Chapter 3 — 31 Desember (Jumat) – 1 Januari (Sabtu) Asamura Yuuta
Beberapa
hari setelah ulang tahun Ayase-san, libur musim dingin pun akhirnya tiba. Sejak
saat itu, waktu terasa berlalu semakin
cepat, dan tiba-tiba sudah akhir tahun. Hari di mana orang tuaku—ayah dan
Akiko-san—akan pulang ke kampung halaman keluarga Ayase telah tiba.
Pagi itu,
aku terbangun karena mendengar suara
samar-samar. Pada
malam sebelumnya, aku merasa tidak banyak belajar, dan dengan
kepala yang masih belum sepenuhnya berfungsi, aku merenung. Padahal, waktu
ujian tinggal kurang dari sebulan.
Aku
berguling dan melihat jam. Sekarang sudah
pukul setengah 9.
...Setengah
9?
Aku
segera bangkit. Mau dilihat bagaimanapun, aku
sudah bangun kesiangan.
Aku
merasa menyesal. Meskipun tidak mendapat banyak
kemajuan dalam belajar, aku tetap berpegang pada jumlah
yang telah ditentukan sebelumnya dan terus belajar hingga larut malam, dan
inilah hasilnya.
Setelah
berganti pakaian, aku pergi ke ruang tamu dan melihat ayah dan Akiko-san sedang
sibuk.
“Ah,
Yuuta, selamat pagi”
Ayahku berusaha dengan paksa menutup koper yang penuh
sesak. Aku takut
kunci koper itu akan patah.
“Selamat
pagi,” jawabku, lalu melanjutkan, “Kalian belum berangkat, ya?” Aku pikir mereka akan berangkat
lebih awal karena perjalanan pulang
kampung di akhir tahun pasti akan macet.
Setelah
aku berkata begitu, mereka menjelaskan bahwa puncak kemacetan lalu lintas ialah
sekitar tanggal 29, dan tanggal 31 tidak terlalu parah.
“Kami
tidak berencana mampir ke mana-mana. Kami hanya ingin sampai sebelum malam.”
Mungkin
ini adalah perjalanan berkencan yang tertunda bagi pasangan yang baru menikah.
Lagipula, mereka belum mengadakan pernikahan resmi, dan jarang sekali mereka berdua pergi bersama. Mereka tidak bisa
meninggalkanku dan Ayase-san terlalu lama.
Perjalanan
jarak jauh yang berharga bagi ayah dan Akiko-san. Artinya, waktu berharga bagi
pasangan suami istri. Ketika memikirkan
hal itu, rasanya lebih baik jika aku dan Ayase-san tidak ikutan.
Akiko-san
sepertinya baru saja selesai berganti pakaian dan sekarang sedang merias wajah
di meja makan. Melihat seorang wanita dewasa yang sedang merias wajah di depan
cermin meja, sebagai seorang siswa SMA laki-laki yang jarang melihat
pemandangan seperti itu, aku merasa gelisah. Aku segera mengalihkan pandanganku. Ayase-san tidak pernah
menunjukkan dirinya saat sedang berdandan, jadi aku tidak terbiasa melihatnya.
Ngomong-ngomong,
sepertinya Akiko-san biasanya melakukannya di kamar tidur...
“Hm?
Ada apa, Yuuta-kun?”
Dia
menyadari tatapanku.
“Ah,
tidak... eh, maksudku. Aya—Saki, dia sudah
sarapan, ‘kan?”
Akiko-san
berhenti menggambar alisnya dan mengangguk. Tentu saja, tidak mungkin dia bisa
mengangguk sambil merias wajah. Setelah
itu, mungkin dia merasa hanya mengangguk tidak cukup.
“Untukmu
juga ada, kok. Mau makan sekarang?
Kalau mau, aku bisa menghangatkannya.”
Akiko-san
yang sedang merias wajah berhenti sejenak, mengambil piring yang ditutup
plastik di depan tempat dudukku, lalu berdiri. Dia menuju microwave dan mulai
memanaskan sup miso di
atas kompor induksi. Mungkin dia sedang berdandan di sini agar aku bisa segera
tahu ketika aku bangun.
“Ah,
akku bisa melakukannya sendiri,” kataku.
“Jangan
sungkan-sungkan begitu. Aku
sudah hampir selesai, kok,”
jawabnya.
Karena
waktunya sudah hampir siang, sejujurnya aku berpikir mungkin tidak perlu
sarapan. Namun, karena sudah dipanaskan, lebih baik aku memakannya.
Ayahku
mengambil ponselnya dan mulai menelepon.
“Ah,
ini Asamura. Ya, baik. Kami akan berangkat sebentar lagi—jadi, eh...”
Dari
kata-kata yang terdengar, sepertinya dia sedang menghubungi keluarga
Ayase.
Ia memberitahukan perkiraan waktu
kedatangan.
Sementara
Akiko-san menyusun sarapan yang telah dipanaskan, aku mengambil nasi ke dalam mangkukku sendiri. Aku menyalakan pemanas air
untuk menyiapkan teh. Sekilas aku melihat sekeliling dapur dan memastikan makanan
yang sudah disiapkan.
Ada mi soba untuk tahun baru, dan
tampaknya kaldu untuk masakan sudah siap. Akiko-san yang menyadari tatapanku
berkata,
“Kamu
bisa memakannya jika kamu menaruh beberapa mi soba di dalamnya dan
memanaskannya.”
“Ah,
ya. Terima kasih.”
“Nasi
campur sudah dibekukan, jadi kamu tinggal memanaskannya di microwave saja, ya. Di dalam panci ada cumi dan talas rebus.”
Dia
memang sengaja membuatnya. Padahal sudah ada
osechi, soba, dan mochi juga.
“Nee,
Yuuta-kun. Apa ada sebutan lain untuk mengatakan 'Cumi
dan talas yang direbus saja'?”
“Eh?”
“Karena ini
sudah jadi makanan pokok, dan
ibuku sering membuatnya, jadi aku sudah terbiasa
membuatnya, tapi jika dipikir-pikir, aku tidak tahu
bagaimana menyebutnya dalam satu kata.”
...Memang
benar. Oh, Akiko-san menyebut 'masakan rebus' sebagai 'nikkorogashi'.
“Bagaimana
dengan sebutan 'ikamo korogashi'?”
Akiko-san
mengatakannya dengan serius.
“Apa
maksudnya...?”
“Bukannya
itu kedengarannya lucu?”
“Haa...”
Mungkin karena bunyinya lucu, tetapi aku hampir
lupa bahwa itu adalah cumi dan talas.
“Ya, semuanya pasti enak jika direbus.”
Dia
mengatakan hal yang sangat sederhana.
“Ngomong-ngomong,
itu juga masakan rebus. Apa kamu
tahu 'Jibuni'?”
“'Jibuni',
ya? Tidak...”
“Itu
adalah masakan khas Kanazawa. Rasanya enak
sekali. Daging yang digunakan bisa ayam atau bebek, jadi rasanya segar dan
kental. Ada sayurannya juga,
jadi baik untuk kesehatan. Nanti, aku akan membuatkannya untukmu.”
“Terima
kasih. Eh...”
Piring yang sudah dipanaskan diletakkan di depanku dan secara refleks aku menyatukan
kedua tangan. Isi piring yang ditutup plastik itu tampaknya adalah bacon dan
telur mata sapi.
“Selamat
makan.”
“Ya,
selamat menikmati.”
Saat aku
mulai makan, Akiko-san melanjutkan merias wajahnya. Dalam waktu kurang dari lima
menit, dia selesai merias dan
mulai berdiskusi dengan ayahku tentang barang bawaan.
Sementara
aku mencuci piring di wastafel setelah selesai makan, mereka berdua sudah
membawa barang-barang ke depan pintu.
Suara kenop pintu berputar terdengar, dan
Ayase-san keluar dari kamarnya.
“Kita
sudah siap berangkat.”
“Ya,
itu sebabnya aku keluar.”
Aku dan
Ayase-san membantu membawa barang-barang ke depan pintu. Karena ini hanya dua
malam tiga hari, barang yang mereka bawa tidak
terlalu banyak, tetapi tangan ayah dan Akiko-san sudah penuh. Aku sempat
menawarkan untuk membantu membawa barang-barang ke tempat parkir, tapi ayahku bersikeras bahwa ini tidak
masalah.
Aku
khawatir jika aku terlalu
memaksa, itu akan
merusak wibawa ayahku, jadi
aku memilih untuk mundur. Meskipun aku merasa sedikit
khawatir, jika mereka kesulitan, mereka pasti
akan memanggilku lewat ponsel.
“Tetapi
aku merasa agak sedih karena kita tidak
bisa merayakan malam tahun baru bersama-sama secara langsung.”
Akiko
menambahkan sebelum pergi.
Sambil
mengantarkan kepergian mereka bersama Ayase-san, aku berkata padanya.
“Yah,
kita bisa melakukannya kapan saja setiap
tahun ke depannya.”
Akiko-san
sedikit terkejut ketika mendengar perkataanku dan
dia mengangguk sambil tersenyum, “Benar juga”.
Aku melihat punggung mereka berdua yang menuju lift.
Setelah
menutup pintu yang telah mereka lewati, aku dan Ayase-san saling bertukar
pandang. Tidak masalah. Kami sadar bahwa kami adalah siswa yang sedang
mempersiapkan ujian.
“Kalau
begitu, mari kita sama-sama berusaha.”
“Ya.”
Kami
langsung menuju kamar masing-masing. Saatnya fokus untuk belajar. Fokus.
Aku duduk
di meja belajarku, hanya memperhatikan buku
referensi dan catatan soal-soal ujian yang ada di depanku. Aku harus menyelesaikan banyak soal sebisaku
di pagi hari—ketika aku
berpikir demikian, konsentrasiku langsung buyar.
Semua itu
karena bunyi notifikasi ponselku.
“Ayase-san...?”
Di ruang obrolan kami, ada pesan yang
masuk, “Kapan enaknya waktu yang pas buat makan siang nanti?”
“Padahal aku
baru saja sarapan...”
Aku harus
segera memberi balasan.
“Aku
baru saja sarapan,
jadi kupikir sekitar jam 14:00.”
“Kalau
begitu, aku juga akan begitu.”
Aku
mengatur alarm untuk jam 14:00 dan kini aku
benar-benar berusaha untuk fokus belajar.
Tetap fokus,
Yuuta!
Saat
berikutnya aku tersadar, alarm sudah berbunyi, dan kali ini
aku merasa terlalu fokus.
Di ruang obrolan aplikasi perpesanan, ada
pesan dari Ayase-san yang berkata,
“Waktunya makan.” Dengan nada yang lembut. Hanya
sekali. Apa aku sudah merepotkannya?
Namun
pada akhirnya, entah aku terganggu atau terlalu berkonsentrasi,
aku tetap merasa tertekan. Menyeimbangkan
antara menjadi siswa ujian dan pacar itu memang sulit...
Persiapan
untuk makan siang sudah sepenuhnya siap di ruang
makan, dan aku meminta maaf karena tidak bisa membantu. Kami makan siang yang agak
terlambat sebelum kembali ke kamar.
Suara
samar bergema di dalam rumah yang tenang.
Kesadaranku yang tadinya sedan berkonsentrasi
tiba-tiba menjadi buyar.
Tota
tota. Ton. … Tata tata. Tota tota tota. Gacha gacha.
Anehnya,
setelah terbiasa, aku bisa mengenali suara langkah kaki di koridor dan suara
kehidupan lainnya. Meskipun
dia mulai berjalan dengan semangat,
terkadang dia terhenti
dan bingung, lalu memastikan sebelum melanjutkan berjalan. Kebiasaan ini—
Tanpa
perlu berpikir lebih jauh, saat ini di rumah ini hanya ada aku dan
Ayase-san.
Suara
yang sampai ke telingaku menggetarkan otakku dan mataku langsung tertuju pada
smartphone di atas meja.
Pukul 19:58.
Aku Aku samar-samar menyadari bahwa hari sudah malam, dan kemudian aku
menyadari bahwa suara berdenting yang kudengar sebelumnya adalah suara piring
yang saling beradu.
“Ah.
Sepertinya sudah waktunya untuk makan malam.”
Aku
menempelkan catatan tempel pada
buku referensi yang berisi soal ujian, meregangkan tubuh sejenak, lalu keluar
dari kamar. Aku membuka pintu yang menuju ruang makan. Seperti yang kutebak,
Ayase-san sudah mulai menyiapkan makan malam sendirian. Kali ini sepertinya aku
tepat waktu.
“Maaf.
Aku akan membantumu.”
Aku
berkata demikian sambil masuk ke dapur.
Ayase-san
tampaknya sedang memanaskan soba untuk tahun baru. Dia sedang memanaskan air di
dalam panci. Kotak makanan osechi dikeluarkan dari kulkas dan diletakkan di
meja makan.
Berarti
yang diperlukan adalah piring saji, dan ah, sebaiknya aku mengelap meja
terlebih dahulu.
Ayase-san
yang mengenakan celemek
menoleh ke arahku dan berkata,
“Aku
baik-baik saja melakukannya sendirian.
Kamu masih bisa belajar. Nanti jika sudah siap, aku akan memanggilmu.”
“Siang
tadi aku sudah membuatmu menyiapkannya
sendirian, jadi kali ini aku merasa tidak enakan.
Aku tidak ingin menyia-nyiakan
waktu Ayase-san dan hanya fokus dengan belajarku sendiri.”
Namun, kupikir Ayase-san tidak akan pernah puas
hanya dengan alasan ini, jadi
aku melanjutkan…
“Selain
itu, aku tidak ingin ada belas kasihan dalam kompetisi ini.”
Dia
menunjukkan ekspresi bingung. Baiklah, bagus, tinggal satu dorongan lagi.
“Aku
tidak bermaksud begitu…”
“Ini
adalah kompetisi, kan?”
“U-Uh, ya. Tentu saja.”
“Kalau
begitu, syaratnya harus adil, bukan?”
“Umm…”
“Jadi,
mari kita lakukan bersama-sama. Dari mana kita mulai
memanaskan?”
Ayase-san
yang terlihat enggan mulai memberikan instruksi padaku.
“Baiklah,
pertama-tama, aku ingin kamu mengelap meja. Sebagian besar hanya perlu disusun.”
“Baik.”
Saat aku
mencoba mengelap meja dengan serbet, aku menggeser kotak makanan bertingkat
yang diletakkan di tengah dan ternyata cukup berat. Mungkin karena dia bisa
menyelesaikan pekerjaan rumah secara penuh waktu dengan shift khusus, jadi dia
mengisi kotak ini begitu banyak.
“Apa
kita bisa menghabiskan ini semua?”
Makanan
osechi memang memiliki keunggulan tahan lama, tetapi bagi generasi muda saat
ini, makanan ini tidak terlalu familiar. Jika porsinya banyak, sepertinya akan
sulit…
“Tenang saja
soal itu. Coba lihat bagian bawah. Kamu bisa melihat bahwa itu adalah hidangan osechi khas
ibu.”
Hidangan Osechi
khas Akiko-san? Apa maksudnya?
Setelah
mempertimbangkan kata-kata Ayase-san, aku mengintip hanya bagian ketiga dari
kotak bertingkat itu.
“…semuanya
ayam goreng.”
Daun
selada yang tidak dipotong diletakkan seperti piring, dan kotak itu penuh sesak
dengan ayam goreng. Di sudut-sudutnya, ada lemon yang dipotong berbentuk bulan
sabit (katanya ini disebut potongan kushi) yang ditusukkan seperti kelopak
bunga.
Memang,
ini kelihatan sangat familiar, bahkan jika
hanya untuk dimakan, sepertinya bisa dihabiskan sebanyak mungkin. Tapi
begitu…
“Bagian
keduanya juga mirip.”
“Seperti
apa… ah, begitu ya.”
Bagian
kedua adalah rangkaian bento. Berbagai lauk yang biasa Akiko-san masukkan ke
dalam bento—seperti kamaboko, ikan kecil yang direbus, dan juga umeboshi (memangnya ini masih osechi?)—ditambah dengan telur
dadar dashi buatan Akiko-san yang teratur dan rapi.
Memang,
semua ini adalah makanan enak yang sering kami nikmati, jadi ini juga bisa
dimakan. Tapi
sepertinya tidak akan tahan lama.
“Ini
lebih mirip makanan osechi atau malah bento
raksasa…”
Entah
kenapa, kotak makanan ini mulai terlihat seperti bento besar.
“Ibu
tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.”
“Sebagai
orang yang akan memakannya, aku senang bisa menghabiskannya tanpa sisa.”
“Jika
kamu ingin yang lebih mirip osechi, kamu bisa
mengambil yang di
bagian pertama.”
Ketika
aku membuka tutupnya, memang di sana ada
udang, kinton, dan berbagai makanan osechi yang klasik.
Hmm.
Sepertinya ini bisa dimakan.
“Yah,
lihat, makanan osechi itu bagus karena kita tidak perlu repot memasak saat
tahun baru yang sibuk, dan kita hanya memakannya saat ayah pulang, jadi tidak
perlu yang terlalu tahan lama. Jadi, ini
bisa dibilang osechi dalam arti praktis.”
“Kamu
mengatakan sesuatu yang
menarik, osechi dalam arti praktis.”
Dengan
begitu, Ayase-san tertawa pelan.
“Ya,
ini memang khas ibuku.”
“Benar,
ya.”
Rupanya
bar tempat Akiko-san bekerja juga menyajikan makanan, dan dia memang ahli dalam
pekerjaan rumah, jadi seharusnya dia bisa membuat sesuatu yang lebih mirip
osechi. Namun, dia sengaja tidak melakukannya. Aku tiba-tiba berpikir. Meskipun
tidak bisa kukatakan dengan lantang, ini seperti makanan yang disajikan oleh
nenek di desa untuk cucunya. Ayo makan, makan yang banyak-banyak.
Masih ada lagi, lho…
“Aku
sudah bilang. Ini bukan makanan untuk cucu yang pulang ke desa, jadi meskipun
Asamura-kun adalah remaja laki-laki yang sedang tumbuh, aku rasa dia tidak akan
mengutamakan jumlah daripada kualitas.”
Apa dia
sudah mengatakannya?
“Tidak apa-apa. Ini masih bisa dimakan, kok.”
“Kamu
tidak perlu ke dokter jika perutmu hanya 80% kenyang, kan? Ujian masuk akan
segera tiba, jadi jangan sampai perutmu sakit, apa
kamu paham? Masih ada soba dan mochi, lho?”
Benar
juga…
Sebenarnya,
kami tidak perlu menghabiskannya dalam
dua hari. Kenapa aku berbicara seolah-olah harus menghabiskannya?
“Mie sobanya sudah siap.”
Ketika
Ayase-san mengangkat soba dari air panas dan mencucinya, aku menjawab “Baik” sambil mengeluarkan mangkuk
untuk kuah soba dan mencari di kulkas untuk menyiapkan pasta wasabi dan daun
bawang.
Saat
semua peralatan sudah siap, Ayase-san juga sudah selesai dan kami berdua duduk
berhadapan di meja. Aku tak pernah
menyangka kita akan menghabiskan makan malam terakhir tahun ini hanya berdua...
“Selamat
makan,” kataku
sambil mengatupkan kedua tanganku.
Segera
setelah mulai makan, aku menyadari ada yang aneh dari perilaku Ayase-san. Lebih dari itu, dia berusaha
menyembunyikannya dariku. Karena dia mencoba menyembunyikannya, aku rasa dia
tidak akan menjawab jika aku bertanya, jadi aku hanya bisa mengamati Ayase-san
dengan wajah biasa sambil melanjutkan makan.
Pasti ada
yang tidak beres. Aku merasa ada yang aneh.
Dia
tampak sedikit lebih pendiam dari biasanya. Dengan postur yang tegak dan rapi,
dia makan dengan tenang. Namun, sepertinya dia memperhatikan hal lain dan
pandangannya kadang-kadang melayang. Yang lainnya…
Mungkin
karena aku berpikir begitu, aku tanpa sengaja menjatuhkan sumpit yang ingin aku
letakkan di atas tempat sumpit ke lantai. Aku segera mengambilnya—dan saat itu
aku menyadari. Ketika aku meraih sumpit, aku melihat Ayase-san sedikit menggigil
dan menggosok-gosok kakinya di bawah meja.
Setelah
mencuci sumpit yang kutemukan, aku kembali ke tempat duduk dan bertanya kepada
Ayase-san.
“Kamu
merasa kedinginan?”
AC
berfungsi dalam mode pemanas. Namun, memang ada sedikit rasa dingin. Apa sebaiknya
menaikkan suhu pengaturannya? Atau…
“Bagaimana
kalau kita makan di sana?”
Aku
menunjukkan arah ‘di
sana’ dengan
tatapan. Di depan TV, di tempat yang sebelumnya ada meja rendah seminggu yang
lalu. Artinya, di sisi ruang tamu yang ada kotatsu. Selama seminggu ini, entah
kenapa Ayase-san tidak mau masuk ke dalam kotatsu. Bahkan ketika dia bosan
belajar di kamarnya, aku pernah melihatnya menyebar buku pelajaran dan catatan
di meja makan, tetapi dia menghindari kotatsu dengan alasan “tidak nyaman”.
Aku tidak
tahu alasannya.
Dan saat
itu, dia juga menggelengkan kepala dan berkata, “Aku
lebih baik di sini saja.”
—Apa dia terlalu memaksakan diri?
“Kakimu
pasti kedinginan, ‘kan?
Dengan AC, udara hangat akan cepat naik ke atas.”
Di zaman sekarang,
AC terbaru dikatakan bisa mengalirkan angin hangat sampai ke kaki, tetapi AC
yang terpasang di ruang tamu kami sudah lebih dari 10 tahun dan merupakan model
lama. Tahun lalu, AC ini pernah hampir rusak dan sudah diperbaiki.
“Tapi…”
“Saki-chan,
waktu ujian sudah semakin dekat. Jangan sampai
sakit perut, ya?”
“Apa kamu
mencoba meniru perkataanku yang tadi?”
Dia
mengerutkan dahi sembari sedikit cemberut.
Aku dengan santai mengembalikan ekspresi serius.
“Kita
bertanding dalam kondisi yang adil, ‘kan?
Aku hanya tidak ingin Ayase-san jatuh sakit.”
“Uugh…”
“Atau,
apa kamu lebih memilih kalau kita saling menyesuaikan?
Jika kamu tidak suka kotatsu, kamu tidak
perlu memaksakan diri. Tapi, aku akan senang jika kamu
bisa memberi tahu alasannya.”
“Bukannya
berarti aku tidak suka. Hanya saja, aku tidak bisa mengungkapkan alasannya. Aku
tidak mau.”
Dia mengerucutkan bibirnya sambil berkata demikian. Dia
menatapku dengan tatapan sedikit menjengkelkan. Ya, jika kamu membuat wajah
seperti itu, beri tahu alasannya agar aku tidak memaksakan.
Aku juga
merasa terganggu jika dia menahan rasa kedinginan.
“Yah,
kalau kamu memang tidak keberatan, mari
kita makan sisa makanan di kotatsu. Akan merepotkan jika kamu terkena demam.”
“Baiklah…”
Aku
menyusun soba tahun baru dan sisa osechi di atas meja kotatsu di ruang tamu.
Tentu saja, mejanya sudah
dibersihkan, dan sisa osechi yang mungkin tidak akan dimakan lagi segera aku
tutup dengan plastik dan simpan di kulkas.
Sekarang,
bagaimana cara kita duduk?
“Mau
sekalian nonton film atau sejenisnya?”
“Benar juga,
aku ingin bersantai setidaknya saat pergantian tahun.”
Sepertinya
dia sudah menyelesaikan jadwal belajar untuk hari ini. Aku juga setuju, jadi
kami memutuskan untuk duduk berdampingan di kotatsu yang panjang. Dengan
begitu, kami bisa menonton TV sambil duduk berdampingan.
“Apa film yang ingin ditonton?”
Aku
mengajukan pertanyaan sambil memegang remote. Memilih saluran dari langganan
yang kami miliki, aku membaca judul-judul yang muncul di rekomendasi yang
menarik perhatianku dan mungkin juga sesuai dengan selera Ayase-san. Ayase-san
juga mengikuti judul-judul yang kubaca dengan matanya sambil mengeluarkan suara
“uhm”.
“Wah,
ada film spesial horor musim dingin. Oh, 'The
Thing from Another World'. Tapi itu musim dingin, kan… Ah, mungkin karena
berlatar Antartika. 'Gremlins'… memang, itu musim dingin. Banyak karya
klasik lama yang masuk, ya.”
“Aku tidak
mau nonton yang horror-horor.”
Dia
menggelengkan kepalanya dengan
keras.
“Takut?”
“Aku sama
sekali tidak takut."
Ayase-san
terdengar seperti berbicara dengan huruf hiragana, yang jarang terjadi. Ini
berarti, dia merasa ‘takut’ kan?
“Baiklah.
Lebih baik menonton yang lain saja.”
“Sudah
kubilang aku sama sekali tidak takut.”
“Ya,
benar. Tidak menakutkan, kan? Nah, bagaimana dengan ini?
Sepertinya tentang hewan.”
Sepertinya
tentang anjing yang bereinkarnasi. Berdasarkan sinopsis, memang seperti
itu.
"Lucunya.”
“Kalau
begitu, ayo pilih ini.”
Wajah
Ayase-san tampak lega saat dia berkata demikian.
“Yuuta-niisan, kamu tidak perlu setiap kali
menyesuaikan pilihan tontonan untukku. Aku ingin kamu menonton apa yang kamu
suka. … Selain yang horor.”
“Kalau
mengenai buku, aku akan melakukan itu,
tapi jujur saja, untuk film atau apa pun, aku tidak keberatan dengan apa pun.”
“Begitu,
ya?”
“Aku
tidak terlalu tahu banyak tentang film. Sejujurnya, aku lebih mengandalkan apa
yang disukai orang lain.”
Jika
terlalu terfokus pada apa yang disukai sendiri, rasanya tontonan bisa jadi
monoton. Kami
memilih film untuk ditonton, lalu duduk berdampingan di kotatsu sambil menonton
film dan menyantap sisa makan malam.
Isi
filmnya sesuai dengan sinopsis, tampaknya tentang anjing yang bereinkarnasi
berulang kali untuk bertemu kembali dengan pemiliknya, sebuah cerita yang cukup mengharukan. Mungkin
sayang jika hanya ditonton sambil lalu.
“Aku penasaran apa ini ada versi bukunya?”
“Setelah
menonton filmnya, apa
kamu juga ingin membaca novelnya?”
Wajah
Ayase-san terlihat terkejut, lalu sepertinya dia teringat sesuatu dan berkata, “Ah, benar juga. Asamura-kun memang orang
seperti itu...”
Mendengar
sebutan “Asamura” setelah sekian lama membuatku
merasa nostalgia. Sejak
liburan musim dingin dimulai, kami berdua selalu di rumah, jadi wajar saja dia terus memanggilku dengan sebutan Yuuta-niisan.
“Ada
apa?”
“Rasanya
sudah lama sekali sejak aku dipanggil
Asamura-kun.”
“…
Yuuta-niisan.”
“Sepertinya
orang tua kita tidak akan kembali tanpa memberi kabar sekarang."
“Tidak
boleh. Karena jika kita lengah di sini… hmm, hwaa.”
Mungkin
karena perutnya
sudah kenyang, jadi dia
menguap.
“Padahal
aku masih harus membereskannya. Tapi aku males buat bergerak... Sepertinya
akan jadi buruk. Rasanya terlalu
hangat.”
Aku
menatap sisa makanan di atas meja, tetapi kedua lengan Ayase-san yang terbenam
di dalam selimut kotatsu semakin menyelip ke dalam.
“Hangat
sekali... Gawat, aku jadi tidak bisa
keluar...”
Ayase-san
yang telah berubah menjadi penghuni kotatsu sedang ada
di situ.
“Yah,
kurasa tidak apa-apa. Setidaknya untuk malam ini.”
Karena
menjelang akhir tahun, kami berdua jarang keluar rumah, hanya pergi ke
supermarket untuk berbelanja sebagai pengganti jalan-jalan, dan semua waktu
lainnya dihabiskan untuk belajar menghadapi ujian, seolah-olah kami sedang
berlari 10 meter terakhir dari sprint.
Namun,
seharusnya kami bisa sedikit bersantai setidaknya untuk momen pergantian tahun
ini.
“Biar aku
yang akan membereskannya.”
Aku
keluar dari kotatsu dan berdiri sambil membawa kotak makanan yang telah dimakan
dan piring soba.
“Tidak
boleh. Aku akan membantu juga.”
Ayase-san
memaksa tubuhnya yang terikat kotatsu untuk bangkit dan mengikuti ke dapur
membawa sisa piring. Kami
berdiri berdampingan mencuci piring. Setelah
menyeduh teh setelah makan, kami kembali ke dalam kotatsu.
“Sudah kuduga, sepertinya
aku ingin belajar sedikit lagi.”
“Benar juga.”
Saat kami
berbicara seperti itu, kami berdua sudah tidak berniat untuk keluar dari
kotatsu.
“Hangat
sekali.”
“Kotatsu
sangat berbahaya. Aku jadi tidak
bisa keluar...”
Mungkin
alasan Ayase-san menolak kotatsu dengan keras adalah karena dia tahu kekuatan
magis yang tak tertahankan ini.
Saat aku
merenungkan hal itu sambil menonton adegan akhir film, Ayase-san mulai
berbicara, “Ah,
ngomong-ngomong...”
“Ya?”
“Begini,
umm...”
Apa ini
mungkin alasan dia ‘tidak
suka kotatsu’ yang
kami bahas sebelumnya? Aku mencoba menebak.
“Ya.
Aku mendengarkan. Apa?”
“Saat
ini, aku merasa sedikit berkeringat sekarang...
Apa aku bau keringat?”
“Eh...
tidak sih. Tidak ada yang istimewa.”
Setelah
mengatakannya, aku menyesali jawaban refleks itu.
Memang,
kotatsu sebagai alat pemanas memiliki sifat seperti itu. Jika kamu menyelipkan
diri hingga bahu dan mengatur saklar hingga
pengaturan tingkat ‘kuat’, kamu
akan merasakannya. Ternyata cukup panas. Dan pasti
bisa membuat seseorang berkeringat.
Masalahnya
justru dimulai dari situ. ‘Bau’ adalah sesuatu yang lebih
diperhatikan wanita dibandingkan pria—sepertinya aku pernah membaca di suatu
buku. Aku tidak menggali
sendiri mengenai makalah akademis terbaru, dan
bukan berarti aku melihat data yang bisa dipercaya, jadi ini hanya pengetahuan
umum. Dengan kata lain, Ayase-san tidak suka berkeringat saat berada di dalam
kotatsu. Jadi begitu maksudnya?
“Apa
ini beneran baik-baik saja?"
Meskipun
dia sangat memperhatikannya, aku terlalu cepat menjawab “tidak ada yang istimewa”. Apa dia merasa tidak enakan...
“Umm,
tidak apa-apa kok. Tidak
masalah sama sekali. Justru kalau kamu sampai bilang begitu,
akulah yang jadi lebih merasa khwatir.”
Mau dilihat
dari sudut pandang mana pun, Ayase-san memberi perhatian lebih pada masalah bau.
Ketika
aku mengatakan itu, Ayase-san
menatapku dengan ekspresi terkejut. Wajah yang menyiratkan
dia tidak pernah menduga hal itu. Sebenarnya, aku juga merasakan hal yang sama
saat itu.
“Tidak
juga sih...”
Mungkin
tanpa disadari, dia mendekatkan wajahnya ke arahku dan memejamkan mata. Dia menggerakkan
hidungnya.
“...ya.
Tidak ada sesuatu yang
khusus."
“Be-Begitu, ya?”
“Asamura-kun,
kamu pakai sesuatu?”
“Eh?
Maksudnya parfum atau apa?”
“Atau.
Deodoran atau antiperspirant.”
“Deodoran
dan antiperspirant itu berbeda?”
Eh? Ayase-san membuka matanya yang
sebelumnya tertutup.
“Ya.
Berbeda. Deodoran itu untuk menghilangkan bau, sedangkan antiperspirant
bertujuan untuk mengurangi jumlah keringat.”
“Begitu.
Tapi sepertinya aku tidak memakai
keduanya.”
“Ehh?” ucapnya sambil
memejamkan matanya lagi dan mendekatkan wajahnya. “Jadi, kamu tidak pakai apa-apa...
Shampoo... atau?” Bulu
mata panjang Ayase-san semakin mendekat ke leherku, dan aku hampir menarik diri menjauh darinya.
“Mu-Mungkin
saja. Mungkin saja bau dari pelembut pakaian...”
“Ah,
itu juga mungkin...”
Dia
terkejut dan mundur, membuka matanya, lalu dengan panik berkata, “Maaf, itu tidak adil.”
“Eh?”
“Sepertinya
aku melakukan pemeriksaan bau secara tiba-tiba."
“Ah,
tidak, aku tidak masalah sih.”
Fakta
bahwa jantungku berdetak kencang adalah reaksi fisiologis, jadi aku berharap
itu dimaklumi. Sebenarnya, kurasa
seharusnya aku bisa merasa lebih bergembisa bisa duduk berdampingan di dalam
kotatsu dengan jarak yang intim seperti ini bersama
gadis yang kuanggap sebagai kekasihku, tapi kami sudah terlalu lama
berperilaku seperti keluarga. Rasa pengekangan untuk tidak memikirkan hal itu
masih ada.
Kupikir masalahnya
bukan menjadi sepasang kekasih, tapi pada ketakutan akan kemungkinan
berpisah seperti ayahku dan orang itu. Sekarang aku menyadari itu. Jika
sampai terjadi, kami tidak akan bisa lagi merasa nyaman sebagai keluarga. Aku
pernah mendengar bahwa ada pria dan wanita yang bisa bersahabat dengan baik
setelah berpisah, tapi meskipun ada kemungkinan itu, aku tidak bisa memahaminya sama sekali.
Pengalaman yang dimiliki aku
dan Ayase-san adalah rasa tidak nyaman dari keluarga yang berantakan. Ada rasa
takut. Jadi, meskipun kami berdampingan seperti ini, di suatu tempat...
“Tapi,
aku tetap merasa itu tidak adil.”
Ayase-san,
baik dalam hubungan keluarga, persahabatan, maupun percintaan, tidak suka jika
dirinya mendapatkan keuntungan atau kerugian secara sepihak. Dia sangat
membenci mendapatkan keuntungan dengan cara yang mudah. Oleh karena itu,
prinsipnya adalah memberi lebih banyak dalam sistem timbal balik. Sikap
seriusnya ini, yang mungkin terlihat terlalu kaku bagi sebagian orang, justru
membuatku merasa nyaman.
Namun,
jika itu terlalu berlebihan,
terkadang bisa melenceng ke arah yang tidak diinginkan. Saat ini, aku merasakan
hal itu.
“Kmu tidak
perlu merasa khawatir. Meskipun kamu bilang
begitu, aku tidak tahu bagaimana cara membuatnya adil.”
Mendengar
perkataanku, Ayase-san mengeluarkan suara
kecil “muuh” sebelum berkata,
“Baiklah.
Kalau begitu.”
Sambil
mengatakan itu, dia dengan anehnya menyibakkan rambut panjangnya yang mengalir
di sebelah kiri wajahnya.
“Silakan.”
Tidak,
tunggu. Tunggu, Ayase-san.
“Dibilangin
kamu tidak perlu membuatnya terlalu
adil.”
“Kamu
bilang itu tidak masalah.”
“Tentu
saja.”
“Kalau
begitu, silakan.”
“Eh...”
Bukan tugas
yang mudah untuk mengubah keputusan Ayase-san yang sudah
mantap. Jika aku menolak di sini, mungkin dia akan salah paham dan berpikir, “Ia benar-benar
menganggap aku bau”.
“Silakan.”
Tekanan yang dipancarkannya cukup kuat.
“Ba-Baiklah, aku
mengerti.”
Dengan
hati-hati, aku mendekatkan wajahku ke pangkal lehernya
yang telah disibakkan. Saat aku melihat
ke arah belahan dadanya, aku panik dan memajamkan mata. Mungkin karena memajamkan mata, indera lainnya menjadi
lebih tajam. Dari televisi, tema akhir film sedang diputar. Di sudut pikiranku,
aku menyadari bahwa aku telah melewatkan epilog.
Seperti
dugaanku, aku tidak mencium
bau keringat yang mengganggu. Malahan—.
Sesuatu
yang lembut melintas di hidungku, memberikan aroma samar. Mungkin itu adalah bau shampoo,
atau mungkin bau pelembut pakaian yang muncul dari pakaiannya. Rasanya
menenangkan.
“Aku
tidak mencium bau yang mengganggu...”
Setelah
perlahan menjauhkan wajahku, aku mengatakannya.
“Begitu.”
“Ya.”
Tanpa
disadari, film di saluran streaming mulai menggulirkan kredit akhir yang
panjang.
“Kita
melewatkan bagian terakhir, ya.”
“Yah,
setidaknya aku tahu itu berakhir bahagia.”
“Aku
juga... merasa puas.”
Kami
berdua mengucapkan sesuatu yang mungkin akan membuat pembuat film marah.
Ayase-san
kemudian menghadap televisi dan sedikit mencondongkan
badannya ke arahku. Bahunya menyentuh bahuku. Sambil merasakan berat ringan di bahu, aku
mengambil remote.
“Bagaimana ini? Apa
masih ada yang ingin kamu tonton?”
“Kalau
sekarang, mungkin yang panjang tidak bisa. Aku mungkin
bakal
ketiduran.”
Aku
melihat jam yang tergantung di dinding. Sekarang sudah
lewat sedikit dari pukul 23. Jika begitu, memang benar film yang berlangsung
selama dua jam akan membuat kita melewati tengah malam.
“Bagaimana
dengan acara musik tahun baru?”
“Sepertinya
itu bakalan sedikit berisik.”
"Yang
tidak banyak pembawa acara, dan hanya musik saja yang terus diputar."
Ayase-san
mengangguk setuju.
Aku
mengoperasikan remote dan menemukan acara musik yang menampilkan J-POP tahun
80-an, lalu mengubah saluran. Sepertinya konsepnya adalah penyanyi-penyanyi
terbaru menyanyikan lagu-lagu favorit mereka dari tahun 80-an satu per satu.
Selain pengantar lagu, tidak ada banyak obrolan, hanya alunan lagu yang
mengalir.
Entah
kebetulan atau tidak, banyak lagu yang dipilih oleh penyanyi-penyanyi itu cenderung menenangkan. Kami duduk berdampingan,
diam-diam menyerap suara yang mengalir dari layar.
Malam tanggal
31 Desember. Suara yang mencapai ruangan di lantai tiga apartemen ini sangat
sedikit sekali. Selain musik yang terdengar
dari televisi, ada suara jam baterai yang bergerak setiap menit, suara AC yang
kadang-kadang mengeluarkan angin hangat untuk menyeimbangkan suhu, dan napas
tenang Ayase-san yang duduk di sebelahku... Suhu dari kotatsu juga cukup
nyaman, membuat ketegangan perlahan-lahan menghilang. Aliran waktu seakan-akan berjalan lebih lambat.
Besok,
aku akan kembali terjebak dalam rutinitas belajar untuk ujian. Mungkin malam
ini tidak ada salahnya bersantai tanpa melakukan apa-apa.
Sambil
merasakan berat kepala Ayase-san di bahu kananku,
aku merenungkan apa yang akan datang. Saat memasuki akhir Februari, baik aku
maupun Ayase-san akan selesai dengan semua ujian. Upacara kelulusan akan
diadakan pada tanggal 1 Maret. Hasil dari universitas negeri akan keluar
sekitar sepuluh hari setelahnya. Segalanya akan menjadi jelas saat itu.
Ada perasaan cemas yang menyelimuti. Apa aku
akan berhasil masuk ke universitas
yang diinginkan?
Jika
semua kampus yang kutuju ternyata
gagal, apa yang harus kulakukan?
Kalau
dipikir-[ikir lagi, perasaan seperti itu juga ada saat
aku mengikuti ujian masuk SMA, tetapi
entah kenapa, rasa cemas sekarang terasa lebih besar. Ada sensasi seolah masa
depan akan sepenuhnya gelap. Secara logika, aku tahu bahwa kehidupan seseorang tidak akan berakhir
hanya karena gagal ujian. Ada orang yang memilih untuk tidak bergantung pada
orang tua dan mencari nafkah sambil mengulang tahun, dan ada pula yang memilih
untuk bekerja.
Namun,
apa yang kupahami dengan kepalaku
dan apa yang dirasakan oleh hati adalah dua hal yang berbeda.
Namun,
waktu terus berlalu, dan waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Entropi
pasti akan meningkat. Energi yang telah diubah menjadi panas tidak dapat
dikembalikan sepenuhnya ke bentuk energi lain. Karena hukum kedua termodinamika
yang dikenal ini, dunia dipenuhi dengan perubahan yang tidak dapat dibalikkan.
Kebetulan, hukum pertama adalah hukum konservasi energi. Ini akan muncul dalam
ujian. ... Tidak, jadi, sebaiknya lupakan tentang belajar ujian selama beberapa
jam ke depan.
“Ah,
lonceng.”
Ayase-san
berkata pelan.
Suara
lonceng tahun baru yang dibunyikan di sebuah kuil yang jauh terdengar samar hingga
ke ruangan di lantai tiga apartemen. Pada saat itu, lagu yang terdengar dari
televisi berakhir, dan tiba-tiba muncul gambar pemandangan sebuah kuil. Pembawa acara memberi tahu bahwa tahun
baru akan segera tiba. Suara lonceng yang bergemuruh mengalir dari layar, lebih keras daripada suara
samar sebelumnya. Di sekitar lonceng yang gelap, banyak pengunjung berbaris
untuk menyaksikan. Gambar yang diperbesar menunjukkan seorang biksu dengan
kepala botak yang mengenakan jubah ungu dan selendang merah cerah. “Bentuk kepalanya indah,” kata Ayase-san. Eh, apa itu pendapatnya tentang biksu yang membunyikan
lonceng tahun baru?
Lonceng
besar yang lebih tinggi dari tubuhnya dipukul dengan kuat menggunakan batang
kayu tebal seukuran wajahnya.
Sekali
lagi, suara berat yang khidmat bergema dari layar.
Baik aku
maupun Ayase-san terdiam, menikmati pemandangan dan mendengarkan suaranya.
Goooon.
Goooon.
Kadang-kadang,
kamera beralih ke jarak jauh, menampilkan bagian dalam kuil. Sepertinya kuil
itu berada di daerah pedesaan dengan api unggun yang berjejer. Nama tempat dan
nama kuil seharusnya muncul di layar, tetapi aku melewatkannya, jadi aku tidak tahu di mana lokasinya. Mungkin, di utara. Hanya
sedikit salju yang turun. Atap genteng kuil yang hitam tampak sedikit tertutup
salju. Napas para pengunjung yang berkumpul terlihat putih.
Hanya
dengan melihatnya saja sudah membuatku
merasa kedinginan juga, dan
karena itu, aku semakin bersyukur atas kehangatan dari kotatsu.
Layar
kembali beralih ke studio. Pembawa acara
yang memandu acara mulai menghitung mundur, dan penyanyi di panggung juga
mengangkat suara mereka sesuai dengan hitungan.
Sekali
lagi, gambar lonceng ditampilkan, dan saat suara lonceng terdengar lebih keras,
tulisan [Selamat Tahun Baru] muncul di layar. Segera setelah
itu, gambar berpindah ke pengunjung yang disajikan amazake. Para pengunjung
yang pipinya memerah dan menyembunyikan wajah mereka di dalam syal terlihat
bahagia memegang minuman hangat sambil mengeluarkan napas putih.
Berat di
bahuku mendadak menghilang.
Saat aku
mengarahkan wajahku ke samping, Ayase-san juga menghadap ke arahku. Ketika aku
menatapnya, Ayase-san juga menatapku.
““Selamat
Tahun Baru.””
Kami
berdua mengucapkannya bersamaan.
Ketika Ayase-san menunjukkan senyum
lembut di wajahnya, aku berkata “Aku
mohon bimbingannya juga untuk tahun ini,” dan dia membalas, “Begitu juga denganku. Mohon bimbingannya”.
Kami
saling menempelkan tangan
di atas karpet. Aku meletakkan tangan
kananku di atas tangan kirinya.
Ayase-san
kembali menyandarkan
kepalanya di bahuku seperti sebelumnya. Rasanya jarak di antara kami semakin
dekat. Kami, yang saling bersandar, kembali mendengarkan suara lonceng tahun
baru yang mengalir dari layar. Stres ujian yang mengganggu seakan mencair dan
menghilang sejenak. Saat melihat pemandangan salju yang jauh, aku merasakan
kehangatan dari kotatsu dan, yang terpenting, kehangatan tubuh manusia di
sampingku, membuatku melupakan ketidakpastian tentang masa depan... Kelopak
mataku terasa berat. Ayase-san yang menguap di
sebelahku membuatku ikut menguap. Berat tubuhnya yang bersandar padaku terasa
nyaman. Aku juga merasakan bahwa dia
mendukung dan menerima berat tubuhku. Saat kami saling bersandar di dalam kotatsu, kesadaranku
semakin menjauh... Ini tidak baik. Jika orang lain melihat kami berdua tidur di
kotatsu seperti ini, apa yang akan dipikirkan mereka?
Sepertinya tidak mungkin kami bisa dianggap sebagai sepasang saudara yang sangat akrab saja. Namun, jujur saja, aku sudah
tidak peduli lagi dengan pemikiran itu. Di sudut kepalaku, aku berpikir
samar-samar bahwa mungkin ini sudah cukup.
Daripada
merasa bersalah karena dilihat, aku ingin menghargai hubungan ini dan tidak
ingin menganggap waktu berharga ini sia-sia.
Waktu
yang berharga untuk bisa berdampingan dengan Ayase-san—Saki. Jika perubahan
adalah suatu keharusan di dunia ini, aku ingin menghargai momen ini yang tidak
akan terulang. Dan jika itu penting, meskipun ada perubahan, aku ingin berubah
ke arah yang lebih baik.
Hubungan
kami yang telah berubah dari saudara tiri yang asing menjadi kakak beradik yang sangat akrab...
Aku bisa
mendengar napasnya. Napas Saki yang bersandar padaku semakin dalam. Ah,
sepertinya dia sudah tidur, pikirku, dan teringat bahwa aku pernah
mengalami hal serupa sebelumnya. Itu terjadi di dalam kereta pulang dari
perjalanan sekolah. Kami duduk berdampingan seperti ini, dan dia lebih dulu
tertidur. Saat itu, aku merasakan berat tubuhnya dan berusaha untuk tetap
terjaga. Tapi...
Secara pelan-pelan, aku menutup kelopak mataku.
Sekalipun
orang tua kami pulang sekarang juga dan melihat keadaan kami yang seperti ini, sehingga hubungan
keluarga kami berubah, aku tidak ingin merasa takut akan hal itu.
Perubahan
tidak selalu berarti akan berakhir dengan arah yang buruk.
Kelopak
mataku sepenuhnya tertutup dan aku pun mulai tertidur lelap.
Dalam
mimpi pertamaku di tahun baru, aku sedang mengemudikan mobil.
Aku
mendapati diriku mengendarai sesuatu yang mirip seperti mobil van meski
aku belum memiliki SIM, dan aku tidak merasa aneh dengan hal itu. Ah, ini
pasti mimpi, pikirku sambil mengemudikan mobil besar. Pandanganku tinggi.
Wajahku yang sedikit lebih dewasa samar-samar
terpantul di kaca depan.
Meskipun
aku tidak melihat sekeliling, aku tahu siapa yang ada di dalam mobil. Ya,
karena ini adalah mimpi.
Di kursi
penumpang depan duduk Saki yang sedikit lebih dewasa. Di kursi belakang ada dua
anak. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Meskipun aku pasti mengenali
mereka, wajah mereka tampak samar dan berkabut. Mungkin mereka adalah anak dan
orang tua. Mungkin, seorang putra dan putri. Kami adalah keluarga
berempat.
Saat
melewati jalan di antara pegunungan, pemandangan tiba-tiba terbuka.
“Wahh,”
seru anak-anak di belakang.
Itu laut.
Laut biru membentang di sebelah kiri.
Musik
lama mengalun dari audio mobil. J-Pop tahun 80-an. Aku berpikir bahwa kurangnya
imajinasi dalam mimpiku tercermin karena lagu itu baru saja aku dengar di acara
musik akhir tahun.
Mobil
melaju di sepanjang pantai, dengan lautan
biru tak berujung membentang di
sebelah kiri.
Kami berhenti untuk memarkirkan mobil dan
berjalan kaki bersama sebagai keluarga hingga ke tepi
ombak.
Jejak
kaki kami berempat membentang di atas pasir. Anak-anak berlarian dan berguling-guling di pantai sambil tertawa.
Awan yang
terlihat di kejauhan adalah awan kumulonimbus musim panas. Beberapa kapal
besar dengan layar terlihat di bawah awan.
Saat
matahari perlahan-lahan condong dan jatuh ke ujung
cakrawala, angin tiba-tiba berhenti. Ini adalah fenomena yang
disebut ‘nagi’. Daratan
lebih mudah memanas dan mendingin dibandingkan laut. Oleh karena itu, selama
siang hari, udara panas dari daratan menciptakan arus naik dan menurunkan
tekanan udara, sehingga udara dari laut mengalir masuk. Ini adalah angin laut.
Di malam hari, sebaliknya, laut lebih hangat daripada daratan yang cepat
mendingin, sehingga angin berhembus dari daratan ke laut.
Momen
ketika angin beralih dari angin laut ke angin darat disebut waktu nagi. Ini
akan muncul dalam ujian.
Ketika
angin berhenti, kelembapan panas musim panas mulai membuat kulitku
berkeringat.
Aku
memanggil anak-anak yang bermain di tepi ombak, “Sudah saatnya pulang”. Karena ketika angin dari
daratan mulai bertiup, malam akan segera tiba, jadi kami harus pulang sebelum
itu.
Waktu
nagi sangat singkat.
Segera,
angin baru mulai berhembus.
Saat
mengemudikan mobil pulang, aku melihat anak-anak yang kelelahan dan tertidur,
lalu aku berkata sesuatu kepada Saki di sebelahku. Saki terlihat terkejut
sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk.
Meskipun
aku sendiri yang mengatakannya, tapi aku tidak bisa mendengar isi perkataanku.
Aku
terbangun.
Ah,
ternyata ini memang mimpi.
Karena
aku tertidur dengan bahu yang terbenam di dalam
kotatsu, jadi aku
merasa berkeringat.
Aku tiba-tiba
merasa khawatir, aku mendekatkan bahuku
ke hidungku untuk mencium baunya, tetapi aku tidak bisa mengenali bau diriku
sendiri. Aku melihat Saki yang tidur di sebelahku. Meski mulutnya bergerak dan dia menggumamkan sesuatu, aku
tidak bisa mendengarnya. Namun, wajahnya yang tenang menunjukkan bahwa dia tidak sedang bermimpi buruk.
Mungkin itu keputusan yang baik untuk tidak
menonton film horor.
Tapi, aku
penasaran.
Apa yang
aku katakan kepada Saki dalam mimpiku?
Dari
televisi yang dibiarkan menyala,
terlihat pemandangan tahun baru dari negeri asing. Penyiar dengan suara tenang
melaporkan wajah-wajah orang yang merayakan awal tahun baru.
Aku
berharap momen tenang di akhir tahun ini bisa terus berlanjut, meskipun aku
tahu itu tidak mungkin.
Apakah
masa depan dengan keluarga berempat seperti dalam mimpi itu akan datang?
Untuk melakukan itu, aku harus berusaha keras
dalam belajar untuk ujian.
Masa tenang
sudah berakhir.
Musim
dengan angin baru akan segera tiba.