Chapter 8 — Dan Kemudian, Benih-Benih Tersebut Berhasil Ditaburkan
Waktunya maju sedikit saat
istirahat makan siang hari. Alisa keluar dari ruang kelas sendirian untuk menuju
kantin. Karena dampak dari kari di pagi hari masih terasa di mulutnya, dia berpikir untuk makan
sesuatu yang lebih ramah di perut. Ngomong-ngomong,
sandwich yang dibeli pagi tadi sudah diberikan kepada Maria saat istirahat.
“Eh~?
Alissa, kebetulan sekali~”
“Nonoa-san.”
Di tengah
perjalanan, Alisa bertemu Nonoa yang keluar dari kelas dan berhenti sejenak.
“Hari
ini kamu mau makan di kantin~?”
“Iya,
Nonoa-san juga?"
“Yup,
ayo kita pergi bersama.”
“Ah,
iya, baiklah.”
Meskipun
Alisa sedikit terkejut dengan situasi yang jarang terjadi di mana dia hanya berduaan dengan Nonoa, tapi dia tidak punya alasan untuk
menolak, jadi dia mengangguk.
(Tumben sekali Nonoa-san yang
selalu dikelilingi orang, sendirian saat istirahat makan siang.)
Pikirannya
melayang, tetapi tanpa berpikir lebih dalam, mereka berjalan ke kantin bersama,
ketika seorang siswa yang lewat menyapa mereka.
“Ah,
Kujou-san, selamat ulang tahun!”
“Selamat ya~”
“Eh, ya, terima kasih?”
Hal tersebut
terjadi setiap kali dia keluar dari kelas sejak pagi ini, ucapan selamat itu terus
berlangsung, dan Alisa masih merasa canggung menerima ucapan dari orang lain yang namanya bahkan tidak dia
kenal. Dia hanya bisa membalas dengan senyuman kikuk, tetapi orang yang memberi
ucapan itu tampak senang dan pergi. Saat Alisa mengikuti mereka dengan
pandangan, Nonoa berkata dengan suara datar.
“Wah,
Alissa~
kamu sedang berada di masa populer, ya~”
“Bukan
begitu, mereka hanya menganggap ini lucu saja…”
“Hmm?
Mungkin ada sedikit keisengan di situ, tapi pasti bukan hanya itu saja tau~~
lihat.”
Setelah
mendengar hal itu, Alisa menoleh ke belakang mengikuti
arah pandang Nonoa. Dia melihat dua siswa laki-laki yang tadi menyapa, tampak
bersemangat sambil bergandeng bahu dan saling dorong.
“Tidak
peduli bagaimana kamu melihatnya~jelas-jelas mereka senang
bisa berbicara dengan gadis yang
mereka suka dan mendapatkan respons, ‘kan~?”
“…Apa iya begitu?”
Alisa
merasa bingung dengan reaksi itu dan kembali menatap ke depan dengan acuh tak
acuh. Tanpa memperhatikan Alisa, Nonoa melanjutkan.
“Yah,
mungkin ada yang sedikit
olok-olok, tapi itu jauh lebih baik daripada diabaikan, ‘kan? Jika kamu mau maju dalam pemilihan OSIS.”
“Yah,
benar, sih."
Itu
memang benar, tetapi karena dia tidak terbiasa, jadi
Alisa tidak bisa merespons dengan baik.
(Kalau itu Yuki-san, dia pasti bisa
membalas dengan senyuman yang lancar…)
Sambil
memikirkan rivalnya yang disebut sebagai cerminan seorang wanita terhormat, dia
berdiri di antrean mesin penjual tiket ketika Nonoa tiba-tiba mengintip
wajahnya.
“Kenapa
wajahmu terlihat serius begitu~?”
“Wah…
tidak, itu… aku berharap kalau aku
bisa merespons dengan lebih cerdas.”
Alisa tidak
bisa mengatrakan kalau dirinya membandingkannya
dengan Yuki, tapi Nonoa
mengeluarkan suara “Ah~” dengan mata setengah terpejam.
“Alissa,
tampaknya kamu kesulitan
membuat senyuman, ya~. Yah, meskipun begitu, aku rasa tetap ada permintaan
untuk itu, kok.”
“Permintaan...?
Hm, aku tidak begitu mengerti, tetapi bukannya
lebih baik kalau bisa tersenyum lebih cerah?”
“Hmm~? Yah, jika itu yang kamu
khawatirkan, mungkin bisa dicoba untuk berlatih.”
“…Iya,
benar.”
Setelah
Nonoa mengatakan itu, Alisa mencoba membuat senyuman ringan sambil menunggu
makanan yang diterima, tetapi seperti yang sudah diperkirakan, itu tidak
berjalan dengan baik. Dia menyadari bahwa sudut bibirnya tidak terangkat dan
matanya tidak tersenyum.
“Uh~m…”
“Ya~, ini semua soal kebiasaan… atau
lebih tepatnya, Alissa, bukannya kamu berusaha terlalu keras
untuk tersenyum ceria?”
“Eh,
masa?”
“Kamu tidak
perlu memaksakan diri untuk tersenyum lebar, cukup dengan merespons dengan
tenang juga bisa terlihat lebih cerdas, kan~?”
“…Setelah
dikatakan begitu, mungkin itu benar.”
Memang, persis seperti yang dikatakan Nonoa. Alisa merasa selama ini
dia bingung ketika ada yang menyapanya,
lalu segera berusaha untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, sehingga
justru terlihat kikuk. Mungkin dengan menghilangkan kebingungan itu, kesan yang
didapat akan jauh lebih cerdas.
“Baiklah,
aku akan mencobanya.”
Saat dia
meletakkan makanan di meja dan duduk, tiga siswa laki-laki yang kebetulan lewat
melihat Alisa dan membuat ekspresi “oh”.
“Kujou-san, selamat!”
“Ah,
sepertinya kamu sedang ulang
tahun, ya? Selamat!”
“Selamat~”
Melihat ada
kesempatan yang datang, Alisa segera menerapkan apa yang dia pelajari.
“Iya,
terima kasih.”
Tanpa
merasa canggung, dia hanya melihat langsung ke arah mereka dan mengucapkan
terima kasih. Tiga laki-laki yang awalnya bercanda itu sejenak terkejut dan…
senyuman mereka pun melebar. Lalu, dengan ekspresi yang ceria, mereka pergi
dengan cepat.
“…Apa
seperti itu sudah cukup?”
Alisa
bertanya kepada Nonoa yang duduk di depannya, tetapi Nonoa dengan mata setengah
terpejam dan sedikit miring menggelengkan kepala.
“Ah~…
bukan berarti yang tadi itu buruk sih, tapi mungkin sedikit berlebihan~?”
“Ap-Apanya?”
Alisa
tidak mengerti apa yang dimaksud, tetapi tidak heran jika Nonoa berpikir
demikian.
Dari
sudut pandang para laki-laki itu, mungkin mereka berpikir, “Sekalian menggoda putri yang kesepian,
ayo coba sapa sedikit”.
Namun, ketika mereka menyapa, tidak ada reaksi canggung seperti yang mereka
harapkan, dan Alisa justru mengucapkan terima kasih dengan tenang. Dengan wajah
yang sangat menawan, dia berhasil menunjukkan pesonanya.
Sejak
awal, para laki-laki itu memiliki sedikit niat tersembunyi untuk “mencoba menyapa gadis cantik yang
sedang menjadi perbincangan”.
Justru mereka yang merasa tertegun dan malu.
“Yah,
bukannya yang begitu sudah bagus~?
Sepertinya kamu akan mendapat
lebih banyak penggemar.”
“Oh,
begitu…?”
Alisa
berpikir dalam hati, “Sebenarnya aku tidak ingin
memiliki penggemar…”
tetapi dia juga mempertimbangkan bahwa pendukung juga bisa dianggap sebagai
penggemar, jadi dia mengangguk setengah hati. Kemudian, saat dia mengucapkan “itadakimasu” dan mencoba mengambil udon
dengan sumpit, dia mendengar suara dari kursi sebelah yang kosong.
“…Enak
sekali, ya.”
Awalnya, Alisa tidak mengira kalau kata-kata itu ditujukan padanya.
“Setelah
dipanggil oleh komite kedisiplinan, bisa-bisanya dia senyam-senyum seperti itu…”
Namun,
setelah mendengar suara berikutnya, Alisa merasa ada yang aneh. Ketika dia
melirik, matanya bertemu dengan seorang siswi yang menatapnya dengan tatapan
tidak suka. Karena hanya ada Nonoa di dekatnya, tampaknya jelas bahwa hal itu ditujukan kepada Alisa.
(Dipanggil
oleh komite kedisiplinan…?)
Dia
merenungkan kata-kata yang baru saja diucapkan dan berpikir bahwa itu mungkin
merujuk pada kejadian pagi tadi. Siswi ini mungkin melihat Alisa yang membawa
hadiah ke ruang komite kedisiplinan bersama anggota komite atau
mendengar sesuatu dari orang lain, dan mungkin ada kesalahpahaman. Dengan
asumsi itu, Alisa mencoba untuk mengoreksi dengan hati-hati.
“Ehm, sepertinya ada kesalahpahaman…
Aku pergi ke ruang komite kedisiplinan pagi ini karena ada hadiah tanpa
pengirim yang diletakkan di atas meja, bukan karena aku mendapatkan peringatan dari komite kedisiplinan.”
Alisa
berusaha untuk tidak memicu reaksi negatif, tetapi tetap menegaskan hal yang
perlu ditegaskan. Namun, mendengar itu, ekspresi siswi itu semakin tidak
senang.
“Sungguh
memalukan… palingan juga semua itu pasti
hanya akting saja, ‘kan?
Untuk membuat topik pembicaraan, kamu sendiri yang menaruh hadiah anonim itu.”
“Hah—”
Karena
tuduhan yang sangat sembrono dan sembarangan
itu, Alisa terdiam sejenak. Siswi itu menatap Alisa dengan penuh kebencian dan
berkata dengan nada merendahkan.
“Kasihan
sekali Suou-san. Betapa menyenangkannya bagi orang seperti ini untuk mengganggu
pemilihan… itu pasti
sangat mengganggunya.”
Dengan
mata dan kata-kata yang penuh permusuhan itu, ingatan Alisa tentang kata-kata
yang diucapkan oleh Sayaka pagi
tadi muncul kembali di benaknya.
“Tapi itu merupakan hal yang
perlu diwaspadai juga.
Semakin banyak perhatian yang kamu dapatkan dan semakin populer reputasimu, semakin banyak pula
orang yang akan merasa tidak suka.”
Apakah
ini yang dia maksud?
Alisa berpikir setengah terkejut. Saat itu, Nonoa yang selama ini diam sambil
memakan soba tiba-tiba mengeluarkan
suara.
“Dari tadi
aku mendengar kamu terus-menerus bicara seenaknya, tapi…
kamu berbicara dari posisi mana, sih?”
“Hah……?”
Dengan
ekspresi tidak senang dan mengerutkan alisnya, siswi itu berbalik menanggapi
Nonoa yang tiba-tiba ikut campur. Sambil melirik ke arah mereka, Nonoa berkata
dengan tenang.
“Kamu
bilang Yukki merasa
terganggu dan kasihan… tapi yang bisa memutuskan apa itu mengganggu atau tidak hanyalah Yukki sendiri, ‘kan? Kenapa kamu yang tidak ada
hubungannya harus mengeluh, sementara Yukki
sendiri tidak mengatakan apa-apa?”
“Hah,
aku bukannya tidak ada hubungan sama sekali! Aku adalah pendukung setia Suou-san sejak dari sekolah SMP!”
“Pendukung,
ya… Jadi, Yuki bilang dia merasa terganggu?”
“…Suou-san
itu orang yang baik. Dia tidak bisa mengeluh. Jadi, aku yang akan mewakili—”
“Dengan kata
lain, dia tidak bilang apa-apa. Jadi itu hanya
imajinasimu sendiri, ‘kan?”
“It-Itu sama
sekali tidak benar! Semua orang bilang begitu! Suou-san kasihan
karena diganggu orang seperti ini!”
Suara
siswi itu semakin keras, dan perlahan-lahan perhatian dari sekitar mulai
tertuju padanya. Namun, Nonoa tidak peduli dengan hal itu dan terus mengangkat
soba dengan sumpit sambil berkata.
“Hmm…
jadi kamu bilang, untuk 'semua orang' yang tidak bisa mengeluh langsung,
kamu rela menjadi kambing hitam untuk mewakili mereka?”
“…Cara
penyampaianmu memang mengganggu, tapi
ya, begitulah. Jika sudah mengerti—”
“Lalu, siapa
sebenarnya 'semua orang' itu?”
“…Hah?”
“Siapa
'semua orang' yang kamu maksud itu?
Kamu bilang, Yukki terlihat kasihan
karena diganggu Alissa.
Jangan-jangan itu juga hanya imajinasimu?”
“Tentu
saja tidak! Misalnya saja… seperti Yamaguchi-san atau
Zaitsu-san…”
Saat
siswi itu terdiam, Nonoa menatapnya dengan tatapan tajam.
“Kamu
baru saja menyebutkan nama mereka.”
“Hah?”
“Kamu
bilang kamu rela menjadi kambing hitam untuk 'semua orang' yang tidak bisa
mengeluh, kan? Jika demikian, kamu seharusnya tidak menyebutkan nama-nama orang
yang menggosipkan itu.”
“…”
Mendengar
penjelasan Nonoa, siswi itu terdiam dan hanya membuka mulutnya tanpa suara.
Kemudian, Nonoa berkata dengan jelas setelah mengatakan, “Eh,
ngomong-ngomong…”
“Itu jelas-jelas hanya kamu sendiri yang tidak menyuikainya, kan? Kamu hanya memikirkan
dirimu sendiri, tapi menggunakan orang lain sebagai alasan, itu sangat
mengganggu bagi mereka yang namanya asal dicatut.”
Dengan
kata-kata yang sangat pedas, siswi
itu benar-benar terdiam… lalu mengambil makanan yang belum selesai dimakannya
dan berdiri dengan kasar. Tanpa melihat ke belakang, dia pergi dengan langkah
yang kasar, sementara Nonoa berkata dengan tenang.
“Yah,
jika terlalu menonjol, orang-orang seperti itu pasti akan muncul, ya~. Kamu
baik-baik saja, Alissa?”
“Eh,
ya, terima kasih… maaf. Aku tidak tahu harus berbuat apa…”
“Yah~ aku sih sudah terbiasa dengan hal seperti
ini~”
Nonoa dengan santai mengatakan hal itu,
membuat Alisa terdiam, bertanya-tanya apakah dia sudah terbiasa berurusan
dengan orang-orang seperti itu. Namun, Nonoa melanjutkan tanpa terlihat
terganggu.
“Sebenarnya,
begitu kita melibatkan diri dengan orang-orang seperti itu, kita sudah kalah.
Meskipun mereka mungkin salah paham, mengabaikan mereka adalah yang terbaik.
Jika mereka adalah orang yang bisa diajak berdiskusi dengan logika, itu
berbeda, tapi biasanya mereka bukan tipe seperti itu~”
“Ak-Aku
akan berhati-hati... Tapi, apa kamu baik-baik saja? Sepertinya, Nonoa-san malah yang dibenci ketimbang diriku...”
Alisa
khawatir saat mengingat ekspresi gadis itu yang menatap Nonoa saat pergi,
tetapi Nonoa dengan santai melanjutkan makannya.
“Tidak
apa-apa~ santai saja~ aku sudah terbiasa, kok. Lagipula, aku hanya mengungkapkan
apa yang aku pikirkan, kan? Jadi, kamu tidak
perlu khawatir~”
“......”
Meskipun
dia mengatakan itu, Alisa tidak bisa berhenti merasa cemas. Pada dasarnya,
penyebab utamanya adalah karena dia bereaksi terhadap gadis itu, persis seperti yang dikatakan Nonoa.
(Selain
perasaan baik, aku juga harus belajar cara menghadapi niat jahat...)
Sementara Alisa merenungkan hal itu dan
menyuapkan udon ke mulutnya, Nonoa tiba-tiba berkata dengan nada santai.
“Ngomong-ngomong,
sepertinya kamu mengalami masa yang
sulit ya~”
“Eh?
...Ah, iya. Karena ada banyak hadiah tanpa
pengirim...”
“Bukan
itu, maksudku setelah pesta ulang tahun kemarin.”
Begitu mendengar
kata-kata Nonoa, Alisa terdiam sejenak sebelum menundukkan alisnya dengan rasa
bersalah.
Setelah
kembali dari kediaman rumah
Suou dua hari yang lalu, dia memberi tahu para tamu
pesta bahwa dia pergi mengunjungi Yuki yang sakit flu dan merasa kesepian,
sebagai balasan hadiah. Meskipun penjelasannya terlalu singkat, mungkin karena
kepercayaan yang biasanya diberikan kepada Alisa, tidak ada yang menanyakan
lebih lanjut. Namun, jika tidak ada yang menyalahkan, justru Alisa merasa
semakin bersalah.
“Umm, maaf
ya, aku tiba-tiba pergi...”
“Ah~ aku sama sekali tidak masalah sih~”
Di saat
itu, Nonoa cepat melihat sekeliling, memastikan bahwa tatapan yang mengarah ke
mereka sudah menyebar, lalu berbicara dengan suara rendah.
“(Lihat,
Kuzecchi sudah keluar dari rumah Suou,
‘kan? Kalau Kuzecchi yang
begitu sampai pergi ke rumahnya
Yukki, hal
itu jadi membuatku berpikir pasti ada banyak hal yang terjadi.)”
“Eh...”
Setelah mendengar
bisikan Nonoa, Alisa terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. Melihat
reaksinya, Nonoa mengangkat satu alisnya dan melanjutkan.
“(Eh?
Kamu tidak pernah mendengar
dari Kuzecchi? Aku sudah tahu tentang hubungan antara Kuzecchi dan Yukki.)”
“Eh,
ma-masa!?”
Alisa tanpa
sadar meninggikan volume suaranya
meningkat, dan dia segera
menutup mulutnya sambil melihat sekeliling. Setelah memastikan tidak ada yang
memperhatikan mereka, dia merasa sedikit lega dan mengendurkan bahunya. Melihat
Alisa seperti itu, Nonoa mengangguk seolah tidak ada yang aneh.
“Yah,
Sayacchi juga.”
“Be-Begitu
ya...”
Perasaan
tidak nyaman muncul di dalam hati Alisa. Itu adalah
ketidaktahuan dirinya tentang rahasia Masachika yang sudah diketahui oleh Nonoa
dan Sayaka terlebih dahulu. Dan sedikit rasa tidak percaya dan ketidakpuasan
karena Masachika tidak memberitahunya tentang hal itu.
Setelah
secara akurat menyadari perasaan Alisa yang begitu, Nonoa
dengan sengaja menggunakan ungkapan yang samar.
“Ah,
jadi kamu belum mendengarnya, ya...
Tapi, jangan menyalahkan
Kuzecchi, ya? Aku dan Sayacchi juga bisa mengetahui tentang itu secara kebetulan.”
“.....begitu.”
“Yah,
Kuzecchi pasti akan memberimu penjelasan cepat atau lambat. Aku meyakini kalau
Kuzecchi juga tidak berusaha menyembunyikannya.”
“.....”
Meskipun
Nonoa memberikan dukungan, perasaan bingung itu tetap ada. Namun, jika Nonoa
mengatakan demikian, Alisa memutuskan untuk menunggu sampai Masachika
menjelaskan sendiri, dan dia mengangguk.
“......
Baiklah, aku mengerti.”
Tanpa
menyadari bahwa itulah yang diinginkan
Nonoa.
“Nah,
mengesampingkan hal itu dulu. Tapi, Alissa, apa yang sedang kamu
khawatirkan?”
Alisa
mengernyitkan dahinya ketika endengar
pertanyaan Nonoa, merasa
bingung apakah harus membicarakannya atau tidak. Jika dia membicarakan apa yang
mengganggunya, itu akan membawa pembicaraan ke masalah Masachika. Namun, apa
dia boleh membicarakannya tanpa izin? Tidak, tanpa berpikir pun itu jelas-jelas tidak boleh.
(Tapi...)
Perasaan
bingung di dalam hatinya mulai mengganggu penilaian rasionalnya.
Alisa
tidak merasakan kemarahan terhadap pengakuan Masachika tentang “kenapa ia terus diam saja sampai sekarang” karena dia berpikir bahwa
Masachika tidak hanya menyembunyikannya dari Alisa, tetapi juga dari semua
orang di sekitarnya. Bahkan, jika dia berpikir bahwa dia adalah orang pertama
yang mengetahui rahasia Masachika, dia merasa tidak terlalu buruk tentang itu.
(Benar sekali, kupikir
akulah orang pertama yang ia beritahu.)
Namun,
jika Nonoa dan Sayaka sudah tahu lebih dulu, itu menjadi masalah lain.
(......
Yah, Nonoa-san
adalah teman, jadi tidak apa-apa. Dia bahkan melindungiku tadi. Sepertinya dia
juga tahu banyak tentang situasi Masachika, jadi mungkin tidak masalah jika aku
bercerita sedikit.)
Dari
kebingungan terhadap rekannya, Alisa
mengambil keputusan yang biasanya tidak akan dilakukannya, dan membuka
mulutnya.
“Ini
cuma pembicaraan di antara kita, jadi tolong rahasiakan,
ya...”
“Iya.”
“Sepertinya
Masachika-kun ingin memcoba kembali ke dalam keluarga Suou..... dan sebagai syaratnya, ia
diminta untuk menjadi ketua OSIS.”
“Wahh, yang
bener?”
Alisa
mengucapkan kata-kata itu, dan Nonoa terkejut dengan mata yang membelalak, lalu
memiringkan kepalanya dengan
bingung.
“......
Alissa, apa kamu akan bertukar posisi
dengan Kuzecchi?”
“Tidak,
bukan seperti itu... Uhm, sebenarnya,
aku sedang bingung tentang hal itu.”
Alisa
hampir saja membantah, tetapi setelah beberapa detik terdiam, dia mengakui
dengan pasrah.
“Ketika
mengingat situasi Masachika-kun...
aku sempat berpikiri kalau
sebaiknya aku menyerahkan posisi calon ketua OSIS kepada Masachika-kun....”
Alisa
mengatakan itu sambil menunduk dan tidak melihat udon yang
masih tersisa, lalu Nonoa mengarahkan pandangannya ke langit-langit kantin dengan “Hmm~~~”
“Kuzecchi jadi ketua OSIS, ya~... Entah kenapa aku tidak bisa
membayangkannya, tapi ia cukup pandai bicara. Mungkin saja ia bisa melakukannya
dengan baik.”
“......”
Setelah mendengar
kata-kata itu, kepala Alisa
semakin menunduk, dan Nonoa menurunkan pandangannya untuk bertanya.
“Ngomong-ngomong,
apa alasan Alissa sangat
ingin menjadi ketua OSIS? Kalau kamu ingin bergabung dengan Raikoukai, jadi wakil ketua juga tidak
masalah, ‘kan?”
“Itu
karena...”
Alisa
yang sudah bersuara tiba-tiba terdiam. Nonoa menatapnya dengan penuh perhatian
dan berkata.
“Yah~ keputusan akhirnya berada di tanganmu sendiri, Alissa~.
Tapi, aku akan tetap mendukungmu, baik sebagai ketua atau wakil ketua, untuk
OSIS yang baru.”
Kata-kata
Nonoa yang mendukung dan sekaligus membingungkan membuat Alisa akhirnya
meletakkan sumpitnya dan mulai berpikir. Nonoa mengamati Alisa dengan tatapan
yang tidak bisa dibaca.
◇◇◇◇
“Apa Anda sudah menunggu lama?”
“Hmm, tidak
sama sekali, kok~. Terima
kasih sudah datang, Ayanono.”
Setelah
berpisah dengan Alisa di depan kantin, Nonoa pergi ke tangga darurat dan
menyapa Ayano yang mendekat tanpa suara. Menanggapi itu, Ayano tetap
mempertahankan ekspresi datar dan membungkuk dengan tegas.
“Terima
kasih juga, Nonoa-san. Dan... sekali lagi,
terima kasih untuk kemarin. Berkat saran Nonoa-san, Masachika-sama bisa menjenguk Yuki-sama.”
“Tidak
masalah~ tidak masalah~. Aku sudah pernah bilang, kan? Aku berada di pihak Ayanono.”
Dengan
senyum ramah, Nonoa mendekat dan melanjutkan.
“Ngomong-ngomong,
sepertinya itu sulit, ya? Katanya Kuzecchi
ingin kembali ke dalam keluarga
Suou.”
“Eh?
...Hmm.”
Tatapan mata
Ayano terbuka lebar sejenak
saat dia mengangkat kepalanya dan tampak ragu.
Meskipun
Nonoa merasa kesulitan untuk membaca emosi dan pikiran
Ayano, tapi reaksi ini mudah dipahami. Dia terlihat bingung dan tidak percaya mengapa
Nonoa bisa mengetahui tentang urusan internal keluarga Suou.
“......
Apa Anda mendengar hal itu dari
Masachika-sama?”
“Eh?
Tidak, aku mendengarnya dari Alissa.”
“Oh,
begitu.”
“Iya,
tadi barusan di kantin.”
Kebingungan
dan ketidakpercayaan yang tumbuh dalam diri Ayano mengarah kepada Alisa. Sambil
mengamati situasi itu dengan dingin, Nonoa menggenggam tangan Ayano dengan kedua
tangannya.
“Yah,
mungkin akan ada banyak kesulitan ke depannya... tapi, kapan saja kamu membutuhkan bantuan, aku akan selalu siap membantu.”
Dan kemudian, Nonoa berkata dengan
senyuman yang sangat indah.
“Apa
pun yang terjadi, aku pasti akan berada di
pihakmu, Ayanono.”
◇◇◇◇
“Ehmm, Masha-san.”
“Hmm~~?”
“Apa-apaan ini, pelukan RTA?”
Di sisi
lain, Masachika yang dipanggil ke ruang OSIS saat istirahat siang, begitu
memasuki ruangan, langsung didekati oleh Maria yang berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat,
membuatnya melamun.
“RTA
itu apa~?”
“Oh, itu singkatan dari kata Real-Time Attack... eh, wajahmu
terlalu dekat!”
Masachika
secara tidak sadar mundur ke belakang saat
menyadari kalau jarak di antara
mereka begitu dekat sampai-sampai membuat hidung mereka
bersentuhan. Namun, ketika mundur, wajah Maria terlihat jelas, dan itu
membuatnya tertegun.
‘Memang
benar kalau Alya-san
dan Masha-san itu
cantik... Aku bisa melihat bahwa
mereka semakin cantik akhir-akhir ini dan kecantikan mereka terlihat
semakin jauh dari manusia.'
Kata-kata pernah yang diucapkan Yuki kembali
terlintas di dalam benaknya.
Setelah Masachika melihatnya sekali lagi, ia menyadari kalau mereka memang
semakin cantik, seolah kilau kecantikan mereka semakin meningkat. Namun, saat
dipeluk seperti ini dan memperhatikan hal itu, detak jantungnya terasa semakin
cepat, sehingga Masachika segera mengalihkan pandangannya.
“Yah,
mari kesampingkan hal itu... tapi
ini sebenarnya ada apaan?”
“Hmm,
baiklah, mari kita duduk dulu.”
“Hah...
lah, rasanya
begitu mengerikan betapa naturalnya kamu menggenggam tanganku.”
Begitu
pelukannya terlepas, tangan Masachika
dipegang lembut dan ditarik dengan sangat alami, membuatnya terkejut. Dalam
keadaan seperti itu, ia dipandu menuju
kursi sofa dan duduk berdampingan dengan Maria. Di meja di depannya sudah
disiapkan teh, dan Maria mengambil teko teh untuk menuangkan teh ke cangkir di
depan Masachika.
“Silakan,
ini untukmu.”
“Ah,
terima kasih... aku terima.”
Setelah
disajikan, Masachika mulai meminum
secangkir teh. Masachika menurunkan alisnya dan bertanya keprada Maria yang sedang menatapnya sambil tersenyum lembut.
“Umm,
rasanya memang enak, tapi... sebenarnya ada apaan, ya?”
“Hmm~~~? Aku hanya berpikir untuk
menghiburmu, Kuze-kun.”
“Hah, maksudnya menghibur?”
Masachika
menatapnya dengan penuuh keraguan,
tidak mengerti kenapa dirinya
perlu dihibur. Maria meletakkan teko di meja dan dengan nada santai berkata.
“Dua hari
yang lalu kamu mengalami sesuatu kejadian yang besar, ‘kan? Itulah sebabnya aku ingin menghiburmu.”
Setelah mendengar
itu, Masachika mengerutkan kening dan setelah beberapa detik berpikir, ia
terkejut. Menatap samping wajah Maria yang dewasa, ia bertanya dengan suara
pelan.
“Masha-san... apa jangan-jangan, kamu sudah menyadarinya...?”
Selama
ini, ia tidak menunjukkan tanda-tanda atau membahas topik tersebut, jadi
Masachika mengira itu tidak pernah terungkap.
Namun, dari cara Maria berbicara...
“Hmm...
yah~, waktu kecil, aku pernah mendengar nama belakang dari
Sa-kun dan nama adikmu... entah kenapa, aku merasa seperti itu. Dan caramu
melihat Yuki-chan, sangat lembut.... rasanya seperti melihat keluarga yang tak
tergantikan, jadi kurasa itu memang begitu.”
Maria
berbicara dengan suara tenang
dan menoleh ke arah Masachika. Dalam tatapan matanya yang dalam dan cerdas,
Masachika tertegun. Setelah
beberapa detik terdiam, ia tersenyum pahit seolah menyerah.
“Jadi,
kamu sudah mengetahui semuanya, ya... aku menyerah, deh.”
“Eh?
Apa aku menang? Yay~, aku
menang~!”
“Tidak,
ini bukan soal menang atau kalah...”
“Kalau
begitu, sebagai pemenang, aku akan mengelus-elus si kalah.”
“Itu
akan menjadi hal yang sangat
memalukan bagi si kalah... eh?”
Saat dirinya masih berbicara, kepalanya
benar-benar dielus, dan Masachika merunduk. Namun, ia tidak bisa menghindar
dari tangan Maria, jadi ia berkata dengan wajah bingung.
“Ehm, rasanya
ini agak memalukan...”
“Kenapa~? Di sini cuma ada kita
berdua saja, kan?”
“Tidak, ini
bukan soal dilihat orang atau tidak...”
“Tenang
saja, mendapatkan pujian setelah berusaha bukanlah hal yang memalukan, kok~.”
“Ah, baiklah. Sepertinya hari ini Masha-san semakin bebas, ya?”
Masachika
mengatakan hal itu kepada
Maria, yang tampaknya agak kesulitan berkomunikasi dengannya, karena sikap
dewasa yang dia tunjukkan sebelumnya telah menghilang.
Maria
mengabaikan perkataan Masachika
dan berkata sambil menepuk kepala Masachika.
“Bagus-bagus,
kamu sudah berusaha keras~”
“...Ehmm,
yang ini hadiah untuk usaha yang mana,
ya?”
“Hmm~? Aku tidak tahu, tapi aku bisa mengetahui bahwa Kuze-kun sedang
berusaha keras.”
“....Begitu
ya.”
Tepat ketika
Masachika sudah mau menyerah
karena merasa kalau mereka sepertinya
tidak bisa melakukan percakapan logis, suara lembut dan tenang Maria terdengar
di telinganya.
“Aku bisa mengetahui kalau Kuze-kun
sudah berusaha keras. Dan kamu selalu
memikirkan orang-orang di sekitarmu dengan sepenuh hati. Jadi, tidak apa-apa.
Apapun keputusan yang kamu ambil, itu bukan keputusan yang buruk. Setidaknya,
aku akan selalu mendukungmu, apapun yang terjadi.”
Masachika
menatap wajah Maria setelah mendengar
kata-kata yang disampaikan dengan lembut. Dalam tatapan matanya yang bisa
melihat dan menyelimuti semuanya, serta senyumnya yang sangat lembut, Masachika
terpesona... dan tanpa sadar tersenyum.
“Jadi
begitu ya.”
“Iya,
benar~”
Tanpa
bertanya atau mengetahui apapun, Maria dengan
tegas mengatakan hal itu. Itu adalah bentuk kepercayaan mutlak terhadap Masachika.
Anehnya,
Masachika merasa kalau...perasaan itu tidak terasa berat.
Sebaliknya, hatinya terasa sedikit lebih ringan.
“...Terima
kasih banyak, Masha-san.”
Ketika ia
mengucapkan terima kasih sambil tersenyum,
Maria menjauhkan tangannya dari kepala Masachika
dan tertawa. Dia kemudian memiringkan kepalanya sedikit sambil tersenyum dan
berkata.
“Oh
iya, aku tidak bermaksud
terburu-buru sih, tapi
jangan lupakan janji kita, ya?”
Usai mendengar hal itu, senyum Masachika sedikit memudar.
Janjinya dengan Mariya. Dirinya masih mengingatnya dengan jelas...
atau lebih tepatnya, sebenarnya
itu sudah lama mengganggu pikirannya.
Janji yang dirinya buat dengan Maria saat
festival olahraga.... yaitu untuk mengadakan
kencan yang sangat romantis.
Dengan
tingkat kesulitan yang begitu tinggi, Masachika
sempat berpikir di dalam hati,
“Semoga saja dia melupakannya seiring
berjalannya waktu”,
tetapi... tampaknya Maria memang mengingatnya dengan baik. Di hadapan
senyumnya, Masachika tidak bisa berpura-pura.
“...Tentu
saja.”
“Iya,
aku menantikannya~”
Maria bertepuk tangan dengan kedua
tangannya dan tersenyum gembira. Ketika
Masachika sekali lagi dihadapkan pada kepercayaan
besar dari Maria...
(Eh, kok rasanya ada yang
aneh, ya?)
Masachika
merasakan hatinya yang semula ringan kini menjadi berat kembali.