Otonari no Tenshi-sama Jilid 9 Bab 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — Persiapan Untuk Pesta Perayaan

 

“Ohh iya… Kalau dipikir-pikir, sekitar tahun lalu kamu datang kepadaku untuk meminta saran untuk ulang tahun Shiina-san, kan?”

Mengetahui bahwa Ia tidak bisa membuat ulang tahun Mahiru menjadi kenangan yang tak terlupakan, Amane menemui Itsuki, orang kepercayaan terdekatnya, sepulang sekolah karena tidak satu pun dari mereka yang memiliki pekerjaan paruh waktu masing-masing hari ini, mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan di sebuah restoran cepat saji. Amane bukanlah orang yang sembarangan berbicara dengan orang-orang tentang ulang tahun Mahiru, tapi karena Itsuki sudah membantunya tahun lalu dan sudah memikirkan rencana kencan yang sulit, Amane tidak ragu-ragu untuk meminta bantuannya.

“Menurutku Mahiru tidak ingin orang-orang mengetahui kapan hal itu terjadi, jadi jangan disebarkan ke mana-mana.”

“Aku tahu, aku tahu. Memangnya kamu menganggapku apaan sih?” Mungkin karena saat itu sedang sepi untuk urusan bisnis, kentang goreng mereka sudah lembek dan basah. Itsuki yang mengambil satu kentang goreng dan mengayunkannya, menunjukkan ekspresi kesal. “Aku tahu Shiina-san jauh lebih berhati-hati daripada kamu, Amane. Malah, dia tidak menyukai orang lain...yah, tidak juga. Tapi dia mungkin hanya mengungkapkan detail pribadinya kepada orang yang dia suka.”

“…Kamu memahaminya dengan baik.”

“Jangan menatapku seperti itungeri tau. Tidak perlu cemburu, bung. Kalau dipikir-pikir, dia mirip dengan Yuuta dan aku dalam hal itu, bukan?”

“Ahhh… Yah, aku memang melihat kemiripannya.”

Meskipun sifatnya berbeda dari Mahiru, baik Itsuki maupun Yuuta memiliki kecenderungan untuk menampilkan wajah ramah sambil mempertahankan penghalang tak kasat mata antara mereka dan orang lain. Di balik sikap dan gerak-geriknya yang ringan hati, Itsuki tidak pernah mengungkapkan pikiran batinnya, yang merupakan sebuah segi tentang dirinya yang dikenal Amane dengan baik. Dalam kasus Yuuta, mempertahankan ekspresi lembut berfungsi untuk melindungi dirinya dari pengawasan yang diminta oleh posisinya, membiarkannya menghindari perhatian pada emosi kuat apa pun yang mungkin dialaminya.

Iya ‘kan? Jadi, mudah untuk mengetahui apa yang tidak disukainya. Aku bukan tipe pria picik yang rela mengganggu pacar temanku sendiri.”

“Aku tahu itu.”

“Wow! Aku bisa merasakan kepercayaanmu kepadaku!”

“Kamu baru menyadarinya sekarang?”

Hal tersebut seharusnya tidak mengejutkan, terutama fakta bahwa Amane tidak akan pernah berkonsultasi dengan Itsuki jika Ia tidak memercayainya, namun entah mengapa, Itsuki mengarahkan tatapan keheranan, ekspresinya bahkan berteriak, Tidak kusangka!

Seperti biasa, ia terlalu berlebihan, pikir Amane. Saat Ia menatap ke arah Itsuki yang terlalu lebay, Ia melihat ekspresi kebingungan muncul di wajahnya, yang kemudian berubah menjadi sedikit kekhawatiran ini, Amane bertanya, “Apa?” dengan nada yang sedikit lebih dalam dari biasanya.

“…Kenapa kamu tiba-tiba jujur begitu? Kamu membuatku khawatir,” jawab Itsuki. “Jujur saja, ada apa?”

“Berhenti menatapku seolah-olah aku sedang sakit keras!” balas Amane.

“Yeeeaah, baiklah, maksudku….”

Iya kan~?”

Amane, yang merasa agak tersinggung dengan tatapan Itsuki yang tidak bisa dipahami, memelototinya. Namun, percakapan mereka terganggu oleh kedatangan orang lain yang sepertinya sependapat dengan Itsuki. Karena penasaran, Amane mendongak untuk melihat siapa yang bergabung dengan mereka.

Seperti yang Amane duga, di sana berdiri Chitose. Seringai tipis menghiasi senyuman menawannya.

“…Kamu dengan santainya bergabung dengan kami, ya,” kata Amane.

“Ya ampun, karena aku kebetulan melihat kalian berdua diam-diam menyelinap, kupikir aku akan bergabung juga,” Chitose menjelaskan.

Amane sadar bahwa Chitose telah meninggalkan sekolah lebih awal untuk menjalankan beberapa tugas, jadi kemunculannya yang tiba-tiba cukup mengejutkannya.

Chitose masih tetap menjadi Chitose, dia mengklarifikasi, “Aku tidak menguntit kalian atau apa pun, oke?” Dia dengan santai duduk di kursi di sebelah Itsuki, mengambil kentang goreng, dan melemparkannya ke dalam mulutnya.

“Jadi, apa yang sedang kalian bicarakan?”

“Membuat dirimu nyaman, ya,” komentar Amane.

“Bukannya kamu akan memilih tempat yang berbeda jika itu adalah sesuatu yang kamu tidak ingin aku dengar? Ikkun sudah memberitahuku bahwa ia akan berkencan dengan seorang pria, dan karena ia tahu bahwa aku selalu melewati jalan ini, kamu pasti sudah memulai semuanya hari ini, kan, Amane? Dan selain itu, setiap kali kamu meminta nasihat, delapan—tidak, sembilan dari sepuluh, itu tentang Mahirun, bukan?”

Menyadari bahwa Chitose sangat peka dalam hal detail yang paling aneh, Amane memiliki keinginan untuk memegangi kepalanya dengan tangannya. Meski demikian, Amane tahu bahwa dia, seperti Itsuki, memiliki gambaran yang samar-samar tentang kapan ulang tahun Mahiru dan sudah berencana untuk meminta bantuan padanya, yang berarti kedatangannya benar-benar menyelamatkannya dari kerumitan menjelaskan dua kali. Meski begitu, dibaca seperti buku olehnya membuatnya merasa agak malu, jadi Amane menghela nafas pelan melepaskan rasa canggung dan geli yang berputar-putar di dalam dadanya.

Karena tidak berniat menyembunyikannya darinya, Amane menyatakan, “…Kita sedang membicarakan tentang ulang tahun Mahiru.”

Itu, ‘kannnn?” Chitose berkata sambil tersenyum puas. “Oke, oke; begitu, begitu; jadi kamu ingin membuat kejutan pada ulang tahun Mahirun, ya.”

“Yah, sebenarnya bukan kejutan… Aku sudah mendapatkan izin darinya untuk merayakannya.”

“Kamu sangat perhatian.”

“Aku ingin berhati-hati, menghormati, dan mendukung Mahiru.”

Amane tahu bahwa kejutan terkadang bisa menjadi bumerang, tergantung situasinya. Inti dari perayaan ini adalah untuk membuat Mahiru bahagia, jadi gagasan untuk secara tidak sengaja menyebabkan hal sebaliknya meruapakan sesuatu yang ingin dihindari Amane dengan cara apa pun tentang hari ulang tahunnya, yang membuatnya semakin berhati-hati.

Oleh karena itu, Amane ingin memenuhi kesukaan Mahiru semaksimal mungkin.

“Nfufu, dasar Amane bucin.”goda Chitose.

Berisik. Terserah kamu mau ngomong apaan.

Hyuu~ Kamu benar-benar sudah menjadi bucin! Manis sekali dan kesemsem~.”

“Itsuki, tutup mulut dia.”

“Sepertinya aku tidak punya pilihan. Ini—ambil ini!”

Amane yang mengetahui bahwa membiarkan Chitose menjadi liar hanya akan membuatnya semakin membabi buta, meminta bantuan pacarnya, sambil mengangkat bahu berlebihan, sambil bercanda memasukkan segenggam kentang goreng ke dalam mulut Chitose untuk membuatnya diam. Amane memutuskan untuk tidak mempedulikan omelan teredam yang keluar dari tenggorokannya meskipun ada tatapan tajam yang dia kirimkan padanya.

Setelah mengunyah beberapa saat, Chitose akhirnya menelannya dan langsung mengeluh. “Ya ampun…” Amane sekali lagi memilih untuk diam.

“Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan pada Ikkun?”

“Oh, uh, bukannya aku akan meminta bantuannya… Aku hanya belum memutuskan hadiahnya, jadi aku ingin mendiskusikan beberapa ide dengannya.”

Pertama dan terpenting, mereka harus memutuskan dan kemudian menyiapkan hadiah. Karena mungkin perlu waktu untuk mengatur semuanya, Amane tidak bisa menyangkal perasaan kesalnya bahwa Ia sudah selangkah terlambat dalam mempersiapkan hadiah ulang tahun Mahiru.

Meski tangannya sudah sibuk membiasakan diri dengan pekerjaan paruh waktunya, Amane masih menyesal tidak memulai persiapannya lebih awal.

“Hmm, tapi bukannya kamu yang paling mengenalnya?

“Kamu pacarnya. Bukankah kalian sering Bersama selama 24/7?”

“24/7 itu terlalu berlebihan, bahkan bagi kita,” jawab Amane. “Tapi selain itu, ya, kamu benar. Hanya saja Mahiru tidak terlalu materialistis… Jika ada sesuatu yang menarik perhatiannya, dia akan mempertimbangkannya dengan hati-hati kelebihan dan kekurangannya sebelum membelinya…”

“Ahh… Ya, Mahirun memang punya pola pikir seperti itu,” Chitose setuju, ada sedikit rasa tidak percaya dalam suaranya “Dia tidak pernah memberi tahu orang lain tentang apa yang dia inginkan dan malah mencoba mendapatkan sesuatu sendiri. Dia mungkin mengatakan sesuatu jika itu demi kamu, Amane, tapi dia jarang mengatakan apa pun jika itu demi dirinya sendiri.”

Mahiru, kamu tidak harus membuat segalanya tentang aku, tau… Amane mengerutkan keningnya, mengetahui perasaan Mahiru dari sudut pandang baru membuat Amane merasa senang sekaligus frustrasi dengan kerendahan hatinya.

“Yah, itu semua yang menjadi alasan mengapa Mahiru tidak menginginkan banyak hal saat ini.”

“Kamu memberinya lotion krim tangan dan boneka tahun lalu, kan?

“Tahun lalu… Ya, sepertinya dia menyebutkan sesuatu, tapi…”

Mahiru sebenarnya telah menentukan item yang dia inginkan.

Hah? Lalu jika kamu belum melakukannya, bukannya mendapatkan itu akan membuatnya bahagia? Itu akan menyelesaikan semuanya sekaligus, kan?

“Aku tahu dia belum membelinya, tapi, ehm, hanya saja…”

Hanya apa?

Dia menginginkan batu asahan.”

““Apa?””

“Batu asahan.”

Dihadapkan pada sebuah kata yang begitu jauh terpisah dari dunia anak SMA, Itsuki dan Chitose terdiam bersamaan. Pikiran mereka berpacu untuk mencari tahu apa arti kata 'batu asah' ini.

Ya, biasanya seseorang tidak menginginkan batu asahan…

Kecuali kamu menghabiskan banyak waktu untuk memasak, batu asahan jarang menjadi topik pembicaraan.

Setelah memikirkannya selama lima detik, Chitose melirik ke arahnya dan menggerakkan bibirnya, jelas-jelas bingung. “Benda itu yang kamu gunakan setiap malam untuk mengasah pisau?”

“Tidak setiap malam, tapi ya, memang itulah yang terjadi.” Amane yakin bahwa melihat seseorang diam-diam mengasah pisau di tengah malam akan mengejutkan siapa pun, termasuk dirinya sendiri.

Amane sebenarnya pernah melihat Mahiru menggunakan batu asahnya sebelumnya, dan dia bahkan kadang-kadang membawa batu asahan ke apartemen Amane untuk mengasah pisaunya. Cara dia mengasah pisau dengan tatapan tajam dan fokus membuatnya teringat pada pekerjaan yang dilakukan oleh pengrajin profesional. Setiap kali Amane melihat pemandangan itu, Ia akan melihat ke arah kejauhan, merasa seolah-olah itu merupakan kegiatan di luar apa yang dilakukan gadis SMA pada umumnya.

“…Dia pasti fokus menginginkan sesuatu yang sangat praktis.” Chitose juga menatap ke kejauhan, mungkin membayangkan hal yang sama yang membuat Itsuki lengah, membuatnya tercengang.

Waktu itu, dia bilang kalau batu asah itu mahal, jadi dia tidak langsung membutuhkannya. Batu asah itu bisa bertahan seumur hidup, tapi dia tidak merasa perlu membeli yang baru,” jelas Amane.

“…Shiina-san terkadang bisa sangat aneh, ya.”

“Yah, Mahiru tidak seperti gadis SMA pada umumnya dalam hal seperti ini.”

“Di sisi lain, Chi gampang sekali terbaca.”

"Aha ha, hiya! Hanya gadis SMA pada umumnya di sini! Aku pandai dalam hal makanan, barang sehari-hari, atau sekadar barang yang bisa aku gunakan. Oh, dan mungkin kosmetik juga.

Tapi kamu akan merasa canggung jika aku mencoba memberimu beberapa, bukan?” kata Itsuki.

“Sebagai seorang gadis, senang menerima kosmetik dari orang lain, tapi itu bisa menjadi sedikit pertaruhan. Sulit menggunakannya jika memilih warna yang salah, dan aku tidak ingin orang lain melihatku memakai warna itu membuatku terlihat aneh. Karena aku lebih suka memilih kosmetik berdasarkan apa yang aku suka, bagaimana rasanya, dan apa yang sudah aku miliki, mendapatkannya dari orang lain rasanya tidak terlalu ideal. Lain cerita jika mereka sudah meneliti dan benar-benar memahami apa yang aku inginkan.”

“Sekarang aku semakin khawatir tentang apa yang harus kubeli untuknya.” Amane sudah tahu bahwa warna yang berbeda cocok untuk orang yang berbeda. Namun, Ia dihadapkan pada kenyataan bahwa memilih warna untuk seseorang ternyata sangat sulit. Hal tersebut berlaku juga pada dirinya karena Mahiru tidak pernah mengungkapkan keinginannya untuk kosmetik, Amane belum mengerjakan pekerjaan rumahnya tentang topik tersebut, karena Ia yakin Mahiru akan terlihat memukau dalam pakaian apa pun Mahiru juga telah menyebutkan sesuatu kepada Chitose.

Amane tidak mau repot-repot menyembunyikan kekecewaannya karena ide hadiah potensial lainnya dengan cepat gagal.

Menyadari reaksi Mahirun, Chitose menghela nafas. “Menurutku menjadi cantik alami juga ada sisi buruknya. Sejujurnya, menurutku Mahirun akan senang dengan apa pun yang kamu berikan padanya, tapi sebenarnya bukan itu yang kamu inginkan, bukan?”

Ya, itulah yang jadi masalahnya. Aku bisa mengatakan dengan yakin kalau Mahiru akan menghargai apa pun yang kuberikan padanya...tapi bukan itu yang kuinginkan. Dia hanya akan senang dan menghargai hadiah itu karena dia mendapatkannya dariku, belum tentu karena dia menginginkan hadiah tersebut. Ini adalah acara spesial. Aku ingin memberi Mahiru sesuatu yang membuatnya senang saat senang menerimanya. Jika aku melakukan itu, dia akan merasa bahagia dua kali lipat, ‘kan?”

Amane mengerti seberapa besar Mahiru sangat mencintainya. Tanpa berniat menyombongkan diri, Ia tahu bahwa Mahiru akan bahagia dengan apa pun yang Ia pilih untuk diberikan padanya itu adalah sesuatu yang dia berikan padanya. Amane ingin nilai hadiah itu ada di dalam hadiah itu sendiri, bukan karena dialah yang memberikannya padanya.

“…Aku merasa cintamu lebih dalam dari pada lautan.”

Sedalam palung?”

“Itu masih dalam lautan,” balas Amane. “Dan juga, jangan menggodaku.”

Benar juga. Kalau begitu, aku minta maaf.”

Setelah memarahi pasangan yang selalu mengambil kesempatan untuk menggodanya, Amane menghela nafas sambil menolak pilihan yang mungkin untuk hadiah Mahiru.

“…Jadi, ya, itu sebabnya aku masih bingung harus berbuat apa,” Amane memulai. “Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, Mahiru tidak terlalu menginginkan hal-hal materi. Dia bahkan tidak menyebutkan apa yang dia inginkan dariku.”

“Kamu tahu, aku belum pernah melihat Mahirun mengatakan dia menginginkan ini atau itu. Dia hanya mengatakan 'Ini bagus, bukan?' kesan yang bagus tentang itu.”

Ya, tepat sekali. Aku agak bingung… Bahkan ketika dia pergi jalan-jalan denganmu, sesama wanita, ceritanya sama. Menjadi pacarnya bukan berarti aku bisa menyelidiki setiap hal kecil tentangnya. Dan selain itu…jika Mahiru menemukan sesuatu yang benar-benar ingin dia beli…atau merasa perlu membeli, maka dia akan langsung membelinya.”

Mahiru bukanlah orang yang mengejar harta benda yang bersifat materialistis. Dia adalah orang yang hemat, namun pada saat yang sama, mampu dengan tegas membeli barang-barang jika dia menganggapnya perlu hadiah untuknya sebagai pacarnya cukup menantang.

“Ah… Benar, meski Mahirun tidak membeli barang-barang yang tidak dia perlukan, ketika dia memang membutuhkan sesuatu, dia tidak membuang waktu untuk mendapatkannya.”

“Ya, Shiina-san tampaknya cukup tegas tentang hal itu. Hmm, sesuatu yang ingin dia dapatkan… Bagaimana dengan barang serasian?”

“Oh, itu mungkin bagus. Dia mungkin tidak akan keberatan jika itu adalah sesuatu yang bisa kamu gunakan di rumah.”

"...Berkat saran seseorang, kami sudah punya piyama yang serasi, dan kami sudah membeli piring dan peralatan makan bersama. Mahiru tidak tertarik untuk memiliki gantungan kunci yang bergemerincing, dan aku sudah memberikan perhiasannya selama White Day kemarin. Itu sebabnya, um…Aku ingin menyimpan barang yang bisa dpakai lainnya untuk tahun depan…”

“Ups, aku lupa kalian berdua sudah secara harfiah tinggal bersama,” kata Chitose.

Amane menjawab dengan terus terang.

Maksudmu masih belum, ‘kan?”

“…Tidak ada komentar.”

Waduh, waduh~!”

“Diam. Kamu terlalu berisik.”

“Tapi aku bahkan belum mengatakan apa pun, kamu—.”

“Wajahmu cukup keras. Jangan jadikan percakapan ini sebagai rutinitas.”

“Tapi bukannya kamu yang membalasnya?”

“Dan memangnya itu salah siapa?”

“Sudah, sudah,” Itsuki menyela percakapan. “Jangan terlalu marah.”

Hal itu tidak dapat disangkal bahwa mereka berdua bersalah. Karena ingin menghindari membuang-buang waktu untuk bolak-balik yang tidak produktif, Amane menelan keluhannya dan mengalihkan perhatiannya kembali ke Chitose, yang diam-diam mengambil kentang goreng Itsuki yang sekarang sudah dingin.

“Ngomong-ngomong, kamu masih belum memutuskan hadiahnya.”

"Jika memilih itu mudah, maka aku tidak akan berjuang seperti ini. Dalam situasi seperti inilah aku sebenarnya menyesali cara Mahiru begitu tegas dan tidak menyukai hal-hal yang materialistis."

“Tetap saja, hadiah, eh…? Tujuannya adalah memberikan Shiina-san sesuatu yang akan membuatnya bahagia, kan?”

Ya.

“Jadi, apa memang harus berupa benda sungguhan?”

“…Tidak terlalu juga.”

Amane telah berkonsultasi dengan Chitose dan Itsuki dengan harapan menemukan hadiah nyata yang akan meninggalkan kesan mendalam. Namun, hadiah itu tidak harus berupa barang fisik.

“Lalu bagaimana dengan ini? Mungkin kamu bisa melakukan sesuatu yang dia ingin lakukan, atau membawanya ke suatu tempat yang ingin dia kunjungi .”

Ide bagus.”

Tujuan utama Amane adalah untuk membuat Mahiru bahagia di hari ulang tahunnya, tapi Ia sekarang menyadari bahwa Ia mungkin terlalu fokus dalam memilih barang untuk diberikan padanya daripada mengabulkan permintaan yang mungkin dia berikan.

Aku harusnya lebih memahami keinginan Mahiru sebelum memutuskan, pikir Amane.

Meskipun dirinya ingin memberinya hadiah, Amane menyadari bahwa Ia mungkin akan memberi Mahiru hadiah yang menurutnya diinginkan Mahiru, bukan hadiah yang benar-benar Mahiru harapkan.

“Jadi, kalian berdua bilang aku harus menggali lebih dalam untuk mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan Mahirun?”

Ya. Silakan lakukan.

“Heh heh—serahkan saja padaku. Tenang saja dan pastikan kamu sudah siap.”

“Ya, sekarang aku khawatir.”

“Kejam, banget!?”

“Maaf maaf. Terima kasih, Chitose.”

“Sama-sama!” Chitose yang angkuh tampak senang dikamulkan, yang hanya meningkatkan semangatnya. Hal ini membuatnya dengan sombong menyemangati, “Hohoho, kamu bisa lebih bergantung dan menghormatiku jika kamu mau!” Amane segera memutuskan untuk mengabaikannya. Ia tahu dari pengalaman bahwa tidak berkomentar adalah strategi paling efektif untuk menghadapinya.

Benar saja, Chitose mulai cemberut. Tapi yang menarik perhatian Amane adalah Itsuki, yang, dengan senyum sedih, berbisik, “Kamu juga selalu bisa mengandalkanku, tahu?”.

“Aku sudah banyak mengandalkanmu, kok.”

“Ah, itu karena Ikkun merasa khawatir dengan masalah pekerjaanmu, jadi…”

“Apa—? Dasar bodoh—!” Itsuki tergagap.

“Ini mengejutkan, tapi kamu pun punya momen seperti ini, ya…”

Ekspresi wajah Itsuki menunjukkan bahwa Ia diam-diam merasa terganggu dengan Ayaka yang menghajarnya habis-habisan saat menawarkan nasihat kepada Amane tentang pekerjaan paruh waktu. Merasa seolah-olah Ia ditusuk dari belakang, Itsuki mengeluh kepada Chitose dengan suara yang sedikit tegang, “Kenapa kamu berbalik melawanku juga, Chi?” Namun, Chitose melihat ini sebagai kesempatan besar untuk menggodanya. Seringai nakal khasnya, yang biasanya dia tunjukkan kepada orang lain, kini ditujukan pada Itsuki.

“Ya ampun, aku berbalik melawanmu? Tapi aku ada di sana untuk menghiburmu saat kamu ngambek~!”

“Chi…”

“Bergembiralah, Itsuki. Aku datang kepadamu terlebih dahulu untuk meminta nasihat kali ini.”

“Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu jika kamu mengira aku kesal!”

“Kalau begitu, apa suasana hatimu sedang bagus?”

“Tidak, karena kalian berdua sedang meledekku!”

Saat Itsuki perlahan-lahan menjadi malu dan berbalik, Amane dan Chitose menyadari bahwa telinganya agak merah. Mereka tertawa kecil—Amane dengan ringan menepuk dahi Itsuki, sementara Chitose memberinya dorongan lembut di bahunya.

Jadi, apa kamu mengerti perasaanku sekarang?” Amane bertanya.

“Ugh… aku akan berusaha lebih sedikit berhati-hati mulai sekarang…” keluh Itsuki.

“Bukan hanya 'sedikit', idiot. Pastikan kamu beneran berhati-hati”

“Ayolah, jangan terlalu marah~,” sela Chitose.

“Kamu juga, tau.”

*hiks* Kamu jahat sekali! Ikkun, Amane merundungku!”

“Kamu mengkhianatiku sebelumnya, jadi terserahlah.”

“Apaaaa!?” Kali ini, Itsuki lah yang menusuk Chitose dari belakang. Setelah melihat Chitose dengan keras kepala memegang bahu Itsuki untuk menggoyangkan tubuhnya, Amane tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah laku pasangan yang ada di hadapannya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama