Kesepian merupakan emosi yang membahagiakan. Itu adalah hak istimewa bagi orang yang telah mendapatkan kebebasan tanpa terjebak dalam inertia abadi.
Prolog — Asamura Yuuta
Jam yang
tergantung di dinding menunjukkan pukul 7:30 pagi. Aku dan Ayase-san baru saja
mengantarkan ayah yang pergi dengan
terburu-buru, sedangkan Ibuku, Akiko, masih belum pulang dari kerja. Kami akhirnya bisa tenang dan mulai
makan.
Sambil
mengambil ham di depan kami dengan sumpit dan meletakkannya di atas roti
panggang, topik pembicaraan pertama kami di pagi hari adalah tentang
teman-teman kami yang berhasil lulus ujian. Kami merasa
sangat senang karena mereka berdua berhasil diterima di
universitas negeri yang dianggap paling sulit.
Hebat ya,
puji Ayase-san dengan sedikit
semangat. Memang benar. Mereka
berdua merupakan siswa berprestasi di SMA Suisei
dengan peringkat satu digit. Aku pikir kemungkinan mereka untuk lulus cukup tinggi, tapi
ketika melihatnya secara langsung, rasanya sangat menyenangkan dan mengejutkan.
Bagaimanapun juga, kami berempat kini akan menjadi mahasiswa mulai
April.
Dan
karena kami lulus pada jadwal ujian tahap awal, itu berarti kami tidak perlu
memikirkan ujian tahap akhir, sehingga kami bisa kembali bekerja paruh waktu.
Aku dan Ayase-san sudah memberitahu Pak
manajer bahwa kami akan kembali bekerja mulai April. Namun, jika diminta,
mereka pasti bisa segera mengatur jadwal. Mungkin saja aku akan diminta datang
mulai sore ini──.
Nah,
sebenarnya sampai di sini kami cuma melakukan obrolan ringan……
“Mari kita
membahas pokok masalah utama,”
kataku.
Ketika
aku memulai seperti itu, Ayase-san mengangguk sambil mengunyah acar lobak. Setelah selesai mengunyah, dia
membuka mulutnya.
“Masalah
perjalanan kelulusan?”
“Karena
semuanya sudah dipastikan lulus, kita
harus segera bergerak.”
“Aku sudah
menduganya begitu, jadi malam tadi,
aku sudah mencari tahu sedikit tentang 'perjalanan
kelulusan'.”
“Maaf.
Aku belum mencari apa-apa.”
Ayase-san
menggelengkan kepala.
Kemudian
dia mulai menceritakan informasi yang dia temukan di internet.
Rupanya,
untuk perjalanan kelulusan yang mewah,
rencana harus dibuat pada bulan Februari dan memesan hotel serta pesawat
sebulan sebelumnya. Menurutku rasanya itu terlalu
dini. Namun, itu tidak mungkin dilakukan. Sebagai
siswa SMA Suisei yang biasanya hasil ujian baru keluar hingga detik terakhir,
merencanakan sebulan sebelumnya adalah hal yang hampir tidak mungkin.
“Tapi,
kalau begitu, kurasa kita tidak bisa memakai pesawat. Karena kita tidak bisa mendapatkan resevasi.”
“Itu
berarti perjalanan jarak jauh tidak mungkin, ya.”
Dengan
begitu, Okinawa dan Hokkaido keluar dari daftar pilihan. Tentu saja, Hawaii
juga tidak mungkin. Secara anggaran, aku juga tidak ingin menghabiskan terlalu
banyak, jadi aku tidak merasa keberatan.
Dan saat kami sedang membicarakannya, aku
menyadari kalau kami tidak bisa memutuskan semuanya sendiri. Karena ini adalah
perjalanan untuk empat orang, kurasa
kami tidak boleh memutuskan tujuannya sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat
orang lain. Aku yakin bahwa
Narasaka-san dan Maru juga pasti memiliki tempat yang ingin mereka kunjungi.
Oleh
karena itu, aku memutuskan untuk menanyakan pendapat Maru, sementara Ayase-san
akan menanyakan Narasaka-san, dan setelah itu kami akan berbagi informasi setelah mengonfirmasi keinginan mereka
masing-masing.
◇◇◇◇
“Jadi,
apa ada tempat yang ingin kamu
kunjungi?”
“Kurasa Ooarai.”
Setelah
makan siang, aku menghubungi mereka dan menjelaskan bahwa mengingat anggaran
dan jadwal, kami mungkin tidak bisa pergi terlalu jauh. Setelah
berpikir sejenak, Maru mengerang pelan
dan kemudian memberikan jawabannya.
Itu
adalah sebuah kota di pesisir
Samudera Pasifik di Prefektur Ibaraki. Itu adalah pantai terkenal untuk
berenang. Aku juga tahu tentang itu. Namun, saat bulan Maret yang seharusnya
masih dingin, aku meragukan apa di sana beneran
tempat yang ingin dikunjunginya.
Kenapa ÅŒarai?
Ketika aku
bertanya demikian, Maru menyebutkan nama sebuah
anime.
“Ah,
begitu rupanya.”
Bisa
dibilang, itulah yang biasa disebut sebagai ‘berziarah ke lokasi suci’.
Di zaman
sekarang, bahkan dalam anime, sentuhan realisme sangat
dibutuhkan untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari. Karena alasan itulah, sering
kali tempat nyata dijadikan model, dan pemandangan perjalanan pulang pergi
sekolah digambarkan secara langsung. Oleh karena itu, tindakan pergi ke lokasi
yang digambarkan untuk merasakan suasana yang sama dengan para tokoh fiksi
menjadi valid. Inilah yang disebut ziarah tempat suci.
“Aku
sih tidak masalah dengan itu. Tapi, kurasa Ayase-san dan Narasaka-san tidak
akan tertarik.”
“Narasaka
justru menikmatinya.”
“Ehh? Masa?
Rasanya mengejutkan.”
“Ah,
enggak, aku hanya merasa seperti
pernah mendengar sesuatu seperti itu. Namun, yang lebih penting adalah masalah
Ayase, ‘kan?
Betul, kan?”
“Ayase-san?
Hmm, ya mungkin begitu.”
Meskipun
Narasaka-san tidak masalah, sudah pasti Ayase-san
tidak menonton anime yang dimaksud. Kalau gitu,
rasanya sulit untuk mengatakan bahwa Ooarai di awal musim semi merupakan tempat yang bisa dinikmati semua
orang.
Sekarang,
apa yang harus kulakukan?
Saat aku sedang memikirkannya,
terdengar suara ketukan. Aku berkata kepada Maru, “Tunggu sebentar,” lalu menjawab ke arah pintu, “Silakan masuk”. Ayase-san muncul dari celah
pintu yang dibuka.
“Ah,
ternyata kamu memang
melakukannya juga. Aku juga baru saja mulai di sini. Bagaimana kalau kita melakukannya berempat?”
Ayase-san
berkata sambil memegang ponsel. Aku bisa
mendengar suara Narasaka-san dari
ponselnya.
“Kalau
begitu, ayo kita bicarakan lewat panggilan
video aja! Aku
ingin melihat wajah kalian setelah sekian lama!”
Sepertinya
Ayase-san juga setuju dengan usulan Narasaka-san. Memang benar kalau kami belum pernah bertemu setelah lulus. Maru juga setuju, jadi
kami memutuskan untuk memutuskan panggilan dan beralih ke panggilan grup
berempat. Namun, ketika aku dan Ayase-san menggunakan aplikasi di ruangan yang
sama, tampaknya itu tidak
berjalan dengan baik.
Karena kami berada dalam jarak kurang dari
satu meter, jadi suaraku ditangkap oleh ponselku dan ponsel Ayase-san. Hal yang
sama juga terjadi pada ponsel Ayase-san.
“Aku
malah mendengar suara ganda.”
"Aku
tidak mengerti apa yang kamu katakan!”
Itu sangat tidak disukai.
Dalam
situasi ini, kupikir itu akan berjalan lebih baik jika
aku dan Ayase-san masing-masing berada di kamar kami sendiri. Namun, rasanya aneh juga jika dua orang yang tinggal di
bawah atap yang sama harus bersembunyi di kamar masing-masing untuk berbicara
melalui ponsel.
Setelah
mencoba berbagai cara, akhirnya kami berdua memutuskan untuk menggunakan
ponselku saja. Kami duduk berdampingan di tempat tidur supaya kami berdua bisa
terlihat di kamera. Di layar akan ada tiga tampilan: “aku dan Ayase-san”, “Maru”, dan “Narasaka-san”.
Setelah
saling menyapa setelah sekian lama, kami masuk ke pokok pembicaraan.
“Jadi,
kurasa tempat yang bisa dinikmati
semua orang itu penting.”
Misalnya,
kebun binatang, museum seni, museum, akuarium, atau taman hiburan.
Tempat-tempat semacam itu banyak ditemukan di sekitar Kanto.
Begitu
aku mengatakannya, mata Narasaka-san berbinar-binar
dan menyebutkan nama sebuah tempat bermain besar di Chiba. Entah kenapa, nama
tempat itu diawali dengan “Tokyo”. Dalam panggilan grup dengan
video, ekspresi cerahnya bisa terlihat
jelas. Cahaya di matanya berbeda. Seolah-olah dia akan mengenakan bando telinga tikus di kepalanya dan
mulai menari.
Sebaliknya,
Maru terlihat lesu, seolah-olah
cahaya di matanya menghilang.
“Tempat
semacam itu
hanya membuatmu capek saja, tau.”
“Itu sama sekali tidak
benar! Justru sebaliknya,
aku ingin bermain sampai lelah!”
“Apa
yang kamu bicarakan...?”
“Apa
yang dikatakan kapten klub bisbol?”
“‘mantan'.
Aku sudah pensiun sekarang.”
“Kamu
sudah tidak muda lagi.”
“Selain itu,
jika kamu tinggal
di Tokyo dan hanya pergi sejauh Prefektur Chiba
yang letaknya bersebelahan
terasa kurang petualangan. Jika ini adalah perjalanan kelulusan, aku ingin
merasakan seperti bepergian sedikit lebih jauh. Bukan sampai ke luar negeri juga, sih...”
“Ehh~? Kalau begitu Ooarai juga
di Ibaraki, ‘kan? Bukannya itu juga dekat. Ayolah, ayolah, ayo. Jika
Ibaraki diperbolehkan, Chiba juga diperbolehkan dong. Jika Chiba terlalu
dekat, maka Ibaraki juga sama saja.”
“Ugh...”
Setelah tumben-tumbennya kalah dalam perdebatan,
Maru langsung terdiam, mulutnya mengerut
karena cemberut. Aku memulai konferensi video ini untuk mendengar pendapat
mereka, tetapi... Hmm. Sekarang, aku jadi bingung.
Apa ada sesuatu yang menjadi jelas
dari pembicaraan hingga saat ini?
“Narasaka-san,
apa taman hiburan yang
akan kita kunjungi harus
yang ada di Chiba?”
Narasaka-san
menatapku dengan wajah bingung setelah mendengar pertanyaanku.
“Kenapa?”
“Lihat,
bukannya masih ada banyak taman hiburan lainnya?
Betul, kan, Ayase-san?”
“Eh?
Ah, iya, mungkin. Umm... Universal Studio,
Huis Ten Bosch, Puroland, Desa Spanyol Shima...
dan sebagainya. Ya, sepertinya ada banyak sekali.”
Dia mulai
menyebutkan nama-nama tempat yang sepertinya pernah
dicari.
“Nah,
bukannya itu tidak masalah?”
“Tentu
saja.”
Dia
mengatakannya dengan ekspresi seolah itu hal yang sudah jelas, tapi bagiku yang
tidak cukup dekat untuk mengetahui apa yang dianggapnya sebagai hal yang biasa,
itu terasa berat.
“Yang
lebih penting itu bukan di mana kita bermain, tetapi dengan siapa kita bermain.
Jika cuma kita berempat, kebun binatang di Ueno saja sudah oke.”
Narasaka-san
berkata dengan ceria, sementara Maru di ujung layar terlihat cemberut dan
berkata, “Kalau
begitu, Ooarai
juga bagus”.
Itu
benar.
“Apa
yang kamu bicarakan, Tomo-kun? Kita sedang membahas perjalanan kelulusan, ‘kan?”
“Itulah yang ingin aku katakan! Kenapa
aku harus pergi ke tempat permainan yang bisa dijangkau dalam 34 menit dari
Stasiun Shibuya? Mau ke Ooarai
saja membutuhkan waktu dua jam. Itu tiga
setengah kali lebih lama!”
“Lagian,
itu masih perjalanan sehari,
‘kan?”
Itu juga
benar. Maksudku, tak
kusangka Maru sangat mengetahui
tentang waktu yang dibutuhkan.
Sambil
mengamati interaksi mereka, aku menyadari bahwa Ayase-san sedang berpikir dalam
diam di sampingku, jadi aku mencoba meminta
pendapatnya.
“Ayase-san,
tempat seperti apa yang ingin kamu kunjungi?”
“...Hmm, benar juga. Aku ingin mengunjungi tempat-tempat
yang memiliki bangunan bersejarah, seperti kastil, reruntuhan, kuil, atau sejenisnya. Selain
itu, jika bisa, kurasa rasanya akan lebih
menyenangkan untuk pergi ke tempat-tempat dengan makanan lezat atau budaya
menarik di mana aku bisa menemukan hal-hal baru.”
Begitu ya.
Itu adalah pendapat yang sesuai dengan Ayase-san yang
menyukai sejarah.
Aku juga
berpikir ingin mengunjungi tempat-tempat yang
memiliki budaya kehidupan berbeda. Selama tinggal bersama Ayase-san, aku sangat
terkejut dengan perbedaan kebiasaan yang ada. Meskipun kami tinggal di daerah
yang sama seperti Shibuya, perbedaannya tetap ada.
Tempat
yang tampaknya memiliki budaya kehidupan yang berbeda. Selain makanan, aku
ingin merasakan perbedaan nilai dari orang-orang yang tinggal di sana. Meskipun
hanya untuk dua atau tiga malam.
Sekarang
semua pendapat sudah disampaikan.
Jika aku
menggabungkan semua pembicaraan kita sejauh ini, sepertinya Maru ingin melakukan ziarah
ke tempat-tempat suci anime. Narasaka-san tampaknya merasakan arti dari tempat
permainan yang bisa dikunjungi bersama. Dan Ayase-san tertarik pada
tempat-tempat bersejarah, serta tempat dengan budaya kehidupan yang berbeda.
Sambil
mempertimbangkan semua pendapat yang telah muncul, kira-kira apa ada tujuan perjalanan
yang menyenangkan yang bisa kita kunjungi dengan jarak yang cukup jauh?
“Kansai...
mungkin. Maru, apa di sana
ada tempat suci anime di Kansai yang bisa membuatmu puas?”
Setelah
mendengar pertanyaanku, Maru memejamkan
matanya sejenak dan tampak seperti mengingat
sesuatu.
“Hmm...
ada satu tempat. Dari Kandai
hingga sekitar Gunung Senri.”
Di
mana itu?
“Bukannya
itu di Osaka? Kandai itu singkatan dari Kansai Daigaku (Universitas Kansa),
bukan?”
“Ah,
iya. Di sanalah latar belakang dari kisah
yang kuanggap sebagai belahan jiwaku.”
Rasanya sungguh
menakjubkan bahwa sebuah karya dapat disebut sebagai karya yang menyentuh jiwa.
Dan sepertinya Narasaka-san juga memiliki
pemahaman yang cukup mendalam mengenai geografi.
“Kalau
di Osaka, ada Universal Studio.”
Ayase-san ikut menambahkan.
Begitu dia mengatakannya, mata Narasaka-san kembali berbinar.
“Bagus tuh!”
“Tunggu,
tunggu. Mungkin kita baik-baik saja, tapi Asamura, bagaimana denganmu? Jika
kamu tidak segera memberikan pendapatmu, kita akan berakhir diseret-seret di taman hiburan
dan perjalanan kita akan berakhir.”
“Aku
tidak punya tempat tertentu yang ingin kukunjungi. Osaka adalah daerah budaya
yang berbeda, jadi kurasa aku akan mendapatkan pengalaman baru juga di sana.”
“Kamu tidak
boleh begitu, Asamura-kun. Maaya
dan Maru-kun sudah menyampaikan keinginan mereka dengan jelas, dan jika kita beneran pergi Osaka, aku akan merasa puas karena ada banyak
bangunan bersejarah di sekitar sana. Tapi, itu tidak sesuai dengan keinginanmu.”
“Meski dibilang begitu...”
Ayase-san
memandangku dengan sedikit khawatir.
Tapi, aku benar-benar tidak bisa
memikirkan tempat yang ingin aku kunjungi.
“Apa tidak ada sama sekali? Museum,
kebun binatang, museum sejarah, atau akuarium, semuanya baik-baik saja. Seharusnya ada banyak di sekitar
Osaka. Asamura-kun, kamu juga sangat antusias saat kamu pergi ke museum daerah.
Kupikir kamu suka melihat hal-hal
seperti itu.”
“Apa...
iya?”
Aku sendiri tidak begitu menyadarinya,
tetapi menurut Ayase-san, aku lebih antusias melihat pameran dibandingkan
dirinya. Jadi begitu ya.
“Hmm.
Dari semua tempat yang sudah disebutkan...
mungkin akuarium.”
“Oh?
Jadi kamu menyukai
akuarium, Asamura?”
“Karena
ayahku pernah memelihara ikan hias saat aku kecil dulu.”
“Hee~, jadi ayah pernah mempunyai
hobi seperti itu?”
Aku
mengangguk.
Itu
adalah cerita semasa kecil, mungkin
ketika di mana aku mulai menyadari sekelilingku.
Aku ingat suka melihat ikan hias yang dipelihara ayahku. Ikan-ikan tersebut
mencapai akhir hayatnya setelah sekitar dua tahun, aku menangis saat itu, jadi
kami tidak pernah membicarakan untuk membeli ikan baru. Sekarang, aku yakin
akuarium itu terletak di bagian belakang gudang rumah.
Ikan-ikan
yang berenang santai di dalam air, tanaman air yang bergoyang, dan gelembung
udara yang naik perlahan. Mobil plastik yang tenggelam di dalam air
berputar-putar didorong oleh gelembung yang naik. Sinar matahari yang menembus
kaca akuarium memantulkan cahaya berwarna-warni di atas meja. Aku tidak pernah merasa bosan hanya dengan melihat semua
itu.
“Yah, meskipun tidak harus akuarium juga sih. Aku
punya kenangan menyenangkan saat diajak ayahku berkeliling ke berbagai tempat di masa lalu. Museum atau kebun
binatang juga bisa.”
Aku
tenggelam dalam belajar untuk ujian demi memenuhi harapan ibuku, tapi setelah gagal ujian, aku
mengalami masa di mana aku jadi benci belajar. Saat itu, ayahku yang khawatir mulai membawaku pergi ke berbagai
tempat untuk merangsang rasa ingin tahuku.
“Ada
tempat bernama ‘Aqua World’
tepat di sebelah Universal Studios.”
Narasaka-san
yang tampaknya sedang mengutak-atik ponselnya mengalihkan pandangannya ke
arahku dan berkata.
“Di
sana ada akuarium besar yang mereproduksi lautan Pasifik! Di situ tertulis juga
ada ikan-ikan besar.”
“Oh,
bukankah ada hiu paus di sana?”
“Asamura-kun,
kamu tahu banyak, ya!”
Narasaka-san
memujiku, tetapi sayangnya, aku hanya melihatnya di berita. Aku tidak begitu berpengathuian, tetapi sepertinya semua
orang mengira aku suka ikan.
“Hmm.
Kurasa semuanya sudah beres. Jadi,
bagaimana kalau kita memasukkan Aqua World ke dalam rencana perjalanan ke
Kansai?”
Maru menyimpulkan pembicaraan, dan
Ayase-san serta yang lainnya setuju.
“Baiklah.
Tunggu sebentar.”
Selama
sekitar 10 menit, aku menyerahkan percakapan dengan Maru dan Narasaka-san
kepada Ayase-san, dan keluar dari jangkauan
kamera.
Aku
menggunakan selembar kertas dari buku catatan di atas mejaku untuk
menuliskan rencana kasar dengan spidol.
Setelah
beberapa saat, aku kembali ke depan kamera. Aku membalik catatan dan
menunjukkan kepada semua orang.
Catatan
yang sudah dirangkum terlihat seperti ini:
______________________________________________________
● Hari
Pertama
¾
Shinagawa →
Shin-Osaka (pagi-pagi, Shinkansen)
¾
Setelah check-in di hotel,
menjelajahi pusat Osaka (‘Kastil
Osaka’ →
‘Dotonbori’ →
‘Namba Grand Kanze’)
● Hari
Kedua
¾
Universal Studios Japan
● Hari
Ketiga
¾
Setelah check-out dari hotel,
berjalan-jalan di sekitar ‘Stasiun
Kansai’ di pagi
hari. Ziarah ke tempat suci.
¾
Setelah makan siang, pergi ke ‘Aqua World’.
¾
Stasiun Pelabuhan Osaka →
Shin-Osaka → Shinagawa (malam, Shinkansen)
______________________________________________________
“Bagaimana
dengan jadwal seperti ini?”
Kita akan
menginap di hotel dekat Stasiun Shin-Osaka dan jalan-jalan di Osaka. Dengan begini, harapan semua orang dapat
terpenuhi.
“Aku
sudah mengaturnya sehingga hari pertama adalah hari untuk merasakan sejarah dan
budaya yang berbeda, hari kedua adalah taman hiburan, dan hari ketiga adalah
ziarah ke tempat suci dan akuarium.”
Dengan
begitu, rencana ini sepertinya bisa memenuhi keinginan semua
orang, dan kami semua
bisa bersenang-senang.
Mereka bertiga
melihat catatanku dan mulai memberikan pendapat mereka, saling memeriksa lokasi
di peta ponsel.
Ayase-san
mengangguk setuju, tapi kemudian dia berkata dengan nada cemas,
“Hmm,
bukannya jadwal ini terlalu padat bagi keinginan Asamura-kun dan Maru-kun?”
Narasaka-san
di sisi layar juga ikut mengangguk.
“Kalian tidak perlu memberi kami
perlakuan khusus, oke?”
“Tidak,
aku tidak bermaksud begitu.”
Ini
bukanlah pembagian waktu yang ditujukan untuk orang tertentu, melainkan hasil
dari mencari solusi optimal dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk
mengunjungi tempat-tempat yang diinginkan.
“Yah, kelihatannya memang begitu. Tapi, kita membutuhkan banyak waktu untuk berziarah ke tempat suci. Aku tidak
berpikir untuk bersenang-senang secara berlebihan di tempat suci. Kurasa itu merupakan tindakan
yang seharusnya dihindari sebagai
penggemar anime. Aku hanya ingin berjalan dengan tenang dan santai, merasakan kembali kenangan nostalgia
sambil mengunjungi tempat-tempat berkesan.”
“Walaupun
kenangan itu tidak ada dalam kenyataan, sih~.”
“Kamu ini
bicara apa? Pengalaman yang menyerupai juga termasuk
dalam pengalaman. Berbagai pengalaman akan memperindah hidup.”
“Ucapanmu
terdengar bijak, tetapi kadang-kadang apa yang kamu katakan sama dengan apa
yang dikatakan adik-adikku.”
“Sudah,
sudah. Pokoknya,
kami para laki-laki tidak
memaksakan diri, dan jika kita mengambil kereta Shinkansen
di menit-menit terakhir, kita akan punya
banyak cukup waktu.”
Pada
dasarnya, aku tidak ingin memilih
tempat yang mungkin akan membuat
seseorang merasa bosan.
“Bagi
Ayase-san, daerah sekitar Stasiun Kansai bukanlah tempat suci penggemar annime, tetapi
hanya dengan berjalan-jalan
di kota biasa di Kansai sudah bisa menjadi pengalaman lintas budaya.”
“Berjalan-jalan di kota biasa juga bagus. Tidak
harus di tempat yang memiliki nilai sejarah.”
“Maru
juga bukannya tidak benar-benar membenci dengan Universal Studios, ‘kan?”
“Yah, bisa dibilang begitu. Karena
di sana bukan hanya ada film saja, tetapi juga kolaborasi
dengan manga dan anime semakin berkembang. Aku selalu ingin pergi ke sana
sekali.”
“Aku
juga ingin melihat hiu paus~!”
Jadi begitulah.
Setiap tempat yang diinginkan bukanlah tempat yang tidak ingin dikunjungi oleh
orang lain. Semua orang saling memberikan harapan dengan asumsi bahwa mereka
akan menikmati masing-masing tempat.
“Jadi,
kurasa pembagian seperti ini sudah baik."
Ketika aku
mengatakan itu, Ayase-san, Narasaka-san, dan Maru tampaknya setuju.
“Asamura-kun,
kamu pintar merangkum, ya. Semuanya sudah sangat terorganisir dengan baik. Kamu bisa membuatnya
dalam waktu sekitar 10 menit, luar biasa banget.”
Ayase-san
berkata demikian sambil melihat ringkasan jadwal
yang aku tulis dengan spidol.
“Rasanya
agak canggung jika aku dipuji hanya untuk hal seperti ini.”
“Itu sama
sekali tidak benar. Bagus sekali!”
“Ah...
ya, terima kasih.”
Meskipun
aku mengucapkan kata-kata terima kasih dengan tulus, sebenarnya aku merasa malu.
“Baiklah, kalau begitu, kita berdua akan merinci
detailnya berdasarkan rangkuman ini,
ya?”
“Benar.”
“Yup. Kurasa ini membuat segalanya
jauh lebih mudah. Terima kasih, Asamura-kun.”
“Tidak,
tidak. Ini tidak seberapa.”
“Sejujurnya,
jika hanya aku, aku takkan bisa merangkumnya secepat ini... apa?”
Ayase-san
melihat wajah Narasaka-san di sisi lain layar.
Pandanganku juga mengikutinya.
Narasaka-san
tersenyum lebar seperti kucing, senyumannya
mengingatkanku pada Yomiuri-senpai.
“Enggak~~...
menontonnya melalui layar seperti ini rasanya jadi
suguhan tersendiri untuk mataku.”
“Hahh?”
“Syukurlah
hubungan kalian masih sangat dekat seperti biasanya.
Begitulah yang kumaksud~”
“Umu.
Ayo kita simpan percakapan tadi dan mengeditnya
untuk diposting. Mungkin saja itu bisa
viral.”
“Ayo kita
beri judul 'Stand-up Komedi Pasutri'~ dan mempostingnya~!”
“Ap-Apa sih yang kalian katakan?”
Mendengar
perkataan mereka berdua,
Ayase-san tumben-tumbennya kelihatan
marah sekaligus merasa malu.
“Rapat
perjalanan kelulusan sampai di sini saja!”
Dia
mengumumkan sepihak dan memutuskan panggilan. Dia terlihat terengah-engah.
“Haah.... haah.... Mouu, dasar
Maaya!”
“Sudah,
sudah, tenanglah dulu.
Mereka berdua cuma bercanda saja, kok.”
“Ak-Aku tahu, tapi tetap saja...”
“Lebih
penting lagi, karena kamu berteriak, jadi—”
Aku
menempelkan satu tangan di telinga dan berpose seolah mendengarkan. Aku
mendengar suara dari ruang tamu. Itu suara Akiko-kaasan.
Dia bertanya, ‘Kalian
berdua ada di sini?’. Saat
melihat jam, waktunya sudah
lewat pukul 2 siang.
“Sepertinya
dia sudah bangun.”
Sebenarnya,
kami tidak melakukan hal yang
mencurigakan (kami sudah
memberi tahu orang tua bahwa kami berempat akan pergi untuk perjalanan
kelulusan), jadi kami tidak
perlu panik, tetapi Ayase-san tetap buru-buru keluar dari kamarku dan pergi menuju ruang tamu.
Aku yang ditinggal sendirian di kamar melihat kembali
ringkasan jadwal yang kubuat.
Nah...
jika memikirkan jadwal
semua orang, mungkin hanya tersisa sekitar 10 hari sebelum perjalanan.
Pertama-tama,
kita harus menentukan tanggal dan memesan hotel. Setelah itu, kita bisa merinci
rencana lebih lanjut.
Meskipun
aku lebih suka membaca buku di rumah dan tidak bisa dibilang sebagai orang yang
suka bepergian, setelah mulai bergerak, aku menemukan diriku mulai merasa
bersemangat dan sangat menantikan perjalanan kali
ini.
