Bab 2 — Wawancara dimulai
Bagian 2
“――Jadi begitulah, aku hanya menemani Tomonari-san
untuk bersantai.”
Begitu
acara pesta teh dimulai, Tennouji-san dengan cepat menjelaskan
kesalahpahaman.
“Hmm...
baiklah, kalau memang begitu masalahnya, kurasa
aku mengerti."
“Malahan,
kebenarannya sangat
khas dari Tennouji-san~”
Taisho
dan Asahi-san mengangguk setuju, dan Tennouji-san
menghela napas lega.
Hinako
dan Narika cukup cepat menerima penjelasan, tetapi butuh waktu lebih lama untuk
menjelaskan kepada Taisho dan Asahi-san. ...Sejujurnya, kesalahpahaman itu
sudah terpecahkan sejak lama, dan aku merasa mereka sengaja memperpanjangnya
karena itu terlihat lucu. Namun, jika dipikir-pikir, perubahan di mana kedua
orang ini bisa akrab dengan Tennouji-san
seperti ini sangat mengejutkan dibandingkan dengan awal semester.
Setelah
mengambil seteguk teh yang sudah dingin dan hangat, aku berpikir bahwa ini merupakan tanda kalau kami bisa bercakap-cakap dengan
begitu menyenangkan
sampai-sampai melupakan untuk minum teh. Namun, topik seperti ini tidak baik
untuk hatiku, jadi aku berharap mereka tidak perlu membahasnya lagi.
“Oleh karena
itu, mohon berhati-hati saat menulis artikelnya, ya!!”
“Baiklah!”
Tennouji-san berkata kepada anggota OSIS yang mengamati kami dari kursi
sebelah. ...Aku juga berpikir saat melewati depan
ruang kelas C di waktu istirahat, anggota OSIS itu terlihat sangat ceria.
Anggota OSIS juga tampaknya memiliki karakter
yang cukup kuat. Siswa di Akademi Kekaisaran
pada dasarnya semua memiliki karakter yang kuat...
“Maaf,
Tennouji-san. Terima kasih telah
menjelaskan segalanya...”
“Karena
akulah yang memulainya, jadi tidak masalah. ...Aku tidak
menyesali perbuatanku saat
itu, tetapi aku melupakan tentang apa yang terjadi setelah
game manajemen berakhir.”
Dengan
keringat dingin mengalir, Tennouji-san
minum teh seolah baru menyelesaikan tugas.
Aku
merasa ada yang aneh dengan cara berbicara
Tennouji-san. Apa maksudnya tentang apa yang
terjadi setelah game
manajemen berakhir?
“Tomonari-kun
pasti menyadarinya, setelah
permainan manajemen berakhir, semua orang sangat santai, ‘kan?”
Seolah
menangkap kebingunganku, Asahi-san menjelaskan.
“Di
Akademi Kekaisaran, sejak
dulu, sering terjadi insiden hubungan cinta setelah game manajemen berakhir. Karena saat
itu semua orang sedang santai, ditambah lagi hubungan antar manusia berubah
setelah permainan. ...Sekarang setelah
kupikir-pikir lagi, orang itu sangat keren ya~~~~ semua orang akan berpikiran begitu.”
“Be-Begitu..."
Game
manajemen merupakan acara
besar. Aku sendiri merasakan perubahan hubungan antar manusia melalui acara
itu.
Tradisi
yang dijelaskan oleh Asahi-san pasti sudah diketahui oleh semua siswa di
akademi ini. Jadi, ketika mendengar topik cinta pada periode ini, semua orang
langsung mengaitkannya dengan tradisi dan menjadi bersemangat. Artinya, siswa
di Akadaemi Kekaisaran pada
periode ini sangat mendambakan cinta.
“Meskipun
aku sendiri yang menyebabkan kegaduhan ini, aku
tidak memiliki kekuatan untuk berbicara, tetapi pada periode ini, ada siswa
yang terpengaruh oleh suasana sekitar dan melakukan hal-hal sembrono. Mohon
berhati-hati, ya.”
Mendengar
peringatan dari Tennouji-san, Taisho dan Asahi-san balas mengangguk. Namun, hanya ada dua
orang di antara mereka—aku dan Narika—yang saling bertukar pandang
secara diam-diam.
Insiden
hubungan cinta terjadi segera setelah game
manajemen berakhir. Pada
periode ini, ada siswa yang terpengaruh oleh suasana sekitar dan melakukan
hal-hal sembrono.
(……………………Bukannya itu menceritakan tentang
kami?)
Narika
juga tampaknya sampai pada kesimpulan yang sama, karena
wajahnya langsung memerah.
Rupanya,
kami bergerak sesuai dengan tradisi tanpa kami
sadari.
“…Oh,
ada apa? Tomonari-san, Miyakojima-san?”
“Bu-Bu-Bu-Bu-Bu-Bu-Bukan
apa-apa!”
“O-oh…
beneran tidak ada apa-apa…… ‘kan?”
Meskipun
jelas-jelas ada sesuatu di antara kami, Tennouji-san hanya memiringkan
kepalanya.
“Bahkan
tanpa mengungkit hubungan percintaan,
hubungan antar manusia sudah berubah
banyak setelah game
manajemen, ya,” kata
Asahi-san.
“Benar
sekali. Belakangan ini, aku sering melihat Miyakojima-san
dikelilingi oleh banyak orang yang mengaguminya,” tambah Tennouji-san.
“O-oh.
Iya, aku juga merasa begitu. Aku pikir ada perubahan di sekitarku hingga aku bisa merasakannya
sendiri. …Aku
bersyukur untuk itu.”
Narika
berkata dengan wajah bahagia.
Sejujurnya,
aku merasa itu bukan sekadar tingkat dikagumi…
tapi aku tidak ingin mengatakannya.
Yang
harus diperhatikan adalah, dalam kasus Narika, hubungan antar manusia tidak
berubah begitu saja. Narika
sendiri yang berubah, sehingga orang-orang di sekitarnya juga berubah. Jadi, hal tersebut merupakan hasil
dari usaha Narika.
“Usahamu
terbayar ya, Narika.”
Aku tanpa
sadar mengatakan itu sambil melihat Narika. Aku sangat ingin menyampaikan hal
itu sampai-sampai melupakan rasa canggung di antara kami.
Narika
terkejut sejenak, dia tetapi
segera tersenyum lembut.
“Ah…
semmuanya itu berkat dirimu, Itsuki.”
Kami berdua saling memandang.
Kali ini aku tidak merasa canggung, malahan kami diliputi perasaan tenang—.
“…Eh, apa-apaan dengan suasana itu? Jangan-jangan Tomonari-kun
sebenarnya ada sesuatu dengan Miyakojima-san,
bukan dengan Tennouji-san—”
“Ng-Ngomong-ngomong
tentang perubahan, bukannya
Konohana-san juga sama?!”
Aku
berusaha cepat mengalihkan topik kepada Asahi-san yang memiliki insting peka.
Hinako
menatap ke arahku dengan
tajam. Seolah mengatakan bahwa aku mencoba
memanfaatkannya demi bisa mengalihkan perhatian… aku
terus-menerus meminta maaf dalam hati.
“Konohana-san juga memang sudah berubah. Hanya dengan
melihat kelas kami, aku merasa banyak orang mulai berbicara dengan Konohana-san lebih dari sebelumnya.”
Taisho
yang tidak menyadari apa pun menunjukkan persetujuan terhadap kata-kataku.
“…Benar.
Persis seperti yang kamu katakan, belakangan ini aku semakin sering diajak
bicara daripada sebelumnya.”
Hinako
membaca suasana dan mengalihkan topik.
Maaf,
Hinako. Dan terima kasih, Taisho.
Namun
sebenarnya, aku memang ingin
membicarakan perubahan Hinako. Setelah game
manajemen, hubungan Hinako juga mengalami perubahan.
“Dari
apa yang aku dengar, sepertinya pertemuan yang diadakan menjelang akhir game manajemen menjadi
penyebabnya. …Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah bergantung pada kalian
seperti itu sebelumnya, jadi aku merasa hubungan kami semakin dekat setelah
itu.”
“Ya,
ya, saat itu semua orang di kelas juga bilang begitu. Mereka merasa terhormat
karena Konohana-san bergantung pada mereka,”
kata Asahi-san sambil mengangguk.
Pertemuan
yang dimaksud tentu saja adalah rapat untuk membangun kembali Konohana
Automobile setelah insiden penyembunyian recall.
Hinako
adalah gadis malas yang selalu bergantung pada orang lain di rumah, tetapi
ketika berada di kelas, dia jarang meminta bantuan orang lain. Jika dia ingin
menjaga citra sebagai Ojou-sama
yang sempurna, dia harus bisa melakukan segalanya sendiri.
Teman-teman
sekelasnya mungkin merasa
senang karena Hinako bergantung pada mereka.
Aku bisa
memahami perasaan itu sebagai pengasuhnya.
Dianggap sebagai seseorang
yang besar dan kuat, bergantung padaku adalah suatu kehormatan dan kebanggaan.
Jadi, aku
yakin semua orang di akademi juga memiliki pemikiran yang sama, meskipun dalam
berbagai tingkatan.
Semua
ingin setara dengan Konohana Hinako. Pasti semua orang di dalam hati mereka
berpikir demikian.
“Gunununu… jika Konohana Hinako mulai
belajar menggunakan orang lain, maka hak eksklusifku…”
Tennouji-san mengungkapkan kejengkelannya dengan suara kecil.
Aku
pernah memberitahu Tennouji-san di pantai saat liburan
musim panas bahwa kekuatan yang dimiliki dirinya
namun tidak dimiliki Hinako adalah karisma. Perasaan
itu tidak berubah, tetapi tentu saja, pertumbuhan Hinako bisa mengubah
segalanya.
“Aku
juga menemukan ada banyak
hal yang masih perlu dipelajari sebagai putri keluarga Konohana. Aku harus
berusaha agar tidak kalah dengan kemajuan kalian semua di sini.”
Hinako
tersenyum cerah mempesona,
seolah-olah dirinya memancarkan cahaya ilahi.
“O-oh…
sangat mulia sekali…”
“Konohana-san…
memang mirip seperti malaikat…”
Taisho
dan Asahi-san mulai menghormati Hinako seperti pengikut yang penuh rasa hormat.
Namun,
sejujurnya, aku rasa Hinako tidak akan pernah memiliki karisma seperti Tennouji-san.
Hal itu
dikarenakan dia sendiri tidak memiliki niat untuk itu.
Dia sudah
kesulitan bergaul. Aku bisa membayangkan Hinako berkata dengan malas, “Menggunakan orang lain itu
merepotkan dan mustahil—”.
◆◆◆◆
“Oke,
semua, sampai jumpa lagi~”
“Ya.
Sampai ketemu hari Senin.”
Hinako
tersenyum dan membalas lambaian
tangan kepada Asahi-san yang naik mobil. Setelah pertemuan teh selesai,
kami semua pulang dengan mobil jemputan masing-masing.
Aku dan
Hinako juga berniat pulang segera, tetapi—.
“I-Itsuki!”
Saat aku
berusaha menuju gerbang sekolah, Narika memanggil ku.
“Be-Be-Be-Be-Begini,
ada sesuatu yang ingin kubicarakan…!”
“O-oh.
Baiklah.”
Melihat Narika
yang tampak lebih aneh dari biasanya, aku juga merasa sedikit bingung dan
mengangguk.
Isi
pembicaraannya… aku sudah bisa menebaknya.
Aku
melihat Hinako yang ada di
sebelahku.
“Konohana-san,
itu…”
Mungkin Narika
ingin berbicara berduaan saja denganku,
jadi aku harus meminta Hinako untuk pergi. Seolah mengerti niatku, Hinako
mengangguk pelan.
“Baiklah,
kalian berdua. Aku pamit dulu ya.”
Aku melakukan kontak mata dengan
Hinako yang membungkuk. Aku
ingin menyampaikan melalui tatapan bahwa tidak masalah jika dia pulang lebih
dulu—.
Hinako
mengangguk kecil dan keluar dari gerbang sekolah.
Sekarang
hanya tersisa aku dan Narika saja, jadi
kami berpindah ke ujung lapangan. Sambil melihat warna
senja yang menghiasi lapangan, aku menatap wajah Narika.
“Jadi,
Narika. Sesuatu yang ingin kamu bicarakan
ini mungkin… tentang waktu itu, ‘kan?”
“Iy-Iya. Ini tentang setelah game manajemen berakhir…”
Sepertinya
memang begitu…
Penyebab terjadinya ketegangan dan kecanggungan kami.
Narika
ingin membicarakan tentang ciuman yang terjadi di antara
kami—.
“Ja-Jadi… ak-aku ingin memastikan…”
Narika
bertanya dengan ragu-ragu.
“I-Itsuki…
apa kamu… mulai membenciku…?”
Pertanyaan
itu benar-benar mengejutkanku. Saking
terkejutnya sampai-sampai membuat
kegugupanku mereda.
“…Membencimu? Kenapa…?”
“So-Soalnya,
aku tiba-tiba melakukan hal seperti itu…!!”
Narika
berkata dengan wajah yang tampak ingin menangis kapan
saja.
“Sejak
saat itu, aku terus-menerus kepikiran…!! Tanpa memikirkan perasaan
Itsuki, aku bertindak sembarangan…!! Ugh… ak-aku,
apa yang sudah aku
lakukan…!?”
Aku
terkejut dan hanya bisa membuka mulut tanpa bisa berkata-kata.
…Jadi dia sampai berpikiran
begitu.
Kami
berdua sma-sama bisa merasakan suasana
canggung. Namun, ketegangan yang aku rasakan dan yang dirasakan Narika tampaknya sedikit berbeda.
Narika
tampaknya khawatir apakah aku membencinya.
“Wa-Waktu
acara pesta teh tadi,
Tennouji-san juga mengatakannya, ‘kan? Di masa seperti ini, ada banyak orang yang terbawa
suasana… Ku-Kupikir dia sedang membicarakanku…!!”
Aku juga sempat berpikir begitu.
Sebenarnya
bukan hanya tentang Narika, tetapi tentang kami berdua.
“……………………Hah.”
Sebelum menenangkan
Narika, aku harus menenangkan diriku
terlebih dahulu.
Ketika Narika
memanggilku sebelumnya—aku merasa harus memberikan jawaban atas kejadian waktu
itu. Tapi bagi Narika, sepertinya itu bukanlah hal yang mudah.
Memang benar kalau ciuman itu terlalu mendadak.
Tapi, apa
aku jadi membenci Narika karena itu…?
“…Aku sama sekali tidak membencimu.”
Aku menatap mata Narika dan menjawab demikian.
Namun, aku
terdiam untuk melanjutkan kalimat selanjutnya.
Mengatakan
bahwa aku tidak merasakan
apa-apa—itu sama sekali tidak
benar.
Mengatakan
bahwa aku akan melupakan kejadian itu—itu bahkan tidak bisa dianggap sebagai
penghiburan.
Jika aku
mengatakan bahwa aku justru merasa senang—apa itu terdengar seperti jawaban?
Ciuman
itu terjadi dua hari yang lalu. Meskipun aku ingin memberikan jawaban, aku
merasa sedikit bersalah pada Narika dan ingin memilah-milah
perasaanku sedikit lebih banyak.
Dalam
hubungan kami sebelumnya, aku biasanya bisa dengan santai berkata, “Jangan terlalu dipikirkan,” dan selesai. Namun, memikirkan
hubungan kami saat ini, sepertinya ada banyak
kata yang menjadi terbatas.
“Ap-Apa
kamu benar-benar tidak membenciku…?”
Narika
bertanya dengan suara bergetar saat melihatku yang
kembali terdiam.
Aku tidak
membencinya. Itulah kata-kata yang keluar
dari dalam hatiku.
“Ya.
Tentu saja tidak.”
“Sy-Syukurlah…”
Narika
menghela napas lega. Sepertinya
kesalahpahaman yang terjadi telah
teratasi.
“Tapi,
saat itu aku benar-benar terkejut. Aku tidak pernah menyangka kalau kamu akan melakukan hal seperti itu, Narika…”
Aku
merasa boleh saja menyampaikan bahwa aku terkejut, jadi aku berkata jujur.
Nyatanya, aku memang terkejut.
Pikiranku menjadi kosong sesaat ketika dia melakukan
itu.
“A-ah,
saat itu…”
Narika
tampak ragu dan sulit untuk berbicara.
“Aku…”
Aku?
“Aku
tidak bisa menahan diri lagi…”
Narika
mengatakan itu dengan pipi yang memerah dan mengalihkan pandangannya ke mana-mana.
Melihat yang Narika seperti itu, aku jadi tersadar.
Kami
sedang membicarakan hal yang sangat memalukan…
Wajahku mulai terasa panas. Mungkin, wajahku juga sudah memerah seperti Narika.
Melihat Narika yang polos, aku merasa hatinya juga mulai murni.
“Ah!?
Sepertinya jemputanku sudah
datang!”
Narika
tiba-tiba mengeluarkan smartphone-nya dan berkata demikian.
“Ka-Kalau
begitu, aku pamit dulu! …aku sangat
senang kamu tidak membenciku, Itsuki!”
Setelah
berkata demikian, Narika pergi dari hadapanku.
Fyuuh~~,
aku menghela napas pelan. Sepertinya ketegangan aku belum sepenuhnya hilang,
dan aku menyadari bahwa hati aku masih tegang setelah berpisah dengan Narika.
(…………Eh?)
Melihat
punggung Narika yang semakin menjauh,
aku tiba-tiba berpikir.
(…………Pada
akhirnya, apa yang harus aku lakukan?)
Narika
yang tidak lagi merasa cemas tampak ceria dan melangkah dengan gembira menuju
gerbang sekolah.
Seolah-olah,
dia tidak mengkhawatirkannya lagi.
………………………… Apakah dia tidak peduli dengan
jawabanku?
Aku belum
memberikan jawaban atas perasaan Narika…
Apa jangan-jangan bagi Narika, masalah ini
sudah selesai?
(…Tidak, itu tidak mungkin)
Ciuman
itu bisa dianggap sebagai
pengakuan perasaannya, ‘kan…?
Kalau begitu,
apa aku harus memberikan jawaban…?
Namun, saat melihat sikap Narika tadi… jangan-jangan
dia tidak mencari jawaban?
Dia juga mengatakan
bahwa ciuman itu hanyalah tindakan spontan
karena terbawa suasana…
Jangan-jangan…
Narika tidak memikirkan apa pun untuk ke depannya?
(…Itu
mungkin saja)
Itu sangat
mungkin.
Narika
memang sedikit, atau bahkan cukup, ceroboh. Dengan sifatnya yang polos, mungkin
dia tidak melihat kemungkinan hubungan kami berkembang menjadi hubungan percintaan.
Aku tanpa
sadar meletakkan tanganku di keningku.
Jika memang itu benar… apa yang harus kulakukan?
…Hah?
Bukannya lebih baik kalau aku memberikannya jawaban?
Aku mulai
merasa bimbang.
(Jika
Narika tidak mencari jawaban…)
Ketika aku memikirkan
hal itu, entah kenapa
hatiku tiba-tiba menjadi lebih ringan.
Namun, perasaan ringan ini sama saja dengan sikap pengecut? Bukannya itu cuma angan-anganku saja demi menghindari tanggung jawab?
Atau,
apa ini bentuk kebaikan terhadap Narika?
Jika
tidak diminta, tidak memberikan jawaban juga bisa jadi bentuk kesungguhan.
(…………Tidak)
Itu salah.
Aku harus
mengingatnya.
Apa yang dikatakan Narika padaku saat itu?
―― Ak-Aku tidak akan bertanya tentang
jawabannya sekarang!
Tapi, semuanya sudah terlambat
jika kamu menyesalinya!
Jika dia
benar-benar tidak memikirkan masa depan, maka kata-kata penyesalan tidak akan
muncul.
Pada waktu
itu, Narika jelas-jelas mengumpulkan keberaniannya.
Dia
melihatku dengan sangat malu, tetapi tetap menatapku dengan tulus.
―― Karena
orang yang menyuruhku untuk melakukannya dengan sepenuh
hati adalah kamu sendiri—Itsuki!!
Narika benar-benar sudah berusaha keras untuk
melakukannya.
Hasilnya adalah
ciuman itu.
Jadi, mana
mungkin dia tidak memikirkan apa pun untuk ke depannya. Jika dia benar-benar
tidak memikirkannya, tidak
ada alasan untuk mengumpulkan keberanian yang begitu terlihat.
Narika
memang memiliki sisi ceroboh dan polos. Namun, ciri utamanya adalah sifat
negatifnya.
Aku
seharusnya tahu hal itu…
Narika merupakan tipe orang yang lebih
mengutamakan untuk tidak merepotkan orang lain ketimbang perasaannya sendiri.
“…Narika”
Aku
memanggil namanya.
Namun,
dia sudah pergi menjauh,
jadi tidak mungkin dia mendengarnya.
Aku
berlari menuju gerbang sekolah.
Masih ada
waktu…!!
“――Narika!!”
Ketika aku
berhasil menyusulnya dan melihat punggungnya,
aku memanggilnya dengan suara keras.
Narika berbalik menoleh dengan ekspresi terkejut dan mendekatiku.
“I-Itsuki?
Kenapa kamu terlihat begitu putus asa—”
“――Aku
akan memberikan jawabanku.”
Narika
membuka matanya lebar-lebar.
Sepertinya
perkataanku sangat mengenai hatinya… seolah-olah aku telah
menyentuh kemungkinan yang dia sembunyikan di sudut hatinya… Narika menunjukkan
ekspresi tegang.
Jika
lawan bicara tidak mencarinya, tidak memberikan jawaban bisa jadi bentuk
kesungguhan.
Namun, Narika
sudah mengumpulkan keberaniannya untuk itu.
Narika yang
selalu merengek,
gampang gelisah, negatif, dan penakut, dia terpengaruh oleh kata-kataku
dan melakukannya dengan sepenuh hati.
Maka, aku
juga—aku merasa harus mengumpulkan keberanian.
“Saat ini aku masih belum memilah perasaanku sendiri…
tapi aku akan memberikan jawaban dengan
benar padamu. Jadi, aku berharap
kalau kamu bersedia menunggu jawabanku.”
Aku
menatap wajah Narika dengan serius dan mengatakan
hal itu padanya.
“…Jadi aku hanya perlu menunggumu?”
Narika bertanya dengan pelan.
Dia
menatapku dengan mata yang bergetar dan membuka mulutnya sekali lagi.
“Baiklah.
…Aku akan menunggumu.”
Setelah
mengatakan itu, Narika berjalan keluar
dari sekolah.
Kali ini,
aku mengantarnya dengan diam. Seharusnya tidak ada lagi yang perlu kukatakan.
Namun…
(…………Aku
benar-benar memilih jalan yang sulit)
Setelah melihat
reaksi Narika, aku berpikir bahwa sebenarnya ada jalan untuk tidak memberikan
jawaban. Namun, karena aku sudah memutuskannya demikian, aku harus berusaha keras
untuk menemukan jawabanku sendiri.
Untuk
saat ini, mari pulang dulu.
Aku
berjalan melewati gerbang sekolah menuju tempat di
mana mobil akan
menjemputku.
Namun,
tepat di hadapanku, aku
melihat sosok Hinako.
“Hinako?
Kenapa kamu masih belum
pulang—”
Aku
bergumam seolah-olah berbicara pada diriku
sendiri, tetapi segera menutup mulut saat melihat sosok di sampingnya.
Tapi rupanya
orang itu juga menyadari keberadaanku. Orang itu lalu tersenyum ramah.
“Halo, Tomonari-kun. Aku sudah menunggumu.”
“…Ketua
Minato?”
Di
samping Hinako adalah Ketua Minato.
“Aku
sedang mengobrol dengan Konohana-san
sampai kamu datang. Tadi, aku melihatmu
berbicara dengan Miyakojima-san
di pojok lapangan, apa itu sudah selesai?”
“Ah,
ya. Itu sudah tidak masalah…”
Kenapa
dia sampai repot-repot menungguku?
“Aku
lupa memberikan ini padamu. Tolong terima lah.”
Setelah
mengatakan itu, Ketua Minato menyerahkan beberapa lembar
dokumen kepadaku.
Aku lalu mencoba membaca dokumen itu
sekilas.
“…Laporan
wawancara mandiri?”
“Benar.
Seperti yang sudah aku jelaskan
sebelumnya, untuk hari libur, kamu harus melakukan wawancara sendiri. Tulis
cara menghabiskan waktu liburmu berdasarkan pertanyaan yang tertera di sana.”
Lembar
pertama adalah tabel jadwal kosong. Lembar kedua berisi beberapa pertanyaan
dalam format tanya jawab. Sepertinya aku harus mengisinya semua.
“Aku
memberikan ini kepada kandidat lain
saat istirahat, tetapi kamu tidak ada di kelas. Aku berencana memberikannya sepulang sekolah, tetapi sepertinya
pertemuan teh yang mulia itu diadakan secara mendadak, jadi aku menunggu sampai
selesai. …Kemudian, pertemuan rahasiamu
dengan Miyakojima-san
dimulai.”
“Ehm…
maaf, aku membuatmu menunggu.”
“Tidak,
tidak, kamu tidak perlu meminta maaf segala. Hal
itu membuktikan bahwa kamu cukup
populer.”
Ketua
Minato pasti juga sangat sibuk, tetapi sepertinya dia sudah menunggu sampai
sekarang.
Mengenai
pertemuan rahasiaku dengan
Narka… aku tidak bisa membantahnya, jadi lebih baik aku lewatkan.
Setelah
menyimpan dokumen ke dalam tas, Ketua Minato bergantian
melihat ke arahku dan Hinako.
“Tadi
aku juga sempat berbicara dengan Konohana-san… sepertinya kalian
sering Bersama, ya. Wakil ketua bahkan memberitahuku kalau
kalian berdua juga bersama saat
istirahat, ya? Kalian akrab sekali.”
“Ya…
begitulah.”
Dengan
topik pertemuan teh dan interaksiku dengan Narika sebelumnya, aku hampir menganggapnya sebagai nuansa
romantis, tetapi mungkin ini lebih merupakan ungkapan persahabatan.
Di
sampingku, Hinako menunjukkan ekspresi puas.
“Hmm, Ketua
memiliki pandangan yang baik.”
“…?
Ah, begitu ya?”
“Ya.”
Ketua
Minato memiringkan
kepalanya saat
Hinako terlihat sangat puas.
“Aku
juga mengamati suasana pertemuan teh, tetapi… entah bagaimana, interaksinya
lebih biasa daripada yang aku kira.”
Ketua
Minato berbicara dengan hati-hati.
“Jangan
anggap ini sebagai ungkapan yang buruk. Hanya saja, aku mendengar rumor bahwa
ada diskusi panas tentang politik dan militer, jadi aku terkejut.”
“Hahaha… sepertinya memang ada rumor seperti itu.”
Aku tidak
bisa menahan senyum pahit. Ketika
aku pertama kali berbicara dengan
Ikuno, ia juga pernah mengatakan hal yang sama.
“Sebenarnya,
itu hanya pertemuan teh biasa. Kami hanya mengobrol santai.”
“Begitu
ya… mungkin memang itu yang kalian butuhkan.”
Ketua
Minato melirik Hinako yang berdiri di sampingku.
Siswa
paling terkenal di Akademi Kekaisaran.
Putri dari grup konglomerat Konohana
yang dikenal sebagai Ojou-sama
sempurna. Itulah keberadaan Konohana
Hinako. Dengan perhatian yang sebesar
ini, bisa menciptakan tempat di mana dia bisa berbicara dengan tenang
dengan seseorang merupakan suatu kesulitan
tersendiri. Namun, hal tersebut
juga berlaku untuk Tennouji-san
dan Narika. Ruang di mana para mereka
bisa berkumpul dan berbincang dengan akrab adalah sesuatu yang berharga.
Pertemuan
teh yang mulia mungkin terbentuk dengan keseimbangan yang luar biasa.
Pasti
semua orang merasakannya, meskipun sedikit.
“Jika
kamu menjadi wakil ketua, apa kamu ingin mencapai akademi yang seperti itu?”
Walaupun pertanyaan
itu diajukan dengan nada ringan, tetapi esensinya cukup dalam.
Akademi
seperti itu… akademi yang mirip seperti
pertemuan teh kami yang santai.
Ketika ditanya apa aku ingin
mencapainya? Aku…
“Tidak,
aku masih belum mengetahuinya.”
Aku
menggelengkan kepalaku sebagai
jawaban.
“Tujuanku
ialah menjadi wakil ketua. Aku menyerahkan pada orang yang menjadi
ketua untuk mengambil alih kepemimpinan.”
“…Begitu
ya. Cara berpikir yang bagus.”
Tentu
saja, jika ketua yang dimaksud
memilih jalan yang salah, aku ingin menghentikannya, tetapi kurasa orang seperti itu takkan
mungkin
menjadi ketua di akademi ini.
Aku
mempunyai banyak definisi tentang jalan yang salah, tetapi
definisi tentang jalan yang benar yang harus diambil masih samar. Namun, aku
tidak menganggap itu sebagai masalah. Semua siswa di akademi ini benar-benar
luar biasa… jika aku bisa menjadi wakil ketua, aku hanya perlu berkonsultasi
dengan ketua dan membuat keputusan bersama.
Aku tidak
tahu siapa yang akan menjadi ketuanya. Tetapi, tidak peduli siapa pun itu, aku akan mempercayainya dan mendukungnya.
Mungkin, itulah
caraku—karakterku.
Melihatku yang seperti itu, Ketua Minato
mengangguk puas sebelum melihat Hinako.
“Konohana-san. Bolehkah aku mengajukan
pertanyaan yang membuatmu sedikit gugup?”
“Gugup,
ya?"
“Oh,
jangan salah paham dulu. Akulah yang merasa gugup.”
Ketua
Minato lalu melanjutkan.
“Konohana-san, sepertinya kamu sering
dimintai bantuan oleh banyak orang, ‘kan?”
“…Aku
tidak bisa membantahnya.”
“Kalau
begitu, apa Konohana-san
pernah meminta bantuan kepada OSIS?”
Hinako
terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
untungnya sampai sekarang aku belum pernah.”
“Seperti
yang aku duga… itulah keadaan di akademi ini.”
Ketua
Minato berkata dengan wajah serius.
“Di
akademi ini, ada banyak nama besar bahkan di luar OSIS. Jadi, jarang sekali ada orang
yang secara khusus meminta bantuan OSIS.
Kekuatan yang hanya berlaku di dalam akademi dari OSIS
tidak ada bandingnya dengan kekuatan keluarga Konohana
yang memiliki pengaruh di dalam dan luar akademi. Sayangnya, status sebagai anggota OSIS tidak bisa bersaing dengan nama besar keluarga.”
Setelah
dipikir-pikir, aku juga belum pernah meminta bantuan OSIS.
Jika
Hinako… atau lebih tepatnya, jika grup Konohana
serius ingin menerapkan kekuasaan di Akademi Kekaisaran,
mereka pasti bisa mewujudkannya. Pengaruh
nama keluarga bisa menjangkau hingga ke dalam akademi. Jadi, memang benar apa
yang dikatakan Ketua Minato, bahwa keberadaan OSIS saat ini patut dipertanyakan dalam
situasi tersebut.
“Oleh
karena itu, OSIS selama
ini berfungsi sebagai kekuatan di balik layar, tetapi—aku ingin mengubah
keadaan ini. Aku telah diam-diam mempersiapkan berbagai hal.”
Ketua
Minato sedikit menguatkan nada suaranya dan berkata.
“Namun aku
membuat kesalahan dalam perhitunganku karena ternyata
itu memakan waktu lebih lama dari yang aku perkirakan. Berkat itu, sepertinya aku
tidak akan sempat menyelesaikannya pada masa jabatanku, tetapi pasti akan
berguna untuk generasi berikutnya. …Dengan pemikiran itu, aku tidak bisa
menganggap pemilihan berikutnya sebagai urusan orang lain.”
Meskipun aku
tidak tahu secara rinci, sepertinya Ketua Minato telah memutuskan untuk
menyerahkan semua yang telah dia bangun kepada generasi berikutnya. Mungkin
rincian itu bukanlah sesuatu yang seharusnya aku dengar saat ini. Itu pasti
sesuatu yang sangat besar sehingga hanya mereka yang telah bergabung dengan
OSIS yang boleh diberitahu tentang hal itu.
“Tanggal
pengumpulan laporan adalah hari Senin minggu depan. Aku akan menantikannya.”
Setelah
berkata demikian, Ketua Minato pun berjalan pergi.
Ketika aku
mendengar bahwa ada kolam yang dibuat di dalam area
sekolah, aku terkejut dengan kekuatan OSIS…
tetapi mungkin Ketua Minato justru merasa rumit karena mereka hanya bisa melakukan hal sebesar
itu.
…Itu
adalah pembicaraan yang membuatku merenung.
Namun, bukannya berarti aku bisa mengada-ada
dalam isi laporan. Waktu menuju masa pemilihan sudah semakin dekat, dan meskipun aku
mengubah cara hidupku sekarang, aku tidak bisa menjamin kepada siswa lain bahwa
itu akan berlanjut setelah aku menjadi anggota OSIS.
Aku
memutuskan untuk menuliskan diriku yang sebenarnya dalam laporan penelitian
mandiri.
Aku akan
melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
“Dalam
percakapan tadi…”
Hinako
berkata dengan suara pelan.
“Aku
merasa sedikit mengerti tentang jenis wakil ketua
macam apa yang ingin kamu capai, Itsuki.”
“…Benarkah? Sejujurnya, aku juga belum benar-benar
memutuskan dengan jelas.”
Hinako
menggelengkan kepalamua.
“Jika
Itsuki menjadi wakil ketua… kamu
ingin membantu ketua OSIS, ‘kan?”
Setelah
mendengar perkataannya… mungkin itu benar.
Mendukung
dan membimbing. Visi seperti itu memang ada.
Saat aku
merenungkannya, Hinako tiba-tiba mendekatkan tubuhnya kepadaku.
“Hi-Hinako?”
“…Jangan
lupakan untuk mengasuhku juga, ya.”
Apa dia merasa cemas seperti itu…?
“Tentu
saja aku tidak akan melupakanmu.”
“…Hmm.”
Saat aku
memberitahunya dengan suara pelan agar orang lain tidak mendengarnya, Hinako
menjauh dariku dan menjawab begitu dengan wajah yang
terlihat puas.
Tentu
saja aku tidak akan melupakannya.
Karena alasan aku ingin menjadi pengurus OSIS ialah
untuk menjadi orang mumpuni
yang bisa tetap berada di samping Hinako setelah lulus dari akademi.
Aku tidak
menganggap menjadi pengurus OSIS
sebagai batu loncatan.
Namun, terlepas dari itu, penting juga untuk
memandang ke depan.
“…Ah iya. Hinako, jika kamu tidak
keberatan, apa kamu bisa mengajarkanku tentang manajemen bisnis?”
“Manajemen bisnis…?”
“Ya.
Game manajemen sudah selesai, tetapi aku
ingin terus belajar tentang manajemen bisnis.
Jika ada buku referensi yang kamu gunakan, aku ingin meminjamnya.”
“Hmm,
baiklah. Aku punya banyak, jadi aku akan memeriksanya
di kamarku dan
mencarikannya.”
Banyak,
ya…
Walaupun aku
sudah menyadarinya, tetapi
memang kemampuan manajerial Hinako yang aku saksikan langsung saat game manajemen bukanlah sesuatu yang
bisa dicapai dalam semalam.
Berapa
tahun lagi aku harus menunggu hingga bisa menyusul pencapaiannya?
Tidak,
bisa jadi bukan hanya aku tidak
bisa menyusul, tapi jarak di antara kami
malah semakin jauh.
Sudah kuduga,
bisa berdiri setara di samping Hinako memang sangat sulit.
Itulah
sebabnya… ini menjadi tantangan yang menarik.