Chapter 2 — Persiapan Untuk Pesta Perayaan
“Ohh iya… Kalau dipikir-pikir, sekitar
tahun lalu kamu datang kepadaku untuk meminta saran untuk ulang tahun
Shiina-san, kan?”
Mengetahui
bahwa Ia tidak bisa membuat ulang tahun Mahiru menjadi kenangan yang tak
terlupakan, Amane menemui Itsuki, orang kepercayaan terdekatnya, sepulang
sekolah karena tidak satu pun dari mereka yang memiliki pekerjaan paruh waktu
masing-masing hari ini, mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan di sebuah
restoran cepat saji. Amane bukanlah orang yang sembarangan berbicara dengan
orang-orang tentang ulang tahun Mahiru, tapi karena Itsuki sudah membantunya tahun lalu dan
sudah memikirkan rencana kencan yang sulit, Amane tidak ragu-ragu untuk meminta bantuannya.
“Menurutku
Mahiru tidak ingin orang-orang mengetahui kapan hal itu terjadi, jadi jangan disebarkan ke mana-mana.”
“Aku
tahu, aku tahu. Memangnya kamu
menganggapku apaan sih?”
Mungkin karena saat itu sedang sepi untuk urusan bisnis, kentang goreng mereka
sudah lembek dan basah. Itsuki yang mengambil satu kentang goreng dan
mengayunkannya, menunjukkan ekspresi kesal. “Aku tahu
Shiina-san jauh lebih berhati-hati daripada kamu, Amane. Malah, dia tidak
menyukai orang lain...yah, tidak juga. Tapi dia mungkin hanya mengungkapkan
detail pribadinya kepada orang yang dia suka.”
“…Kamu
memahaminya dengan baik.”
“Jangan
menatapku seperti itu—ngeri tau. Tidak perlu cemburu, bung. Kalau dipikir-pikir, dia mirip
dengan Yuuta dan aku dalam hal itu, bukan?”
“Ahhh…
Yah, aku memang melihat kemiripannya.”
Meskipun
sifatnya berbeda dari Mahiru, baik Itsuki maupun Yuuta memiliki kecenderungan
untuk menampilkan wajah ramah sambil mempertahankan penghalang tak kasat mata
antara mereka dan orang lain. Di balik sikap dan gerak-geriknya yang ringan
hati, Itsuki tidak pernah mengungkapkan pikiran batinnya, yang merupakan sebuah
segi tentang dirinya yang dikenal
Amane dengan baik. Dalam kasus Yuuta, mempertahankan ekspresi lembut berfungsi
untuk melindungi dirinya dari pengawasan yang diminta oleh posisinya,
membiarkannya menghindari perhatian pada emosi kuat apa pun yang mungkin dialaminya.
“Iya ‘kan? Jadi, mudah untuk mengetahui
apa yang tidak disukainya. Aku bukan tipe pria picik yang rela mengganggu pacar
temanku sendiri.”
“Aku tahu
itu.”
“Wow! Aku
bisa merasakan kepercayaanmu kepadaku!”
“Kamu
baru menyadarinya sekarang?”
Hal tersebut
seharusnya tidak mengejutkan, terutama fakta bahwa Amane tidak akan pernah
berkonsultasi dengan Itsuki jika Ia tidak memercayainya, namun entah mengapa,
Itsuki mengarahkan tatapan keheranan, ekspresinya bahkan berteriak, Tidak kusangka!
Seperti
biasa, ia terlalu berlebihan, pikir Amane. Saat Ia menatap ke
arah Itsuki yang terlalu lebay,
Ia melihat ekspresi kebingungan muncul di wajahnya, yang kemudian berubah
menjadi sedikit kekhawatiran ini, Amane bertanya, “Apa?” dengan nada yang
sedikit lebih dalam dari biasanya.
“…Kenapa kamu tiba-tiba jujur begitu? Kamu membuatku
khawatir,” jawab Itsuki. “Jujur saja, ada apa?”
“Berhenti
menatapku seolah-olah aku
sedang sakit keras!” balas
Amane.
“Yeeeaah,
baiklah, maksudku….”
“Iya kan~?”
Amane,
yang merasa agak tersinggung dengan tatapan Itsuki yang tidak bisa dipahami,
memelototinya. Namun, percakapan mereka terganggu oleh kedatangan orang lain
yang sepertinya sependapat dengan Itsuki. Karena penasaran, Amane mendongak
untuk melihat siapa yang bergabung dengan mereka.
Seperti
yang Amane duga, di sana berdiri Chitose.
Seringai tipis menghiasi senyuman menawannya.
“…Kamu dengan santainya bergabung dengan kami,
ya,” kata Amane.
“Ya
ampun, karena aku kebetulan melihat kalian berdua diam-diam menyelinap, kupikir aku akan
bergabung juga,” Chitose menjelaskan.
Amane
sadar bahwa Chitose telah meninggalkan sekolah lebih awal untuk menjalankan
beberapa tugas, jadi kemunculannya yang tiba-tiba
cukup mengejutkannya.
Chitose masih tetap menjadi Chitose,
dia mengklarifikasi, “Aku tidak menguntit kalian atau apa pun, oke?” Dia dengan santai duduk di
kursi di sebelah Itsuki, mengambil kentang
goreng, dan melemparkannya ke dalam mulutnya.
“Jadi,
apa yang sedang kalian
bicarakan?”
“Membuat
dirimu nyaman, ya,” komentar Amane.
“Bukannya kamu akan memilih tempat yang
berbeda jika itu adalah sesuatu yang kamu tidak ingin aku dengar? Ikkun sudah
memberitahuku bahwa ia akan berkencan dengan seorang pria, dan karena ia tahu
bahwa aku selalu melewati jalan ini, kamu pasti sudah memulai semuanya hari
ini, kan, Amane? Dan selain itu, setiap kali kamu meminta nasihat,
delapan—tidak, sembilan dari sepuluh, itu tentang Mahirun, bukan?”
Menyadari
bahwa Chitose sangat peka dalam
hal detail yang paling aneh, Amane memiliki keinginan untuk memegangi kepalanya
dengan tangannya. Meski demikian, Amane tahu bahwa dia, seperti Itsuki,
memiliki gambaran yang samar-samar tentang kapan ulang tahun Mahiru dan sudah
berencana untuk meminta bantuan padanya, yang berarti kedatangannya benar-benar
menyelamatkannya dari kerumitan menjelaskan dua kali. Meski begitu, dibaca
seperti buku olehnya membuatnya merasa agak malu, jadi Amane menghela nafas pelan melepaskan
rasa canggung dan geli yang berputar-putar di dalam
dadanya.
Karena
tidak berniat menyembunyikannya darinya, Amane menyatakan, “…Kita sedang
membicarakan tentang ulang tahun Mahiru.”
“Itu, ‘kannnn?” Chitose berkata sambil
tersenyum puas. “Oke, oke; begitu, begitu; jadi kamu
ingin membuat kejutan pada ulang tahun Mahirun, ya.”
“Yah,
sebenarnya bukan kejutan… Aku sudah mendapatkan izin darinya untuk
merayakannya.”
“Kamu
sangat perhatian.”
“Aku
ingin berhati-hati, menghormati, dan mendukung Mahiru.”
Amane
tahu bahwa kejutan terkadang bisa menjadi bumerang, tergantung situasinya. Inti
dari perayaan ini adalah untuk membuat Mahiru bahagia, jadi gagasan untuk
secara tidak sengaja menyebabkan hal sebaliknya meruapakan
sesuatu yang ingin dihindari Amane dengan cara apa pun tentang hari
ulang tahunnya, yang membuatnya semakin berhati-hati.
Oleh
karena itu, Amane ingin memenuhi kesukaan Mahiru semaksimal mungkin.
“Nfufu, dasar Amane bucin.”goda
Chitose.
“Berisik. Terserah kamu mau ngomong apaan.”
“Hyuu~ Kamu benar-benar sudah menjadi bucin! Manis
sekali dan kesemsem~.”
“Itsuki,
tutup mulut dia.”
“Sepertinya
aku tidak punya pilihan. Ini—ambil ini!”
Amane yang mengetahui bahwa membiarkan
Chitose menjadi liar hanya akan membuatnya semakin membabi buta, meminta bantuan
pacarnya, sambil mengangkat bahu berlebihan, sambil bercanda memasukkan segenggam kentang
goreng ke dalam mulut Chitose untuk membuatnya diam. Amane memutuskan untuk tidak
mempedulikan omelan teredam yang keluar dari tenggorokannya meskipun ada
tatapan tajam yang dia kirimkan padanya.
Setelah
mengunyah beberapa saat, Chitose akhirnya menelannya dan langsung mengeluh. “Ya
ampun…” Amane sekali lagi memilih untuk diam.
“Jadi,
apa yang ingin kamu tanyakan pada Ikkun?”
“Oh, uh,
bukannya aku akan meminta bantuannya… Aku hanya belum memutuskan hadiahnya,
jadi aku ingin mendiskusikan beberapa ide dengannya.”
Pertama
dan terpenting, mereka harus memutuskan dan kemudian menyiapkan hadiah. Karena
mungkin perlu waktu untuk mengatur semuanya, Amane tidak bisa menyangkal
perasaan kesalnya bahwa Ia sudah selangkah terlambat dalam mempersiapkan hadiah
ulang tahun Mahiru.
Meski
tangannya sudah sibuk membiasakan diri dengan pekerjaan paruh waktunya, Amane
masih menyesal tidak memulai persiapannya lebih awal.
“Hmm,
tapi bukannya kamu
yang paling mengenalnya?”
“Kamu pacarnya.
Bukankah kalian sering Bersama selama 24/7?”
“24/7 itu terlalu berlebihan, bahkan
bagi kita,” jawab Amane. “Tapi selain itu, ya, kamu benar. Hanya saja Mahiru
tidak terlalu materialistis… Jika ada sesuatu yang menarik perhatiannya, dia
akan mempertimbangkannya dengan hati-hati kelebihan dan kekurangannya sebelum
membelinya…”
“Ahh… Ya,
Mahirun memang punya pola pikir seperti itu,” Chitose setuju, ada sedikit rasa
tidak percaya dalam suaranya “Dia tidak pernah memberi tahu orang lain tentang
apa yang dia inginkan dan malah mencoba mendapatkan sesuatu sendiri. Dia
mungkin mengatakan sesuatu jika itu demi kamu, Amane, tapi dia jarang
mengatakan apa pun jika itu demi dirinya sendiri.”
Mahiru,
kamu tidak harus membuat segalanya tentang aku, tau… Amane mengerutkan
keningnya, mengetahui perasaan Mahiru dari sudut pandang baru membuat Amane merasa
senang sekaligus frustrasi dengan kerendahan hatinya.
“Yah, itu semua yang menjadi alasan mengapa Mahiru
tidak menginginkan banyak hal saat ini.”
“Kamu
memberinya lotion krim
tangan dan boneka tahun lalu, kan?
“Tahun
lalu… Ya, sepertinya dia menyebutkan sesuatu, tapi…”
Mahiru
sebenarnya telah menentukan item yang dia inginkan.
“Hah?
Lalu jika kamu belum melakukannya, bukannya
mendapatkan itu akan membuatnya bahagia? Itu akan menyelesaikan semuanya
sekaligus, ‘kan?”
“Aku tahu
dia belum membelinya, tapi, ehm,
hanya saja…”
“Hanya
apa?”
“Dia menginginkan batu asahan.”
““Apa?””
“Batu
asahan.”
Dihadapkan
pada sebuah kata yang begitu jauh terpisah
dari dunia anak SMA,
Itsuki dan Chitose terdiam bersamaan. Pikiran mereka berpacu untuk mencari tahu
apa arti kata 'batu asah' ini.
Ya,
biasanya seseorang
tidak menginginkan
batu asahan…
Kecuali kamu menghabiskan banyak waktu
untuk memasak, batu asahan jarang menjadi topik pembicaraan.
Setelah
memikirkannya selama lima detik, Chitose melirik ke arahnya dan menggerakkan
bibirnya, jelas-jelas bingung. “Benda itu yang kamu gunakan setiap malam untuk
mengasah pisau?”
“Tidak
setiap malam, tapi ya, memang itulah
yang terjadi.” Amane yakin bahwa melihat seseorang diam-diam mengasah pisau di
tengah malam akan mengejutkan siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Amane
sebenarnya pernah melihat Mahiru menggunakan batu asahnya sebelumnya, dan dia
bahkan kadang-kadang membawa batu asahan ke apartemen Amane untuk mengasah
pisaunya. Cara dia mengasah pisau dengan tatapan tajam dan fokus membuatnya
teringat pada pekerjaan yang dilakukan oleh pengrajin profesional. Setiap kali
Amane melihat pemandangan itu, Ia akan
melihat ke arah kejauhan,
merasa seolah-olah itu merupakan kegiatan di
luar apa yang dilakukan gadis SMA pada umumnya.
“…Dia
pasti fokus menginginkan sesuatu yang sangat praktis.” Chitose juga menatap ke
kejauhan, mungkin membayangkan hal yang sama yang membuat Itsuki lengah,
membuatnya tercengang.
“Waktu itu, dia bilang kalau batu asah
itu mahal, jadi dia tidak langsung membutuhkannya. Batu asah itu bisa bertahan
seumur hidup, tapi dia tidak merasa perlu membeli yang baru,” jelas Amane.
“…Shiina-san
terkadang bisa sangat aneh, ya.”
“Yah,
Mahiru tidak seperti gadis SMA pada umumnya dalam hal seperti ini.”
“Di sisi
lain, Chi gampang sekali terbaca.”
"Aha
ha, hiya! Hanya gadis SMA pada umumnya di
sini! Aku pandai dalam
hal makanan, barang sehari-hari, atau sekadar barang yang bisa aku gunakan. Oh,
dan mungkin kosmetik juga.”
“Tapi
kamu akan merasa canggung jika aku mencoba memberimu beberapa, bukan?” kata
Itsuki.
“Sebagai
seorang gadis, senang menerima kosmetik dari orang lain, tapi itu bisa menjadi
sedikit pertaruhan. Sulit menggunakannya jika memilih warna yang salah, dan aku
tidak ingin orang lain melihatku memakai warna itu membuatku terlihat aneh.
Karena aku lebih suka memilih kosmetik berdasarkan apa yang aku suka, bagaimana
rasanya, dan apa yang sudah aku miliki, mendapatkannya dari orang lain rasanya
tidak terlalu ideal. Lain cerita jika mereka sudah meneliti dan benar-benar
memahami apa yang aku inginkan.”
“Sekarang
aku semakin khawatir tentang apa yang harus kubeli untuknya.” Amane sudah tahu
bahwa warna yang berbeda cocok untuk orang yang berbeda. Namun, Ia dihadapkan
pada kenyataan bahwa memilih warna untuk seseorang ternyata sangat sulit. Hal tersebut berlaku juga pada dirinya karena
Mahiru tidak pernah mengungkapkan keinginannya untuk kosmetik, Amane belum
mengerjakan pekerjaan rumahnya tentang topik tersebut, karena Ia yakin Mahiru
akan terlihat memukau dalam pakaian apa pun Mahiru juga telah menyebutkan
sesuatu kepada Chitose.
Amane
tidak mau repot-repot menyembunyikan kekecewaannya karena ide hadiah potensial
lainnya dengan cepat gagal.
Menyadari
reaksi Mahirun, Chitose menghela nafas. “Menurutku menjadi cantik alami juga
ada sisi buruknya. Sejujurnya, menurutku Mahirun akan senang dengan apa pun
yang kamu berikan padanya, tapi sebenarnya bukan itu yang kamu inginkan,
bukan?”
“Ya,
itulah yang jadi masalahnya. Aku bisa
mengatakan dengan yakin kalau
Mahiru akan menghargai apa pun yang kuberikan padanya...tapi bukan itu yang
kuinginkan. Dia hanya akan senang dan menghargai hadiah itu karena dia
mendapatkannya dariku, belum tentu karena dia
menginginkan hadiah tersebut. Ini adalah acara spesial. Aku
ingin memberi Mahiru sesuatu yang membuatnya
senang saat senang menerimanya. Jika aku melakukan itu, dia
akan merasa bahagia dua kali lipat, ‘kan?”
Amane
mengerti seberapa besar Mahiru
sangat mencintainya. Tanpa berniat menyombongkan
diri, Ia tahu bahwa Mahiru akan bahagia dengan apa pun
yang Ia pilih untuk diberikan padanya itu adalah sesuatu yang dia berikan
padanya. Amane ingin
nilai hadiah itu ada di dalam hadiah itu sendiri, bukan karena dialah yang
memberikannya padanya.
“…Aku
merasa cintamu lebih dalam dari pada lautan.”
“Sedalam palung?”
“Itu
masih dalam lautan,” balas Amane. “Dan juga, jangan menggodaku.”
“Benar juga. Kalau begitu, aku minta maaf.”
Setelah
memarahi pasangan yang selalu mengambil kesempatan untuk menggodanya, Amane
menghela nafas sambil menolak pilihan yang mungkin untuk hadiah Mahiru.
“…Jadi,
ya, itu sebabnya aku masih bingung harus berbuat apa,” Amane memulai. “Seperti
yang sudah kubilang sebelumnya, Mahiru tidak
terlalu menginginkan hal-hal materi. Dia bahkan tidak menyebutkan apa yang dia
inginkan dariku.”
“Kamu tahu, aku belum pernah melihat
Mahirun mengatakan dia menginginkan ini atau itu. Dia hanya mengatakan 'Ini
bagus, bukan?' kesan yang bagus tentang itu.”
“Ya,
tepat sekali. Aku agak bingung… Bahkan ketika
dia pergi jalan-jalan
denganmu, sesama wanita, ceritanya sama. Menjadi pacarnya bukan berarti aku
bisa menyelidiki setiap hal kecil tentangnya. Dan selain itu…jika Mahiru
menemukan sesuatu yang benar-benar ingin dia beli…atau merasa perlu membeli,
maka dia akan langsung membelinya.”
Mahiru
bukanlah orang yang mengejar harta benda yang bersifat materialistis. Dia
adalah orang yang hemat, namun pada saat yang sama, mampu dengan tegas membeli
barang-barang jika dia menganggapnya perlu hadiah untuknya sebagai pacarnya
cukup menantang.
“Ah…
Benar, meski Mahirun tidak membeli barang-barang yang tidak dia perlukan,
ketika dia memang membutuhkan sesuatu, dia tidak membuang waktu untuk
mendapatkannya.”
“Ya,
Shiina-san tampaknya cukup tegas tentang hal itu. Hmm, sesuatu yang ingin dia
dapatkan… Bagaimana dengan barang serasian?”
“Oh, itu
mungkin bagus. Dia mungkin tidak akan keberatan jika itu adalah sesuatu yang
bisa kamu gunakan di rumah.”
"...Berkat
saran seseorang, kami sudah punya piyama yang serasi, dan kami sudah membeli
piring dan peralatan makan bersama. Mahiru tidak tertarik untuk memiliki
gantungan kunci yang bergemerincing, dan aku sudah memberikan perhiasannya selama White Day kemarin. Itu
sebabnya, um…Aku ingin menyimpan barang yang bisa dpakai lainnya untuk tahun
depan…”
“Ups, aku
lupa kalian berdua sudah secara harfiah tinggal
bersama,” kata Chitose.
Amane
menjawab dengan terus terang.
“Maksudmu masih belum, ‘kan?”
“…Tidak
ada komentar.”
“Waduh, waduh~!”
“Diam.
Kamu terlalu berisik.”
“Tapi aku
bahkan belum mengatakan apa pun, kamu—.”
“Wajahmu
cukup keras. Jangan jadikan percakapan ini sebagai rutinitas.”
“Tapi
bukannya kamu yang membalasnya?”
“Dan memangnya itu salah siapa?”
“Sudah, sudah,”
Itsuki menyela percakapan. “Jangan
terlalu marah.”
Hal itu tidak
dapat disangkal bahwa mereka berdua bersalah. Karena ingin menghindari
membuang-buang waktu untuk bolak-balik yang tidak produktif, Amane menelan
keluhannya dan mengalihkan perhatiannya kembali ke Chitose, yang diam-diam
mengambil kentang goreng Itsuki yang sekarang sudah dingin.
“Ngomong-ngomong,
kamu masih belum memutuskan hadiahnya.”
"Jika
memilih itu mudah, maka aku tidak akan berjuang seperti ini. Dalam situasi
seperti inilah aku sebenarnya menyesali cara Mahiru begitu tegas dan tidak
menyukai hal-hal yang materialistis."
“Tetap
saja, hadiah, eh…? Tujuannya adalah memberikan Shiina-san sesuatu yang akan
membuatnya bahagia, kan?”
“Ya.”
“Jadi,
apa memang harus berupa benda sungguhan?”
“…Tidak terlalu juga.”
Amane
telah berkonsultasi dengan Chitose dan Itsuki dengan harapan menemukan hadiah
nyata yang akan meninggalkan kesan mendalam. Namun, hadiah itu tidak harus
berupa barang fisik.
“Lalu
bagaimana dengan ini? Mungkin kamu
bisa melakukan sesuatu yang dia ingin lakukan, atau membawanya ke suatu tempat
yang ingin dia kunjungi
.”
“…Ide bagus.”
Tujuan
utama Amane adalah untuk membuat Mahiru bahagia di hari ulang tahunnya, tapi Ia
sekarang menyadari bahwa Ia mungkin terlalu fokus dalam memilih barang untuk
diberikan padanya daripada mengabulkan permintaan yang mungkin dia berikan.
Aku
harusnya lebih memahami keinginan Mahiru sebelum memutuskan, pikir Amane.
Meskipun dirinya ingin memberinya hadiah, Amane menyadari bahwa Ia mungkin akan
memberi Mahiru hadiah yang menurutnya diinginkan
Mahiru, bukan hadiah yang benar-benar Mahiru harapkan.
“Jadi,
kalian berdua bilang aku harus menggali lebih dalam untuk mencari tahu apa yang
sebenarnya diinginkan Mahirun?”
“Ya.
Silakan lakukan.”
“Heh
heh—serahkan saja padaku.
Tenang saja dan pastikan kamu sudah siap.”
“Ya,
sekarang aku khawatir.”
“Kejam,
banget!?”
“Maaf
maaf. Terima kasih, Chitose.”
“Sama-sama!”
Chitose yang angkuh tampak senang dikamulkan, yang hanya meningkatkan
semangatnya. Hal ini membuatnya dengan sombong menyemangati, “Hohoho, kamu bisa
lebih bergantung dan menghormatiku jika kamu mau!”
Amane segera memutuskan untuk mengabaikannya. Ia tahu dari pengalaman bahwa
tidak berkomentar adalah strategi paling efektif untuk menghadapinya.
Benar
saja, Chitose mulai cemberut. Tapi yang menarik perhatian Amane adalah Itsuki,
yang, dengan senyum sedih, berbisik, “Kamu juga selalu bisa mengandalkanku, tahu?”.
“Aku
sudah banyak mengandalkanmu, kok.”
“Ah, itu karena Ikkun merasa khawatir dengan masalah pekerjaanmu, jadi…”
“Apa—?
Dasar bodoh—!” Itsuki tergagap.
“Ini
mengejutkan, tapi kamu pun punya momen seperti ini, ya…”
Ekspresi
wajah Itsuki menunjukkan bahwa Ia diam-diam merasa terganggu dengan Ayaka yang
menghajarnya habis-habisan saat menawarkan nasihat kepada Amane tentang
pekerjaan paruh waktu. Merasa seolah-olah Ia ditusuk dari belakang, Itsuki
mengeluh kepada Chitose dengan suara yang sedikit tegang, “Kenapa kamu berbalik
melawanku juga, Chi?” Namun, Chitose melihat ini sebagai kesempatan besar untuk
menggodanya. Seringai nakal khasnya, yang biasanya dia tunjukkan kepada orang
lain, kini ditujukan pada Itsuki.
“Ya
ampun, aku berbalik melawanmu? Tapi aku ada di sana untuk menghiburmu saat kamu
ngambek~!”
“Chi…”
“Bergembiralah,
Itsuki. Aku datang kepadamu terlebih dahulu untuk meminta nasihat kali ini.”
“Aku
tidak tahu bagaimana perasaanmu jika kamu mengira aku kesal!”
“Kalau
begitu, apa suasana hatimu sedang bagus?”
“Tidak,
karena kalian berdua sedang meledekku!”
Saat
Itsuki perlahan-lahan menjadi malu dan berbalik, Amane dan Chitose menyadari
bahwa telinganya agak merah. Mereka tertawa kecil—Amane dengan ringan menepuk
dahi Itsuki, sementara Chitose memberinya dorongan lembut di bahunya.
“Jadi, apa kamu mengerti perasaanku
sekarang?” Amane bertanya.
“Ugh… aku
akan berusaha lebih sedikit berhati-hati
mulai sekarang…” keluh Itsuki.
“Bukan
hanya 'sedikit', idiot. Pastikan kamu beneran berhati-hati”
“Ayolah,
jangan terlalu marah~,” sela Chitose.
“Kamu
juga, tau.”
“*hiks* Kamu
jahat sekali! Ikkun, Amane merundungku!”
“Kamu
mengkhianatiku sebelumnya, jadi terserahlah.”
“Apaaaa!?” Kali ini, Itsuki lah yang
menusuk Chitose dari belakang. Setelah melihat Chitose dengan keras kepala
memegang bahu Itsuki untuk menggoyangkan tubuhnya, Amane tidak bisa menahan
tawanya melihat tingkah laku pasangan yang ada di hadapannya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya