Epilog — Buku Harian Ayase Saki
20
Oktober (Rabu)
Tergantung
pada Asamura-kun, ya.
Kenapa sih aku harus mengatakan hal seperti
itu?
Padahal
pembicaraannya mengenai aku akan melanjutkan pekerjaan
paruh waktuku atau tidak. Seharusnya
itu tidak ada hubungannya dengan apa
yang akan dilakukan Asamura-kun.
Namun,
aku sudah samar-samar sedikit
menyadari alasan mengapa kata-kata itu keluar dari mulutku... Meskipun Yomiuri Shiori-san mungkin akan berhenti
karena pekerjaan barunya nanti,
di sana masih ada Kozono-san yang imut dan dekat dengan Asamura-kun
yang tinggal di toko buku. Jika hanya aku yang berhenti dan Asamura-kun terus melanjutkan bekerja...
Pastinya aku
akan terus memikirkan apa yang mereka berdua lakukan akhir-akhir ini
sementara Asamura-kun
melakukan pekerjaan paruh waktunya. Karena
ketakutan seperti itu, aku tidak ingin menjadi satu-satunya yang berhenti
bekerja. Jadi, aku ingin tahu lebih dulu apa yang akan dilakukan
Asamura-kun.
Aku tahu kalau pemikiran
seperti ini tidak sehat.
Mana
mungkin aku bisa mengetahui setiap tindakannya saat aku tidak ada.
Dalam
perjalanan pulang atau pergi sekolah, ketika jadwal kerja kami tidak sama, saat Asamura-kun bermain dengan
teman-temannya—di mana pun itu,
selalu ada kemungkinan ada gadis lain di sana.
Ini bukan
tentang apa aku bisa mempercayainya atau tidak.
Dalam
esai cinta yang aku baca baru-baru ini (aku tidak pernah menyangka aku akan membaca sesuatu
seperti itu!), ada tulisan yang
ditulis seperti ini. Jika satu hari memiliki 24 jam, maka sepertiga dari itu
dihabiskan untuk tidur dan sepertiga untuk bekerja. Artinya, meskipun pasangan
menghabiskan semua waktunya untukku, itu hanya sepertiga dari hidupnya. Sisa
waktunya adalah miliknya. Mana
mungkin kita bisa mendapatkan lebih dari setengah hidup orang lain.
Meski aku
memahami hal itu secara logika, tapi keinginan manusia tidak ada
batasnya, dan itu sangat menyiksaku.
Aku harus
terbiasa dengan rasa cemburu.
Aku tidak
boleh mengikatnya dengan rasa cemburu dan merampas pilihan hidupnya. Aku tidak
ingin ia bertindak sesuai kehendakku. Jika aku berharap seperti itu, aku sama
saja dengan orang itu.
◇◇◇◇
Sepertinya
Asamura-kun tidak berniat berhenti dari pekerjaannya.
Selama
masa ujian—atau lebih
tepatnya, dari bulan November hingga ujian selesai, ia akan mengajukan cuti
panjang, tetapi jika memungkinkan, ia ingin melanjutkan setelah diterima di
universitas. Lagipula, ia akan tetap pergi ke toko buku, jadi lebih efisien
jika tempat kerjanya tetap di toko buku.
Cara bicaranya
yang menganggap kalau pergi
ke toko buku sebagai hal yang sudah pasti terasa agak lucu.
Ia
benar-benar menyukainya, ya, buku.
Baiklah,
bulan Oktober akan segera berakhir.
Apa yang
harus kulakukan?
Apa aku
akan bertemu dengan orang itu atau tidak.
Aku tidak
ingin bertemu dengannya.
Namun,
aku juga tidak ingin merepotkan ibuku.
Masalah
yang aku pikirkan beberapa hari terakhir ini tidak ada hubungannya dengan
Asamura-kun.
Dirinya juga sibuk dengan ujian, jadi
aku tidak ingin merepotkannya. Aku berpikir seperti itu dan meminta Ayah tiri untuk tidak memberitahunya.
Jadi,
seharusnya dia tidak tahu.
“Aku
ingin kamu memaklumi bahwa aku mengkhawatirkanmu pada jarak seperti ini.”
Saat aku sedang melamun di halaman, Asamura-kun
memberiku teh susu hangat.
Aku
masih bisa merasakan kehangatan yang tersisa
di telapak tanganku.
Aku harus
cepat memutuskannya.
Bahkan Kozono-san sampai khawatir padaku.
21
Oktober (Kamis)
Saat jam pelajaran olahraga, aku sedikit
berbicara dengan Maaya.
Dia
mengatakan bahwa Makihara-san dari
kelasnya dan Yoshida-kun dari kelasku sedang berpacaran, tetapi sepertinya
akhir-akhir ini hubungan mereka tidak berjalan baik.
Alasannya
cukup jelas, Yoshida-kun sering pergi ke rumah Makihara-san, tetapi Makihara-san sepertinya belum pernah diundang
ke rumahnya Yoshida-kun.
Hal tersebut
tampaknya menjadi masalah bagi Makihara-san.
Kenapa
dia merasa begitu khawatir?
Ketika
aku bertanya seperti itu, Maaya
terlihat terkejut. “Kamu
tidak mengerti?” katanya,
tapi apa yang harus aku pahami?
Setiap
keluarga pasti memiliki alasan masing-masing, dan mungkin
ada alasan mengapa dia tidak bisa diundang ke rumahnya.
“Pasti
ada alasan besar nan raksasa
yang membuatnya tidak
bisa mengundang orang yang disukainya ke rumahnya, Saki.”
Begitulah
katanya, Tapi, tentu saja ada. Lagipula, besar dan raksasa
itu sama saja, bukan?
Ketika
aku mengomentari itu, Maaya
menghela napas panjang dan berkata, “Inilah sebabnya gadis yang tinggal di bawah atap yang
sama dengan Onii-chan
kesayangannya itu menyebalkan. Dia kurang menyadari kebahagiaan dan
keberuntungannya!” … atau
sesuatu seperti itu.
…Tapi,
ada hal-hal yang sulit dilakukan justru karena tinggal di rumah yang sama.
Maaya berkata, “Pokoknya, jika memang ada alasan, dia ingin Yoshida-san membicarakannya.”
Dia
mengatakan bahwa orang
yang paling terluka adalah Makihara-san.
Jika ada
alasan, maka bicarakanlah──.
Seandainya
saja memang bisa dilakukan semudah
itu, sih.
22
Oktober (Jumat)
Sepertinya
Yoshida-kun dan Makihara-san akan
makan siang bersama. Seharusnya
mereka sedikit canggung kemarin, tapi hari ini mereka sudah berdamai. Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku jadi merasa khawatir untuk hal yang
tidak perlu. Tapi itu hal yang baik, sih.
Ketua kelas dan Satou-san juga mengajak Asamura-kun untuk
makan bersama. Setelah
festival budaya, hal-hal seperti ini semakin sering terjadi. Mungkin Asamura-kun merasa sulit
makan di bawah tekanan tiga gadis. Namun,
aku merasa senang hanya dengan melihatnya di sudut pandangku.
Seharusnya
aku merasa senang, tetapi kadang-kadang, kekhawatiran tentang masalah beberapa
hari terakhir ini terlintas di
benakku. Aku berharap bulan Oktober cepat berlalu.
◇◇◇◇
Sepulang sekolah, di tempat kerja paruh waktu,
para junior Yomiuri berkumpul lagi
setelah sekian lama.
Dengan kata
lain, ada Yomiuri-san, Asamura-kun, aku, dan Kozono-san.
Kami
mulai membicarakan tentang Halloween
yang akan datang minggu depan. Dari
situ, kami berbicara tentang perbedaan antara Shibuya dulu dan sekarang.
Aku tahu
banyak tentang Shibuya sejak aku
lahir hingga sekarang. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang Shibuya sebelum aku
lahir. Kota
Shibuya yang juga dilalui ibuku tampaknya sangat berbeda dari sekarang.
Meskipun
disebutkan tentang pemandangan Shibuya di era Showa, hanya ada gambaran samar
yang muncul di benakku.
Dalam
perjalanan pulang dari tempat kerja, Asamura-kun mengajakku berkencan di akhir
pekan.
Aku
merasa ia memperhatikanku. Aku segera menyadarinya. Rasanya agak menyesal,
tetapi di saat yang sama, aku juga berpikir ini adalah kesempatan yang bagus.
Saat kami
membicarakan tentang Shibuya di masa lalu dan sekarang, ada tempat yang
teringat.
“Museum
Daerah”
Aku
menyebutkan tempat itu sebagai tempat yang ingin kami kunjungi berdua.
Ketika
aku mencarinya dulu, aku berpikir itu bukan tempat yang terlalu ramai.
Itulah sebabnya aku menunda untuk pergi ke sana,
karena aku merasa bisa pergi kapan saja.
Tempat
itu sepertinya lokasi yang bagus
untuk berduaan.
23 Oktober
(Sabtu)
Kencan
pertamaku dengan Asamura-kun setelah
sekian lama.
“Museum
Daerah” bukanlah tempat pameran yang
besar, tapi itu adalah fasilitas yang baik untuk dikunjungi di akhir pekan.
Sepertinya ada pameran berkala yang isinya diganti, jadi mungkin kami bisa
datang lagi di lain waktu.
Saat kami
menjelajahi area yang memperkenalkan penulis terkenal yang terkait dengan
Shibuya, Asamura-kun, seperti
biasa, memberikan informasi
menarik.
Tentang
Shiga Naoya.
Rupanya penulis
itu konon telah pindah rumah lebih dari dua puluh kali sepanjang hidupnya.
Ia
seorang pengembara sejati.
Aku
bahkan merasa berpindah ke rumah Asamura-kun saja sudah memerlukan banyak
tenaga.
Pindah
rumah, ya.
Aku
berencana untuk meninggalkan rumah saat masuk universitas.
Tapi,
akhir-akhir ini aku merasa ragu.
Aku ingin
lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluargaku.
Aku juga ingin tinggal bersama Asamura-kun.
Ah,
mungkin itu terlalu manja.
Tapi
tidak apa-apa. Ini kan buku harianku.
Di taman
yang kami singgahi dalam perjalanan pulang.
Akhirnya,
aku mengungkapkan tentang orang itu kepada Asamura-kun.
Sejujurnya,
aku tidak ingin menemuinya.
Aku juga
berpikir bahwa orang itu sebenarnya tidak ingin bertemu denganku.
Ia
hanya ingin memainkan perannya sebagai ‘ayah
yang baik yang tetap peduli pada putrinya meskipun sudah bercerai’. Rasanya terlihat seperti itu.
Dan aku
benci melihat diriku sendiri yang memiliki pandangan sinis seperti itu.
Sekarang sudah hampir akhir Oktober. Satu-satunya
waktu kita harus bertemu adalah akhir pekan depan. Jika aku bisa melewati itu,
Ito Fumiya akan kembali ke Amerika
tempat dirinya
tinggal. Tapi jika aku terus menolak, ibuku yang telah melindungiku akan dianggap menjadi orang jahat.
Aku
menceritakan situasi itu.
Kemudian
Asamura-kun mengusulkan sesuatu yang mengejutkan.
Melarikan
diri dengan persetujuan orang tua.
Aku
terkejut dan bertanya-tanya apa cara seperti itu bisa diterima, sementara
Asamura-kun terus merencanakan semuanya.
Ayo ke
Atami, katanya.
Dua anak SMA pergi berlibur sendirian, itu
tidak biasa.
Meskipun kami kakak beradik.
Tiba-tiba,
apa yang harus aku lakukan?
Kamu terlalu
memaksa, baka.
…Tapi,
aku senang sih.
30
Oktober (Sabtu)
Semua
berlangsung dengan sangat
cepat. Ternyata
izin dari Ayah tiri dan
ibuku bisa didapat dengan begitu mudah. Mungkin karena mereka tahu kalau aku tidak ingin bertemu orang
itu.
Bagaimanapun,
terima kasih. Semuanya.
Aku
menyiapkan perjalanan dua hari satu malam. Karena ini adalah pelatihan
belajar, penting untuk membawa perlengkapan belajar untuk persiapan ujian.
Rasanya sangat
membantu tidak perlu memikirkan berbagai hal untuk bersenang-senang, tetapi
tetap saja, akan merepotkan jika orang berpikir persiapan perjalanan seorang
gadis bisa selesai dalam dua jam, bukan setengah hari. Sungguh.
Aku tidak
bisa menulis tentang apa yang terjadi selama perjalanan di dalam buku harian.
Tentu
saja tidak terjadi apa-apa.
Aku ingin
menekankan bahwa itu sepenuhnya tentang belajar…
Tidak ada
sesuatu yang
perlu dikhawatirkan oleh orang tua. Aku bersumpah. Meski begitu, jika aku menjelaskan
semuanya di sini, aku merasa bisa menimbulkan kesalahpahaman jika ada yang
membacanya.
Jadi aku
hanya akan menulis bahwa tidak
terjadi apa-apa.
Pandanganku
tentang diriku sendiri, Ayase Saki, terasa sedikit lebih jelas.
Untuk
memastikan hal itu,
Aku
merasa kalau aku harus bertemu.
Dengan
orang itu.
31
Oktober (Minggu)
Aku
menggunakan pemandian dalam yang ada di kamar.
Aku
berniat masuk dan keluar dengan cepat sebelum Asamura-kun bangun, tetapi
sepertinya aku tidak bisa melakukannya dengan tenang. Saat aku keluar dari bak
mandi dan mengenakan yukata, aku merasakan kehadiran Asamura-kun yang baru
bangun dari kamar tidur.
Lagipula,
aku harus mengeringkan rambut dengan pengering, jadi mungkin aku sudah
membangunkannya.
Aku duduk
di kursi yang saling berhadapan di dekat jendela dan mengarahkan pengering
rambut ke rambutku.
Sambil
merasakan angin hangat di rambutku, aku mengingat apa yang kulakukan setelah
bangun tidur.
Pesan
yang aku kirimkan kepada ibuku sebelum tidur.
Saat pagi
tiba, aku menerima balasan darinya.
Sepertinya
dia sudah bangun, jadi aku meneleponnya untuk membicarakan rencana.
Tidak ada
jalan mundur lagi. Meski
Asamura-kun telah repot-repot memberiku
kesempatan untuk melarikan diri…
Sambil aku merasa kebingungan bagaimana mengatakannya,
Asamura-kun mendekat dan bertanya padaku.
Aku
mengungkapkan niatku.
Aku akan
bertemu dengan ayahku.
Besok
sudah bulan November, tetapi sepertinya masih ada
waktu untuk bertemu di pagi hari.
Asamura-kun
mengatakan bahwa aku dan ayahku adalah orang yang berbeda.
Untuk
memastikan itu, aku merasa harus bertemu ayahku sekali lagi.
Besok
pagi, pukul 7. Di kafe di daerah
Shibuya.
“Aku
akan pergi bersamamu,” ucap Asamura-kun.
Meskipun
aku berpikir apa aku diperbolehkan begitu manja, aku merasa jika
Asamura-kun ada di dekatku, semuanya akan baik-baik saja.
Ia
membantu mengeringkan rambutku dengan pengering.
Sambil
merasakan angin hangat yang membuatku mengantuk, aku berpikir tentang bagaimana
cara membalas budi ini.
Dalam
perjalanan pulang, aku membeli es krim dan memakannya.
Karena
tidak ada waktu, aku makan dengan terburu-buru dan membuatku merasakan sakit yang menusuk di
bagian belakang kepala, sehingga aku
harus memejamkan mata dan menahannya selama
perjalanan menuju Stasiun Atami.
Sungguh
tidak baik makan tanpa berpikir. Aku bukan anak kecil lagi.
Namun,
Aku
merasa mungkin tidak apa-apa jika aku sedikit bertingkah
seperti anak kecil.
1 November
(Senin)
Orang itu
yang kutemui setelah sekian lama tampak berbeda dari saat ia baru berpisah
dengan ibuku, ketika dirinya dalam keadaan terpuruk dan kehilangan
kepercayaan diri.
Hanya
dengan sedikit percakapan, aku merasa bahwa
dirinya sebenarnya tidak banyak berubah.
Orang itu
tidak memperhatikan sekeliling.
Mungkin
ia melihatnya, tetapi ia tidak berusaha mengamati seperti Maaya.
Ia
mungkin mendengar suara-suara itu,
tapi ia tidak berusaha membaca makna yang tersirat seperti
Asamura-kun.
Dan yang
selalu ia perhatikan hanyalah hubungan kekuasaan antara dirinya dan orang
lain.
Jika
merasa diuntungkan, ia bisa berperilaku percaya diri, tetapi jika ia menyadari
posisinya yang tidak menguntungkan, dia akan merasa takut dan menyusut.
Aku pikir
ia adalah orang yang lemah. Itulah sebabnya ia ingin terlihat kuat.
Asamura-kun
kuat. Ia tidak berusaha terlihat kuat,
tetapi ia memang kuat.
Ia terlihat
sangat dewasa.
Meskipun
itu urusan tentang orang lain. Meskipun itu
adalah cerita orang tua dan anak
yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Ia
menghadapi orang dewasa dengan tegas.
Melihat
sosoknya, aku merasa frustrasi.
Seolah-olah
hanya dirinya saja yang sedang menaiki
tangga kedewasaan. Seolah-olah hanya aku yang tetap menjadi anak-anak.
Aku juga
harus menghadapinya, sebagai
orang dewasa, dan berhadapan langsung dengan ayahku.
Saat aku
berpikir begitu, kata-kata yang selama ini tidak muncul tiba-tiba mengalir dengan begitu lancar.
Terima
kasih, Asamura-kun.
Tapi, aku
juga tidak akan kalah, Asamura-kun.
Aneh sekali. Selama ini aku tidak pernah
merasakan hal seperti ini.
Lebih
dari merasa ingin menang, aku merasa tidak
ingin kalah.
Karena
jika aku kalah, Asamura-kun akan selamanya menjadi “Yuuta-niisan”.
Menjadi adiknya
pasti mudah.
Ia
akan memanjakanku tanpa batas.
Dan
selama aku merasa begitu, aku akan tetap menjadi adiknya. Itulah sebabnya, aku mau menerimanya.
Aku ingin
memanggilnya dengan bangga.
Yuuta, begitu.
Karena,
jika aku dan dirinya menjadi
seperti ayah dan ibuku, seperti ayah tiri dan ibu…
Jika ada
masa depan di mana aku dan dirinya
menjadi pasangan dalam hidup.
Aku ingin
menjadi manusia yang setara dalam arti sesungguhnya. Tidak hanya dibantu olehnya,
tetapi aku juga ingin bisa membantunya. Tidak hanya bergantung padanya saja, tetapi dirinya juga bisa bergantung
padaku.
Supaya
aku bisa merasa aman dan menunjukkan kelemahanku kapan saja.
Sehingga
dirinya bisa merasa aman dan
menunjukkan kelemahannya kapan saja.
Memberi,
menerima, dan berbagi.
Jika aku
bisa yakin bahwa itu mungkin. Aku berpikir
kalau aku ingin mengatakannya sendiri.
“Mari
kita hidup bersama selamanya. Mari kita
menyapa orang tua kita.”
Begitulah.