Chapter 7 — 1 November (Senin) Asamura Yuuta
Pada pagi
Senin yang menandai awal minggu, suasana di dalam keluarga Asamura terasa begitu
gelisah.
Waktu
menunjukkan pukul 6:02.
Waktunya lebih
awal satu jam dari biasanya, aku, ayah, dan Ayase-san sudah bangun. Akiko-san
yang baru pulang juga pasti merasa lelah, tetapi dia hanya meminum teh tanpa
pergi ke kamar tidur. Semua orang berkumpul di ruang makan karena Ayase-san
akan bertemu dengan ayah kandungnya di sebuah kafe dekat Stasiun Shibuya.
Ayah kandungnya
yang disebut Ayase-san sebagai ‘orang itu,’ Ito Fumiya, akan terbang
kembali ke Amerika sore ini. Setelah mendengar jadwal ayahnya, pertemuan pagi
ini diatur secara mendadak.
Seluruh keluarga
yang ada di sini tahu bahwa hubungan Ayase-san dengan Ito Fumiya sangat jauh
dari kata baik. Oleh karena itu, semua orang merasa tidak tenang.
“Apa kamu
baik-baik saja?" tanya Akiko-san dengan khawatir, dan Ayase-san menjawab, “Ya,
aku sudah baik-baik saja”.
Ayase-san
tampak lebih tenang dibandingkan siapa pun di sini. Jika mengingat keadaannya
beberapa hari yang lalu, ekspresinya kini seperti telah keluar dari kegelapan
yang panjang.
Namun, kami
tetap merasa khawatir.
“Aku sudah
meminta Yuuta-niisan untuk menemani di dekatku.”
Meskipun
Ayase-san akan pergi sendirian untuk pertemuan itu, tapi dia memintaku untuk
mengawasinya dari kafe yang sama.
Akiko-san
dan ayahku mengalihkan pandangan ke arahku.
“Jaga dia
baik-baik ya, Yuuta-kun.”
Akiko-san mengucapkan
itu sambil menundukkan kepala, dan ayahku yang sedang memegang wajan berkata, “Tolong
ya”. Ia kemudian menjatuhkan telur mata sapi yang sedang digoreng ke atas
piring.
“Baiklah.
Kalau begitu, kalian berdua sebaiknya segera bersiap-siap. Tidak baik membuat
Ito-san menunggu.”
Kami semua
mengangguk mendengar kata-kata ayah.
Karena
pertemuan ini diatur secara mendadak, kami tidak boleh terlambat.
Setelah
menyiapkan perlengkapan sekolah, kami berdua keluar dari rumah bersama.
◇◇◇◇
Kafe ritel yang dekat dengan stasiun itu
terkenal karena semua menunya berukuran lebih besar dan memberikan kesan lebih
menguntungkan dibandingkan kafe lain, tetapi yang lebih penting untuk pertemuan
kali ini adalah bahwa kafe tersebut buka mulai pukul 7 pagi.
Waktu
pertemuan direncanakan sekitar 40 menit sambil sarapan.
Dengan
begitu, kami masih bisa pergi ke sekolah dan
cukup tepat waktu untuk memulai pelajaran.
“Baiklah,
aku masuk dulu ya.”
Aku balas
mengangguk saat mendengar perkataan Ayase-san.
Kurasa Ito-shi mungkin
belum datang, tetapi untuk berjaga-jaga, aku tidak masuk bersama Ayase-san. Aku
tidak ingin mengganggu atau memicu masalah. Ayase-san juga mengatakan demikian, jadi aku
menunggu sekitar lima menit sebelum masuk.
Setelah
menghabiskan waktu dengan berjalan bolak-balik di jalan, aku masuk ke dalam
kafe.
Saat
melihat ke sekeliling, aku melihat Ayase-san duduk di kursi boks di bagian
belakang. Sepertinya Ito-shi
belum datang.
“Kamu, maaf,
bisa tolong beri jalan?”
Suara
orang dari belakang membuatku terkejut
dan segera menggeser ke samping.
“Terima
kasih. Maaf mengganggu. Aku sedang terburu-buru!”
Suara
yang terdengar aneh yang bernada tinggi
di pagi hari itu berasal dari seorang pria berusia sekitar empat puluhan yang
mengenakan setelah jas.
Rambutnya
yang pendek tampak bersih dan ditata dengan wax sehingga terlihat alami. Ia memberi kesan sebagai seorang
pengusaha yang stylish. Aku berpikir bahwa dasinya yang merah juga sangat
mencolok, saat melihatnya berjalan menuju kursi boks tempat Ayase-san duduk.
Jangan-jangan,
ia adalah ayah kandung
Ayase-san—Ito Fumiya?
Aku
segera mengikuti di belakangnya.
Namun,
aku tidak bisa terlalu mencolok, jadi aku memutar dari sisi lain kafe untuk
mendekati kursi boks tempat Ayase-san berada.
“Ah,
maaf sudah membuatmu menunggu!”
Teriak Ito-shi dengan suara yang keras.
Suaranya terlalu kencang.
Gambaran
yang aku dengar dari Ayase-san tentang beliau
adalah ‘Ito Fumiya yang terpuruk setelah
gagal dalam bisnis,’
jadi aku membayangkan sosok yang lebih membungkuk dan rendah diri. Melihatnya
yang tampak percaya diri dan elit membuatku terkejut.
“Selamat
pagi.”
Ayase-san
menyapanya dengan suara datar dan singkat. Suara pertama yang
keluar dari mereka yang sudah lama tidak bertemu terasa terlalu berbeda, dan
aku mulai merasa sedikit cemas.
Meskipun
begitu, aku merasa lega karena suaranya tetap tenang.
Melihat
kursi boks yang kosong satu tempat di belakang
Ayase-san, aku duduk di sana.
Aku bisa
mendengar percakapan mereka.
“Aku senang
melihatmu sehat-sehat saja!
Kita sudah lama tidak bertemu, tapi kamu semakin cantik saja.”
“…”
“Aku
senang kamu mau bertemu meskipun harus memaksakan diri. Aku pikir aku akan
kembali ke Amerika tanpa bisa melihatmu.”
“Karena
aku ada sedikit waktu luang.”
“Sekarang sudah musim gugur. Suhunya sudah
cukup dingin. Mungkin ini musim yang baik untuk belajar. SMA Suisei adalah sekolah yang baik, dan
pasti kamu juga ingin masuk universitas yang bagus, kan?”
“Yah... walaupun sedikit mepet.”
“Kamu
pintar, dan ditambah lagi kamu secantik ini. Mana
mungkin kamu kalah dari siapa pun. Hebat,
Saki!”
Ayase-san
tampak menghela napas pelan yang bisa aku dengar meskipun ada sekat boks di
antara kami.
“…Terima
kasih,”
Suara
Ayase-san yang terdengar tertekan itu tidak
disadari oleh Ito Fumiya.
Aku
merasa kepalaku pusing.
Aku tahu
bahwa mendengarkan percakapan orang lain itu tidak baik, tetapi karena suaranya
yang keras, rasa bersalah itu sedikit berkurang—atau begitulah
seharusnya—tidak, aku masih merasa pusing.
Ini
bukanlah percakapan yang baik.
Ito-shi sepertinya tidak peduli.
Pelayan
datang mendekati boks tempat Ayase-san dan
Ito-shi duduk.
“Apa
Anda sudah memutuskan pesanan?”
“Ah,
benar juga, kurasa aku akan memesan kopi. Saki, kamu mau apa?
Pesan saja apa pun yang kamu suka.”
“Roti
panggang biasa, dan secangkir
kopi.”
“Itu saja?
Kamu boleh memesan yang lebih mahal di sini.
Jangan ragu pada orang tuamu.”
“…Tidak
apa-apa, aku
baik-baik saja.”
“Begitu
ya. Kalau begitu—”
Aku
mendengar suara Ito-shi
mengumumkan pesanannya.
Pelayan
itu kemudian mengalir ke arahku untuk mengambil pesanan. Aku mencoba berbicara
pelan dan memesan hal yang sama dengan Ayase-san.
“Ya, sudah kuduga, Saki memang hebat.”
“Begitu…
ya?”
“Bukannya
kamu terlalu sempurna karena selain cantik, nilaimu juga bagus? Menurutku tidak
ada oran lain seusiamu yang bisa
mengalahkanmu.”
“Itu terlalu berlebihan. Masih ada banyak orang lain yang lebih pintar dariku.”
“Tidak,
tidak, jarang sekali ada gadis yang bisa menyeimbangkan antara
kecantikan dan akademik. Aku juga merasa bangga.”
Pujian
yang tidak terduga dari Ito Fumiya adalah sesuatu yang diinginkan oleh Ayase
Saki dalam mode bertahan.
Ayase-san
dulu pernah berkata, “Aku ingin sempurna dalam
berpenampilan. Mencapai level di mana orang lain bisa mengatakan aku cantik,
dan menjadi orang kuat yang sempurna dalam
segala hal, temasuk dalam akademik dan pekerjaan”.
Penilaian
semacam itulah yang sangat diinginkan
oleh Ayase-san.
Namun,
meskipun mendapatkan pujian tinggi dari ayahnya, Ayase-san tampak sama sekali
tidak senang…
“Sebenarnya
aku juga—”
Setelah
beberapa kali memuji Ayase-san, Ito Fumiya mulai bercerita tentang kehidupannya
sendiri.
Cerita Ito
Fumiya yang mengalir dengan lancar itu sangat mencolok. Saat aku mendengarkannya, aku merasa
wajahku semakin tegang.
Sekarang,
sepertinya perusahaan baru yang didirikan olehnya sudah berjalan dengan baik.
Ukuran perusahaannya semakin
besar, dan mereka juga mengincar untuk terdaftar di pasar saham. Ia
membanggakan jumlah penghasilan tahunan yang meningkat dan berbicara tentang
ukuran rumah baru yang akan dibelinya. Rumah yang direncanakan dibeli di
pinggiran New York adalah sebuah rumah dengan kolam renang, dan hanya meja riasnya
saja sudah sebesar satu ruangan.
“Aku
sudah melunasi semua hutangku. Bahkan, aku menghasilkan uang paling banyak sekarang.
Dengan ini, kupikir aku bisa
bertemu Saki dengan bangga.”
Perkataan Ito
Fumiya bergema di telingaku. Aku merasakan kepahitan di mulutku.
[Dengan
ini, kupikir aku
bisa bertemu Saki dengan bangga.]
Jika dipikir kembali dari sudut pandang berbeda,
meskipun selama ini mereka sudah
bertemu setiap dua bulan sekali, tapi
ia merasa bersalah setiap kali bertemu. Karena ia merasa masih dalam keadaan
kalah.
Namun,
aku sudah mendengarnya dari
Ayase-san dan Akiko-san, dan mengetahuinya.
Penyebab
perceraian mereka bukan
karena Ito Fumiya gagal dalam bisnis—kalah—tapi karena alasan lain.
Ya ampun,
Ayase-san bilang kalau dia mirip dengan ayahnya?
Salah, mereka
malah berbeda. Justru, akulah yang mirip.
Ito
Fumiya adalah gambaran ‘diriku saat masa kamp pembelajaran musim
panas’.
Untuk
bisa setara dengan pasanganku,
agar bisa menjadi seseorang yang bisa diandalkan, aku ingin masuk universitas yang
lebih baik dan memilih pekerjaan yang lebih baik. Jika tidak, aku merasa tidak layak untuk
pasanganku.
Aku harus bisa berdiri dengan bangga di samping Ayase-san.
Apa bedanya
antara aku yang berpikir seperti itu dan Ito Fumiya yang bangga atas status
sosial yang didapatnya, yang akhirnya bisa bertemu putrinya dengan percaya
diri?
Tidak ada
perbedaannya. Semua itu sama saja.
Ia
hanya memedulikan pada hubungan kekuatan antara
dirinya dan pasangannya.
Itu
bukanlah hal yang buruk.
Jika
pasangannya memiliki karakter yang sama, percakapan akan mengalir dengan baik.
—Namun,
Ayase-san…
Pembicaraan Ito Fumiya terus berlanjut.
Ia menyebutkan bahwa dirinya telah menikah lagi dan memiliki
anak dengan istri barunya. Ia
merasa bahagia dengan keluarga baru yang terbentuk. Ia memberitahu Ayase-san dengan
senang bahwa mereka akan memiliki seorang putri. Meskipun ibunya berbeda, Ito Fumiya dengan gembira memberitahu Ayase-san kalau dia
akan menjadi kakak
perempuan.
Tanpa
memperhatikan ekspresi wajah Ayase-san.
Setelah
itu, Ito Fumiya tentu saja menyatakan bahwa sebagai seorang ayah, ia mencintai
Saki dengan sepenuh hati, dan jika ada
masalah, dirinya bisa
diandalkan untuk memberikan dukungan.
Itu
seharusnya adalah kata-kata perhatian seorang ayah kepada putrinya.
“Selamat
atas kelahiran anak Anda.”
Suara Ayase-san menjadi semakin dingin.
“Ya,
terima kasih.”
“Tapi...
bukan kata-kata seperti itu yang ingin aku dengar...”
Suara
Ayase-san terdengar bergetar.
Ito-shi akhirnya menyadari suasana
canggung dan terdiam.
“Maaf
telah membuat Anda menunggu.”
Seorang wanita pelayan yang membawa
pesanan Ayase-san dan yang lainnya. Meskipun dia pasti merasakan suasana tegang
di antara mereka, pelayan profesional itu tetap tenang dan dengan sigap
menyusun pesanan di meja tanpa bereaksi. Untuk Ayase-san ada roti panggang dan
kopi, sedangkan untuk Ito Fumiya hanya kopi.
Setelah
itu, set makanan pagi juga disajikan untukku, tapi aku sudah tidak memiliki
selera untuk makan.
Setelah
pelayan pergi, Ayase-san berkata pelan.
“Apa
yang ingin kudengar
adalah...”
Suaranya menjadi
semakin mengecil.
──Aku ingin mengatakan sesuatu sebelum
mengeluh.
Ayase-san
ingin mengatakan sesuatu kepada Ito Fumiya. Mungkin sejak dia masih kecil, dia
selalu ingin mengatakannya.
Bahkan setelah
perceraian dan melakukan pertemuan
setiap dua bulan sekali, dia berulang kali mencoba untuk
mengatakannya.
Namun,
saat itu dia tidak bisa mengatakannya kepada Ito Fumiya. Entah kenapa.
Dia
tidak bisa mengatakan hal itu kepada Ito Fumiya
ketika ia hanya berusaha memenuhi kewajibannya sebagai orang tua walaupun ia kepercayaan
diri yang rendah.
Dan
setelah Ito Fumiya kembali menjadi orang yang sukses, Ayase-san juga tidak bisa mengatakannya
lagi...
Seandainya
dia memiliki perasaan cinta atau benci yang kuat, mungkin dia bisa merangkai
kata-kata dengan penuh emosi. Namun, cinta dan kebencian adalah perasaan yang
muncul dari ketertarikan yang kuat terhadap orang lain. Ayase-san tidak terlalu mencintai atau membenci Ito
Fumiya dengan kuat.
Hubungan
orang tua dan anak dalam kenyataan tidak sedramatis emosi dalam cerita.
Ada
perasaan suka yang tidak begitu jelas.
Ada
perasaan tidak suka yang tidak begitu jelas.
Layaknya
warna-warna netral, begitulah
perasaan yang diarahkan kepada orang lain dalam kenyataan.
Jika
jarak yang ada hanya sebatas teman sekelas, Ayase-san bisa saja mengabaikan dan
berkata, “Rasanya membuang-buang waktu saja untuk memperhatikan suasana
hati,” tetapi...
Ada rasa kedekatan tertentu kepada keluarga yang hidup
bersamanya, meskipun dia tidak bisa mengatakan benci, ada cukup banyak hal yang
bisa membuatnya merasa tidak suka...
Perasaan
yang samar-samar dan bertentangan ini bertabrakan dan membuat kata-katanya menjadi tumpul.
Dia
melirik ke belakang.
Ayase-san
diam dan menggelengkan kepala ke kiri dan kanan. Sekali lagi, Ayase-san
terdiam.
Dia
mengatakan bahwa dia akan bertemu dengan perasaan yang begitu kuat.
Namun,
meskipun dia pergi dengan dipenuhi tekad,
keterampilan manusia tidak bisa tumbuh dengan cepat seperti itu.
Tanpa kusadari, aku sudah berdiri dari tempat
dudukku.
──Sebagai
kakak dan juga sebagai kekasih,
aku ingin menjadi kekuatan bagi Saki.
Ayase-san,
maafkan aku. Tapi aku tidak bisa diam saja
mengenai hal ini.
Aku
adalah kakakmu.
Dan juga pacarmu.
Saat
pulang kampung ke rumah keluarga besar ayahku, aku
teringat saat berdiri di depan kakekku di tengah malam dan melindungi
Ayase-san.
Mengingat
keberanian saat itu.
“Permisi.”
Aku berpindah satu tempat boks dan
memanggil Ito Fumiya.
◇◇◇◇
Orang yang
pertama kali terkejut adalah Ayase-san.
Saat aku
mengucapkan “permisi,” dia sudah merasakan kehadiranku
dan terkejut, lalu mengalihkan pandangannya ke
arahku dengan wajah yang tercengang
sebelum suaraku
menghilang.
“Eh,
kamu ini siapa...?”
Ito
Fumiya juga tampak kebingungan.
Rasanya sangat
canggung. Namun, aku tidak bisa mundur lagi. Aku menundukkan kepala dan membuka
mulut.
“Aku
adalah keluarganya, yang sekarang.”
“Sekarang...
anak dari pasangan baru Akiko?”
“Ya.
Aku adalah putranya, Asamura Yuuta.”
“Kamu
yang...”
Wajah Ito
Fumiya tampak terkejut, tetapi kemudian ia terdiam dan dengan suara yang
ditekan, ia memberikan kritik.
“Kamu
ikut dalam pertemuan ini? Itu sama sekali tidak
sopan.”
“Aku
mohon maaf mengenai hal itu. Aku benar-benar minta maaf.”
Sebenarnya, persis seperti yang dikatakan oleh Ito-shi.
Dari
sudut pandang Ito Fumiya, posisiku hanyalah ‘orang
lain’.
Namun, bagiku—itu bukanlah sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan diriku.
"Jika
kamu mengerti, kami sedang sibuk dengan
pembicaraan sekarang. Bisakah kamu tidak mengganggu?”
Aku
hampir merasa gentar ketika ia mengatakan itu
dengan tegas.
“Aku
tahu ini tidak sopan... Namun, saat ini aku juga bagian
keluarga Saki. Ketika adikku tidak bisa mengungkapkan apa yang ingin dia
katakan, aku ingin membantunya.”
Saat aku
mengatakan itu, untuk pertama kalinya dia menunjukkan ekspresi bingung.
Ah, sudah kuduga—pikirku.
Percakapan
antara Ito Fumiya dan Ayase Saki bukanlah
percakapan yang kuduga.
Komunikasi
di antara mereka tidak
terbentuk. Meskipun mereka berbicara dalam bahasa Jepang yang sama.
Dan Ito
Fumiya tidak menyadarinya.
“Apa
yang... kamu katakan?”
Melihat
wajahnya saat dia berkata begitu membuat
hatiku terasa sakit. Aku bisa memikirkan banyak hal yang ingin kukatakan, tapi
aku tidak bisa menemukan kata-katanya. Misalnya, ketika Ayase-san mengucapkan, “Selamat
pagi” Ito Fumiya
tidak membalas apa-apa. Padahal hanya dengan, “Ah,
selamat pagi juga”
saja sudah cukup. Misalnya, ketika Ayase-san menjawab bahwa dia hampir memilih
sekolah yang diinginkannya, ia tidak memberikan tanggapan apapun. Bahkan bagi Ayase-san yang berprestasi, Universitas Tsukinomiya bukanlah
universitas yang bisa dia anggap optimis untuk diterima. Ia seharusnya bisa merasakan
kecemasan putrinya, tetapi ia tidak
mengatakan apa-apa.
Semua
berlangsung seperti itu.
Itu bukanlah percakapan. Terlepas dari apa
yang dikatakan pihak lain, Ito Fumiya hanya mengungkapkan pikirannya dan
perasaannya secara sepihak.
Oleh
karena itu, Ayase-san terus diam.
Dia tidak
tahu apa yang harus dikatakan agar bisa menyentuh hati orang lain.
Karena
tidak ada perasaan cinta atau benci yang kuat, dia tidak bisa memohon atau
mencela.
Ketika
aku berpikir seperti itu, aku juga menyadari bahwa aku telah kehilangan arah
tentang apa yang seharusnya kukatakan.
Aku
berdiri diam dengan kedua tangan menggenggam erat.
Tidak ada
cara untuk menyesuaikan.
Aku merasa tidak bisa melakukannya.
“Sa...”
Kata-kata
terasa tidak berarti. Bagaimana aku
harus berinteraksi dengan
orang yang tidak bisa diajak bicara meskipun kami berbicara dalam bahasa yang
sama?
“Saki...”
Keluarkan,
bisik bagian diriku yang lain di dalam kepalaku. Jika aku tidak mengatakan
sesuatu, maka tidak ada artinya aku berdiri di sini dengan menyadari bahwa ini
tidak sopan. Apa saja. Apapun. Keluarkan.
Tiba-tiba.
Sungguh, secara mendadak. Aku teringat tulisan di panel yang menggambarkan
Shiga Naoya yang aku lihat di museum daerah.
Dirinya yang dikenal sebagai
pengembara. Ia pernah
bertengkar dengan ayahnya dan melarikan diri dari rumah, dan banyak karyanya
ditulis tentang konflik dengan ayahnya, demikian penjelasannya.
Aku
kebetulan sedang membaca cerpen karya Shiba Naoya
berjudul ‘Seibei
dan Labu’.
Di sana, memang ada orang dewasa yang tidak
memahami nilai-nilai protagonis anak laki-laki.
Perbedaan
nilai dengan ayah... Konflik dan penderitaan yang muncul karena ketidakpahaman.
Namun, Shiga Naoya berdamai dengan ayahnya di
pertengahan usia tiga puluhan.
Ah, sial.
Bagaimana ia mencapainya? Apakah ada petunjuk dalam novel-novelnya jika aku
membacanya dari awal hingga akhir? Meskipun kini aku meratapi hal itu, semua itu tidak ada gunanya.
Novel
tidak selalu menuliskan jawaban hidup. Namun, orang kadang-kadang membaca buku
untuk mencari jawaban.
Tapi saat
ini, aku tidak bisa memikirkan buku yang bisa membimbingku... gelombang perasaan tidak
berdaya menghimpitku.
Kuku
menancap ke telapak tanganku yang terkatup. Sakit. Namun, rasa sakit itu
mungkin tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa sakit di dalam hati Ayase-san.
“Kamu...”
Wajah Ito
Fumiya semakin cemberut. Tatapan
serius seorang dewasa yang sukses memberikan tekanan yang luar biasa, membuatku
hampir merasa gentar.
“Asamura...
kun...”
Namun di saat yang sama, berkat aku melihat wajah Ayase-san yang diliputi kecemasan, aku bisa menahan diri.
Aku
menekan berat badan pada kakiku yang hampir mundur.
Benar sekali. Aku akan menjadi dewasa. Itu
bukan hanya makna formal lulus SMA dan menjadi mahasiswa. Itu berarti aku akan menghadapi
orang dewasa secara langsung dan berada dalam posisi yang setara dalam
berdialog.
Demi
melindungi orang yang berharga bagiku.
Sembari menunjukkan
niat yang jelas dan tetap
tenang, sambil tetap mempertahankan ego diriku dan ego kami.
“Bisakah
kamu... berbicara dengan Saki?”
“Kami
sedang berbicara.”
Ito
Fumiya menjawab dengan ekspresi kebingungan,
dan aku hampir menggigit bibirku,
berpikir bahwa memang tidak ada yang tersampaikan.
Akan tetapi, Ayase-san berkata, “Ayah”.
Ito
Fumiya menatap Ayase Saki.
Ayase-san dengan
tenang mulai merangkai kata-katanya.
“Ibu
bukanlah trofi cantik
yang bisa didapatkan ketika Ayah berusaha keras.”
“...Eh?”
“Keberadaan Ibu
di sana bukanlah untuk membuktikan
seberapa hebat Ayah sebagai pria, seberapa banyak uang yang bisa didapat, atau
seberapa banyak hal hebat yang telah dilakukan.”
“Apa
yang kamu bicarakan? Bukannya itu
sudah jelas?”
“...Ketika
Ibu sedang mengalami masalah, apa
Ayah akan mendukungnya?”
“Tentu
saja. Sekarang, aku tidak punya hak itu, dan aku sudah memiliki istri sekarang.
Tapi ketika aku adalah suaminya Akiko, tentu saja aku mendukungnya.”
“Kalau
begitu, bagaimana dengan sebaliknya?”
“Apa
maksudmu?”
“Bagaimana
kalau ayah mengalami masalah? Apa yang seharusnya dilakukan Ibu?”
“Itu...
tentu saja...”
“Ibu
juga mendukungmu. Tapi,
Ayah mungkin tidak merasa senang, ‘kan?”
“Itu
karena.... akulah yang seharusnya mendukungnya.”
Ayase
mengangguk.
“Aku
mengerti. Aku tidak mengatakan ada yang
salah dengan itu. Karena itu juga salah satu dalam
pandangan tertentu.”
Tapi,
kata Ayase.
“Pandangan
Ibu mungkin berbeda. Ibu ingin mendukung ketika orang lain sedang kesulitan,
tanpa memandang pria atau wanita. Tidak hanya secara mental saja. Mungkin, Ibu sejak awal
menganggap menjadi pendukung bagi seseorang adalah perannya. Itulah sebabnya dia selalu
bekerja dengan orang lain. Bukan hanya untuk uang.”
“Akiko...”
“Selain
itu, Ibu mungkin suka mendengarkan cerita orang lain. Itulah sebabnya dia
mendengarkan rekomendasi dengan antusias di departemen toko, dan melayani
pelanggan di toko. Dan hanya karena seseorang berbicara padanya, dia sangat
berterima kasih dan merasa harus memberikan sesuatu sebagai balasan. Memberi
dan menerima, dengan memberi lebih banyak. Tapi Ayah tidak lagi berbagi apa pun
dengan kami. Tidak ada masalah atau keluhan, pada dasarnya ayah tidak bisa membicarakan
kelemahanmu. Hanya
ketika ayah berada dalam posisi yang kuat, ayah baru
mau berbicara.”
“Yah...
mungkin itu bisa terjadi..."
Ayase-san menggelengkan kepalanya.
“Aku
mengerti. Karena itu adalah
pandangan Ayah. Sekarang aku bisa memahaminya. Aku tidak ingin mengatakan itu
salah.”
Kata-kata
yang terakumulasi selama 17 tahun hidupnya mengalir deras dari mulut Ayase-san.
“Tapi
Ibu tidak pernah kehilangan harapan pada Ito Fumiya meskipun ia melakukan
kesalahan. Dia tidak menyukainya karena ia orang
yang sukses.”
Aku pun
tanpa sadar mengangguk. Pertemuan antara Ayahku dan Akiko-san dimulai ketika Ayahku mabuk dan
dibantu. Artinya, hubungan mereka dimulai dari pertemuan yang memalukan karena
alkohol. Bagi Akiko-san, apa
pasangannya sukses atau gagal mungkin tidak terlalu penting.
Ito
Fumiya bukanlah orang jahat atau bodoh. Faktanya,
yang terjadi justru
sebaliknya. Kegagalan dalam bisnisnya menyebabkan utang yang menyiksa
keluarganya, tetapi ia sudah melunasinya.
Aku tidak
tahu apakah aku bisa bangkit kembali dalam waktu singkat jika berada dalam
situasi yang sama.
Memikirkan
betapa panjangnya perjalanan dan usaha yang diperlukan untuk sampai ke sana
membuatku menaruh rassa hormat.
Lebih dari itu, sekarang ia memulai bisnis baru dan bahkan mendapatkan keluarga
baru.
Tapi—.
Aku rasa kesuksesan seperti itu juga tidak sepenting
kegagalan bagi Akiko-san.
Alasan
Akiko-san memilih pasangan hidupnya tidak
terletak di sana. Dan mungkin Ayase-san
juga merasakan hal yang sama.
“Aku
hanya berusaha yang terbaik untuk
membuat keluargaku bahagia.”
“Tapi
Ayah tidak pernah bertanya padaku sekali pun tentang kebahagiaanku.”
“Itu...”
Ito
Fumiya—Ayahnya Ayase Saki tidak
bisa membalas kata-katanya.
Aku tidak
tahu sejauh mana kata-kata Ayase-san bisa menyentuh hati Ito Fumiya. Mungkin
itu adalah cara berpikir yang baru baginya. Namun, semangat yang sebelumnya
menggebu-gebu saat ia berbicara kini telah menghilang. Mungkin sekarang untuk pertama
kalinya ia mulai menyadari bahwa dirinya
tidak memahami gadis di depannya.
“Ayah,
aku akan mengatakan sesuatu yang ingin aku bicarakan sejak lama.”
Kata-kata
putrinya didengar ayahnya dalam
diam.
“Jika
kamu benar-benar peduli padaku
sebagai putrimu, tolong
jangan berpikir untuk membantuku. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri.
Jangan berpikir untuk menjadi ayah yang hebat. Aku tidak ingin mengubah
perasaanku terhadapmu berdasarkan seberapa hebatnya
kamu.”
“Kalau
begitu, aku akan memanjakan diriku sendiri.”
Ayase
mengangguk, seolah ingin mengatakan bahwa dia mengerti.
“Makanya
aku hanya menyampaikan harapanku saja.
Aku tidak berpikir itu akan terwujud. Tapi, aku ingin kamu sedikit
mempertimbangkannya. Di depan ayah yang berusaha menjadi hebat, aku hanya bisa
menjadi putri yang hebat.”
“Kamu
sudah menjadi putri yang hebat, Saki.”
Putrinya
menggelengkan kepala mendengar kata-kata ayahnya.
“Ayah,
saat ini ada teman yang memanggilku 'idiot,
imut, dan cantik'.”
“Itu...
tidak sopan.”
Dengan
senyum yang mengingatkannya pada kenangan,
Ayase Saki mulai bercerita tentang sahabatnya, Narasaka Maaya.
“Dia
menerimaku meskipun aku bodoh. Tentu saja, dia juga melihatku sebagai orang
yang hebat. Dia melihatku secara menyeluruh. Jadi, di hadapannya, aku bisa
tetap menjadi manusia biasa dengan segala kekuranganku.”
“Manusia
biasa...”
“Aku
hanyalah putri biasa. Tidak hebat maupun luar biasa. Hanya seorang gadis biasa yang bisa ditemukan di mana saja.”
“Saki...”
“Tentu
saja, aku mengerti bahwa Ayah memiliki nilai-nilai yang penting bagimu. Aku
tidak meminta untuk mengubahnya. Tapi, tolong dengarkan sedikit suara
orang-orang di sekitarmu, lihat wajah mereka. Ketahuilah pemikiran mereka. Aku
ingin kamu menyadari bahwa setiap manusia memiliki sisi baik dan buruk.
Terutama kepada keluarga baru—istri baru dan putri baru.”
Ketika
Ayase-san mengatakan hal itu, Ayahnya
menggelengkan kepala.
Apa itu
tanda bahwa ia tidak bisa melakukannya?
Atau
mungkin tanda bahwa ia kesulitan memahami apa yang dikatakan Ayase-san?
Atau
mungkin itu adalah gerakan yang mencerminkan betapa sulitnya untuk melaksanakan
apa yang dikatakan putrinya.
“Hanya itu yang ingin kukatakan.”
“Saki...”
“Ya.
Aku adalah Saki. Tapi sekarang aku adalah Ayase Saki, dan Asamura Saki. Aku sudah bukan Ito Saki. Jadi, kita tidak perlu lagi bertemu seperti
ini. Aku tidak meminta untuk menjadi 'ayah baik yang sering bertemu dengan
anak dari mantan istrinya'.”
“Eh!
Tidak, itu...”
“Tolong.
Aku tidak ingin bertengkar dengan Ayah. Aku tidak ingin semakin membencimu.”
Itulah
sebabnya, Ayase-san
berkata,
“Ketimbang
bertemu denganku, lebih baik kamu menghargai keluarga barumu. —Selamat
tinggal, Ito-san.”
Setelah
berkata demikian, Ayase-san
mengeluarkan dompet dari dalam tasnya,
mengambil uang kertas, dan meletakkannya di atas meja.
Biaya hidangan paket sarapan adalah satu koin
besar dan satu koin kecil, jadi cukup untuk mendapatkan kembalian.
Dia
berdiri dari kursi dan pergi tanpa berkata apa-apa
lagi.
Aku
buru-buru kembali ke tempat dudukku, meraih tas dan struk pembayaran untuk
mengejarnya.
Namun,
secara alami kakiku terhenti, dan aku menoleh kembali ke arah Ito Fumiya.
Ia
menatap pintu kafe tempat Ayase-san
menghilang dengan penuh perhatian. Aku merasa
sangat kecewa karena ekspresi
di wajahnya bukanlah penyesalan atau kesedihan.
Hanya
kebingungan. Itu saja.
“Sulit
untuk menyesuaikan diri dengan 'selamat tinggal' yang
sekarang, ya?”
Tanpa
sadar aku mengucapkan hal itu.
“Eh?”
“Tapi,
kupikir kamu
bisa mengatakan 'selamat pagi'. Jika kamu benar-benar memperhatikan
Saki.”
“…………”
“Jika
dia sedang kesulitan, aku ingin membantunya.
Aku ingin memberinya makanan yang enak. Jika dia berusaha keras atau
mendapatkan nilai bagus, aku ingin memujinya. Begitulah caramu mencintai keluargamu, ‘kan? Jika ditulis dalam
poin-poin, aku juga memikirkan hal yang sama dan berusaha melakukan hal yang
sama.”
Pria yang
bernama Ito Fumiya mirip seperti
cermin. Sama halnya seperti
Ayase Saki menemukan bagian yang tidak disukainya dalam dirinya, aku juga
mungkin menemukan diriku yang bisa menjadi seperti itu.
Tapi, ada satu hal yang jelas-jelas berbeda.
Aku
bisa dengan percaya diri mengatakannya bahwa aku
dan Ayase-san pada dasarnya sangat berbeda dari
Ito Fumiya.
Aku yakin
bahwa poin-poin tidak menangkap esensi manusia.
“Dia
hanya ingin saling mengucapkan 'selamat pagi', makan dengan 'itadakimasu',
dan saat pergi mengucapkan 'ittekimasu' dan mendapatkan 'itterasshai'.
Saki hanya ingin menjalani kehidupan dengan cara seperti itu. Dia tidak mengharapkan hal-hal
khusus lainnya.”
“……
Itu hanya omong kosong.”
Ito-shi mengeluarkan kata-kata itu
dengan pelan.
Ada
ekspresi kosong yang
sedikit berbeda dari kebingungan yang terlihat di
wajahnya.
“Yang
diberikan oleh Akiko dan Saki kepadaku saat aku dalam keadaan menyedihkan
bukanlah cinta, melainkan rasa kasihan. Mungkin simpati itu baik pada awalnya,
tetapi lama-kelamaan akan menjadi dingin dan suatu saat akan dibuang. Faktanya,
kami memang harus berpisah.”
Subjeknya
adalah dirinya sendiri.
Ia
hanya memikirkan bagaimana dirinya diperlakukan, tanpa sedikit pun mencoba
membayangkan sudut pandang Ayase-san
atau Akiko-san. Seruan
Ayase-san sebelum
dirinya pergi tampaknya tidak cukup efektif untuk
mengubah hatinya.
Itu
wajar. Jika itu fiksi, mungkin rassanya berbeda,
tetapi manusia yang hidup di dunia nyata gampang
berubah begitu saja.
Seperti
halnya tidak mungkin untuk mengembalikan bangunan bersejarah ke kondisi aslinya
dengan sempurna, nilai-nilai yang telah bertumpuk selama puluhan tahun tidak
akan berubah dengan mudah.
Hari di mana
orang ini akan menghibur bagian ‘anak-anak’ yang ditinggalkan oleh gadis
bernama Ayase Saki saat ia tumbuh dewasa mungkin tidak akan pernah datang.
Setelah
menyerah dengan hal itu, aku merasa lega secara
alami.
Aku
sendiri merasa frustrasi karena belum sepenuhnya melepaskan hubungan ayah dan
anak antara Ayase Saki dan Ito Fumiya.
Namun,
sekarang, aku tidak merasa sedih maupun
menyesal.
“Aku minta
maaf karena sudah mengganggu.”
Sambil
berkata demikian, aku diam-diam menundukkan kepalaku. Aku kemudian membalikkan badan
dan menuju kasir.
Ada banyak
cara untuk menginterpretasikan tindakan terakhir Ayase-san. Itu adalah sesuatu yang harus
dipikirkan oleh Ito Fumiya sendiri. Apa dia akan memikirkan sesuatu selama
waktu yang lama dan mengubah pandangannya? Atau, apa dirinya akan terus hidup seperti
sekarang? Bagaimanapun juga, itu adalah hidupnya.
Meskipun
begitu, aku bisa membayangkan bahwa ia tidak akan meminta untuk bertemu Ayase-san dalam waktu dekat.
Nah, aku
harus cepat-cepat.
Karena
telah menghabiskan waktu yang tidak terduga, aku hampir terlambat untuk
berangkat ke sekolah.
◇◇◇◇
Aku pergi meninggalkan area kafe dan
mulai berjalan menuju Sekolah SMA
Suisei.
Sinar
matahari lembut musim gugur terlihat melalui
celah di antara gedung-gedung, tetapi angin pagi sudah
cukup dingin hingga mengingatkan pada musim dingin. Tanpa sadar, aku
menggosok-gosokkan bagian depan jaketku.
“Asamura-kun.”
Aku dibuat terkejut dan menghentikan
langkahku.
Ayase-san muncul dari sudut jalan. Dia
memegang smartphone di satu tangannya.
“Kupikir
kamu sudah berangkat ke
sekolah. Apa kamu menungguku?”
“Mumpung
sekalian, aku ingin pergi berangkat
bersama.”
Lampu
lalu lintas berubah, dan kami melintasi jalan raya berdampingan.
“Apa kamu baik-baik saja dengan itu, Ayase-san?”
“Ya,
aku merasa lega."
Sambil
berkata demikian, dia tersenyum padaku.
Sejujurnya,
aku merasa mungkin aku sudah terlalu mencampuri urusannya. Ketika aku
mengatakan itu pada Ayase-san, dia
menggelengkan kepalanya
sedikit.
“Aku
malah senang. Mungkin jika Asamura-kun
tidak muncul di sana, aku tidak akan bisa mengatakan apa pun lagi, dan itu akan
sama seperti saat pertemuan sebelumnya.”
Setelah
mengatakannya, dia sedikit menundukkan kepala.
“Terima
kasih banyak, Asamura-kun. Tidak, mungkin
lebih tepatnya, Yuuta-niisan. Seperti yang diharapkan dari Onii-chan.”
“Tidak, itu,
kamu cuma
sedang menggodaku saja,
‘kan?”
Meskipun
dia mengatakan itu sambil tersenyum, rasanya
tidak terllalu meyakinkan.
“Aku
baru saja menyadari sesuatu dari kejadian kali ini.”
“...Menyadari apa?”
“Aku
selalu merasa dibantu oleh Asamura-kun. Sepertinya Asamura-kun selalu melangkah
setengah langkah lebih maju dariku.”
“Itu
tidak benar.”
“Itu benar.
Padahal cuma beda seminggu
tapi kamulah yang jadi Onii-chan nya, rasanya tidak adil.”
“Meskipun
kamu bilang tidak adil...”
Tanggal kelahiran bukanlah sesuatu yang bisa kita
pilih sesuka hati.
“Kurasa
aku memang orang yang tidak suka kalah. Aku tidak berpikir untuk mengalahkan
lawan atau mengambil posisi atas, tetapi saat ini, aku sangat ingin tidak kalah
dari Asamura-kun. Habisnya, selama setahun ini,
Asamura-kun sudah mirip seperti Onii-chanku walaupun kelahiran kita cuma berbeda seminggu, ‘kan?”
“Ya, itu
karena ulang tahun kita hanya selisih seminggu.”
“Namun,
selama setahun, kamu tetap 'Yuuta-niisan', dan itu sedikit menyebalkan. Tapi,
jika perasaan merasa terus-menerus dibantu ini menjadi terdistorsi, itu akan
menjadi hal yang aneh. Jadi, aku ingin mengungkapkan bahwa aku merasa kesal dan
tidak ingin kalah dari Asamura-kun.”
“Apa
itu penyelarasan perasaan negatif?”
“Betul.
Jadi, sebagai permulaan—ayo kita berlari.”
“Hah?”
“Wak-tu-nya.
Jika kita terus begini, kita akan terlambat.”
Dia
membalikkan smartphone-nya dan menunjukkan jam
padaku. Gawat.
Memang sudah saatnya kita berlari supaya
tidak terlambat.
“Ayo
kita berlomba siapa yang lebih dulu sampai di sekolah. Jika aku menang, hari
ini kamu tidak akan bersikap seperti Onii-chan lagi!”
“Aku
tidak berniat bersikap seperti Onii-chan, kok.”
“Ayo mulai. Sampai gerbang utama sekolah.”
“Eh,
tunggu sebentar.”
“Aku tidak
mau menunggumu. Ayo.”
Wajahnya
yang menghadap ke arahku disinari oleh cahaya
matahari musim gugur yang muncul melalui
celah-celah gedung tinggi.
“Jika
kamu kalah, hari ini Asamura-kun tidak akan menjadi Onii-chan lagi. Kamu hanya akan menjadi Yuuta saja
seharian!”
Dengan
suara yang menggema seperti pistol starter, namaku yang disebut tanpa imbuhan apapun terasa menusuk hatiku.
Sebelum aku
menyadarinya, punggung Ayase-san
sudah semakin menjauh.
“Tunggu—eh,
ahhhh, sudahlah!”
Aku mulai
berlari mengejarnya.
Suara
Ayase-san yang menikmati perlombaan lari mendadak ini
sampai ke telingaku karena terbawa
angin. Punggungnya
bergerak semakin jauh, dan aku kesulitan
untuk mengejarnya.
Ayase-san mengatakan kalau aku
setengah langkah lebih maju, tetapi bagiku, Ayase-san
selalu—
“Angin
musim gugurnya terasa sangat menyenangkan!”
Aku
berlari sekuat tenaga untuk mengejar kata-kata
Ayase-san yang diucapkan dengan ceria itu.