Epilog
Enam
hari setelah kami kembali dari Chiba, hari
ulang tahun Luna tiba. Karena hari ulang tahunnya
jatuh di hari Sabtu, Luna memiliki pekerjaan paruh waktu di
bidang pakaian dari pagi hingga sore. Sebenarnya, dia ingin bekerja setengah
hari, tetapi karena awal bulan ini dia mengambil cuti untuk pemakaman kakeknya,
dia tidak punya pilihan lain selain bekerja penuh waktu di
sisa hari Sabtu.
“Sepertinya
aku akan pulang sekitar jam delapan. Maaf ya.”
Luna berkata demikian dengan
nada menyesal saat mengenakan sepatu di depan pintu.
“Tidak
apa-apa. Aku akan menyiapkan makan malam dan menunggum, jadi selamat bekerja.”
“Hehe,
terima kasih.”
“Meskipun aku
tidak bisa membuat sesuatu yang istimewa, sih.”
“Tidak
masalah, aku senang hanya dengan kamu yang menyiapkan semuanya.”
Setelah
berciuman dengan Luna yang kini berusia 22
tahun, aku mengantarnya pergi bekerja.
◇◇◇◇
Setelah
sendirian, sambil mengurus pekerjaan rumah dan mempersiapkan pesta ulang tahun,
aku terus memikirkan tentang pencarian kerja. Sejak dulu, aku tidak suka
berinteraksi dengan orang asing.
Mendekati
orang yang tidak aku kenal itu menakutkan dan aku pasti tidak mau melakukannya.
Jika aku bertemu seseorang yang sudah kuketahui
karakternya, misalnya “Dia
sangat pemalu dan canggung, tetapi sebenarnya orang yang baik hati,” meskipun mereka membalas sapaan
dengan dingin, aku bisa menerimanya tanpa merasa tersinggung.
Namun,
jika seseorang yang tidak begitu aku kenal mengabaikan sapaanku, aku akan terjebak dalam pikiran
negatif seperti “Apa aku terlihat menjijikkan?” atau “Apakah dia menganggapku
remeh?" dan itu membuat suasana hatiku sedikit murung.
Itulah
sebabnya, di gedung
apartemen tempat aku tinggal bersama Luna, aku tidak menyapa penghuni lain.
Banyak pria yang tidak menyapa, tetapi wanita paruh baya sering kali menyapa
terlebih dahulu, jadi aku membalas sapaan mereka. Meskipun demikian, aku tidak
bisa melihat wajah mereka, jadi aku tidak mengenali penghuni lain, dan meskipun
sudah beberapa kali bertemu, aku terus membiarkan sapaan itu menjadi tanggung
jawab mereka.
Karena
kepribadian seperti ini, aku hanya bisa berteman dengan orang-orang yang
sejenis denganku atau yang mendekat terlebih dahulu. Dalam kasus yang kedua,
jika mereka terlalu agresif, aku malah merasa curiga dan ingin menjauh, yang
menjadi catatan tambahan yang merepotkan. Namun, Sekiya-san
memiliki keseimbangan yang sempurna dalam hal ini, jadi aku bisa berteman
dengannya.
Hanya Luna
yang bisa aku dekati.
Sepanjang hidupku,
aku jarang berinisiatif
mencoba menghubungi seseorang
yang tidak aku kenal. Walaupun
itu adalah pengakuan dalam sanksi permainan, aku kini menyadari seberapa ajaibnya pengalaman itu.
──
Ryuuto, kamu sama sekali bukan tipe
yang agresif. Jika ada perusahaan yang ingin aku masuki,
mungkin kamu
akan merasa seperti, 'Jika tidak
keberatan, silakan pekerjakan aku...'
Aku
benar-benar berpikir bahwa Luna sangat memahami diriku.
Menghadapi
perusahaan sama seperti menghadapi orang.
Aku jatuh
cinta pada sesuatu yang tidak aku kenal, berusaha
terlihat menarik... Jika perusahaan seperti Luna muncul,
dan tidak ada paksaan seperti sanksi permainan, mungkin hari di mana aku akan
aktif dalam pencarian kerja tidak akan pernah datang.
Dan jika
ada perusahaan yang menarik perhatianku
meskipun aku tidak mengenalnya... bagi diriku
saat ini, itu adalah perusahaan Fujinami-san.
Namun,
daripada hidup terpisah dari Luna selama bertahun-tahun, aku memutuskan untuk
terjun ke dalam pencarian
kerja yang menyiksa.
Aku belum
memberitahu Fujinami-san tentang penolakan. Pasti ketika bulan Juli tiba, ia
akan menghubungiku lagi untuk
membahas kontrak kerja, jadi setidaknya aku harus memberitahunya paling lambat sampai saat itu tiba,
sambil menyimpan perasaan murung dan menyesal di sudut hatiku.
◇◇◇◇
Luna pulang
sebelum jam delapan malam
dan pesta ulang tahun pun
dimulai.
Aku
membawa kotak kue dan dengan hati-hati membukanya di depan Luna yang duduk di
kursi meja makan.
“Wah!
Apa ini, jangan-jangan...!?”
Luna
menutup mulutnya dengan kedua tangan karena begitu terharu,
dan aku hanya mengangguk malu.
“Ya,
ini kue dari Champ de fleur.
Kupikir kamu sudah lama tidak
memakannya.”
Champ de
Fleur adalah toko kue tempat Luna bekerja paruh waktu
saat SMA.
“Ya...
eh, tunggu dulu, bukannya
ini hanya dibuat berdasarkan pesanan karena butuh banyak usaha!
Kamu memesannya!?”
“Ya.
Aku melihatnya di internet.”
Seperti yang
diharapkan dari mantan karyawan paruh waktu. Meskipun sudah
beberapa tahun berlalu sejak dia berhenti, dia bisa langsung mengenalinya hanya
dengan melihatnya.
Aku
memesan kue bulat yang dihias dengan krim segar
dan custard, dipenuhi dengan banyak buah kesukaan Luna. Ketika aku ditunjukkan
piring pesan [SELAMAT
ULANG TAHUN LUNA], aku
merasa malu meskipun itu pesanan yang kubuat sendiri.
“Kamu
sampai jauh-jauh pergi ke Stasiun K hanya untuk
ini? Wah, terima kasih...!”
“Aku juga
sekalian mampir ke rumah orang tuaku untuk menunjukkan wajahku, jadi aku bisa menunjukkan rasa terma
kasihku kepada mereka.”
Setelah
mengatakan itu, aku membawa makanan kedua dari dapur. Sebuah panci panas yang
baru saja dimatikan, aku letakkan di atas meja di atas tatakan panci.
“Ini adalah kari yang aku buat sambil
belajar cara membuatnya di rumah.”
Aku
membeli bahan-bahannya hanya berdasarkan ingatanku bahwa itu adalah daging sapi
yang diiris tebal, dan membawanya ke ibuku, yang terkejut dan berkata, “Kamu mau membuat kari dengan daging sebagus ini!?” Meskipun aku memang berpikir kalau harganya memang mahal di
supermarket.
“Eh!?
Keren banget! Kari dari rumah Ryuuto!? Aku senang
banget karena aku selalu ingin
mencobanya!”
“Aku
tidak tahu harus membeli yang apa, jadi
aku membeli daging untuk steak, jadi seharusnya rasanya
enak karena kekuatan bahan.”
Ketika
aku mengatakan itu sambil tersenyum kecut, mata Luna
berbinar dan dia berkata, “Woahh!”.
“Asyik!
Aku belum pernah makan kari semewah ini! Tidak sabar!"
“Selain
itu, ada salad seperti biasa.”
Karena Luna
sering ingin makan salad, aku juga menyiapkannya dengan baik. Aku mengambil
piring dari kulkas dan
membuka plastiknya.
“Wah, terima kasih!”
Luna
melihat ke meja dengan mata berbinar.
“Aku merasa
sangat bahagia sekali kamu menyiapkan berbagai hal
seperti ini!”
“Ini
tidak banyak sih...”
“Bahkan
ada saladnya juga!”
“Aku
hanya memindahkan yang dari kantong ke piring..."
“Tidak,
kamu berpikir tentang apa yang akan dibuat dan membelinya, lalu memindahkannya
ke piring itu sudah usaha yang besar! Terima kasih, Ryuuto♡”
Memang
benar, kalau hanya untunk makan
malamku sendiri, aku mungkin hanya akan membeli kari dari minimarket, dan tidak akan menyiapkan
salad. Namun, ketika Luna mengatakan itu, aku merasa terlalu dipuji... tapi
tetap saja, aku senang.
“Ryuuto,
kamu benar-benar semakin mahir dalam memasak!
Awalnya banyak yang instan, tapi sekarang kamu sudah bisa membuatnya sendiri.”
“Sebenarnya,
aku sedang berlatih memotong sayuran untuk nikujaga yang lalu...”
Karena
bahan sayurannya hampir
sama, kupikir ini bisa menjadi latihan untuk membuat kari.
“Begitu ya~, aku tidak menyadarinya.”
“Kalau
mau, makanlah selagi masih panas.”
“Ya,
selamat makan!”
Dengan
begitu, makan malam ulang tahun di rumah yang pertama kali kami lakukan bersama
dimulai.
“Hmm~ Enak banget! Dagingnya lebih lezat daripada kari daging di
restoran! Semakin dikunyah, rasanya semakin
terasa!”
“Benarkah?
Syukurlah, haha...”
Sepertinya
aku mungkin terlalu berlebihan. Meskipun Luna merasa
senang, tapi rasanya
agak berminyak, jadi lain kali aku akan membeli yang memang ditulis untuk
direbus.
◇◇◇◇
“Wah,
enak sekali! Terima kasih banyak atas
makanannya!”
Setelah menghabiskan kari, salad, dan sepotong kue, Luna menyatukan
kedua tangannya dan berkata.
“Terima
kasih banyak, Ryuuto!”
“Sama-sama.”
“Sebagai
ucapan terima kasih, aku juga punya hadiah untukmu, Ryuuto~♡”
Setelah
mengatakan itu, Luna pergi ke kamar tidur dan membawa sebuah tas kertas besar.
Aku sama sekali tidak menyadari di mana dia menyimpannya.
“Eh!?
Kenapa untukku?”
“Kita berdua
sama-sama sibut selama ulang tahunmu tahun ini, jadi aku
tidak bisa melakukan apa-apa, kan?”
Memang,
ulang tahunku tahun ini terjadi tepat sebelum kami pindahan,
jadi kami berdua sangat sibuk dan yang bisa kami lakukan hanyalah makan kue. Saat itu, aku berkata, “Nanti setelah tenang, kita akan
merayakannya dengan benar,” tapi aku
sudah melupakannya.
Ternyata Luna
mengingatnya dengan baik. Aku merasa sangat
terharu dengan hal itu.
“Ayo coba
buka, ayo coba buka!”
Luna
mendesakku, dan aku mengeluarkan tas kertas itu, mengeluarkan sebuah kantong
pembungkus besar, ringan, dan lembut yang tampaknya berisi sesuatu.
Itu
adalah pakaian rumah yang terbuat dari bahan yang lembut dan berbulu.
“Ah,
ini...!”
Aku
teringat saat melihat toko pakaian rumah bersama Luna di mal. Setelan dengan
pola kotak-kotak yang agak lebar itu terlihat lucu dan mirip dengan pakaian
rumah yang sering dikenakan Luna.
“Aku
juga membeli yang serupa~♡”
Setelah
mengatakannya, Luna membawa pakaian rumahnya dari arah tempat tidur dan
menunjukkannya padaku.
Hari ini adalah hari perayaan, jadi Luna masih mengenakan pakaian luar untuk
bekerja.
“Benar-benar
cocok...”
“Nee~, ayo
coba pakai, ayo pakai!
Aku juga akan memakainya!”
Setelah dia mengatakan itu, kami
berdua memutuskan untuk berganti pakaian rumah.
“...Begini?”
Merasa
malu, aku mengganti pakaian di ruang ganti dan perlahan kembali ke ruang tamu. Luna yang sudah selesai mengganti
pakaian melihatku dengan mata berbinar.
“Wah, cocok banget! Persis
seperti yang aku bayangkan! Ayo, ayo,
duduk di sofa~♡”
Sembari berkata demikian, dia
duduk di sampingku saat kami duduk
bersebalahan, lalu mengarahkan ponselnya ke arah kami untuk
selfie.
“Lihat~lihat~! ‘Kan?
Rasanya beneran seperti
pasangan yang tinggal bersama~♡”
Persis
seperti yang dikatakan Luna, di layar pnselnya menunjukkan kami
adalah pasangan yang imut dengan piyama yang serasi. Saat menyadari bahwa aku
adalah pacarnya, aku merasa wajahku
perlahan-lahan serasa terbakar.
“...Entah kenapa, rasanya sangat
memalukan...”
Meskipun
begitu, aku merasa senang karena Luna senang.
Melihatku yang bereaksi seperti itu, Luna
menyipitkan matanya.
“Ayo kita
pakai ini dan tetap bersama mulai sekarang, ya?”
“...iya...”
Alasan
mengapa aku sedikit terlambat menanggapinya
karena aku teringat tentang pencarian kerja yang menyiksa dan tugas untuk
menolak ajakan Fujinami-san.
Sepertinya
Luna bisa merasakan perasaanku, jadi dia tiba-tiba melihatku dengan wajah
serius.
“...Ryuuto,
kamu belum menolak tawaran dari Fujinami-san, ;kan?”
“Iya...”
“Begitu ya, syukurlah. Kupikir kamu akan seperti itu.”
Entah
kenapa, Luna mengatakan itu sambil tersenyum tipis.
“Aku
sudah memikirkan hal ini cukup lama, maukah
kamu mendengarkanku?”
“Eh?”
Apa yang
ingin dia bicarakan? Aku merasa bingung, dan Luna melanjutkan.
“Aku
tidak pandai berpikir, tapi aku sudah berusaha
untuk banyak memikirkannya. Hasilnya...”
Dengan
mengatakan itu, Luna meletakkan kepalan
tangan yang digenggamnya di dada dan sedikit
menunduk.
“...Pada awalnya, kupikir jika aku bisa
menahan kesepian tinggal di Jepang sendirian, semuanya akan baik-baik saja. Aku
mendengar dari ayahku bahwa bagi pria, pekerjaan adalah yang terpenting...
Ryuuto adalah seorang pria, dan mungkin kamu
lebih kuat menghadapi kesepian dibandingkan diriku.”
“..........”
Aku
menggigit bibirku sambil berpikir, ‘Kalau
aku orang yang maskulin seperti ayah Luna, mungkin akan berbeda.’
“Jadi,
saat aku mendengar Ryuuto memilih untuk bersamaku daripada bekerja... aku
sangat terkejut. Tapi, aku juga merasa senang.”
Luna mengatakan itu sambil
tersenyum, dia lalu
mengangkat wajahnya dan menatap mataku dengan serius.
“Kita
berdua ingin bersama. Aku menyadari itu. Jadi, mana
mungkin Ryuuto bisa
pergi ke luar negeri sendirian...”
Aku
mengangguk ringan dan mendengarkan.
“Jadi,
itu berarti pilihannya hanya ada dua: antara aku
yang akan ikut pergi, atau Ryuuto yang akan menyerah pergi ke Indonesia... salah satu dari dua
itu.”
Memilih
opsi yang terakhir adalah kesimpulan yang aku
ambil sebelumnya. Ketika aku bertanya-tanya mengapa Luna mengangkat kembali
topik ini, dia berkata dengan suara tegas.
“Aku
punya kualifikasi.”
Setelah
mengatakannya, dia sedikit menundukkan dagunya.
“Meski aku
belum mendapatkannya sekarang, tapi... jika aku lulus
tahun depan, aku pasti akan mendapatkan lisensi pengasuh anak. Itu adalah
kualifikasi yang diakui pemerintah,
dan jika aku memilikinya, aku
bisa bekerja sebagai pengasuh anak di mana pun dan
kapan pun di Jepang.”
“Benar...”
“Tapi menurutku, menjadi editor merupakan pekerjaan yang ditentukan pada keberuntungan dan nasib... aku mulai merasa begitu setelah melihat
bagaimana Maria yang
penuh semangat masih tidak
berhasil. Ryuuto, kamu
bilang kalau kamu sangat ingin berusaha di bawah bimbingan Fujinami-san, tapi bertemu
orang-orang seperti itu juga adalah sebuah keberuntungan.”
Aku
merasakan kalau Luna dengan hati-hati memilih
kata-katanya saat dia mengungkapkan pikirannya.
“Sekarang, Ryuuto
memiliki keberuntungan dan nasib itu. Jika demikian, aku berharap jika kamu bisa meraihnya.”
“Eh...?”
“Kamu pernah bilang bahwa kamu tidak
pernah tahu apakah pekerjaan itu akan cocok atau tidak sampai kamu mencobanya, tapi jika kamu
menyadari itu tidak cocok, kamu bisa berhenti. Lisensi pengasuh anakku tidak
akan kadaluarsa, jadi sekarang kupikir sebaiknya
Ryuuto
mengutamakan kesempatan itu dengan baik.”
Aku tidak
pernah membayangkan dia akan mengatakannya, dan aku merasakan keringat mengalir
di telapak tanganku yang tertekan.
“Kalau tidak
salah pepatah apa ya? 'Dewa kesempatan hanya memiliki poni'
atau semacamnya? Aku pikir gaya rambut itu lucu, tapi ketika melihat kembali
nanti dan berpikir, 'Seharusnya aku menjadi editor saat itu,' mungkin
kesempatan itu sudah tidak bisa diraih lagi.”
Setelah
mengatakannya, Luna menatapku dengan kuat.
“Aku
akan pergi ke Indonesia bersama Ryuuto. Meskipun mungkin paling cepat pada
bulan Juli, aku merasa bisa bertahan meskipun kita tidak bertemu selama tiga
bulan.”
“...Luna....”
Semburan emosi
membuncah di dalam dadaku, dan aku hanya
bisa mengucapkan itu.
Senang.
Bersyukur.
Aku merasa senang sekali... aku ingin membuatnya bahagia.
Lebih
dari siapa pun di dunia ini!
“Fujinami-san
bilang kalau kamu bisa pulang ke Jepang dalam beberapa
tahun, ‘kan?”
Saat Luna bertanya padaku, aku mengangguk dengan
sedikit panik.
“Y-Ya... Ia bilang, 'Setidaknya kamu harus tinggal beberapa tahun di luar
negeri sebelum peluncuran,'
jadi setelah itu mungkin ada kesempatan bagiku untuk
kemebali ke Jepang... Aku hanya
berpikir begitu...”
“Kalau
begitu, jika Fujinami-san tidak membiarkanmu
pulang, aku akan langsung bertanya padanya,
'Kapan Ryuuto bisa
pulang!?'”
Hebat, seperti yang diharapkan, gadis gyaru memang kuat.
“Selain
itu, mungkin di sana aku bisa kerja sebagai pengasuh anak juga!”
“Ya...
Fujinami-san juga sempat bilang,
bagaimana kalau jadi pengasuh untuk orang Jepang yang ditugaskan di sana?”
“Ah,
itu bagus banget! Aku senang kita bisa
membicarakannya!”
Luna
terlihat sudah sepenuhnya memutuskan untuk pergi ke luar negeri, sementara aku masih merasa canggung karena perasaanku
tidak bisa mengikuti.
“...Apa kamu beneran yakin? Kamu
tidak akan bisa bertemu teman-teman
dan keluargamu untuk
sementara waktu...”
“Ya,
benar juga. Kalau
teman mungkin tidak masalah, tapi rasanya sedikit disayangkan tidak bisa
melihat pertumbuhan Haruna dan yang lainnya dari dekat... Pertumbuhan anak-anak itu benar-benar cepat.”
Mungkin
mengingat hari-hari berjuang merawat adik kembarnya,
Luna tersenyum lembut.
“Tapi,
Misuzu-san akan menambah foto dan video di aplikasi album keluarga setiap hari,
jadi aku bisa tahu keadaan mereka secara real-time, dan jika mau, kita
bisa bicara jarak jauh.”
Setelah
mengatakan itu dengan sedikit menunduk, dia mengangkat pandangannya dan
menatapku.
“Sama seperti Ryuuto yang lebih memilihku daripada pekerjaan, aku
juga, lebih dari siapa pun, menghargai waktu yang bisa dihabiskan bersamamu.”
“Luna...
terima kasih...”
Akhirnya,
aku bisa mengucapkannya.
“Aku
akan berusaha sebaik mungkin dalam
pekerjaan... jika aku bisa
bersamamu, aku merasa bisa melakukan apa saja...”
Luna
mengangguk kuat saat aku merasa terharu
dan suaraku tercekat.
“Ya,
semangatlah! Aku
yakin Ryuuto pasti bisa. Aku mempercayai itu, jadi aku ingin mendukungmu.
Karena kita adalah pendukung satu sama lain, ‘kan?”
Itu
adalah sesuatu yang kami katakan bertahun-tahun yang lalu... pasti saat akhir
kelas dua SMA.
“Aku
belajar saat kelas lima SD bahwa
kita tidak bisa memilih semua yang kita inginkan.”
“.........”
Aku yakin
dia pasti sedang membicarakan saat orang tuanya bercerai dan
dia harus hidup terpisah dari ibunya dan Kurose-san.
“Meski
begitu, sekarang aku bisa berpikir dan memilih sendiri. Aku rasa itulah yang disebut menjadi orang dewasa, jadi aku puas dengan
keputusan ini.”
Setelah
mengatakannya dengan nada tenang, Luna tiba-tiba terlihat terkejut.
“...Begitu, jadi aku sudah dewasa, ya...”
Aku bisa membayangkan perasaan yang
melintas di hati Luna saat dia menyipitkan matanya dengan nostalgia.
Apakah
itu tentang masa-masa sulit saat dia tidak bisa menerima tinggal bersama
Misuzu-san di kelas 2 SMA, atau
tentang saat dia terburu-buru untuk menjadi dewasa, mengumpulkan pengalaman
cinta seperti mobil sport sebelum bertemu denganku...
“Jadi,
tidak apa-apa. Aku sudah memutuskan.”
Tidak ada
keraguan sedikit pun yang
terlihat di wajahnya yang tegas.
Dia
menatapku dengan senyum cerah seperti bunga matahari dan berkata,
“Yuk,
ayo kita menikah dan pergi ke
Indonesia bersama!”
Karena aku sempat terpesona dengan kegemasan Luna, aku hampir melamun sejenak sebelum tersadar.
“...Ah,
tunggu sebentar!”
“Eh?”
“Padahal
seharusnya akulah yang mengatakan itu...”
“Eh?
Kamu ‘kan sudah mengatakannya sebelumnya,
jadi tidak apa-apa, ‘kan~?”
“Iya
sih, tapi...”
Meskipun
senang diungkapkan seperti itu oleh Luna, aku sebenarnya sudah memiliki
rencana. Isi rencana... mungkin ada sedikit perubahan pada bagian
dialognya.
“Tunggu
sebentar, ya.”
Aku
berkata demikian sambil mengambil kotak kecil yang
tersembunyi di sudut lemari kamar tidur. Kotak berbentuk balok kecil yang
dibungkus kertas putih dengan pita berbahan seperti kasa.
Setelah
kembali ke sofa, aku memberikannya kepada Luna.
“Ini,
hadiah ulang tahunmu.”
“Eh...
terima kasih! Boleh aku membukanya?”
Aku
mengangguk tanpa berkata-kata.
"Wah, kira-kira
ini apaaan
ya~?”
Sambil
bersenandung, Luna membuka pita dan kertas
pembungkus, lalu membuka tutup kotak putih yang muncul. Di dalamnya terdapat cincin yang
dihiasi dengan batu putih.
“Woahh... Cantik sekali! Cincin mutiara!”
Luna
berseru dengan mata berbinar-binar.
“Kalau
kamu sampai mengatakannya seperti itu,
mungkin lebih baik berlian, ya...”
Aku
mengatakan itu seperti sebuah pembelaan sambil melepas cincin dari alasnya.
“Tidak!
Mutiara juga batu kelahiranku, jadi aku merasa senang!”
Dengan
mata yang tampak berbinar, Luna
berkata padaku. Apa dia sudah mengetahui bahwa ada beberapa batu
kelahiran? Hebat sekali.
“Tapi,
harganya pasti mahal, ‘kan? Tidak apa-apa?”
“Tidak juga, kalau
enggak salah sebutannya mutiara air tawar? Harganya masih sesuai dengan tema, dan
masih dalam anggaran."
“Benarkah? Penampilannya
sangat cantik, jadi terlihat mahal!”
“...Aku membelinya di toko yang sama dengan
cincin itu.”
Sambil
berkata begitu, aku mengarahkan pandanganku ke cincin batu bulan yang dikenakan Luna di jari
manis tangan kanannya.
“Eh,
seriusan!? Bukannya cincin ini dibeli di festival musim
panas?”
“Benar.
Sewaktu aku pergi mengunjungi lingkungan
rumah Sayo-san, secara kebetulan aku menemukan toko pemilik stan itu sebelum bertemu
denganmu.”
“Jadi
begitu ya... luar biasa! Entah kenapa rasanya seperti takdir.”
Perkataan ‘takdir’ membuatku
teringat satu fakta lagi.
“Aku tidak tahu apa kamu sudah mengetahuinya atau tidak,
Luna..... Tapi, mutiara
itu disebut sebagai 'tetesan
bulan.' Jadi, batu kelahiran bulan Juni, batu bulan dan mutiara, keduanya
berhubungan dengan bulan.”
Ini juga
informasi yang aku dengar dari pelayan tokonya langsung.
Ketika aku memberitahunya, ‘Karena
nama pacarku
mengandung kata bulan, cincin batu bulan itu
sangat disukai,’ dan dia membagikan informasi itu padaku.
“Ehh~, aku sama sekali tidak mengetahuinya! Jadi begitu rupanya...”
Luna
menatapku dengan mata yang penuh kejutan dan keharuan. Aku memegang tangan kirinya dan dengan lembut
memasangkan cincin mutiara di jari manisnya.
Luna
mengangkat kedua tangannya setinggi wajahnya, memandangi dua ‘batu bulan’ yang
bersinar di kedua sisi, dan tersenyum dengan ekspresi penuh kebahagiaan.
“Cantiknya...”
Sambil
menatapnya, aku mengencangkan wajahku dan memantapkan niat
sebelum membuka mulut.
“Kumohon
menikahlah denganku, dan pergi ke Indonesia bersama denganku.”
Aku
merasa sangat gugup dan mulutku terasa kering. Meskipun aku berpikir dia
tidak akan menolaknya, aku tahu bahwa kata-kata
penting dalam hidup memerlukan keberanian yang sesuai.
Luna
menatapku kembali, matanya bersinar lebih terang daripada batu permata mana
pun.
“Ya, aku mau~♡”
Dia menjawab dengan suara manis, lalu
memeluk leherku dan bermain-main seperti anak kucing.
Pakaian santai yang empuk saling tumpang tindih
di kulit kami. Lingerie berenda hitam milik Luna
mengintip dari dada pakaian santai miliknya.
“Ini, pakaian dalam yang sebelumnya dipilih Ryuuto untukku ♡”
Luna berbisik dengan nada menggoda di
telingaku.
“Silahkan mencicipi gadis yang sedang berulang
tahun ini~♡”
Malam
yang lebih manis daripada kue ulang tahun kini akan segera dimulai.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya