Chapter 4 — 15 Januari (Sabtu) – 16 Januari (Minggu) Asamura Yuuta
Dengan
perasaan puas karena telah melakukan yang terbaik, aku pergi tidur dan bangun sebelum alarm
berbunyi, merasa siap
sepenuhnya──.
“…Seandainya saja aku bisa begitu, ya.”
Aku menggerutu
sambil mencuci muka dan menghilangkan kantuk.
Jujur,
aku tidak banyak tidur.
Hari ini
adalah hari pertama ujian masuk universitas. Artinya, hari pertempuran yang
menentukan.
Jika siswa tidak melewati batas nilai ujian
masuk (untuk Fakultas Sains Data Sosial Universitas Ichinose, sekitar 670
poin), aku bahkan tidak akan diberikan hak untuk mengikuti ujian tahap
kedua. Tentu saja, tahap itu
harus dilalui, dan dikatakan bahwa batas kelulusan berada di sekitar 85% dari
nilai keseluruhan, jadi… aku ingin mendapatkan setidaknya 765 poin dari 900,
jika bisa lebih dari 770, atau bahkan di atas 800.
Sampai
saat ini, aku merasa sudah melakukan yang terbaik. Memang aku merasa begitu.
Sampai kemarin, aku yakin itu ada.
Gawat.
Percuma saja. Aku masih merassa
tidak tenang.
Saat
membuka pintu yang mengarah ke ruang makan, keluargaku sudah berkumpul. Cepat
sekali.
“Selamat
pagi, Yuuta.”
“Selamat
pagi, Yuuta-kun. Mau aku sajikan nasi?”
Ayahku dan Akiko-san sudah menyiapkan sarapan di meja. Beberapa hari ini, aku sama
sekali tidak membantu pekerjaan rumah. Aku merasa
sedikit menyesal karena tidak
bisa membantu.
“Ah,
ya. Terima kasih. Selamat pagi.”
Setelah aku duduk di kursiku, Ayase-san menghentikan makannya dan
berkata, “Selamat
pagi.”
Saat aku
membalasnya, dia berkata, “Yuuta-niisan, sebaiknya kamu harus cepat
makan, kita tidak punya banyak waktu lagi.”
“Eh,
memangnya sudah sesiang itu──”
Apa sudah
waktunya? Aku melihat jam dinding.
“Kurasa…
kita masih sempat.”
Tempat
ujian untuk ujian masuk ditentukan berdasarkan di mana sekolah siswa berada dan
di mana mereka tinggal. Berdasarkan data itu, pusat ujian universitas
menentukan lokasi.
Baik aku
maupun Ayase bersekolah di SMA yang sama, dan kami juga tinggal di rumah yang
sama. Jadi kemungkinan kami akan mendapatkan lokasi ujian yang sama cukup
tinggi, dan memang demikian adanya.
Lokasi
yang ditentukan adalah gedung universitas yang bisa dijangkau dengan berjalan
kaki. Ada kemungkinan kami akan ditentukan ke bimbingan belajar yang dekat
dengan Shinjuku, tapi itu sangat menguntungkan bagi kami. Kami merasa lega
karena letak ujiannya dekat.
“Tapi,
mungkin saja kamu bisa
lupa membawa kartu ujian.”
Aku
menggigil.
“Jangan
mengatakannya seolah-olah itu pertanda sial.
Tidak, aku sudah memeriksa beberapa kali kemarin.”
“Benar.
Ah, mungkin perutmu bisa
sakit dan butuh obat.”
“Tidak, tidak, itu sih tidak mungkin.
Lagipula, aku akan membawa obat lambung.”
“Mungkin
saja kamu akan melupakan alat tulis.”
“Semuanya
sudah aku periksa dan masukkan ke dalam tas
semalam.”
“Terjebak macet.”
“Kita
berdua sama-sama senang karena jaraknya bisa
dijangkau dengan berjalan kaki.”
“Tapi──”
“Saki.
Tunggu dulu sebentar.”
Sambil
berhenti sejenak, aku menatap Ayase-san. Mungkin──.
“Apa jangan-jangan kamu merasa grogi?”
Saat aku
mengatakannya, Ayase-san menatapku selama beberapa detik sebelum mengalihkan
pandangannya.
Dia
melanjutkan sarapan. Hmm, ini……
“Jika
kamu baik-baik saja, itu bagus.”
“Tidak,
sejujurnya, aku lumayan grogi.”
Saat aku
mengatakannya dengan jujur, sumpit Ayase-san kembali terhenti.
“Kamu
merasa grogi?”
“Yah… iya,
memang.”
“Padahal
kamu sudah belajar begitu keras.”
“Itu
juga berlaku untuk kita berdua.”
Justru
aku merasa Ayase-san melakukan usaha terakhir yang lebih luar biasa. Seiring
mendekatnya hari ini, aku hanya bisa membaca kembali catatan yang merangkum
materi ujian dengan menyebutnya sebagai peninjauan keseluruhan.
“Kurasa
Yuuta-niisan pasti baik-baik saja.”
“Kalau
memang begitu, itu bagus…”
Sementara membalas
begitu, aku menghela napas sambil mengaduk telur mata sapi di
dalam piring sarapanku.
“Yuuta-kun.”
Suara
Akiko-san membuatku tersadar dan
mengangkat wajahku.
“Begini.
Kalian berdua dengarkan baik-baik.”
Ayase-san
juga menghentikan sumpitnya dan mengangkat wajahnya.
“Apapun
hasilnya nanti, aku tahu kalian berdua sudah berusaha sangat keras sampai saat
ini. Baik aku dan Taichi-san juga sama. Hal itu
saja sudah membuatku bangga pada kalian.”
Ayah yang
duduk di sebelah juga mengangguk dengan senyum lebar.
Ia
tidak akan menaruh harapan terlalu
tinggi dan kemudian kecewa. Itulah yang ingin dikatakannya.
Jadi,
aku── aku dan Ayase-san juga, berhenti meringkuk dengan ketakutan dan bisa
melangkah maju.
“Terima
kasih.”
Aku
benar-benar merasa bersyukur
bahwa Akiko-san ada di sini sebagai ibuku.
Saat aku
mengucapkan terima kasih, Akiko-san
tersenyum lembut.
Melihat
senyumnya itu membuat beban di
pundakku terasa lebih ringan. Seolah-olah berat yang aku rasakan selama ini,
yang terus muncul dalam pikiranku dan menyiksaku dengan ketakutan akan
kegagalan dan kekecewaan, menghilang seketika.
“Ya.
Seperti biasa, Akiko memang hebat. Kamu lebih baik dalam memberi semangat
daripada aku.”
“Aku
hanya meniru Taichi-san seperti biasanya.”
“Ap-Apa
iya?”
“Iya.”
“Jangan
membuatku malu begitu.”
Ahaha,
ufufu, pasangan itu saling tersenyum satu sama lain. Eh? Rasanya itu adalah
percakapan yang baik, tetapi bukannya ini
terasa seperti kami cuma digunakan
sebagai alasan bagi mereka
untuk bermesraan?
“Yuuta-niisan."
Ayase-san
menatapku.
“Saki…”
“Aku
tidak akan kalah.”
“Ugh…
ya, benar.”
Kalau
diiingat-ingat kembali, aku sedang bersaing dengan
Ayase-san dalam ujian masuk.
Tapi aku tidak pernah menyangka dia akan
mengatakannya pada waktu seperti ini……
Mungkin
ini merupakan cara Ayase-san untuk meredakan
ketegangan.
“Itulah
sebabnya… aku akan berusaha.”
Aku tahu
dia juga berharap agar aku berusaha dari lubuk hatinya.
Namun,
dia tidak mengatakannya.
Dia tidak
akan memaksakan itu pada orang lain.
Ayase
Saki tidak akan menghentikan langkahnya meskipun aku terjatuh. Usahanya adalah
untuk dirinya sendiri dan tidak bermaksud memaksakan kepada orang lain.
Kadang-kadang, aku khawatir dengan ketegasan yang begitu keras terhadap dirinya
sendiri.
Dia
selalu berjuang dengan hati yang tegang.
“Ya,
kurasa aku bisa berjuang sampai hari ini berkat Saki.”
“…Berkat aku?”
Setelah
mengangguk, aku berkata.
“Karena bisa
bersaing itu rasanya menyenangkan.”
“…Aku
juga!”
Jadi, aku
akan berhenti merasa cemas tentang hasil dan tidak perlu khawatir. Aku sudah
melakukan yang terbaik.
◇◇◇◇
Kami
berdua meninggalkan rumah bersama-sama dan berjalan
berdampingan. Kami
berjalan perlahan menuju lokasi ujian. Jaraknya sekitar 20 menit berjalan kaki
terasa sepi pada pagi hari Sabtu. Di sekitar kami, ada beberapa siswa yang
tampak seperti peserta ujian juga.
“Apa
kita berangkat terlalu awal?”
“Lebih
baik berangkat cepat daripada terlambat, iya ‘kan?”
Kurasa itu
ada benarnya juga.
Kami
melihat gerbang universitas yang menjadi lokasi ujian. Denyut jantungku secara
alami meningkat. Di
samping gerbang, terdapat tulisan yang menyebutkan nama lokasi dan bahwa ujian
umum akan dilaksanakan.
Meskipun
lokasi ujiannya sama, ruangan
yang akan kami masuki pasti berbeda antara aku dan Ayase-san. Setelah masuk ke dalam gedung, kami mengikuti peta
petunjuk menuju ruang kelas masing-masing.
Di tengah
jalan, aku menemukan toilet dan masuk sebentar untuk berjaga-jaga. Sambil
mengelap tangan dengan handuk, aku mengulangi napas dalam-dalam. Tenanglah diriku.
Aku
berjalan di lorong menuju ruang kelas yang ditentukan.
Akhirnya
ujian dimulai. Ini adalah ujian masuk yang sebenarnya.
Smartphone
untuk sementara diletakkan di meja.
Setelah
petunjuk dari pengawas, aku mematikan daya dan memasukkan smartphone ke dalam
tas.
Setelah
mendengar aba-aba dari pengawas, aku membalik lembaran soal, dan
sekarang… waktunya untuk fokus.
Untuk saat ini, aku akan melupakan kecemasanku
tentang ketidakpastian masa depan dan hubunganku dengan
Ayase-san, hanya memikirkan soal ujian.
Suara
lonceng dari speaker dan suara pengawas membuatku tersadar dan mengangkat wajahku.
Aku
memeriksa kolom nama di lembar jawaban untuk memastikan tidak ada yang terlewat.
Setelah menghela napas besar, aku mengumpulkan alat tulis dan berdiri dari
tempat duduk. Masih ada sekitar 80 menit hingga ujian sore. Sampai saat itu,
termasuk waktu makan siang, adalah waktu istirahat.
Saat aku
menyalakan smartphone, ada pesan masuk. Rupanya itu
dari Ayase-san. 'Makan siang nanti gimana?'
dengan pertanyaan singkat itu disertai dengan lantai dan nomor ruang kelas
tempatnya berada.
Ternyata letaknya dekat juga. Melihat peta
petunjuk, sepertinya ada tempat seperti ruang istirahat. Dengan foto peta di
smartphone, aku mengusulkan tempat untuk bertemu.
“Bagaimana?”
Saat
melihat wajahku, dia bertanya, dan aku menjawab, “Ya,
rasanya sama seperti ujian simulasi. Sekitar seperti biasanya, mungkin.”
“Hebat sekali ya. Aku merasa tidak bisa
menunjukkan kemampuan terbaikku. Padahal aku
merasa kalau aku bisa melakukan lebih dari itu."
Dia
mengatakannya sambil menggigit bibir dengan rasa menyesal.
“Menurutku,
itu menunjukkan seberapa seriusnya
Ayase-san dalam menghadapi
soal-soal itu. Aku juga, untuk bagian yang tidak bisa kuingat, aku mengandalkan
insting. Kurasa,
para peserta ujian lain juga mengalami masalah serupa.”
“Semoga
saja iya begitu.”
Sambil
meneguk minuman dari mesin penjual otomatis, aku dan Ayase-san menghabiskan
waktu istirahat siang.
Kami
tidak banyak membahas isi ujian. Jika kami mulai berpikir tentang seberapa
banyak yang bisa kami selesaikan, aku merasa bisa jadi akan merasa murung.
Meskipun
begitu, bisa melihat wajah Ayase-san di antara ujian ini membuatku merasa lega.
Tidak ada kesempatan seperti ini dalam ujian swasta dan ujian lanjutan negeri.
Namun, saat pulang ke rumah, aku pasti bisa melihat wajahnya, jadi dibandingkan
dengan pasangan yang menjadi agak jauh karena ujian, kami yang tinggal bersama
mungkin sudah cukup beruntung. Kita bisa bertemu saat
pulang nanti. Ayahku bisa pergi bekerja dengan sehat setiap
hari. Sambil merenungkan pikiran yang tidak berguna ini, saatnya untuk kembali
ke ruang ujian.
“Nee.”
Ayase-san
bertanya saat kami berjalan menyusuri lorong.
“Ya?”
“Sepertinya
kamu sedang memikirkan sesuatu tadi.”
Apa aku
sedang memikirkan sesuatu? …Oh.
“Ummm,
aku hanya kepikiran tentang ujian
bahasa Jepang sore ini.”
Itu
bohong. Tentu saja, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memikirkan Ayase-san. Begitu aku mengatakannya,
Ayase-san menunduk.
“Bahasa
Jepang... sastra modern...”
“Ah,
tidak, bukan begitu maksudku.”
Lalu,
maksudku apa, pikirku dalam hati. Memang tidak baik
mencoba mengelak. Kata-kata yang terlanjur keluar tidak bisa diambil kembali.
Meskipun aku sudah berusaha mengatasinya, sastra modern adalah titik lemah
Ayase-san.
“Aku tahu
kalau ini kedengarannya seperti penghiburan yang
menenangkan, tapi Ayase-san, kamu sudah lebih banyak membaca buku dibandingkan
sebelumnya, kan? Kamu tidak
perlu terlalu pesimis begitu.”
“Itu sih... yah. Kadang-kadang saat
membaca novel, aku merasa bingung sendiri.
Aku merasa heran mengapa orang-orang
mengatakan hal yang berlawanan dengan apa yang mereka
pikirkan?”
Itu
sering terjadi. Apalagi jika itunovel dengan sudut pandang orang pertama,
ketika tokoh utama berbohong, itu bisa sangat sulit untuk dipahami.
“…Asamura-kun,
meskipun kamu mencoba menghibur, kamu malah bilang itu hanya untuk menenangkan.”
“Habisnya,
Ayase-san, kamu tidak suka penghiburan yang tidak berdasar, ‘kan?”
“Itu
benar.”
“Jadi,
kupikir lebih baik aku menyebutnya sebagai penghiburan. Dengan begitu,
setidaknya kamu tahu aku sedang berusaha menghiburmu.”
Ayase-san
merenungkan kata-kataku.
“Begitu
ya...”
“Oh,
ruang kelasku di sini.”
Ayase-san
mengangkat wajahnya. “Oh, ya. Kalau gitu,”
katanya sambil melambaikan tangan sedikit.
“Aku yakin
kalau Asamura-kun,
yang pandai bahasa Jepang, pasti tidak masalah. Itu hanya penghiburan.”
Aku
membalasnya dengan senyuman dan melambaikan tangan.
Ujian
sore terdiri dari dua mata pelajaran: bahasa Jepang dan bahasa Inggris.
Dengan
begitu, ujian hari pertama pun selesai.
Aku tidak
terlalu kesulitan dalam bahasa Jepang. Hanya ada satu soal tentang menafsirkan
ekspresi perasaan yang membuatku bingung. Aku bisa sedikit memahami maksud
pembuat soal, tetapi aku tidak suka dengan interpretasiku sendiri. Meskipun
begitu, aku merasa tidak ingin kehilangan poin di bagian itu. Ujian umum tidak
ada nilai seni, jadi ya, mau tidak mau. Tiba-tiba, wajah Ayase-san terlintas
dalam pikiranku, dan aku bertanya-tanya bagaimana dia menyelesaikan soal itu.
Mungkin dia juga kesulitan.
Untuk
ujian bahasa Inggris berikutnya, rasanya masih
membuatku kurang puas. Terutama bagian
mendengarkan.
Dibandingkan
dengan Ayase-san yang selalu mendengarkan materi audio bahasa Inggris, usahaku
terasa kurang. Jujur saja, ada beberapa bagian yang hanya aku ingat samar, dan
aku berharap semuanya bisa terhubung dengan baik.
Meskipun
begitu, aku berhasil mengisi lembar jawaban dan menyelesaikan ujian.
Saat aku bersiap-siap untuk pulang dan memasukkan alat
tulis ke dalam tasku, aku
melihat wajah yang familiar di balik pintu kelas yang terbuka. Ayase-san
melambaikan tangan kecilnya.
Aku
segera merapikan barang-barang dan keluar dari kelas.
“Kamu
datang menjemputku?”
"Tempat
dudukku berada di sisi lorong, dan aku keluar
segera setelah waktu ujian selesai.”
Kami
berdua keluar dari lokasi ujian. Sambil
bergabung dengan antrean pelajar
yang menuju stasiun, kami berjalan berdampingan menuju rumah.
“Apa kamu
dapat pesan?”
“Eh?”
Ayase-san
mengangkat smartphone dan menunjukkan layar kepadaku. Stempel “Terima kasih atas kerja kerasmu” dengan gambar anak anjing yang
lucu telah dikirim.
Saat itu
lampu merah menyala, jadi aku berhenti dan mengeluarkan smartphone dari
saku.
Ada
notifikasi pesan.
Dan bukan
hanya satu. Ada lima pesan. Aku terkejut. Kira-kira dari
siapa saja? Aku membuka LINE untuk
memeriksanya. Yang
pertama kali datang adalah stempel yang sama yang dikirimkan kepada Ayase-san.
Aku sudah bisa menebak bahwa ini pasti dari Narasaka-san sejak melihatnya.
Stempel itu memang singkat dan terkesan dingin, tetapi karena kami mengikuti
ujian yang sama, dia pasti tahu waktu ujian selesai. Dia mengirimkan stempel “Terima kasih atas kerja kerasmu” dengan gambar anak anjing tepat
setelah ujian selesai.
Teman-teman
dari tempat kerjaku—senpai Yomiuri-senpai
dan Kozono-san—juga mengirimkan pesan
singkat.
Pesan
dari Yomiuri-senpai yang
dikirim ke dalam grup
yang kami buat saat kemah musim panas, setelah sekian lama, adalah kata-kata
dorongan sederhana “Terima
kasih atas kerja kerasmu, semoga besok juga semangat.” Oh, iya, Yomiuri-senpai juga pasti pernah mengikuti
ujian umum. Dia pasti memperhatikan jadwal ujian.
Sebagai tanggapan terhadap pesan itu, Kozono-san juga mengirimkan pesan “Semangat,
senpai!”
Sepertinya
Ayase-san juga melihat pesan yang sama.
“Kozono-san, bukannya masih terlalu dini untuk meminta kita semua untuk berkumpul lagi setelah ini?”
"Yah,
karena dia masih kelas satu SMA, ‘kan. Mungkin dia belum merasakan
tekanan ujian universitas?”
“Benar
juga.”
Kemudian,
ada pesan dari teman sekelasku
di sekolah, Shinjo dan Yoshida. Kalau tidak salah,
Shinjo juga seharusnya memiliki tujuan kampus
yang sama dengan Maru. Dari Shinjo hanya ada pesan singkat yang sopan, “Terima kasih atas kerja kerasmu”. Yoshida mengirimkan pesan
dengan nada santai, “Gimana ujiannya?”
Meskipun ditanya “Gimana?”, aku bingung harus menjawab apa.
Aku berpikir untuk membalas, “Bagaimana
denganmu?” tetapi
aku ingat bahwa Yoshida seharusnya tidak mengikuti ujian umum. Dia hanya fokus
pada universitas swasta. Mungkin nanti aku akan membalas, “Yah, lumayan”.
Sementara
aku memeriksa, ada notifikasi
lain masuk. Rupanya itu dari Maru.
Aku tidak menyangka ia akan mengirimkan pesan menyemangati
seperti ini.
...Kenapa
ia memakai stempel anak anjing yang sama
dengan Narasaka-san?
Seolah-olah
pesan itu dikirim oleh seseorang, dan meskipun merepotkan, ia harus membalasnya, jadi ia mengirimkan hal yang sama
dengan terburu-buru.
Ketika
lampu hijau menyala, aku menyimpan kembali
smartphone-ku ke dalam saku dan menyeberangi jalan.
“Fufufu,” Ayase-san tertawa kecil seolah mengingat sesuatu.
“Ada
apa?”
“Eh?
Oh, ya. Aku juga mendapat
pesan dari ketua kelas dan Satou-san.”
“Oh,
begitu.”
“Keduanya
hanya mengirim stempel, tapi entah kenapa, melihat gambar itu membuatku
teringat wajah mereka.”
“Hal
seperti itu memang bisa terjadi.”
Ekspresi
emosional yang dipilih juga menunjukkan kepribadian seseorang.
...Yah,
kecuali jika seperti Maru yang jelas-jelas malas. Mungkin itu juga mencerminkan
kepribadiannya.
Sambil
berbincang-bincang mengenai hal sepele,
kami melihat apartemen tempat kami tinggal.
Perjalanan
pergi terasa lama karena itu adalah jalan baru, tapi dalam perjalanan pulang
sambil berbicara dengan Ayase-san, perjalanan yang seharusnya memakan waktu 30
menit terasa berlalu dalam
sekejap.
“Ibu
bilang kalau malam ini dia akan memasak makanan enak,”
“Hee~”
Kira-kira apa
ya? Mungkin semur daging sapi yang rasanuya selalu enak itu? Atau mungkin ada yang baru.
Apapun
itu, aku sangat menantikannya.
◇◇◇◇
Hari pun
berganti, 16 Januari. Pagi hari hari kedua ujian masuk universitas. Seperti yang diharapkan, aku merasa sedikit lebih tenang
mengetahui jalannya.
“Syukurlah,
kalian beruntung tidak ada hujan selama dua hari ini.”
Akiko-san berkata demikian saat dia mengantar kami pergi.
Ngomong-ngomong,
ada rumor bahwa pada hari ujian umum, cuaca selalu buruk dan turun salju, tapi sekarang sudah tidak
terdengar lagi. Kemarin cuaca cerah di seluruh negeri, dan hari ini juga cerah
di Tokyo. Namun, karena itu, suhu tidak naik terlalu tinggi. Awan bertindak
seperti selimut yang menjaga suhu udara, jadi jika malam hari cerah, suhu akan
turun. Ini disebut pendinginan radiasi. Menurut berita cuaca, suhu terendah
semalam adalah 0°C.
“Suhunya
cukup dingin ya.”
Ucap Ayase-san
yang berjalan di sampingku.
“Apa kamu
sudah memakai pemanas tubuh?” tanyaku.
“Ya,
aku sudah memakainya. Di bawah pakaian supaya tidak
terlihat. Biasanya, aku bisa tahan dengan dingin seperti ini,”
“Kamu
bisa menahannya?”
“Ya...
begitu. Aku benci jika aku tidak bisa mengenakan pakaian yang kuinginkan karena
cuaca panas atau dingin. Itu membuatku merasa kalah.”
Sebenarnya
kamu sedang bertarung dengan apa sih, Ayase-san... Meskipun,
itu memang sangat menggambarkan kepribadiannya.
“Jaga
kesehatanmu baik-baik, oke.”
Ayase-san
mengangguk setuju dengan perkataanku.
“Hari
ini aku memakainya. Selain itu, ada pemanas yang tidak ditempelkan, lihat,”
Sambil
berkata begitu, dia mengeluarkan dari saku dan menggenggamnya.
“Eh,
yang itu juga?”
“Habisnya, rasanya bakal tidak nyaman dan menjengkelkan kalau jari-jemari kita
tidak bisa bergerak karena kedinginan,
‘kan?”
“Ah,
benar juga. Seharusnya aku memikirkan itu.”
Aku
awalnya berpikir tidak masalah karena sudah memakai sarung tangan, tetapi aku
tidak ingin memulai ujian dalam keadaan tangan yang sedikit kaku. Sungguh konyol kesali. Ayase-san jauh lebih siap dalam
hal perlindungan dari dingin.
Ketika aku
merasa sedikit tertekan, Ayase-san berhenti di
sampingku. Dia membuka tas olahraga yang disandangnya dan
memasukkan tangannya ke dalamnya.
“Ini.
Aku membawakan cadangan, jadi ambil saja.”
“Ah,
ya. ...Terima kasih.”
Aku
menarik pemanas tubuh dari kemasan dan menjatuhkannya ke dalam saku. Saat kami tiba di lokasi
ujian, tanganku seharusnya sudah hangat. Mungkin
ini hanya penghibur, tetapi penghibur itu penting.
Jalan
yang sama seperti kemarin membawa kami ke kampus universitas yang terasa lebih
luas dibandingkan kemarin.
Mungkin
karena aku merasa sedikit lebih santai. Sekarang aku bisa melihat tempat-tempat
yang sebelumnya terlewatkan, jadi tempatnya terasa
lebih luas.
Aku
juga berpikiran sama ketika mengunjungi acara kampus terbuka, tapi
universitas negeri yang besar ini sangat luas dan memiliki banyak gedung. Di
dalam kota, terutama di Shibuya, memiliki lahan seluas ini sangat mengesankan.
Aku penasaran, ada berapa
banyak gedung yang bisa dibangun jika itu adalah gedung sekolahku.
“Kalau gitu,
sampai jumpa sampai makan siang
nanti.”
“Ah,
ya. Ehm...” Aku ragu-ragu mencari kata yang harus diucapkan
kepada Ayase-san, dan aku mengeluarkan penghangat
tubuh dari saku dan menggenggamnya sambil berkata, “Ini sangat membantu. Terima
kasih,” sambil menggerakkan penghangat tubuh yang ada di tanganku.
Suara kericuhan terdengar dari dalamnya (tepatnya serbuk besi dan berbagai hal
untuk memanaskannya).
“Apa
itu?”
“Yahh, lihat. Ini semacam semangat?
Anggap saja seperti menggoyangkan maracas.”
Shaka
shaka.
Ayase-san
yang sebelumnya terlihat tegang dengan kerutan halus di dahi kini tampak
terkejut, lalu menutup mulutnya dan tertawa kecil.
“Apa-apaan itu, aneh banget.”
Yah,
selama dia bisa tertawa
dan merasa lebih santai, itu saja sudah
cukup baik.
“Jadi,
sampai nanti.”
“Ah.
Ya, sampai jumpa lagi.”
Sambil
mengatakan itu, Ayase-san juga mengeluarkan pemanas tubuh dari saku dan menggoyangkannya
dengan ringan.
Memang
aneh...
Meskipun
aku sendiri yang memulainya, saat memikirkannya kembali dengan tenang,
aku juga sampai mempertanyakan tindakanku sendiri. Tapi itu ampuh buat meredakan ketegangan.
Aku tiba
di ruang kelas yang sama seperti kemarin. Mungkin karena aku datang lebih awal,
masih ada sekitar 5 atau 6 orang di dalam kelas. Setelah duduk di kursi yang
ditempelkan nomor ujian milikku, aku mulai menyiapkan alat tulis.
Sampai
waktu ujian dimulai, aku hanya melamun sambil melihat daftar isi buku
referensi. Meskipun aku bisa saja mengatakan
bahwa aku takut melupakan sesuatu jika mencoba mengingat hal baru sekarang,
jadi aku hanya bisa menatap daftar isi. Hari kedua adalah ujian sains dan
matematika, yang bisa dibilang adalah mata pelajaran favoritku. Yang lebih
menakutkan adalah jika aku tidak bisa menunjukkan kemampuan terbaikku karena
tegang.
AC tidak
terlalu dingin dan tidak terlalu hangat. Sepertinya aku tidak perlu berjuang
melawan rasa kantuk.
Lama-kelamaan,
suasana di dalam kelas
mulai ramai. Pengawas ujian masuk. Sama seperti kemarin, aku diminta mematikan
ponsel dan menyimpannya di tas. Kertas jawaban dan kertas soal
dibagikan──.
Pengawas
ujian mengumumkan dimulainya ujian.
Aku
membuka kertas soal yang sebelumnya tertutup dan melihat keseluruhannya.
Aku
sebaiknya mengerjakan soal-soal yang sudah aku kuasai terlebih dahulu, dan soal yang memakan waktu
sebaiknya ditunda... Jika menemukan soal yang mirip dengan latihan yang pernah
aku kerjakan, aku akan memberi tanda.
Saat aku berkonsenttrasi,
keberadaan peserta ujian lain dan rasa cemas jika tidak mencapai batas nilai
universitas mengalir dan menghilang entah ke mana.
Ujian
penting di hari kedua, begitu dimulai, terasa cepat berlalu.
Mungkin
karena ini adalah mata pelajaran yang aku kuasai, tetapi aku bisa
mengerjakannya tanpa beban, mungkin juga karena aku sempat melihat senyum
Ayase-san sebelum ujian dimulai.
Setelah
menyelesaikan seluruh jadwal ujian,
aku dan Ayase-san pulang sambil membandingkan jawaban ujian yang kami ambil
bersama.
Ada
beberapa kesalahan, tetapi kami berdua merasa cukup baik tentang hasilnya.
Dengan demikian, dua hari ujianku bersama Ayase-san pun berakhir.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya