MrJazsohanisharma

Gimai Seikatsu Volume 13 Chapter 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4 — 15 Januari (Sabtu) – 16 Januari (Minggu) Asamura Yuuta

 

Dengan perasaan puas karena telah melakukan yang terbaik, aku pergi tidur dan bangun sebelum alarm berbunyi, merasa siap sepenuhnya──. 

Seandainya saja aku bisa begitu, ya.

Aku menggerutu sambil mencuci muka dan menghilangkan kantuk. 

Jujur, aku tidak banyak tidur. 

Hari ini adalah hari pertama ujian masuk universitas. Artinya, hari pertempuran yang menentukan. 

Jika siswa tidak melewati batas nilai ujian masuk (untuk Fakultas Sains Data Sosial Universitas Ichinose, sekitar 670 poin), aku bahkan tidak akan diberikan hak untuk mengikuti ujian tahap kedua. Tentu saja, tahap itu harus dilalui, dan dikatakan bahwa batas kelulusan berada di sekitar 85% dari nilai keseluruhan, jadi… aku ingin mendapatkan setidaknya 765 poin dari 900, jika bisa lebih dari 770, atau bahkan di atas 800. 

Sampai saat ini, aku merasa sudah melakukan yang terbaik. Memang aku merasa begitu. Sampai kemarin, aku yakin itu ada. 

Gawat. Percuma saja. Aku masih merassa tidak tenang. 

Saat membuka pintu yang mengarah ke ruang makan, keluargaku sudah berkumpul. Cepat sekali. 

Selamat pagi, Yuuta. 

Selamat pagi, Yuuta-kun. Mau aku sajikan nasi? 

Ayahku dan Akiko-san sudah menyiapkan sarapan di meja. Beberapa hari ini, aku sama sekali tidak membantu pekerjaan rumah. Aku merasa sedikit menyesal karena tidak bisa membantu. 

Ah, ya. Terima kasih. Selamat pagi.

Setelah aku duduk di kursiku, Ayase-san menghentikan makannya dan berkata, Selamat pagi.

Saat aku membalasnya, dia berkata, Yuuta-niisan, sebaiknya kamu harus cepat makan, kita tidak punya banyak waktu lagi.

Eh, memangnya sudah sesiang itu── 

Apa sudah waktunya? Aku melihat jam dinding. 

“Kurasa… kita masih sempat. 

Tempat ujian untuk ujian masuk ditentukan berdasarkan di mana sekolah siswa berada dan di mana mereka tinggal. Berdasarkan data itu, pusat ujian universitas menentukan lokasi. 

Baik aku maupun Ayase bersekolah di SMA yang sama, dan kami juga tinggal di rumah yang sama. Jadi kemungkinan kami akan mendapatkan lokasi ujian yang sama cukup tinggi, dan memang demikian adanya. 

Lokasi yang ditentukan adalah gedung universitas yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Ada kemungkinan kami akan ditentukan ke bimbingan belajar yang dekat dengan Shinjuku, tapi itu sangat menguntungkan bagi kami. Kami merasa lega karena letak ujiannya dekat. 

Tapi, mungkin saja kamu bisa lupa membawa kartu ujian. 

Aku menggigil. 

Jangan mengatakannya seolah-olah itu pertanda sial. Tidak, aku sudah memeriksa beberapa kali kemarin.

Benar. Ah, mungkin perutmu bisa sakit dan butuh obat. 

Tidak, tidak, itu sih tidak mungkin. Lagipula, aku akan membawa obat lambung.

Mungkin saja kamu akan melupakan alat tulis.

Semuanya sudah aku periksa dan masukkan ke dalam tas semalam.

Terjebak macet.

Kita berdua sama-sama senang karena jaraknya bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Tapi──

Saki. Tunggu dulu sebentar.

Sambil berhenti sejenak, aku menatap Ayase-san. Mungkin──. 

Apa jangan-jangan kamu merasa grogi?

Saat aku mengatakannya, Ayase-san menatapku selama beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya. 

Dia melanjutkan sarapan. Hmm, ini…… 

Jika kamu baik-baik saja, itu bagus.

Tidak, sejujurnya, aku lumayan grogi.

Saat aku mengatakannya dengan jujur, sumpit Ayase-san kembali terhenti. 

Kamu merasa grogi?

Yahiya, memang.

Padahal kamu sudah belajar begitu keras.

Itu juga berlaku untuk kita berdua.

Justru aku merasa Ayase-san melakukan usaha terakhir yang lebih luar biasa. Seiring mendekatnya hari ini, aku hanya bisa membaca kembali catatan yang merangkum materi ujian dengan menyebutnya sebagai peninjauan keseluruhan. 

“Kurasa Yuuta-niisan pasti baik-baik saja.

Kalau memang begitu, itu bagus…

Sementara membalas begitu, aku menghela napas sambil mengaduk telur mata sapi di dalam piring sarapanku

Yuuta-kun.

Suara Akiko-san membuatku tersadar dan mengangkat wajahku

Begini. Kalian berdua dengarkan baik-baik.

Ayase-san juga menghentikan sumpitnya dan mengangkat wajahnya

Apapun hasilnya nanti, aku tahu kalian berdua sudah berusaha sangat keras sampai saat ini. Baik aku dan Taichi-san juga sama. Hal itu saja sudah membuatku bangga pada kalian.

Ayah yang duduk di sebelah juga mengangguk dengan senyum lebar. 

Ia tidak akan menaruh harapan terlalu tinggi dan kemudian kecewa. Itulah yang ingin dikatakannya

Jadi, aku── aku dan Ayase-san juga, berhenti meringkuk dengan ketakutan dan bisa melangkah maju. 

Terima kasih.

Aku benar-benar merasa bersyukur bahwa Akiko-san ada di sini sebagai ibuku

Saat aku mengucapkan terima kasih, Akiko-san tersenyum lembut. 

Melihat senyumnya itu membuat beban di pundakku terasa lebih ringan. Seolah-olah berat yang aku rasakan selama ini, yang terus muncul dalam pikiranku dan menyiksaku dengan ketakutan akan kegagalan dan kekecewaan, menghilang seketika

Ya. Seperti biasa, Akiko memang hebat. Kamu lebih baik dalam memberi semangat daripada aku.

Aku hanya meniru Taichi-san seperti biasanya.

“Ap-Apa iya?”

Iya.

Jangan membuatku malu begitu. 

Ahaha, ufufu, pasangan itu saling tersenyum satu sama lain. Eh? Rasanya itu adalah percakapan yang baik, tetapi bukannya ini terasa seperti kami cuma digunakan sebagai alasan bagi mereka untuk bermesraan?

Yuuta-niisan." 

Ayase-san menatapku. 

Saki…

Aku tidak akan kalah.

Ugh… ya, benar.”

Kalau diiingat-ingat kembali, aku sedang bersaing dengan Ayase-san dalam ujian masuk. Tapi aku tidak pernah menyangka dia akan mengatakannya pada waktu seperti ini…… 

Mungkin ini merupakan cara Ayase-san untuk meredakan ketegangan. 

“Itulah sebabnya… aku akan berusaha.

Aku tahu dia juga berharap agar aku berusaha dari lubuk hatinya. 

Namun, dia tidak mengatakannya. 

Dia tidak akan memaksakan itu pada orang lain. 

Ayase Saki tidak akan menghentikan langkahnya meskipun aku terjatuh. Usahanya adalah untuk dirinya sendiri dan tidak bermaksud memaksakan kepada orang lain. Kadang-kadang, aku khawatir dengan ketegasan yang begitu keras terhadap dirinya sendiri. 

Dia selalu berjuang dengan hati yang tegang. 

Ya, kurasa aku bisa berjuang sampai hari ini berkat Saki. 

Berkat aku?

Setelah mengangguk, aku berkata. 

“Karena bisa bersaing itu rasanya menyenangkan.

…Aku juga!

Jadi, aku akan berhenti merasa cemas tentang hasil dan tidak perlu khawatir. Aku sudah melakukan yang terbaik. 

 

◇◇◇◇

 

Kami berdua meninggalkan rumah bersama-sama dan berjalan berdampingan. Kami berjalan perlahan menuju lokasi ujian. Jaraknya sekitar 20 menit berjalan kaki terasa sepi pada pagi hari Sabtu. Di sekitar kami, ada beberapa siswa yang tampak seperti peserta ujian juga. 

Apa kita berangkat terlalu awal? 

Lebih baik berangkat cepat daripada terlambat, iya ‘kan?”

Kurasa itu ada benarnya juga

Kami melihat gerbang universitas yang menjadi lokasi ujian. Denyut jantungku secara alami meningkat. Di samping gerbang, terdapat tulisan yang menyebutkan nama lokasi dan bahwa ujian umum akan dilaksanakan. 

Meskipun lokasi ujiannya sama, ruangan yang akan kami masuki pasti berbeda antara aku dan Ayase-san. Setelah masuk ke dalam gedung, kami mengikuti peta petunjuk menuju ruang kelas masing-masing. 

Di tengah jalan, aku menemukan toilet dan masuk sebentar untuk berjaga-jaga. Sambil mengelap tangan dengan handuk, aku mengulangi napas dalam-dalam. Tenanglah diriku

Aku berjalan di lorong menuju ruang kelas yang ditentukan. 

Akhirnya ujian dimulai. Ini adalah ujian masuk yang sebenarnya. 

Smartphone untuk sementara diletakkan di meja. 

Setelah petunjuk dari pengawas, aku mematikan daya dan memasukkan smartphone ke dalam tas. 

Setelah mendengar aba-aba dari pengawas, aku membalik lembaran soal, dan sekarang… waktunya untuk fokus. Untuk saat ini, aku akan melupakan kecemasanku tentang ketidakpastian masa depan dan hubunganku dengan Ayase-san, hanya memikirkan soal ujian. 

Suara lonceng dari speaker dan suara pengawas membuatku tersadar dan mengangkat wajahku

Aku memeriksa kolom nama di lembar jawaban untuk memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah menghela napas besar, aku mengumpulkan alat tulis dan berdiri dari tempat duduk. Masih ada sekitar 80 menit hingga ujian sore. Sampai saat itu, termasuk waktu makan siang, adalah waktu istirahat. 

Saat aku menyalakan smartphone, ada pesan masuk. Rupanya itu dari Ayase-san. 'Makan siang nanti gimana?' dengan pertanyaan singkat itu disertai dengan lantai dan nomor ruang kelas tempatnya berada.

Ternyata letaknya dekat juga. Melihat peta petunjuk, sepertinya ada tempat seperti ruang istirahat. Dengan foto peta di smartphone, aku mengusulkan tempat untuk bertemu. 

Bagaimana?

Saat melihat wajahku, dia bertanya, dan aku menjawab, Ya, rasanya sama seperti ujian simulasi. Sekitar seperti biasanya, mungkin.” 

Hebat sekali ya. Aku merasa tidak bisa menunjukkan kemampuan terbaikku. Padahal aku merasa kalau aku bisa melakukan lebih dari itu." 

Dia mengatakannya sambil menggigit bibir dengan rasa menyesal. 

“Menurutku, itu menunjukkan seberapa seriusnya Ayase-san dalam menghadapi soal-soal itu. Aku juga, untuk bagian yang tidak bisa kuingat, aku mengandalkan insting. Kurasa, para peserta ujian lain juga mengalami masalah serupa.

Semoga saja iya begitu.

Sambil meneguk minuman dari mesin penjual otomatis, aku dan Ayase-san menghabiskan waktu istirahat siang. 

Kami tidak banyak membahas isi ujian. Jika kami mulai berpikir tentang seberapa banyak yang bisa kami selesaikan, aku merasa bisa jadi akan merasa murung

Meskipun begitu, bisa melihat wajah Ayase-san di antara ujian ini membuatku merasa lega. Tidak ada kesempatan seperti ini dalam ujian swasta dan ujian lanjutan negeri. Namun, saat pulang ke rumah, aku pasti bisa melihat wajahnya, jadi dibandingkan dengan pasangan yang menjadi agak jauh karena ujian, kami yang tinggal bersama mungkin sudah cukup beruntung. Kita bisa bertemu saat pulang nanti. Ayahku bisa pergi bekerja dengan sehat setiap hari. Sambil merenungkan pikiran yang tidak berguna ini, saatnya untuk kembali ke ruang ujian. 

Nee. 

Ayase-san bertanya saat kami berjalan menyusuri lorong

Ya?

“Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu tadi.

Apa aku sedang memikirkan sesuatu? …Oh. 

“Ummm, aku hanya kepikiran tentang ujian bahasa Jepang sore ini.”

Itu bohong. Tentu saja, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memikirkan Ayase-san. Begitu aku mengatakannya, Ayase-san menunduk. 

Bahasa Jepang... sastra modern...

Ah, tidak, bukan begitu maksudku. 

Lalu, maksudku apa, pikirku dalam hati. Memang tidak baik mencoba mengelak. Kata-kata yang terlanjur keluar tidak bisa diambil kembali. Meskipun aku sudah berusaha mengatasinya, sastra modern adalah titik lemah Ayase-san. 

“Aku tahu kalau ini kedengarannya seperti penghiburan yang menenangkan, tapi Ayase-san, kamu sudah lebih banyak membaca buku dibandingkan sebelumnya, kan? Kamu tidak perlu terlalu pesimis begitu.

Itu sih... yah. Kadang-kadang saat membaca novel, aku merasa bingung sendiri. Aku merasa heran mengapa orang-orang mengatakan hal yang berlawanan dengan apa yang mereka pikirkan? 

Itu sering terjadi. Apalagi jika itunovel dengan sudut pandang orang pertama, ketika tokoh utama berbohong, itu bisa sangat sulit untuk dipahami. 

…Asamura-kun, meskipun kamu mencoba menghibur, kamu malah bilang itu hanya untuk menenangkan. 

“Habisnya, Ayase-san, kamu tidak suka penghiburan yang tidak berdasar, kan?

Itu benar. 

Jadi, kupikir lebih baik aku menyebutnya sebagai penghiburan. Dengan begitu, setidaknya kamu tahu aku sedang berusaha menghiburmu. 

Ayase-san merenungkan kata-kataku. 

Begitu ya...

Oh, ruang kelasku di sini.

Ayase-san mengangkat wajahnya. Oh, ya. Kalau gitu, katanya sambil melambaikan tangan sedikit. 

“Aku yakin kalau Asamura-kun, yang pandai bahasa Jepang, pasti tidak masalah. Itu hanya penghiburan.

Aku membalasnya dengan senyuman dan melambaikan tangan. 

Ujian sore terdiri dari dua mata pelajaran: bahasa Jepang dan bahasa Inggris. 

Dengan begitu, ujian hari pertama pun selesai. 

Aku tidak terlalu kesulitan dalam bahasa Jepang. Hanya ada satu soal tentang menafsirkan ekspresi perasaan yang membuatku bingung. Aku bisa sedikit memahami maksud pembuat soal, tetapi aku tidak suka dengan interpretasiku sendiri. Meskipun begitu, aku merasa tidak ingin kehilangan poin di bagian itu. Ujian umum tidak ada nilai seni, jadi ya, mau tidak mau. Tiba-tiba, wajah Ayase-san terlintas dalam pikiranku, dan aku bertanya-tanya bagaimana dia menyelesaikan soal itu. Mungkin dia juga kesulitan. 

Untuk ujian bahasa Inggris berikutnya, rasanya masih membuatku kurang puas. Terutama bagian mendengarkan. 

Dibandingkan dengan Ayase-san yang selalu mendengarkan materi audio bahasa Inggris, usahaku terasa kurang. Jujur saja, ada beberapa bagian yang hanya aku ingat samar, dan aku berharap semuanya bisa terhubung dengan baik. 

Meskipun begitu, aku berhasil mengisi lembar jawaban dan menyelesaikan ujian. 

Saat aku bersiap-siap untuk pulang dan memasukkan alat tulis ke dalam tasku, aku melihat wajah yang familiar di balik pintu kelas yang terbuka. Ayase-san melambaikan tangan kecilnya

Aku segera merapikan barang-barang dan keluar dari kelas. 

Kamu datang menjemputku?

"Tempat dudukku berada di sisi lorong, dan aku keluar segera setelah waktu ujian selesai.

Kami berdua keluar dari lokasi ujian. Sambil bergabung dengan antrean pelajar yang menuju stasiun, kami berjalan berdampingan menuju rumah. 

“Apa kamu dapat pesan?

Eh?

Ayase-san mengangkat smartphone dan menunjukkan layar kepadaku. Stempel Terima kasih atas kerja kerasmu dengan gambar anak anjing yang lucu telah dikirim. 

Saat itu lampu merah menyala, jadi aku berhenti dan mengeluarkan smartphone dari saku. 

Ada notifikasi pesan. 

Dan bukan hanya satu. Ada lima pesan. Aku terkejut. Kira-kira dari siapa saja? Aku membuka LINE untuk memeriksanya. Yang pertama kali datang adalah stempel yang sama yang dikirimkan kepada Ayase-san. Aku sudah bisa menebak bahwa ini pasti dari Narasaka-san sejak melihatnya. Stempel itu memang singkat dan terkesan dingin, tetapi karena kami mengikuti ujian yang sama, dia pasti tahu waktu ujian selesai. Dia mengirimkan stempel Terima kasih atas kerja kerasmu dengan gambar anak anjing tepat setelah ujian selesai. 

Teman-teman dari tempat kerjaku—senpai Yomiuri-senpai dan Kozono-san—juga mengirimkan pesan singkat. 

Pesan dari Yomiuri-senpai yang dikirim ke dalam grup yang kami buat saat kemah musim panas, setelah sekian lama, adalah kata-kata dorongan sederhana Terima kasih atas kerja kerasmu, semoga besok juga semangat. Oh, iya, Yomiuri-senpai juga pasti pernah mengikuti ujian umum. Dia pasti memperhatikan jadwal ujian. 

Sebagai tanggapan terhadap pesan itu, Kozono-san juga mengirimkan pesan Semangat, senpai!

Sepertinya Ayase-san juga melihat pesan yang sama. 

Kozono-san, bukannya masih terlalu dini untuk meminta kita semua untuk berkumpul lagi setelah ini?”

"Yah, karena dia masih kelas satu SMA, kan. Mungkin dia belum merasakan tekanan ujian universitas?

Benar juga.

Kemudian, ada pesan dari teman sekelasku di sekolah, Shinjo dan Yoshida. Kalau tidak salah, Shinjo juga seharusnya memiliki tujuan kampus yang sama dengan Maru. Dari Shinjo hanya ada pesan singkat yang sopan, Terima kasih atas kerja kerasmu. Yoshida mengirimkan pesan dengan nada santai, “Gimana ujiannya? Meskipun ditanya “Gimana?, aku bingung harus menjawab apa. Aku berpikir untuk membalas, Bagaimana denganmu? tetapi aku ingat bahwa Yoshida seharusnya tidak mengikuti ujian umum. Dia hanya fokus pada universitas swasta. Mungkin nanti aku akan membalas, Yah, lumayan. 

Sementara aku memeriksa, ada notifikasi lain masuk. Rupanya itu dari Maru. Aku tidak menyangka ia akan mengirimkan pesan menyemangati seperti ini. 

...Kenapa ia memakai stempel anak anjing yang sama dengan Narasaka-san?

Seolah-olah pesan itu dikirim oleh seseorang, dan meskipun merepotkan, ia harus membalasnya, jadi ia mengirimkan hal yang sama dengan terburu-buru. 

Ketika lampu hijau menyala, aku menyimpan kembali smartphone-ku ke dalam saku dan menyeberangi jalan. 

“Fufufu, Ayase-san tertawa kecil seolah mengingat sesuatu. 

Ada apa?

Eh? Oh, ya. Aku juga mendapat pesan dari ketua kelas dan Satou-san.

Oh, begitu. 

Keduanya hanya mengirim stempel, tapi entah kenapa, melihat gambar itu membuatku teringat wajah mereka.

Hal seperti itu memang bisa terjadi. 

Ekspresi emosional yang dipilih juga menunjukkan kepribadian seseorang. 

...Yah, kecuali jika seperti Maru yang jelas-jelas malas. Mungkin itu juga mencerminkan kepribadiannya. 

Sambil berbincang-bincang mengenai hal sepele, kami melihat apartemen tempat kami tinggal. 

Perjalanan pergi terasa lama karena itu adalah jalan baru, tapi dalam perjalanan pulang sambil berbicara dengan Ayase-san, perjalanan yang seharusnya memakan waktu 30 menit terasa berlalu dalam sekejap. 

Ibu bilang kalau malam ini dia akan memasak makanan enak,

“Hee~”

Kira-kira apa ya? Mungkin semur daging sapi yang rasanuya selalu enak itu? Atau mungkin ada yang baru. 

Apapun itu, aku sangat menantikannya. 

 

◇◇◇◇

 

Hari pun berganti, 16 Januari. Pagi hari hari kedua ujian masuk universitas. Seperti yang diharapkan, aku merasa sedikit lebih tenang mengetahui jalannya. 

Syukurlah, kalian beruntung tidak ada hujan selama dua hari ini.”

Akiko-san berkata demikian saat dia mengantar kami pergi

Ngomong-ngomong, ada rumor bahwa pada hari ujian umum, cuaca selalu buruk dan turun salju, tapi sekarang sudah tidak terdengar lagi. Kemarin cuaca cerah di seluruh negeri, dan hari ini juga cerah di Tokyo. Namun, karena itu, suhu tidak naik terlalu tinggi. Awan bertindak seperti selimut yang menjaga suhu udara, jadi jika malam hari cerah, suhu akan turun. Ini disebut pendinginan radiasi. Menurut berita cuaca, suhu terendah semalam adalah 0°C. 

“Suhunya cukup dingin ya.”

Ucap Ayase-san yang berjalan di sampingku. 

“Apa kamu sudah memakai pemanas tubuh? tanyaku. 

Ya, aku sudah memakainya. Di bawah pakaian supaya tidak terlihat. Biasanya, aku bisa tahan dengan dingin seperti ini,

Kamu bisa menahannya?

Ya... begitu. Aku benci jika aku tidak bisa mengenakan pakaian yang kuinginkan karena cuaca panas atau dingin. Itu membuatku merasa kalah. 

Sebenarnya kamu sedang bertarung dengan apa sih, Ayase-san... Meskipun, itu memang sangat menggambarkan kepribadiannya

Jaga kesehatanmu baik-baik, oke.”

Ayase-san mengangguk setuju dengan perkataanku

Hari ini aku memakainya. Selain itu, ada pemanas yang tidak ditempelkan, lihat,

Sambil berkata begitu, dia mengeluarkan dari saku dan menggenggamnya. 

Eh, yang itu juga?

“Habisnya, rasanya bakal tidak nyaman dan menjengkelkan kalau jari-jemari kita tidak bisa bergerak karena kedinginan, kan? 

Ah, benar juga. Seharusnya aku memikirkan itu.

Aku awalnya berpikir tidak masalah karena sudah memakai sarung tangan, tetapi aku tidak ingin memulai ujian dalam keadaan tangan yang sedikit kaku. Sungguh konyol kesali. Ayase-san jauh lebih siap dalam hal perlindungan dari dingin. 

Ketika aku merasa sedikit tertekan, Ayase-san berhenti di sampingku. Dia membuka tas olahraga yang disandangnya dan memasukkan tangannya ke dalamnya. 

Ini. Aku membawakan cadangan, jadi ambil saja. 

Ah, ya. ...Terima kasih.

Aku menarik pemanas tubuh dari kemasan dan menjatuhkannya ke dalam saku. Saat kami tiba di lokasi ujian, tanganku seharusnya sudah hangat. Mungkin ini hanya penghibur, tetapi penghibur itu penting. 

Jalan yang sama seperti kemarin membawa kami ke kampus universitas yang terasa lebih luas dibandingkan kemarin. 

Mungkin karena aku merasa sedikit lebih santai. Sekarang aku bisa melihat tempat-tempat yang sebelumnya terlewatkan, jadi tempatnya terasa lebih luas. 

Aku juga berpikiran sama ketika mengunjungi acara kampus terbuka, tapi universitas negeri yang besar ini sangat luas dan memiliki banyak gedung. Di dalam kota, terutama di Shibuya, memiliki lahan seluas ini sangat mengesankan. Aku penasaran, ada berapa banyak gedung yang bisa dibangun jika itu adalah gedung sekolahku. 

“Kalau gitu, sampai jumpa sampai makan siang nanti. 

Ah, ya. Ehm... Aku ragu-ragu mencari kata yang harus diucapkan kepada Ayase-san, dan aku mengeluarkan penghangat tubuh dari saku dan menggenggamnya sambil berkata, Ini sangat membantu. Terima kasih, sambil menggerakkan penghangat tubuh yang ada di tanganku. Suara kericuhan terdengar dari dalamnya (tepatnya serbuk besi dan berbagai hal untuk memanaskannya). 

Apa itu?

Yahh, lihat. Ini semacam semangat? Anggap saja seperti menggoyangkan maracas.

Shaka shaka. 

Ayase-san yang sebelumnya terlihat tegang dengan kerutan halus di dahi kini tampak terkejut, lalu menutup mulutnya dan tertawa kecil. 

Apa-apaan itu, aneh banget.

Yah, selama dia bisa tertawa dan merasa lebih santai, itu saja sudah cukup baik. 

Jadi, sampai nanti.

Ah. Ya, sampai jumpa lagi.

Sambil mengatakan itu, Ayase-san juga mengeluarkan pemanas tubuh dari saku dan menggoyangkannya dengan ringan. 

Memang aneh...

Meskipun aku sendiri yang memulainya, saat memikirkannya kembali dengan tenang, aku juga sampai mempertanyakan tindakanku sendiri. Tapi itu ampuh buat meredakan ketegangan

Aku tiba di ruang kelas yang sama seperti kemarin. Mungkin karena aku datang lebih awal, masih ada sekitar 5 atau 6 orang di dalam kelas. Setelah duduk di kursi yang ditempelkan nomor ujian milikku, aku mulai menyiapkan alat tulis. 

Sampai waktu ujian dimulai, aku hanya melamun sambil melihat daftar isi buku referensi. Meskipun aku bisa saja mengatakan bahwa aku takut melupakan sesuatu jika mencoba mengingat hal baru sekarang, jadi aku hanya bisa menatap daftar isi. Hari kedua adalah ujian sains dan matematika, yang bisa dibilang adalah mata pelajaran favoritku. Yang lebih menakutkan adalah jika aku tidak bisa menunjukkan kemampuan terbaikku karena tegang. 

AC tidak terlalu dingin dan tidak terlalu hangat. Sepertinya aku tidak perlu berjuang melawan rasa kantuk. 

Lama-kelamaan, suasana di dalam kelas mulai ramai. Pengawas ujian masuk. Sama seperti kemarin, aku diminta mematikan ponsel dan menyimpannya di tas. Kertas jawaban dan kertas soal dibagikan──. 

Pengawas ujian mengumumkan dimulainya ujian. 

Aku membuka kertas soal yang sebelumnya tertutup dan melihat keseluruhannya. 

Aku sebaiknya mengerjakan soal-soal yang sudah aku kuasai terlebih dahulu, dan soal yang memakan waktu sebaiknya ditunda... Jika menemukan soal yang mirip dengan latihan yang pernah aku kerjakan, aku akan memberi tanda. 

Saat aku berkonsenttrasi, keberadaan peserta ujian lain dan rasa cemas jika tidak mencapai batas nilai universitas mengalir dan menghilang entah ke mana. 

Ujian penting di hari kedua, begitu dimulai, terasa cepat berlalu. 

Mungkin karena ini adalah mata pelajaran yang aku kuasai, tetapi aku bisa mengerjakannya tanpa beban, mungkin juga karena aku sempat melihat senyum Ayase-san sebelum ujian dimulai. 

Setelah menyelesaikan seluruh jadwal ujian, aku dan Ayase-san pulang sambil membandingkan jawaban ujian yang kami ambil bersama. 

Ada beberapa kesalahan, tetapi kami berdua merasa cukup baik tentang hasilnya. 

Dengan demikian, dua hari ujianku bersama Ayase-san pun berakhir.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close
Lebih baru Lebih lama