Prolog
Aku mempunyai mimpi yang begitu panjang. Aku, seorang anak
introvert penggemar streamer KEN
yang biasa-biasa saja, mengaku cinta kepada Shiraikawa-san, gadis tercantik di
angkatanku sebagai hukuman, dan dia ternyata menerimaku. Meskipun ada banyak liku-liku yang terjadi,
setiap kali masalah muncul, kami semakin mempererat ikatan dan menumbuhkan
cinta.
Kami yang
saling mencintai dengan tulus, akhirnya bersatu… dan akhirnya menikah.
Saat itu,
aku terbangun.
Ketika
aku bangun, aku masih seorang penggemar
KEN yang introvert, dan tentu saja tidak punya pacar. Shiraikawa-san, yang
sangat aku kagumi, kini berpacaran dengan cowok tampan yang ceria. Semua itu
hanyalah khayalan yang diciptakan oleh otakku saat tidur.
“Sial…
sial…!”
Tanganku terasa sakit ketika aku meninju dinding. Ini tidak mungkin, kan?
Kami telah saling berbagi cinta. Kenangan itu semua ternyata hanya mimpi.
“Luna…!”
Aku
terkejut dan bergumam, sementara itu Shiraikawa-san
yang bergandeng tangan dengan pacarnya melintas di sampingku.
“‘Luna’…?
Apa ia temanmu?”
“Bukan.”
Shiraikawa-san
melihat sekilas ke arahku dan menggeleng.
“Maksudku,
aku bahkan tidak tahu namanya. Kira-kira siapa orang itu?”
◇◇◇◇
Kemudian,
aku terbangun lagi.
“...Mimpi...?”
Dari mana
sampai mana? Aku sejenak bingung.
Aku
menyingkirkan selimut dan duduk di atas tempat tidur. Dengan
elastisitas kasur yang keras ini,
aku kembali menyadari bahwa aku sedang berada di tanah
asing.
Di
samping tempat tidur, ada bingkai foto yang menampilkan foto berdua antara Luna
dan aku. Luna memberikannya kepadaku sebagai hadiah ketika
aku pergi meninggalkan Jepang dan memintaku untuk memajangnya.
Syukurlah.
Itu bukan mimpi.
Luna dan
aku mulai berpacaran sejak bulan Juni kelas 2
SMA... dan minggu depan, kami akan menikah. Dengan hati-hati mengonfirmasi
kenyataan itu di dalam pikiranku, aku mulai bersiap-siap untuk pagi.
Aku
hanya memakan sereal untuk sarapanku, mengganti pakaian dengan
kaos lengan pendek dan celana pendek, lalu keluar rumah. Meskipun penampilanku
tidak terlihat seperti orang yang akan bekerja, di kantorku semua orang
berpakaian santai, jadi jika aku datang dengan jas, aku akan terlihat aneh, dan
sejak hari kedua bekerja, aku memilih gaya ini.
Ketika
aku keluar dari apartemen yang ber-AC menuju cuaca
yang mendung, hawa panas musim panas tropis menyelimuti seluruh tubuhku. Musim
panas pertamaku di negara ini akan segera tiba.
◇◇◇◇
Sekitar
tiga bulan yang lalu, pada akhir Maret... dua minggu setelah upacara wisuda, aku mendatangi kota Jakarta. Aku bekerja
sebagai editor di perusahaan yang dikelola Fujinami-san. Kantor tempatku
bekerja berada di satu lantai menengah dalam gedung pencakar langit di kawasan
perkantoran Jakarta.
Apartemen
yang aku sewa juga menyediakan layanan sopir, tapi aku tidak suka merepotkan
orang lain, dan di daerah perkotaan seringkali terjadi kemacetan yang membuat
waktu tempuh berjalan kaki tidak jauh berbeda. Jadi, setiap hari aku berjalan
kaki selama lima belas menit menuju kantor. Saat di Jepang, aku membayangkan
suasana Asia Tenggara yang semrawut, tetapi kota ini lebih modern dan penuh
kehidupan daripada yang kubayangkan.
Aku sudah
bersiap menghadapi panasnya musim panas di negara dekat garis khatulistiwa,
tetapi jika ditanya apakah itu lebih melelahkan dibandingkan dengan hari-hari
panas di Jepang, jawabannya tidak terlalu. Sekarang adalah musim kemarau, jadi
aku merasa lebih nyaman dibandingkan dengan panas lembap di Jepang yang
menempel di kulit. Meskipun setelah berjalan lima belas menit aku sudah
berkeringat cukup hingga bajuku basah, aku merasa diselamatkan oleh udara
dingin saat memasuki gedung kantor.
“Selamat
pagi.”
Setelah
tiba di kantor dan dalam perjalanan menuju mejaku, aku menyapa rekan-rekan yang
kutemui. Semua karyawan di sini adalah orang Jepang, jadi kami lebih banyak
menggunakan bahasa Jepang di dalam kantor. Ada beberapa staf lokal, tetapi
banyak dari mereka yang sedang belajar bahasa Jepang dan meskipun terbata-bata,
mereka mau berbicara dalam bahasa Jepang.
“Kashima-kun.”
Setelah
duduk di mejaku, Fujinami-san datang menghampiriku. Sejak datang ke Indonesia,
Fujinami-san sedikit terkena sinar matahari. Sekarang, ia sudah sangat
beradaptasi dengan lingkungan lokal sehingga tidak terasa aneh berdiri di
samping penduduk lokal.
“Selamat
pagi, Fujinami-san.”
“Selamat
pagi. Kashima-kun,
mulai besok kamu akan berangkat ke
Jepang, kan?”
“Ah, ya.
Aku akan berangkat setelah jam kerja hari ini.”
“Hari ini aku akan banyak berada di luar untuk
rapat, jadi aku ingin menyapamu
sekarang. Sampaikan salam untuk pacarmu. Oh, maksudku, istrimu yang sekarang.”
“Tidak,
kami baru akan mendaftar nanti.”
“Oh,
begitu. Maaf aku tidak bisa hadir di pernikahanmu. Aku benar-benar tidak bisa
meninggalkan sini.”
“Tidak
apa-apa, aku sudah menerima ucapan selamat… terima kasih banyak.”
“Sebetulnya,
aku berharap bisa pulang dengan alasan pekerjaan. Di sini kekurangan orang, dan
aku ingin merekrut lebih banyak editor.
Kashima-kun, jika ada koneksi yang
baik, bisakah kamu membawa
mereka dari Jepang?”
Aku hanya
bisa tersenyum kecut mendengar permintaan yang tidak
masuk akal itu.
“Kurasa itu cukup sulit… Karena aku hanya
akan bertemu keluargaku.”
“Ya,
benar, kamu pulang untuk mengadakan pernikahan.”
Fujinami-san
juga tersenyum kecut.
“Maafkan
aku, meskipun aku karyawan baru, aku sudah meminta cuti selama dua minggu.”
“Tidak, tidak, sebenarnya aku ingin memberimu
cuti sekitar sebulan. Kamu berencana bulan
madu di musim panas, ‘kan?”
“Ya. Aku
ingin pergi ke Bali.”
“Bali memang bagus, tetapi kepulauan Kai juga kabarnya menarik!
Ando-san baru saja pergi ke sana saat libur sebelumnya, dan dia bilang lebih
murah daripada Bali dan lebih nyaman karena sedikit turis. Meskipun agak jauh, rasanya seperti permata yang
tersembunyi.”
“Hee, kalau
begitu aku akan memberitahu pacarku.”
“Baiklah,
nikmati pernikahanmu.”
Setelah
mengucapkan itu, Fujinami-san kembali ke mejanya. Di kantor kami ada divisi
penyuntingan manga dan novel, dan Fujinami-san adalah kepala penyunting untuk
manga. Ando-san yang disebutkan adalah wakil kepala penyunting, dan ia datang
ke sini bersama istri dan anaknya. Jika tinggal di sini bersama keluarganya,
dia akan menjadi panutan yang baik.
Di kantor
ini, orang-orang yang
kutemui hanya puluhan saja, tetapi ada juga yang tidak masuk kerja, dan
kabarnya ada puluhan karyawan yang berada di Jepang. Aku pikir ini adalah
perusahaan kecil yang lebih sederhana, tetapi setelah mulai bekerja, aku
menyadari bahwa ini adalah perusahaan yang cukup besar.
Selama
tiga bulan ini, aku tidak tahu seberapa banyak aku telah berkembang, tetapi
berkat bimbingan Fujinami-san, pekerjaan sehari-hariku terasa memuaskan. Saat
ini, aku berkomunikasi dengan seorang komikus Jepang dan bekerja pada pembuatan
karya yang bersifat internasional, terutama untuk pembaca di Asia Tenggara.
Mungkin jika aku bekerja sama dengan penulis Jepang, aku bisa saja tetap berada
di Jepang, tetapi aku merasa senang bisa merasakan suasana di tempat ini.
Banyak
orang di Asia Tenggara yang mencintai Jepang, jadi meskipun mereka tidak
keberatan dengan manga dan anime Jepang, saat membaca cerita yang
diterjemahkan, jika ada adegan di mana tokoh utama dengan santainya makan
onigiri, itu adalah budaya makanan yang tidak biasa di sini, sehingga sejenak
pikiranku melayang ke arah “makanan
apa ini?” Meskipun itu bukan inti dari
cerita.
Fujinami-san
memiliki visi untuk menciptakan manga yang memungkinkan pembaca di sini
merasakan dunia manga secara murni… dengan kata lain, manga yang bisa membuat
pemuda Indonesia merasa itu adalah “cerita
mereka sendiri”. Untuk
itu, penting bagiku sebagai editor untuk memahami budaya lokal dan
membagikannya kepada penulis… itulah prinsip dasarnya. Namun, alasan sebenarnya
mengapa aku diminta untuk bekerja di Indonesia mungkin karena Fujinami-san berharap bisa membimbingku dari dekat.
Aku menyadari bahwa aku menerima bimbingan yang sangat serius.
Hari ini
juga, aku melaporkan hasil pertemuan online dengan komikus dan mendapatkan
umpan balik, serta berkomunikasi erat dengan Fujinami-san hingga waktu kerja
berakhir. Jam kerja di Indonesia hampir sama dengan di Jepang.
Setelah
jam lima sore, saat matahari mulai terbenam dan suasana sore mulai terasa, aku
berjalan cepat di jalanan. Biasanya aku membeli makan malam di warung dekat
kantor, tetapi hari ini aku merasa lebih nyaman makan di bandara, baik dari
segi waktu maupun kebersihan, jadi aku langsung mempercepat langkah pulang.
Sambil
berjalan, aku menjadi tidak
sabar menunggu lebih lama lagi sehingga
menelepon Luna. Selisih waktu dengan Jepang adalah dua jam, jadi sekarang
seharusnya sudah lewat pukul tujuh malam.
“Halo, Luna?”
“Ryuuto! Kamu sudah selesai kerja?”
“Ya. Aku sedang dalam perjalanan pulang untuk mengambil barang dan pergi ke
bandara.”
“Begitu.
Aku juga lagi ada di
rumah.”
“Begitu,
ya.”
Dari sisi lain telepon, terdengar suara
anak-anak kecil yang ribut dan suara ceria seperti video untuk balita.
Sejak
April, Luna telah kembali ke rumah orang tuanya, keluarga Shirakawa. Apartemen
sewa yang kami tinggali di Kota K selama setahun itu
sudah kami tinggalkan.
“Besok
pagi aku akan tiba di Jepang,”
kataku dengan semangat. “…Oh ya,
pagi ini aku bermimpi aneh,”
tambahku.
“Eh,
mimpi seperti apa?”
Luna
bertanya dengan nada antusias, jadi aku mulai bercerita dengan tenang.
“Bahwa
semua yang terjadi antara aku dan Luna itu hanyalah
mimpi, dan saat aku bangun, aku adalah siswa kelas dua SMA tanpa pacar… itulah mimpi yang aku alami tadi pagi.”
“Lucu banget! Kamu bermimpi dalam mimpi?”
“Iya,
benar.”
“Ketika
bangun, kamu pasti
kebingungan mana yang nyata!”
“Benar sekali, aku sempat merassa panik. Tapi setelah melihat bingkai foto yang
kamu berikan, hal uty
membuatku lega.”
“Hehe,
senang aku memberikannya! Hari
ini bermimpi makan wanko soba berdua dengan Ryuuto!”
“Ahaha,
kenapa malah wanko soba?”
“Entahlah,
lucu banget, ‘kan!
Padahal aku belum pernah memakan di dunia nyata!”
Sebelum
berpacaran dengan Luna, aku jarang berbagi cerita mimpi dengan orang lain. Jika
ingin bercerita, biasanya aku hanya berbagi dengan keluarga atau teman dekat,
tetapi meskipun mimpiku terasa menarik, pada akhirnya itu bukan kenyataan, dan
aku bisa melihat ekspresi orang lain yang menunjukkan “itu cuma hal sepele”.
Namun, Luna
ingin mendengar cerita mimpiku, dan ketika aku bercerita, dia mendengarkan
dengan antusias dan juga menceritakan mimpinya. Baik mimpi yang muncul saat
tidur maupun yang diimpikan saat terjaga.
“…Suatu
hari, aku ingin makan wanko soba di dunia nyata juga~♡”
“Benar.
Kira-kira di mana ya? Itu makanan khas dari
daerah Tohoku, ‘kan?”
“Eh,
masa? Jadi kita tidak bisa
memakannya di Tokyo?”
“Ehmm, aku belum pernah melihat ada restoran wanko soba di sekitaran tokyo.”
“Kalau
dicari pasti ada, kan? Karena di Tokyo bisa menikmati hidangan dari
seluruh Jepang!”
Tanpa kusadari, satu-satunya suara yang dapat
kudengar di ujung telepon adalah suara Luna. Mungkin dia sudah masuk ke
kamarnya di lantai dua.
“Kalau
begitu, saat aku kembali ke Tokyo, ayo
pergi makan wanko soba?”
“Asyikk!”
Luna
bersorak gembira.
“Ketika
bersamamu, semua mimpiku seolah-olah
terwujud satu per satu.”
Setelah
mengatakannya, dia menurunkan nada suaranya sedikit.
“Minggu
depan nanti… kamu juga akan mewujudkan mimpi
terbesarku.”
Luna
mengatakannya dengan
penuh perasaan.
“Terima
kasih telah menjadikanku istrimu,
Ryuuto.”
“…………”
Suaranya yang merdu terasa menggelitik telingaku, dan aku
tertawa tanpa suara di telepon.
“Sama-sama,
aku juga terima kasih.”
Karena
telah menjadikanku pacarmu, dan memutuskan untuk menjadikanku suamimu.
Aku tidak
sabar untuk segera bertemu dan mengatakannya langsung. Besok pagi, aku akan
bertemu Luna setelah tiga bulan. Aku sudah
menunggu begitu lama, dadaku terasa sesak.
“Kalau
begitu, sampai jumpa besok.”
“Ya!
Kamu naik pesawat sesuai rencana, kan? Aku akan datang menjemput di bandara!”
“Ya.
Terima kasih, Luna.”
Setelah
memutuskan telepon, aku kembali mempercepat langkah menuju apartemen.
Pohon-pohon tinggi khas negara tropis berdiri di sepanjang trotoar, seolah
menjadi petunjuk jalan, sementara keringat mengalir di dahi dan napasku
terengah-engah.
Sejak
datang ke negara ini, aku selalu merasa hembusan
angin terasa sepi dan asing, tetapi hari ini aku
merasakannya berhembus lembut di kulitku,
seolah memberkatiku bagaikan seorang
sahabat.