Chapter 1
“Ryuuto!”
Begitu aku berjalan keluar dari pintu
kedatangan, Luna langsung melompat
ke arahku.
“Wahh!”
Karena
gerakannya terlalu mendadak, aku sempat terkejut dan berhenti
sejenak.
“Luna...!”
“Aku
melihatmu dari jauh, jadi aku sangat senang!”
Luna
menatapku dengan mata yang berkilau. Sudah
tiga bulan sejak terakhir kali bertemu Luna. Kami
saling bertelepon setiap hari, dan tidak ada hari tanpa
memikirkan senyumnya yang kini ada di depan mata… aku merasa terharu dan tidak bisa
berkata-kata untuk sementara waktu.
“Ah, sepertinya kita sedikit
menghalangi, jadi ayo geser dulu ke
samping.”
Setelah Luna
mengatakan itu, aku buru-buru pindah.
Dari
pintu kedatangan, orang-orang masih terus keluar. Salah satu dari mereka, seorang
pria asing yang terlihat memiliki keturunan Eropa-Amerika, memeluk wanita
Jepang di sampingku.
“Honey!”
Setelah
pelukan hangat, mereka saling bertukar ciuman penuh gairah.
“…………”
Aku
terpesona oleh momen pertemuan dramatis itu, lalu ketika aku mengalihkan
pandanganku ke Luna, dia juga
menatapku kembali pada saat yang bersamaan.
“…………”
Luna
terlihat sedikit gelisah, seolah menunggu sesuatu, dan mengalihkan pandangannya
dariku.
…Eh?
Apa jangan-jangan dia mengharapkan pelukan
dan ciuman seperti yang aku lihat tadi…!?
Tidak,
tidak, itu terlalu sulit bagiku yang termasuk tipe pemalu di antara orang
Jepang…!
“…Fuhaha!”
Sementara
aku sendiri merasa gugup, Luna tiba-tiba tertawa.
“Walaupun
tinggal di luar negeri, Ryuuto masih tetap tidak
berubah ya.”
“…Yah,
karena baru tiga bulan juga sih.”
Aku
tersenyum kecut sambil menahan rasa malu yang muncul.
“Lagipula,
Indonesia itu bagian dari Asia, jadi tidak ada budaya
yang terlalu berapi-api.”
“Begitu
ya? Padahal itu negara
berbahasa Inggris?”
“Bahasa
Inggris lebih untuk orang asing, sedangkan orang lokal berbicara dalam bahasa
Indonesia atau bahasa lain yang sulit dimengerti.”
“Ah,
kamu memang pernah bilang begitu. Tapi setelah tiga bulan di sana, apa Ryuuto sudah bisa sedikit berbicara?"
“Belum
sama sekali. Di perusahaan hanya ada orang Jepang, dan saat membeli makanan di
warung, aku bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris yang kurang lancar.”
“Begitu
ya."
Aku
tertawa, dan Luna juga menjawab dengan tertawa.
“Jadi,
Ryuuto tetap menjadi Ryuuto.”
“Tentu
saja.”
Aku
menjawab sambil berpikir apa itu baik atau buruk… dan Luna tersenyum
bahagia.
“Hehe,
syukurlah.”
Setelah
berkata begitu, Luna mengulurkan tangannya kepadaku. Mungkin karena sudah lama
tidak bertemu, dia jadi terlihat
sedikit ragu.
“…Selamat
datang kembali, Ryuuto.”
Saat Luna
menatapku dengan tatapan menengadah,
hatiku terasa hangat.
Aku sudah
kembali ke Jepang.
…Di
samping Luna.
Saat
menyadari itu, wajahku otomatis tersenyum.
“Aku pulang,
Luna.”
Kami
saling menggenggam tangan dan tersenyum, lalu mulai berjalan. Di tangan kananku ada barang
bawaan, di tangan kiriku ada tangan Luna. Bisa
berjalan selangkah dengan seseorang yang kusayangi
setelah tiga bulan terasa sangat berbeda.
“…Oh,
tapi aku sudah sedikit terbiasa dengan tokek.”
Ucapku sambil
berjalan di dalam bandara.
“Tokek?
Oh, kamu bilang sering melihatnya.”
“Ya,
katanya makhluk ini membawa keberuntungan, tapi mereka
bukan makhluk langka, mereka cuma
binatang biasa yang bisa
saja ada di sekitar kita.
Mereka bahkan bisa ditembukan di dinding
rumah juga.”
“Serius!?
Apa yang harus kulakukan kalau aku
melihat di rumah!?”
“Kalau
kamu tidak mempedulikannya, nantinya tokek itu akan pergi dengan
sendirinya.”
“Eh!?
Entah kenapa itu sedikit
menakutkan!”
Luna
berkata sambil tertawa. Aku senang memikirkan bahwa dia sudah membayangkan
kehidupan baru kami di Indonesia.
“Tenang
saja, kamu akan cepat terbiasa. Awalnya aku juga merasa aneh, tapi kalau
diperhatikan, mereka ternyata cukup lucu.”
“Masa sih?
Kalau begitu, aku mungkin akan
menangkap dan memeliharanya."
“Itu
mungkin agak sulit. Karena kita mungkin harus
menyiapkan makanannya juga.”
“Eh,
begitu?”
“Tokek tuh
termasuk hewan pemakan daging, ‘kan?
Mereka pasti makan serangga kecil.”
“Eh,
serius!?”
“Iya,
makanya jika ada binatang
seperti itu di rumah, mereka bisa membantu mengurangi hama.”
“Begitu ya! Kurasa
aku tidak perlu
memeliharanya! Cukup mengawasinya saja!”
Sambil
tertawa, Luna membenamkan
wajahnya di bahuku. Aroma parfum yang lembut membuatku kembali merasakan
kehadiran Luna.
Dengan
bau Luna yang sudah lama tidak tercium, sesuatu yang hangat tiba-tiba muncul di
dalam dadaku, dan aku merasa seharusnya aku sudah memeluknya saja.
Sebagai
orang Jepang yang pemalu, pertemuan di pintu kedatangan seharusnya menjadi
kesempatan yang baik untuk memeluknya di depan umum.
Saat
berjalan melintasi lantai
bandara yang mulus, aku
tiba-tiba diserang penyesalan seperti itu.
◇◇◇◇
Luna dan
aku akan menikah minggu depan.
Minggu
berikutnya, Luna akan
menyelesaikan kepindahannya dan kami berdua bisa berangkat
ke Indonesia bersama-sama.
Dua
minggu ini mungkin bisa dibilang sebagai dua minggu paling penuh gejolak dalam kehidupanku.
Luna baru
saja lulus dari sekolah tinggi kejuruan
beberapa hari yang lalu dan berhasil mendapatkan sertifikasi sebagai pengasuh
anak. Dia sudah berhenti dari pekerjaan paruh waktu di bidang fashion akhir
bulan lalu, dan sekarang sedang mempersiapkan pernikahan dan keberangkatan.
Karena Luna
kembali ke rumah orang tuanya, selama dua minggu ini, aku juga memutuskan untuk
tinggal di rumah orang tuaku.
“Aku pulang.”
“Permisi!”
“Luna-chan,
sudah lama tidak bertemu.”
Saat aku
pulang bersama Luna, ibuku menyambut kami di depan pintu dan menyapa Luna lebih
dulu daripada aku.
“Selamat
datang kembali, Ryuuto.”
Dia
menyebutkan namaku dengan nada seolah itu sekadar tambahan, lalu tersenyum
padaku.
Aku bisa
merasakan ini adalah cara ibuku menunjukkan perhatian. Meskipun dia orang yang
tenang, aku merasa terkejut bahwa dia mungkin juga khawatir tentang masalah
menantu dan ibu mertua.
Aku
merasakan sensasi aneh ketika pulang ke rumah orang tua setelah
sekian lama.
Dulu
ketika masih tinggal di sini, aku merasakan
ketenangan ketika aku pulang ke rumah,
tetapi sekarang rasanya seperti aku sedang
mengunjungi rumah orang lain.
Mungkin
rumahku sekarang bukan di sini lagi. Aku
merasakan emosi yang campur aduk yang terdiri dari perasaan kesepian sekaligus bangga karena sudah menjadi orang dewasa.
“Maaf
jika aku ikut mengganggu. Tapi, aku merasa perlu untuk menyampaikan salam
pernikahan yang belum sempat dilakukan...”
Luna
mengatakan itu sambil menyerahkan oleh-oleh yang dibelinya di bandara.
“Kamu tidak
perlu melakukan salam segala,
karena kita sudah akrab selama ini.”
Ibuku menjawab dengan senyuman cerah.
Luna
sudah sering mengunjungi rumahku sejak SMA untuk belajar bareng, jadi bagi orang tuaku, ini
bukan hal yang baru lagi.
Setelah
diputuskan bahwa Luna akan menemaniku di
penugasan di Indonesia musim panas tahun
lalu, kami mulai mempersiapkan pernikahan. Karena aku sibuk dengan tugas
akhir kuliah dan proses pekerjaan di Indonesia, persiapan
pernikahan sebagian besar ditangani oleh Luna.
Dalam
proses tersebut, kami sepakat bahwa kami tidak menginginkan hal-hal formal
seperti pertunangan atau acara seremonial lainnya. Meskipun kami melaporkan
perkembangan kepada orang tua masing-masing, aku tidak pernah memiliki
kesempatan untuk menundukkan kepala
dan meminta, “Tolong
izinkan saya meminang putri Anda,” sebelum aku berangkat ke
Indonesia.
Hari ini,
rencananya adalah mengunjungi rumah orang tuaku terlebih dahulu, dan di sore
hari, kami akan mengunjungi rumah ayah Luna untuk menyapa. Orang tuaku harus
lebih dulu karena aku tidak bisa bergerak dengan leluasa jika belum menaruh
barang-barang di rumah.
Sekarang
sudah jam sepuluh pagi. Karena hari Sabtu, seharusnya ayahku tidak ada jadwal bekerja, tetapi
mungkin karena sudah diberitahu bahwa Luna akan datang untuk menyapa, ayahku duduk di kursi meja makan dengan
mengenakan kemeja. Ada perasaan gelisah yang terlihat
dari raut wajahnya, bahkan aku sebagai anaknya bisa
merasakannya.
“Selamat
datang.”
Ayahku
berkata demikian kepada kami dalam keadaan gelisah. Kakak perempuanku yang bekerja di bidang
pelayanan juga sedang bertugas, jadi kami baru bisa bertemu malam nanti.
Kami
berempat, aku, Luna, dan kedua
orang tuaku, berkumpul di meja makan untuk minum teh.
“Ryuuto
pernah melakukan praktik mengajar, tapi
apa kamu ada praktik magang juga, Luna-chan?”
“Iya, ada,
praktik pengasuhan! Aku benar-benar pergi ke taman kanak-kanak dan dipanggil
'Luna-sensei'. Karena aku mengajar kelas anak
usia dua tahunan, rasanya
menyenangkan seperti bersama adik-adikku yang lebih kecil.”
“Adik-adikmu
sekarang sudah umur berapa?”
“Mereka baru
saja berulang tahun bulan lalu, jadi mereka sudah berusia empat tahun.”
“Jadi,
mereka sudah tidak pakai popok lagi dan sudah mulai seperti anak-anak kecil ya.”
“Benar sekali! Mereka sudah sangat banyak
bicara! Mereka bahkan lebih banyak bicara
daripada aku!”
Dan begitulah, ibuku dan Luna menjadi pusat
percakapan, dan kami berempat mengobrol dengan akrab.
Kemudian,
tiba-tiba ada momen di mana kami berempat
terdiam.
“…Ayah mertua dan Ibu mertua.”
Luna
memulai dengan nada yang serius. Orang
tuaku yang duduk di seberang juga memandang Luna dengan wajah yang sedikit
tegang.
“Terima
kasih banyak telah mengizinkanku untuk menikah dengan Ryuuto-san.”
Aku
merasa hatiku bergetar ketika mendengar
kata-kata Luna yang sangat formal, seolah-olah aku belum pernah mendengar
kata-kata seperti itu bahkan dari guru di sekolah.
“Ryuuto-san adalah orang yang sangat baik, dan menurutku ia bahkan
terlalu baik untukku... Jadi, aku ingin membuatnya bahagia seumur hidupku.”
Ibuku menundukkan wajahnya. Matanya
tampak berkaca-kaca. Sebagai
gantinya, ayahku
tersenyum dan membuka suara.
“Jika
Luna-san sampai bisa mengatakan hal seperti itu, aku merassa bahwa Ryuuto adalah
orang yang paling beruntung di dunia.”
Ibuku mengangguk-angguk sambil suara
pelan.
“Kupikir
masih ada waktu untuk melakukan banyak hal sebagai orang tua... Tapi, kamu
sudah menjadi dewasa begitu cepat...”
Suara ibu
yang penuh air mata semakin membuat hatiku bergetar.
Luna juga
tampak berkaca-kaca.
Ibu
akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Luna dengan serius. Lalu, dia
menundukkan kepala dengan hormat.
“Tolong haga
Ryuuto baik-baik. Harapan kami yang satu-satunya adalah agar Ryuuto dan Luna-san bisa selalu hidup bahagia bersama.”
Ayahku yang duduk di sebelahnya juga menundukkan kepala ke arah Luna.
Luna dan
aku pun secara alami menundukkan kepala.
“Terima
kasih banyaj...”
Suara Luna
tampak bergetar.
Bohong
rasanya jika aku mengatakan bahwa aku tidak pernah berpikir
seandainya lahir dari keluarga yang lebih kaya atau ingin terlahir sebagai
orang yang lebih tampan.
Namun,
sekarang aku merasa bersyukur karena dilahirkan di keluarga ini. Karena di rumah ini, aku pasti
dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
Aku
menyadari hal ini juga berkat Luna.
◇◇◇◇
Sekitar
siang hari, kami meninggalkan rumah orang tuaku
dan menuju rumah keluarga Shirakawa yang berjarak lima belas menit berjalan
kaki dari Stasiun A.
Ayah Luna
tidak bekerja hari ini dan berada di rumah. Sejak bergabung sebuah perusahaan, ia
selalu bekerja di bidang penjualan. Luna pernah memberitahuku bahwa ayahnya
biasanya libur pada salah satu hari kerja atau hari Sabtu. Hari ini adalah hari
Sabtu yang kebetulan libur.
Di rumah Shirakawa,
hanya ada ayahnya. Neneknya sedang tidak ada karena urusan keluarga, jadi Luna
berkata, “Aku akan
membuatkan makan siang,” dan
pergi ke dapur. Misuzu-san
masih bekerja hingga siang hari,
sementara si kembar di tempat PAUD.
Ayahnya mengenakan
pakaian santai seperti kaos dan celana olahraga.
Jika ia mengenakan pakaian formal seperti ayahku, aku pasti akan merasa sangat
tegang.
Aku sudah
merasa tegang. Aku teringat ketika mengunjungi rumah Shirakawa pada masa kelas 2 SMA saat musim dingin.
Pada waktu
itu, aku meminta ayahnya untuk menunggu
hingga Luna lulus SMA sebelum mulai tinggal
bersama Misuzu-san
setelah menikah lagi. Mengingat bagaimana ayahnya merasa tersinggung oleh
pernyataanku yang kurang ajar, hatiku masih berdebar hingga sekarang.
Namun,
ayah yang ada di depanku sekarang tampak tenang. Sejak saat itu, kami baru
berbicara dengan baik, tetapi mungkin hanya aku yang merasa canggung.
Jika
bukan begitu, mungkin aku harus meminta maaf.
Namun, mengangkat kembali cerita lama dan membuat suasana menjadi canggung juga
terasa tidak pantas.
“Ryuuto-kun
sudah bisa minum alkohol, ‘kan?”
Setelah
duduk di depan meja yang tingginya sekitar lutut, ayahnya bertanya padaku.
“Kalau hanya
sedikit saja...”
“Haha.
Anak muda zaman sekarang memang begitu, ya.
Anak-anak di tempat kerjaku juga seperti itu.”
Ayahnya
tertawa, menuangkan sake dari kulkas
ke dalam dua cangkir kecil di depannya. Salah satu cangkir itu diberikan
padaku.
“Bersulang!”
Ayahnya
berkata demikian, lalu menyatukan cangkir kecil yang dipegangku dengan
cangkirnya sendiri dan meminumnya. Aku hanya menyentuh permukaan alkohol dengan
bibirku.
“Kira-kira
pekerjaan apa yang dilakukan oleh editor manga?”
Ayah Luna segera bertanya hal itu.
“Umm,
yah, aku merencanakan proyek dengan
para mangaka tentang manga apa yang akan
dibuat, memberikan saran pada karya yang sudah digambar, dan menyelesaikannya
agar bisa diterbitkan... serta berbagai pekerjaan terkait lainnya.”
“Pekerjaan
terkait lainnya itu apa?”
“Ehm, seperti menulis teaser dan
sinopsis untuk promosi, jika dipublikasikan di internet, ada pekerjaan untuk
itu, jika diedit untuk majalah, ada pekerjaan untuk itu, dan jika dijadikan
buku komik, ada pekerjaan untuk buku komik...”
“Hmm.
Jadi, banyak pekerjaan yang berkaitan dengan hal-hal di luar isi manga, ya?”
“Iya, kami memikirkan isi ceritanya bersama-sama, tetapi yang akhirnya
mewujudkannya adalah si mangaka itu sendiri.”
“Tapi,
bukannya itu biasa yang
disebut 'editor penanggung
jawab', kan? Kamu bekerja
dengan mangaka yang seperti apa? Ada yang terkenal?”
“...Hhmm, karena aku sendiri baru saja mulai tiga bulan, jadi masih ada banyak karya yang belum
diterbitkan...”
Walaupun
aku merasa sebaiknya tidak membicarakan karya yang belum dipublikasikan, tetapi
karena ayah Luna sudah menjadi keluarga, aku berpikir mungkin tidak apa-apa
jika berbagi sedikit cerita.
“...Sebenarnya,
aku sedang mendiskusikan karya baru
dengan Kamonohashi-sensei.”
“Kamonohashi?
Jangan-jangan, itu orang yang membuat 'Jangan Kalah, Dragon-kun!'?”
“Ah,
iya, benar.”
“Aku pernah menonton anime itu sewaktu kecil dulu! Rasanya
hebat sekali kamu bisa bekerja dengan orang seterkenal itu. Eh, apa dia masih
menggambar manga?”
“Tidak,
sudah lebih dari sepuluh tahun dia tidak menerbitkan karya baru. Tapi, dia
tidak berhenti menjadi penggambar manga, dan dia masih memiliki keinginan untuk
menggambar.”
“Karena
dia sudah menghasilkan banyak uang dari 'Makedora' sih, jadi ia bisa bersantai saja, ya. Memang, kalau
aku punya banyak uang,
aku juga tidak mau bekerja.”
Mungkin
karena ia sudah minum alkohol, ayah Luna banyak bicara.
Awalnya, aku merasa tegang, tetapi suasana ramah ayahnya membuatku semakin
merasa nyaman.
Setelah
dipikir-pikir, ayah Luna telah bekerja di bidang penjualan hingga usia ini, dan
yang terpenting, ia adalah ayah Luna, jadi wajar jika dirinya ceria dan suka berbicara.
Mungkin sifatnya yang tidak menyimpan dendam juga mirip dengan Luna.
Setelah
beberapa saat berbicara tentang pekerjaan, aku mulai gelisah mencari waktu yang
tepat untuk menyampaikan hal yang penting.
Kemudian,
saat pembicaraan terputus, aku langsung memulai.
“Umm,
maafkan aku karena terlambat mengatakannya.
Hari ini kami datang karena aku berencana mengajukan surat pernikahan dengan Luna,
dan aku ingin meminta izin dari ayah mertua...”
Ketika
aku mulai berbicara serius, ayahnya sejenak menghentikan gerakan cangkirnya dan
menatapku.
Kemudian,
ia mengangguk sambil membawa kembali cangkir ke mulutnya.
“Silakan,
silakan, selamat ya.”
Mata
hitamnya yang mirip dengan milik Kurose-san menyipit seraya menatap ke arah kejauhan.
“Kamu
tahu kan, aku bukan tipe ayah yang sekarang bilang 'aku tidak akan
memberikan putriku'.”
“…………”
Aku
menatap ke arah dapur.
Luna
menghentikan pekerjaannya dan menatap ke arahku. Saat pandangan mata kami bertemu, Luna tersenyum
sedikit seolah heran. Wajahnya terlihat bahagia.
“…Dulu,
saat Luna kecil, kami sekeluarga sering pergi naik mobil ke taman besar di hari
libur.”
Setelah
menikmati sake dalam diam selama beberapa saat,
ayahnya mulai bercerita seperti menggumam.
“Luna
cepat sekali berteman dengan anak-anak yang tidak dikenalnya dan bermain
bersama, sementara Maria lebih
banyak bermain dengan keluarga. Aku juga sering menjadi teman bermain bola
dengannya.”
Sambil
membayangkan Luna kecil, aku mendengarkan cerita itu dengan senyuman.
“Suatu
ketika, saat aku menggendong Maria
di bahuku, Luna datang dan terus-menerus meminta, 'Aku juga mau!' Aku
sebenarnya ingin menggendongnya, tapi setelah mengalami cedera punggung saat di
klub waktu sekolah, aku tidak terlalu ingin melakukannya. Jadi, aku menolak dan
berkata, 'Luna bisa bermain di tempat lain, jadi silakan pergi bermain.'”
Ia
berkata demikian sambil tersenyum kecil. Senyumnya terlihat seperti olok-olok,
dan tampak sedikit sedih.
“…aku seharusnya memaksakan diri untuk
menggendongnya meskipun sulit.
Sekarang sudah tidak mungkin lagi.”
Ayah Luna berkata dengan lembut, tatapan matanya menatap jauh melewati
cangkir kecil di tangannya.
“Pada waktu
itu, aku berpikir masih akan ada banyak kesempatan seperti itu. Anak-anak memang tumbuh dengan cepat,
ya."
Setelah
tertawa sedikit sedih, ayahnya menatapku dan menunjukkan senyum yang
seolah-olah ingin menutupi perasaannya.
“Karena
itulah, aku berusaha untuk bermain
sebanyak mungkin dengan Haruna dan Haruka. Aku sering menggendong mereka berdua
sekaligus dan merangkak di seluruh ruangan. Sambil hampir mengalami cedera
punggung. Memiliki anak kembar itu benar-benar melelahkan.”
Memang terlihat tanda-tanda kelelahan di wajah ayah Luna yang tersenyum.
Dan
kemudian, tiba-tiba, senyumnya menghilang.
“…Sebagai
seorang ayah, aku bisa mengulangi cara
mendidik seperti itu, tetapi masa kecil Luna tidak akan pernah kembali.”
Ayah Luna mengatakannya dengan suara pelan.
Aku tanpa
sadar menatap ke arah dapur. Luna sedang bekerja di dekat kompor, dan wajahnya
tidak terlihat.
“Jika
dipikir-pikir, ada banyak hal lain yang bisa aku sesali tentang Luna... tetapi
penyesalan yang selalu muncul di pikiranku adalah tentang saat menggendongnya
ketika kecil.”
Setelah
mengucapkan itu seperti berbisik, wajah ayahnya tiba-tiba tampak sadar kembali
dan menatapku.
“Jika
Ryuuto-kun juga menjadi ayah, usahakan
untuk tidak menyesali cara mendidik anak. Hanya itu
saja yang bisa aku katakan.”
Melihat
ayah Luna yang tersenyum ketika mengatakan itu, aku
merasa sedikit campur aduk.
◇◇◇◇
Luna menyiapkan kari udon untuk hidangan makan siang.
Setelah menikmati makanan khas
Jepang yang sudah lama tidak kutemui, aku selesai makan dan naik ke lantai dua
bersama Luna.
Kamar Luna
berada di tempat yang sama seperti saat dia SMA.
“Lihat,
penuh sesak, konyol banget ‘kan?”
Luna tertawa
saat membuka pintu kamarnya.
“Benar
juga.”
Sekitar
setengah ruangan diisi oleh tempat tidur ganda. Di sampingnya terdapat meja dan
sofa, sehingga hampir tidak ada ruang kosong di dalam kamar.
Perabotan
yang dibeli saat mulai tinggal bersama masih terlalu bagus untuk dibuang
setelah satu tahun, jadi saat mengosongkan kamar, aku memberikannya kepada Luna.
Peralatan elektronik seperti kulkas dan mesin cuci yang berukuran sedang,
sebenarnya dibeli secara bekas,
jadi aku menjualnya kembali sebagai barang bekas.
“Tempat
tidurnya mengganggu, ya… maafin aku ya karena
meninggalkannya di sini.”
“Tidak
apa-apa! Tempat tidur lamaku sudah lebih dari sepuluh tahun digunakan, jadi usianya sudah tua. Ini jadi kesempatan
yang baik untuk membuangnya. Tempat tidur ini luas, jadi nyaman untuk melakukan
peregangan, dan Haruna serta Haruka juga
menyukainya, mereka berdua sering
bermain di atasnya sebagai alas.”
“Begitu
ya.”
Aku tertawa kecil saat membayangkan kehidupan
sehari-hari yang ramai di rumah Shirakawa.
“Jadi,
mungkin kita bisa terus menyimpannya di sini. Kita
tidak memerlukan perabotan di sana, ‘kan?”
“Ya…
hampir semua perabotan sudah ada.”
Saat Luna
datang ke Indonesia, dia akan tinggal bersamaku di apartemen. Setelah pindah,
aku mengetahui bahwa banyak apartemen di sana sudah dilengkapi perabotan, dan
apartemen yang kutinggali juga sudah lengkap dengan hampir semua perabotan. Aku
merasa sedikit menyesal karena sudah meminta untuk mengambil tempat tidur dan
sofa dengan alasan “mungkin
akan dibutuhkan setelah menikah”.
“Enggak
apa-apa, kok. Setelah kembali ke Jepang, kita
tetap akan membutuhkannya, kan?”
“Memang
benar sih.”
“Ketika
Haruna dan Haruka mulai menginginkan kamar mereka sendiri, kami pasti sudah
kembali ke Jepang, jadi kupikir kita bisa menyimpannya di sini sampai saat itu tiba.”
“Begitu
ya, terima kasih.”
Jika itu
memungkinkan, aku akan sangat berterima kasih. Keluargaku tinggal di apartemen,
jadi tidak ada ruang yang cukup, dan kamarku sudah semakin menjadi tempat
penyimpanan barang-barang keluarga.
“Ngomong-ngomong,
aku sibuk dengan persiapan pernikahan, jadi belum sempat mempersiapkan pindahan
sama sekali! Padahal waktunya tinggal dua minggu lagi, gawat!”
“Aku
juga akan membantumu buat berkemas-kemas.”
“Terima
kasih! Masih ada banyak barang yang kutinggalkan saat tinggal bersama, jadi
memilah barang selama dua puluh tiga tahun itu sulit! Sekarang jaraknya tidak
dekat, jadi aku harus memilih dengan baik barang-barang yang perlu dibawa.”
“Benar.”
Aku juga
teringat bahwa seberapa merepotkannya
mempersiapkan kepindahan. Luna sepertinya memiliki lebih
banyak barang daripada aku, jadi rasanya pasti
lebih sulit baginya.
“Ah,
biarin saja deh, mari duduk!”
“Ya.”
Didorong
oleh Luna, aku duduk di sofa. Luna duduk sendiri di tempat tidur ganda di
seberang, dengan kaki terjulur.
“…Ayah,
ia masih kelihatan sama seperti
biasa saja.”
Luna
tiba-tiba menatap langit-langit sambil tersenyum pahit.
“Serius,
ia tidak pandai dalam pembicaraan serius. Saat berdiskusi dengan ibu, dia juga
cengengesan dan menghindar.”
“…Tapi
luar biasa, ya, ayah mertua.
Karena ia mampu membesarkan lima anak
perempuan.”
Aku mungkin tidak akan memiliki begitu banyak
anak dalam kehidupanku, jadi
aku dengan tulus menghormatinya dalam hal itu.
“…Aku
harap dirinya bisa membesarkan Haruna dan
Haruka dengan baik sampai akhir.”
Luna bergumam demikian.
“………”
Saat aku
terdiam karena tak bisa berkata apa-apa, Luna
menatapku dengan wajah cerah seolah ingin mengubah suasana.
“Ngomong-ngomong,
baru pertama kalinya aku mendengar
cerita tentang menggendong, loh!”
Ternyata,
Luna mendengar semua cerita dari ayahnya tadi.
“Apa kamu
mengingatnya?”
“Sebenarnya
aku tidak mengingatnya sama sekali, lucu ya!”
Luna
tertawa, lalu tiba-tiba menunduk.
“…Bagiku,
itu mungkin hal sepele yang bisa dilupakan, tapi bagi ayah, itu adalah
penyesalan yang masih diingat hingga sekarang.”
Aku
berpikir mungkin ada hal lain yang seharusnya disesalinya, tetapi aku tidak ingin
mengkritik ayahnya, jadi aku memilih untuk diam.
Ketika
aku mengangkat wajah, Luna sedang menatapku dengan serius.
“Ryuuto,
apa ada hal yang kamu sesali tentang diriku?”
“Eh?
Hmm…”
Aku tidak
mengerti mengapa dia bertanya seperti itu, tetapi aku mencoba berpikir.
Ada
beberapa hal yang aku sesali, seperti saat foto aku
yang berpelukan dengan Kurose-san dan menyakiti Luna,
tetapi jika ditanya apakah aku menyesal, jawabannya berbeda.
Karena
pada akhirnya, hubungan kami saat ini baik-baik saja, dan semua kejadian di
masa lalu terhubung dengan ikatan kami sekarang.
Memikirkan
itu membuatku merasa sedikit sedih.
Aku
menyadari bahwa ayah Luna mungkin merasa tidak bisa membangun ikatan yang
memuaskan dengan Luna saat ini.
“…Tidak
ada.”
Saat aku
menjawab demikian, Luna tersenyum.
“Ya
‘kan, aku juga sama!”
Aku
merasa ada sedikit kesedihan di wajahnya,
mungkin karena dia juga menyadari hal yang sama seperti yang kurasakan.
“Aku
akan berusaha agar tidak menyesalinya nanti
di masa depan.”
Aku
menatap matanya dan berkata demikian demi
menguatkan dirinya.
“Sebagai
seorang suami… sebagai keluarga, aku
ingin menjalani kehidupan bersamamu tanpa adanya penyesalan sama sekali.”
“Ryuuto…”
Mata Luna
mulai berkaca-kaca.
“…Aku
senang dilahirkan sebagai anak dari ayah dan ibu, dan menjadi bagian dari
keluarga Shirakawa.”
Luna mengatakannya dengan penuh emosi.
“Kalau
tidak begitu, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Ryuuto.”
Air mata
mulai mengalir dari matanya yang tersenyum tipis.
Ayah
mertua, kamu tidak
perlu menyesali apapun.
Aku akan
membuat Luna bahagia.
Terima
kasih telah membesarkan Luna yang begitu luar biasa hingga hari ini.
Aku tidak
bisa mengatakannya langsung sebelumnya, dan mungkin tidak akan bisa
mengatakannya di haapannya
di masa depan, tapi di dalam
hati, aku berbicara kepada ayah Luna.
“Oh iya, benar juga! Aku sudah menulisnya, formulir pendaftaran pernikahan!”
Perkataan Luna
membuatku tersadar dari lamunanku yang sebelumnya
terlalu larut dalam emosi.
"Oh…!
Terima kasih.”
“Jreng jreng!”
Luna
mengambil selembar kertas yang ada di atas meja, lalu membukanya di depan
dadanya.
Kertas
panjang berukuran A3 itu sudah diisi setengah di kolom sebelah kiri.
Calon Istri:
Shirakawa Luna.
Ketika melihat
tulisan itu dan tanda tangan Luna, wajahku terasa memanas karena perasaan malu sekaligus senang.
Di bawah
nama Luna, kolom alamat
dan tempat tinggalnya sudah
diisi, dan kolom kosong di sampingnya adalah “Calon
Suami”… yaitu
tempat untuk menuliskan informasiku.
“Terima
kasih… aku akan menulisnya.”
“Oh,
kalau begitu, sekalian aku akan menaruh mapnya juga ya.
Supaya tidak kusut. Oh, dan tolong juga
untuk bagian saksi di sebelah kanan.”
“Ah,
ya, aku mengerti.”
Kami berdua
sudah memutuskan untuk
meminta ayah Luna dan ayahku yang menandatangani bagian saksi. Setelah
memastikan tanda tangan dan cap ayah Luna ada di formulir yang aku terima, aku
memperhatikan kertas itu dengan seksama.
Formulir pendaftaran pernikahan yang ditulis
oleh Luna memiliki huruf dan garis berwarna pink cerah. Aku merasa aneh karena
biasanya yang aku lihat di drama berwarna lebih sederhana.
“Formulir
pernikahan ternyata cukup mencolok, ya.”
Saat aku mengatakan itu sembari menyimpan
map itu ke dalam tas, Luna tertawa
dan berkata, “Ah!”
“Karena
itu adalah lampiran dari majalah informasi pernikahan! Pink-nya lucu, ‘kan?”
“Oh,
begitu.”
Saat
melihat tirai pink di kamar Luna, aku menyadari bahwa dia pasti
menyukainya.
“Lampiran
untuk formulir pernikahan? Apa bisa digunakan dengan baik?”
“Benar!
Pada awalnya aku merasa sedikit kaget,
tapi kita tetap bisa mengajukannya asalkan tertulis dengan jelas, jadi
tidak masalah!”
Setelah
dia mengatakan itu, aku melihat sekeliling ruangan dan menemukan beberapa
majalah yang tampaknya adalah majalah informasi pernikahan yang ditumpuk di
dekat bantal tempat tidur.
“…Kamu
sudah banyak mencari informasi, ya. Terima kasih.”
Karena selama
tiga bulan terakhir, aku disibukkan dengan pekerjaanku di Indonesia. Sebelum berangkat,
kami berdua sempat mengunjungi tempat resepsi pernikahan,
tetapi setelah tempat resepsi pernikahan
ditentukan, pembicaraan konkret dilakukan oleh Luna dengan pihak perencana, dan hal-hal yang
diperlukan dibicarakan dan diputuskan secara jarak jauh, jadi beban Luna pasti
cukup besar.
Sebagai
calon pengantin pria yang berada di luar negeri dan hampir tidak punya teman
yang pernah menikah, aku merasa sangat berterima kasih dan bersalah ketika
memikirkan bahwa dia harus menentukan semua hal tentang pernikahan sekali
seumur hidupnya dengan mengacu pada majalah dan sumber lainnya.
“Aku benar-benar
minta maaf karena sudah menyerahkan banyak hal padamu, Luna.”
Saat aku
meminta maaf, Luna menggelengkan kepala dengan senyum.
“Tidak
apa-apa kok,
karena itu menyenangkan! Sekarang aku merasa sedih
karena akan menjadi seorang 'lulusan'!”
“'Lulusan'?”
“Itu
istilah untuk pengantin wanita setelah pernikahan selesai! Tertulis di majalah
informasi pernikahan. Pengalaman dari para
'lulusan' sangat bermanfaat!”
“Begitu ya…”
Pengantin
wanita yang telah 'lulus' dari pernikahan mereka,
makanya disebut 'lulusan'. Ini adalah istilah yang
menunjukkan betapa pentingnya masa persiapan pernikahan bagi wanita.
“Ngomong-ngomong,
Ryuuto.”
Saat aku
merenungkan hal itu, Luna memanggilku.
“Kenapa
kamu duduk jauh-jauh begitu?
Padahal kita sudah memiliki kesempatan untuk berduaan saja, loh.”
“Eh?”
“Ini
sudah tiga bulan, kan? Aku sangat merindukanmu…”
Dia
menatapku dengan tatapan yang membuatku merasa ingin melindunginya.
“Luna…”
Semua
pikiran yang ada di dalam kepalaku sebelumnya
seolah menghilang, dan aku segera dikuasai oleh api di dalam hatiku.
Aku
menuruti ajakannya dan beranjak ke tempat tidur di sebelah Luna, dan dia langsung melompat ke
pelukanku.
“Ryuuto…
aku sangat merindukanmu…”
“Aku
juga.”
Aku memeluk
erat-erat punggung Luna dan berbisik,
“Setelah
ini, kita tidak akan terpisah selama
ini lagi.”
“Ya…!”
Luna
semakin menguatkan pelukannya di punggungku.
Aku bisa
merasakan getaran dua jantung yang berdetak dalam irama yang berbeda.
“Ryuuto…
hangat…”
Di dalam
ruangan yang sejuk dengan pendingin udara, suhu tubuh kami terasa sangat
nyaman.
“Luna…”
Perasaan
pelukan yang tidak bisa kami lakukan di bandara membuat jiwaku dan tubuhku
bergetar. Walaupun
kami berkomunikasi setiap hari dan merasa terhubung, tapi tetap saja, hubungan jarak jauh itu
menyakitkan. Karena aku tidak
bisa merasakan kehangatan ini.
Saat aku
memeluk Luna untuk pertama kalinya sejak tiga bulan,
aku diliputi perasaan manis dan
kuat.
“Mm…”
Luna
mengeluarkan suara desahan yang menggoda.
Aku
melonggarkan pelukanku dan menjauhkan tubuh, lalu
aku dan Luna saling bertukar
pandangan.
Mata Luna
terlihat sayu, seolah-olah memintaku.
“…………”
Aku tidak bisa menahan diri lagi.
Saat aku
berniat menyatukan bibir kami dalam gelora perasaan itu, tiba-tiba…
““Nee~~Nee~!!””
Suara
langkah kaki anak-anak yang berlari menaiki tangga dengan keras semakin
mendekat. Kami saling memandang dan
buru-buru menjaga jarak di atas tempat tidur…
Pada
detik berikutnya, pintu kamar dibuka dengan keras.
““Kami
pulangー””
Dua gadis
kecil berdiri di sana. Haruna-chan dan
Haruka-chan.
Ketika kami
berempat mengunjungi pusat perbelanjaan, mereka
masih dalam kereta dorong, kini mereka sudah cukup besar untuk berlari menaiki
tangga, membuatku merasa terharu.
Kedua gadis itu mengikat rambut sebahu menjadi
dua dengan gaya kepang yang khas anak-anak. Mata besar mereka yang imut memang
mengingatkanku pada masa bayi mereka.
“Duhh,
bukannya sudah bilang kalau
kalian harus ketuk pintu dulu
sebelum membukanya?”
Luna
berkata demikian sambil mengingatkan, tetapi
keduanya tampak tidak terlalu serius mendengarkan.
Tatapan
mereka terpaku pada diriku yang duduk di samping Luna.
“Ryuuto!”
“Ada Ryuuto!”
“Ha-Halo…”
Aku
tersenyum canggung kepada mereka berdua.
Sebenarnya,
saat aku melakukan panggilan video
dengan Luna di Indonesia, mereka berdua sering
kali muncul di layar. Kami pernah saling menyapa dan berbincang sebentar
beberapa kali. Mungkin karena anak-anak sekarang sudah terbiasa dengan video di
YouTube, mereka terkejut bisa berinteraksi dua arah denganku, dan keduanya
tampak sangat bersemangat.
“Ryuuto
keluar dari video!”
“Kamu
bukan orang YouTube!?”
“Ahaha.
Kalian berdua, memangnya kalian mengira kalau Ryuuto
itu YouTuber?”
“Habisnya Nee-ne selalu menonton video di smartphone.”
“Itu
bukan video, itu panggilan telepon!
Meskipun aku sudah menjelaskannya
berkali-kali, mereka tetap tidak mengerti.”
Di akhir
kalimatnya, Luna berkata sambil tersenyum getir ke arahku.
“Ngomong-ngomong,
apa kalian berdua sudah cuci tangan?”
“Belumー!”
“Papa
bilang ada Nee-ne dan
tamu, jadi kami datang!”
“Baiklah,
ayo kita cuci tangan dulu. Tangan yang baru pulang dari luar pasti penuh kuman,
jadi kalian harus cuci tangan dulu, oke? Aku
selalu bilang begitu, kan?”
Luna
berkata kepada mereka berdua dan bersama-sama menuruni tangga dengan mereka. Karena tidak ada gunanya
aku sendirian di kamar Luna, aku mengikuti mereka.
Saat
sampai di lantai satu, aku melihat ayah mereka sedang mengambil teh barley dari
dalam kulkas.
“Ayah
sudah pergi menjemput? Padahal sekarang masih belum jam dua.”
Saat
ditanya Luna, ayahnya menjawab sambil minum teh barley dari gelas.
“Yah, karena aturan dasar di tempat PAUD adalah mereka tidak bisa menerima penitipan ketika
salah satu orang tua tidak bisa hadir,
‘kan? Hari ini Ryuuto datang untuk
memberi salam pernikahan, jadi aku menitipkan mereka, tapi setelah pembicaraan
selesai, aku pergi menjemput.”
“Ah,
begitu ya…”
Luna
tampak mengingat sesuatu dan menoleh sambil tersenyum padaku.
Aku tidak
tahu ada aturan seperti itu di tempat PAUD,
tetapi aku mengerti alasan pulangnya si kembar. Dengan kehadiran Haruna-chan dan Haruka-chan, suasana di rumah menjadi
ramai, dan itu menyenangkan.
Tapi, api
ketidakpuasan karena tidak bisa menghabiskan waktu bermesraan dengan Luna masih berkobar di dalam hatiku.
◇◇◇◇
Setelah
itu, kami pergi meniggalkan rumah
Shirakawa.
“Untuk
saat ini, mari kita akhiri saja sampai segini
dulu. Ryuuto, kamu pasti capek, ‘kan?”
“Ya,
mungkin…”
Aku menaiki pesawat pada malam hari, berada di dalam pesawat selama
sekitar delapan jam, dan tiba di Jepang pagi-pagi sekali. Di dalam pesawat, aku
tidak bisa tidur banyak, dan ada juga pertemuan dengan kedua orang tua kami, jadi
aku pasti merasa lelah baik secara fisik maupun mental.
“Besok
ayo bertemu lagi! Hari ini istirahat
yang cukup, ya.”
Luna berkata
demikian dan mulai berjalan meninggalkan depan rumahnya.
“Aku
akan mengantarmu sampai stasiun!”
“Tidak, cukup sampai di sini saja. Kamu pasti akan kesulitan pulang nanti.”
“Tidak
apa-apa kok! Sekarang
masih sore, jadi tidak masalah.”
Setelah
berkata begitu, Luna mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
“Sudah
lama kita tidak bergandeng tangan, jadi aku ingin sedikit lebih lama berjalan
bersamamu.”
Melihat Luna
yang tersipu malu ketika
berkata demikian membuatku merasakan kasih
sayang yang besar padanya, jadi aku menerima tawarannya dan
membiarkannya mengantarkanku sampai stasiun.
“…Kita sudah sering menempuh jalan
ini berdua, ya.”
Luna
tiba-tiba melihat sekeliling dan berkata demikian.
Jalan
perumahan siang hari yang banyak terdapat rumah kayu ini terasa santai dan sepi dari
orang yang berlalu-lalang. Meskipun area di depan stasiun sering berganti
penyewa toko, pemandangan di sekitar sini hampir tidak berubah sejak aku masih
di SMA.
“Ya.
Entah sudah berapa kali kita berjalan di sini.”
“…Sepertinya,
aku tidak akan berjalan di sini lagi dalam waktu dekat.”
Luna
berkata pelan. Wajahnya terlihat sedih, dan aku merasa sedikit bersalah.
“Maaf.
Karena aku akan ke luar negeri…”
“Bukan
itu. Meskipun aku berada di
Jepang, setelah menikah dan pindah dari rumah orang tua, semuanya masih tetap sama saja, ‘kan?”
Luna
tertawa kecil. Lalu, dia menatapku dengan alis yang sedikit menurun.
“Kamu jangan
mengatakan 'maaf' lagi, oke?.
Kita sudah memikirkan dan memutuskan ini bersama, kan? Saat ini, aku hanya
punya harapan! Aku sangat menantikan Indonesia!” (TN: Mendingan jangan ke Indonsia deh, Luna :v)
Begitu
dia mengatakan demikian, suara Luna
penuh semangat.
“Aku
bahkan sudah membeli buku panduan dengan suasana perjalanan! Aku ingin sekali
mengunjungi Candi Borobudur!”
“Oh,
Candi Borobudur? Tempatnya
agak jauh. Jaraknya seperti untuk naik pesawat, jadi aku juga belum pernah ke
sana.”
“Kalau
begitu, ayo kita pergi ke sana Bersama-sama untuk bulan madu! Ada tur sehari
dari Bali juga!”
“Tapi,
Borobudur berada di Pulau Jawa, sama seperti Jakarta, jadi bisa juga pergi
pulang dalam sehari, ‘kan?”
“Oh,
benar! Kalau begitu, kita akan menikmati bulan madu hanya di Bali saja!”
Aku merasa
sedikit lega melihat Luna tampak bersemangat
memikirkan Indonesia. Aku jadi teringat
perjalanan kami ke
Okinawa dan itu membuatku merasa bahagia.
Dengan
semangat berbicara tentang rencana yang menggembirakan, kami berjalan menuju
stasiun.
“Baiklah,
sampai jumpa besok, Ryuuto.”
Luna
berhenti di depan pintu masuk stasiun dan melepaskan tanganku.
“Ya,
sampai jumpa juga, Luna.
Hati-hati di jalan.”
Besok
kami berencana untuk mengajukan dokumen pernikahan di kantor pemerintah dan
membeli cincin pernikahan kami. Meskipun sibuk, rasanya
senang sekali kami bisa
bertemu setiap hari.
“Sampai
jumpa!”
“Ya,
sampai jumpa…”
Bahkan saat
aku berulang kali mengucapkan salam
perpisahan, ada rasa enggan untuk pergi, mungkin karena ketidakpuasan yang
kurasakan di kamar Luna sebelumnya.
Namun, di
dalam stasiun yang ramai di siang hari ini, tidak mungkin melanjutkan apa yang
terjadi di kamar tidurnya.
“…………”
Aku hanya
bisa pasrah tersedot ke dalam pintu masuk, dan terakhir, aku mengulurkan kedua
tangan kecilku ke arah Luna.
Seorang
pria yang bahkan tidak bisa berpelukan di lobi kedatangan bandara, kini meminta
pelukan dari kekasihnya di depan pintu masuk stasiun A.
“…!”
Wajah Luna
segera berseri-seri dan
melompat ke pelukanku. Tanpa sadar, aku memeluk tubuhnya yang ramping dengan
erat. Aku merasakan sensasi tulang rusuk kami yang bersentuhan, seolah-olah aku
merasakan sentuhan tubuh Luna sepenuhnya.
“……nngh…”
Suara Luna
yang terdengar kesakitan membuatku tersadar dan melepaskan pelukan.
“Ma-Maaf.”
Karena
perut kami yang lembut saling menempel, jadi saat
melepaskan pelukan, aku merasakan elastisitas yang mendorong kembali. Sensasi
itu menyebar dari perut bawah hingga ke dada, dan aku merasakannya dengan jelas
di kulitku.
Meskipun
kami sering berpelukan setiap hari saat tinggal bersama, sensasi Luna setelah
tiga bulan tidak bertemu terasa terlalu kuat untuk dinikmati di tempat seperti
ini.
“……Ryuuto?”
Luna
melihatku dengan sedikit rasa ingin tahu karena aku tidak mengatakan apa-apa
meskipun telah melepaskan tubuh kami.
Aku ingin
menciumnya.
Pelukan
saja tidak cukup.
Aku ingin
merasakan semuanya tanpa tersisa.
…Tapi,
aku tahu bahwa itu tidak mungkin dilakukan di sini.
“……Kalau
begitu, sampai jumpa besok.”
Dengan
susah payah menahan hasrat yang membara, aku tersenyum kecil kepada Luna.
“Ya.”
Luna juga
tersenyum dan mundur satu langkah. Wajahnya terlihat sedikit sedih, dan aku
berharap itu karena alasan yang sama seperti yang kurasakan.
“Jadi,
sampai jumpa.”
“Ya,
hati-hati!”
Setelah
melambaikan tangan kepada Luna dan melihatnya pergi, aku melewati pintu masuk
stasiun. Saat
menyimpan kartu Suica
dan menoleh, Luna masih berdiri di tempat yang sama sambil melambaikan
tangan.
Aku
berbelok dan terus melambaikan tangan sambil berjalan hingga sosoknya
menghilang dari pandangan.
Rasanya
seperti baru mulai pacaran, karena perpisahan ini membuatku merasa
berat.
Padahal
kami akan bertemu lagi besok. Kami
akan bersama selamanya mulai sekarang.
Memikirkan
hal itu terasa konyol, dan sambil menahan senyum yang muncul di wajahku, aku
menaiki tangga menuju peron.
