleh campuran rasa jengkel dan
kegelisahan, menatapnya dengan cemberut samar. “Kenapa kamu tampak begitu
khawatir? Alasan mengapa teman sekelas kita memberi selamat padamu adalah
karena kamu telah berhasil berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan mereka.
Itu semua adalah hasil dari kebaikanmu sendiri, Amane-kun. Paham?”
“Maaf, maaf.
Aku tidak bermaksud merendahkan diri atau apa pun. Entah bagaimana, aku masih
merasa kalau semuanya terasa tidak nyata. Itu saja. Aku biasanya tidak
memberitahu orang-orang mengenai ulang tahunku.”
Amane merasa
kalau dirinya memberi tekapan kepada mereka yang tidak terlalu dekat dengannya
untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu. Dirinya benar-benar merasa senang hanya dengan menerima beberapa kata
ucapan selamat dari mereka.
Ada jauh
lebih banyak orang dibandingkan sebelumnya, jadi kamu tidak bisa menyalahkanku
karena terkejut, itulah pesan yang ingin
disampaikan Amane.
“Hehe, itu
membuktikan bahwa sudah seberapa banyak kamu diakui dan diberkati oleh
orang-orang di sekitarmu, Amane-kun.”
“Yah,
kuharap begitu.”
“Amane-kun.”
Mahiru membalas dengan suara tidak setuju, yang menyebabkan Amane tersenyum
masam. Menghadapi tatapannya yang begitu tegas hingga mendesak, Jangan
meremehkan dirimu sendiri , tidak mungkin dia tetap terperosok dalam
hal-hal negatif.
“Maaf, maaf—aku
tahu… aku merasa senang.”
“Ya… Tolong,
terimalah ucapan selamat mereka dengan tulus.” Mahiru bersandar di lengan atas
Amane dengan senyumnya yang biasa, dan merasakan sedikit tekanan dan beban, Ia
mengendurkan pipinya dan melirik ke arah Mahiru. bahkan bertindak seolah-olah
itu adalah hari istimewanya. Hal ini membuatnya percaya bahwa kegembiraannya
benar-benar tulus.
…Jadi,
kenyataannya, Mahiru menganggap ulang tahun sebagai acara yang harus dirayakan.
Faktanya,
hal ini terutama berlaku jika hari ulang tahun itu milik teman dekat atau
seseorang yang disayanginya. Bahkan jika itu untuk seseorang yang tidak terlalu
dia kenal, Mahiru akan tetap memberikan ucapan selamat yang tulus teringat
bagaimana ulang tahun Mahiru tahun lalu datang dan pergi tanpa adanya perayaan,
duri dingin dan tajam menusuk perasaan hangat dan tidak jelas yang menumpuk di
hatinya sepanjang hari tepatnya, itu adalah peringatan yang mendesaknya untuk
mengevaluasi kembali realitas situasi, dan itu juga menjadi pemicu untuk
mendorong Amane menanyakan pertanyaan tertentu kepada Mahiru.
“Umm…”
“Ya?”
Amane
bermaksud untuk memanggil dengan suara sehalus mungkin, tanpa ada duri atau
tepian kasar, tapi Mahiru, setelah merasakan perubahan halus dalam suaranya,
berhenti bersandar padanya dan menegakkan punggungnya, tidak karena hati-hati
tetapi mungkin untuk mengantisipasi diskusi penting.
Amane
berdehem. “Kamu tahu, um, aku bukan tipe yang gampang menyimpan rahasia, jadi
kamu mungkin akan menyadari sesuatu atau menjadi curiga padaku jika aku mencoba
menyembunyikan sesuatu—dan itu akan berdampak buruk bagiku jika kamu
mengetahuinya. dan tidak senang dengan hal itu. Jadi, kupikir aku akan
memberitahumu terlebih dahulu.”
“Apa itu?”
“Ulang
tahunmu bulan depan, kan?”
“Ah…ya,
setelah kamu menyebutkannya.” Mahiru tampak terkejut seolah hal itu baru saja
terpikir olehnya. Kemudian, setelah beberapa saat merenung, dia terdiam.
Dilihat dari reaksinya yang terlambat, dia benar-benar tidak menyadari ulang
tahunnya sendiri itu murni sebagai peristiwa yang tidak menarik baginya. Itu
bahkan tidak menarik perhatiannya, menyebabkan responsnya tertunda.
Amane
merasakan ketidakpedulian yang luar biasa terhadap dirinya sendiri, yang sulit
untuk dilihatnya. “Bagimu, merayakan ulang tahunmu bukanlah perasaan yang
menyenangkan, bukan?”
“Bukannya
aku menganggapnya tidak menyenangkan… tapi lebih seperti aku benar-benar tidak
peduli tentang hal tersebut.”
Seperti yang
dikatakan Mahiru, dia tidak pernah terlalu peduli dengan hari ulang tahunnya
sendiri. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sudah diketahui Amane sejak ulang
tahunnya yang terakhir, tapi mendengarnya diucapkan secara blak-blakan, bahkan
setelah mereka mulai berpacarab, masih membuatnya merasa sedih.
“Bagiku, itu
hanyalah hari yang menandai bertambahnya usia satu tahun, bukan hari untuk
merayakannya. Aku hampir tidak pernah merayakannya,” Mahiru menjelaskan. “Ah—
Tapi aku senang ketika kamu merayakannya tahun lalu! Aku tidak peduli pada
orang-orang yang merayakan hari itu—sepertinya aku tidak bisa mengurus
masalahku sendiri.” Dia melambaikan tangannya ke udara sebagai tanda terima
kasih. Perayaan kecil yang dia alami tahun lalu masih segar dalam ingatannya.
Menyadari
bahwa Ia telah membuatnya khawatir, Amane merasa sedikit bersalah dan meminta
maaf. “Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu mengatakan semua itu padamu, hari
itu tidak terlalu istimewa.”
Pola asuh
Mahiru dan lingkungan tempat dia dibesarkan, yang sangat disadari oleh Amane,
memperjelas mengapa hari ulang tahunnya sendiri tidak penting baginya, itu saja
tidak cukup.
Meskipun ini
hanya masalah egonya, Amane berharap Mahiru merasa seolah-olah dia benar-benar
dicintai, bahwa dia tidak mendapatkan kebahagiaannya, dan bahwa kelahirannya
adalah peristiwa yang patut dirayakan.
“Um, ini
mungkin hanya keegoisanku sendiri…tapi bagiku, ulang tahunmu adalah hari yang
sangat spesial.”
“Spesial…”
“Sama
seperti kamu menganggap ulang tahunku istimewa, aku juga menganggap ulang
tahunmu lebih istimewa daripada ulang tahun orang lain.”
Amane sudah
mendengar dari banyak orang bahwa Mahiru telah berusaha keras untuk
mempersiapkan ulang tahunnya. Ia juga tahu bahwa perasaan cinta Mahiru padanya
sangat dalam dan tulus, datang dari lubuk hatinya yang paling dalam. Amane tidak ingin menjadi seseorang yang hanya
duduk santai dan menikmati cintanya. Amane berusaha membalas cintanya dengan
jumlah yang sama—jika tidak lebih—untuk semua yang telah diberikan Mahiru
padanya.
“Mahiru, aku
sangat mencintaimu sehingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sangat
bersyukur dan gembira karena kamu dilahirkan ke dunia ini, dan aku akan
selamanya dipenuhi dengan rasa syukur, aku selalu berterima kasih padamu karena
telah dilahirkan, bertemu denganku, dan jatuh cinta padaku… Bagiku, hari
kelahiranmu adalah hari yang sangat istimewa.”
Tidak
diragukan lagi, Mahiru adalah cahaya kehidupan Amane. Hari kedatangannya ke
dunia ini merupakan hari yang sangat istimewa, dan Ia hanya ingin Mahiru
menyadari hal ini.
“Jadi,
uh—kalau menurutmu itu tidak menyenangkan, bolehkah aku juga merayakan ulang
tahunmu? Sama seperti kamu yang merayakan hari ulang tahunku? Bolehkah aku,
dari lubuk hatiku yang paling dalam, mengungkapkan rasa terima kasihku yang
tulus karena kamu dilahirkan ke dunia ini? ”
Amane tidak
akan memaksakan sebuah perayaan tanpa mempertimbangkan keinginan orangnya
sendiri mengenai masalah tersebut. Jika Mahiru merasa tidak nyaman dengan
gagasan itu, Ia akan dengan senang hati memperlakukan hari itu seperti hari
lainnya siap untuk menghentikan topik tersebut dan melanjutkan kehidupan
sehari-hari mereka seperti biasa. Namun, jika Ia setuju dengan ide tersebut,
Amane bertekad untuk merayakannya sebaik mungkin dengan memanfaatkan semua
sumber daya yang dimilikinya orang-orang disekitarnya yang bersyukur atas
kelahirannya.
Sembari
masih menatap lurus ke arahnya, Amane menunggu jawaban Mahiru setelah
mengajukan pertanyaan itu. Segera setelah itu, Ia melihat perubahan pada
ekspresi Mahiru yang berbeda dari beberapa saat sebelumnya—sebuah ekspresi
terkejut pada Amane dengan tidak percaya.
“…Kamu
yakin?” tanya Mahiru.
“Kamu tidak
menentangnya?” balas Amane kembali.
“Tidak,
tidak, tidak sama sekali. Umm, aku sangat senang. Hanya saja, memikirkan orang
sepertiku akan dirayakan…”
“Mahiru,
kamu masih ingat sebelumnya? Bukannya kamu melihatku seolah kamu tidak ingin
aku meremehkan diriku sendiri? Tidak baik kalau kamu melakukan hal yang sama,
tahu.” menunjukkan kebingungan, ketidakpastian, dan kecemasannya—sebelum
menariknya dengan kuat. Sambil menggoda dengan memainkan pipinya, yang tidak
terlalu empuk atau lembek dalam kelembutannya, Amane berusaha dengan lembut
menghilangkan perasaan negatif yang mungkin meresap ke dalam hatinya. Lalu,
suara yang benar-benar konyol, “Owkay, akhu—akhu mengherti…” keluar dari
mulutnya, yang tidak bisa menutup seluruhnya.
Meski Amane
berhati-hati agar tidak menimbulkan rasa sakit, hal itu pasti tetap mengejutkan
Mahiru, karena dia terus menatapnya dengan ekspresi bingung bahkan setelah Ia
melepaskannya. Saat Ia bertanya, “Apa kamu menyadari seberapa berharganya kamu
bagiku sekarang?” warna wajahnya mulai mereda, menunjukkan bahwa dia yang
bermain-main dengan pipinya bukanlah satu-satunya alasan dia terkejut.
Dia bergumam
pelan, namun tanpa kata-kata, “Ah…” dan “Uuu…”, lalu, dengan ragu-ragu, dia
mendongak untuk menghadap Amane.
“…Terima
kasih banyak. Hanya merayakan ulang tahunku olehmu, Amane-kun, sudah membuatku sangat
bahagia… Ini adalah perasaan yang aneh. Aku selalu percaya bahwa ulang tahunku
tidak penting sama sekali.”
“Kalau
begitu, mulai tahun ini dan seterusnya, aku akan memastikan bahwa kamu tidak
lagi punya alasan untuk terus mempercayai hal itu.”
Ketidakpedulian
Mahiru kemungkinan besar berakar pada hubungan rumit yang dia miliki dengan
orang tuanya. Hal tersebut merupakan aspek dari dirinya yang tidak akan pernah
bisa sepenuhnya dihapus Amane, dan juga tidak ingin Ia hapuskan. Ini adalah
bagian dari apa yang membentuk Mahiru menjadi dirinya yang sekarang.
Jelas sekali
bahwa ketidakpedulian ini berasal dari titik lemah dalam dirinya—yang dia tidak
ingin orang lain sentuh. Oleh karena itu, Amane ingin menghapus sikap apatis
yang tampaknya meremehkan ini orang-orang yang menyayanginya, dan mensyukuri
keberadaannya.
“Mengadakan
pesta besar-besaran dengan semua orang… itu bukan gayamu, ‘kan, Mahiru? Mari
kita rayakan dengan tenang, bersama-sama.”
“…Oke.”
Meski mudah
bergaul, Mahiru juga merupakan gadis yang pemalu—atau lebih tepatnya,
waspada—dan karena itu, dia lebih menyukai lingkungan yang tenang bahkan saat
ulang tahunnya. Karena dia memilih untuk tidak memberitahukan hari ulang
tahunnya kepada banyak orang, Amane merasa bahwa merayakannya secara pribadi
akan menjadi ide yang lebih baik. Tampaknya, sekarang, Mahiru tidak segan
memberi tahu teman-teman dekatnya tentang ulang tahunnya yang akan datang.
Percakapan dengannya dan Chitose yang selalu bersemangat bisa menjadi cara yang
bagus untuk mencari cara untuk merayakannya.
Saat Amane
perlahan namun pasti merencanakan pengaturan di masa depan, Ia melihat Mahiru
sedang menatapnya dengan saksama.
Amane tidak
bisa menahan tawa kecilnya. “Kamu benar-benar tidak terbiasa mengadakan pesta
untukmu sendiri ‘kan, Mahiru?
“Ak-Aku
tahu, tapi…”
“Yah, aku
senang kamu sepertinya tidak keberatan dengan ide tersebut… Jadi, itu berarti
aku akan bergerak di belakang layar untuk menyiapkan pesta untukmu sekali ini
saja.
Mahiru
terkikik. “Oke~.”
Setelah
berdiskusi tentang merayakan ulang tahunnya, Amane merasa akan adil jika ia
secara blak-blakan mengumumkan niatnya untuk membuat pengaturan secara rahasia
menyebabkan segala kemungkinan kecemasan tentang perayaan itu, Ia memutuskan
untuk meminta izin atas 'perilaku mencurigakan' yang tak terelakkan.
Sebagai tanggapan, Mahiru mulai terkikik bahagia.
Senyuman
ringan dan suara ceria Mahiru membawa rasa lega bagi Amane, dan Ia mulai
mengelus kepala Mahiru saat Mahiru bersandar pada sentuhan Amane dengan sedikit
rasa membutuhkan.
“Aku akan
melakukan yang terbaik untuk membuatmu sebahagia mungkin. Aku juga akan
berusaha meneliti berbagai hal dari berbagai sudut dan sudut pandang.”
“Dan kamu
membiarkan semua ini terjadi di depan orang itu sendiri?”
“Ah—”
“Hehe.
Sejujurnya, kamu terkadang bisa begitu ceroboh.”
“Aku tidak
bisa berdebat denganmu di bagian situ. Kamu tepat sasaran.”
Usai mendengar
ini, Mahiru terkekeh, tawanya terdengar lembut dan merdu.
“Aku akan
menantikannya.”
“Tentu. Aku
akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi harapanmu.”
“Oke. Kalau
begitu, aku akan menunggu dengan penuh semangat.”
Melihat
Mahiru, yang sebelumnya acuh tak acuh, kini bersemangat menyambut ulang
tahunnya yang akan datang, membuat Amane lebih senang dari apa pun. Dengan
anggukan tegas, Amane memutuskan saat itu juga untuk membuat bulan-bulan yang
tersisa menjadi kenangan tak terlupakan bagi Mahiru.