Gimai Seikatsu Volume 14 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — 22 Maret (Selasa) Asamura Yuuta

 

Pukul 7 pagi. 

Setelah berhasil melewati kerumunan penumpang dan pelajar, aku dan Ayase-san akhirnya sampai di depan pintu masuk stasiun Shinkansen. Di depan gerbang, ada papan petunjuk yang menggantung, menampilkan nama kereta Shinkansen yang akan kami naiki dan waktu keberangkatannya. Hari ini merupakan awal dari perjalanan kelulusan selama tiga hari. 

“Oy. Ke sini, ke sini. Akhirnya kalian datang juga.” 

Aku menoleh ke arah suara itu. Di sana sudah ada Maru. Dirinya berada di area kosong dekat tembok di samping gerbang tiket. 

Maru memegang smartphone di satu tangan dan melambaikan tangan satunya ke arah kami. Setelah melakukan kontak mata, ia menundukkan pandangannya ke smartphone dan mulai mengetuk layar. Sepertinya ia sedang bermain game sosial untuk menghabiskan waktu. Aku dan Ayase-san mendekati Maru sambil menggulir koper. 

“Maru-kun, kamu datanya cepat sekali, ya.”

“Apa kamu sudah menunggu lama?”

Ketika Ayase-san dan aku bertanya bergantian, Maru menjawab dengan santai, “Ah, hanya sekitar 10 menit”. Namun, mengingat kami tiba 20 menit lebih awal dari waktu yang dijadwalkan, itu berarti Maru sudah tiba 30 menit lebih awal—itu masih terlalu cepat, pikirku. Ketika aku mengungkapkan hal itu, Maru mulai menceritakan kenangan sedihnya dari masa SMP. 

Ia pernah terlambat berangkat dari rumah untuk acara yang sangat dinantikannya, sehingga terjebak dalam keterlambatan kereta dan tidak bisa tiba tepat waktu. 

“Sejak saat itu, aku selalu berusaha untuk berangkat dari rumah dengan cukup waktu.”

“Begitu, ya.” 

“Apalagi kalau ketinggalan Shinkansen, jika sampai terlambat itu sih bukan main-main...”

Sambil mengatakan itu, Maru melihat ke kiri dan kanan. Terkait dengan itu, aku dan Ayase-san juga mulai memperhatikan kerumunan orang yang berlalu lalang. Benar sekali, Narasaka-san masih belum datang. Saat itu, bunyi notifikasi dari smartphone Maru berbunyi. Hampir bersamaan, smartphone-ku juga memberi tahu tentang adanya pesan baru. Ayase-san juga mengeluarkan smartphone-nya dari saku. 

“Dasar anak itu...”

Maru mengerutkan wajahnya. 

“Sepertinya dia masih di dalam kereta,” kata Ayase-san. 

Saat aku memeriksa pesan LINE-ku, ada stiker yang dikirim di obrolan grup. Stiker kucing yang berlari dengan segala kekuatannya. Di ilustrasinya tertulis “Uoooh!” sebagai dialog. Narasaka-san, kurasa kamu takkan bisa sampai lebih cepat meskipun kamu berlarian di dalam kereta. 

“Dia selalu saja begini setiap kali kita berkumpul...” 

Maru berkata dengan wajah terkejut. 

“Sudah, sudah, lagian sekarang belum sampai waktu berkumpul juga. Lagipula...”

“Ah, dia datang.”

Suara Ayase-san membuatku dan Maru menoleh, kami melihat Narasaka-san berlari ke arah kami dengan koper merahnya yang bergetaran. Dia tiba dengan napas terengah-engah. 

“Ma-Maaf sudah membuat kalian menunggu!” 

“Kami tidak menunggu. Kami masih ada waktu sebelum waktu yang dijadwalkan.” 

Sambil mengatakan itu, Maru melihat ke arah jam di stasiun. Ia tidak menekankan kalau dirinya lah yang pertama tiba, itu memang sifat Maru. 

Ayase-san menyapa. 

Jangan khawatir, Maaya. Masih ada 15 menit sebelum keberangkatan.” 

“Ah, benar ya.” 

“Kalau begitu, aku akan membagikan tiket dan tiket ekspres. Ini dia.” 

Sambil berkata demikian, aku mengeluarkan tiket untuk semua orang dan memberikannya. 

Kami memasukkan tiket yang dipegang ke mesin tiket otomatis, lalu mengambil tiket yang keluar. Meskipun kami masih punya banyak waktu, tapi rasanya tidak lucu juga jika kami ketinggalan kereta. Kami melewati toko yang menjual bento yang terlihat di tangan kiri dan menuju eskalator turun yang mengarah ke peron. 

“Ah, bento stasiun!”

Kami menginjak rem mendadak. 

Bagaikan ngengat yang tertarik oleh cahaya, Narasaka-san terhuyung-huyung menuju toko bento yang terlihat di sebelah kiri. 

“Wow! Ada bento daging sapi panggang arang! Kelihatannya enak!” 

“Hey, Narasaka!” 

Maru berlari mengejarnya dengan panik. 

Umu, bento tonkatsu potongan tebal ini juga tidak kalah menarik. Ya, ya. Memang, bagian terbaik dari bepergian adalah bentonya.” 

Bentonya’ dengkulmu. Kamu ini—” 

Kamu tidak mau makan, Tomo-kun? Apa kamu tidak lapar? Kan? Atau, sudah kenyang?” 

“Ah, tidak. Aku belum makan.” 

Kamu mau pilih yang mana? Daging sapi panggang atau tonkatsu?” 

“Keseimbangan lebih penting daripada hanya daging. Aku lebih suka yang ini di mana aku bisa makan daging dan ikan—eh, bukan itu!” 

“Kalau begitu, aku akan memilih daging sapi panggang. Oh, bento Fukagawa di sini juga terlihat enak.” 

“Na-ra-sa-ka!” 

Narasaka-san berbalik dengan cepat. 

“Bersuara keras di depan toko itu mengganggu, lho?” 

“Kamu ini—” 

Aku menepuk bahu Maru yang terlihat terkejut. 

Sudah, sudah, tenanglah dulu. Kita masih ada waktu lebih dari 10 menit.” 

“Kami juga belum sarapan, jadi bagaimana kalau kita beli untuk berempat di sini?” 

Ayase-san berkata dengan nada membujuk, dan kami masing-masing membeli bento yang disukai sebelum menuju eskalator turun ke tempat keberangkatan. Tak lama kemudian, kereta yang kami naiki meluncur masuk ke peron. Kereta berangkat dari Stasiun Shinagawa tepat waktu.

Tempat duduk yang kami pesan merupakan tipe kursi berdua yang berhadapan, dan setelah memeriksa catatan yang ada, sepertinya diperbolehkan untuk memutarnya, jadi kami memutarnya dan duduk (tentu saja, jika ada orang lain di kursi yang bisa diputar itu, kami tidak bisa hanya mengubah tempat duduk demi kenyamanan kami sendiri, jadi penting untuk memastikan bahwa tidak mengganggu orang lain. Untungnya, kursi di depan dan belakang kami kosong, jadi tidak perlu meminta izin). 

Narasaka-san duduk di sisi lorong dan Maru duduk di sebelahnya. Aku duduk di dekat jendela di seberangnya, dan Ayase-san di sisi lorong. 

Kami menyimpan barang-barang di rak dan saling duduk berhadapan sambil memegang empat bento dan minuman. Kereta yang mulai melaju ini hampir tidak terasa berguncang. Ini memang kereta Shinkansen yang membanggakan dunia. Pemandangan di luar jendela dengan cepat meluncur ke belakang. Di balik pemandangan kota Shinagawa yang mengalir, langit biru cerah terbentang. Suhu cuacanya juga sudah cukup hangat saat waktu pertemuan, jadi hari ini sepertinya akan menjadi hari yang hangat seperti musim semi. 

“Ah, akhirnya bisa bernafas lega!” 

“Kalau kamu tidak bilang akan membeli bento, mungkin kita bisa melakukannya dengan sedikit lebih nyaman.” 

“Eh? Tapi, bento itu penting, kan?” 

Narasaka berkata demikian sambil menunjukkan bento di pangkuannya. 

“Aku tidak bilang kalau aku tidak membutuhkannya.” 

“Kamu ini memang tidak jujur, ya.” 

“Tapi, ini pas banget. Kami datang lebih awal dan aku sudah menyerah untuk sarapan.” 

“Ngomong-ngomong, aku juga penasaran dengan itu. Apa kalian semua tidak sarapan?” 

Sambil berkata begitu, Narasaka-san mulai mengendurkan tali bentonya

“Tunggu sebentar. Kalau begitu, apa itu berarti kamu sudah sarapan?” 

Mana mungkin kita tidak sarapan, kan? Itu tidak baik untuk kesehatan, loh? Saki juga pasti sudah makan sedikit, kan?” 

“Ya... mungkin... satu apel?” 

Ayase-san mengatakan itu apa adanya, dia memang sudah makan setengah apel yang dipotong. Tapi—eh, Narasaka-san, apa kamu sudah mau memakannya

Aku tidak mempercayainya. Narasaka-san dengan sopan menggabungkan kedua tangan dan mengucapkan itadakimasu sebelum memasukkan sumpit ke dalam bento di pangkuannya. Akhirnya, Narasaka-san memilih Fukagawa-meshi, yaitu nasi yang dimasak dengan kerang dan sayuran, disajikan dengan kuah kaldu, dan nasinya dimasak dengan bumbu ini. Narasaka-san mengambil nasi berwarna coklat yang tercampur dengan kerang dan sayuran menggunakan sumpit dan memasukkannya ke mulutnya. 

“Hmm. Enak!” 

Aroma kuah yang harum dari kotak bento menyebar ke arah kami dan membuat selera makan meningkat. Perutku hampir dibuat keroncongan.

Ayase-san menatap bento di pangkuannya sendiri

“Rasanya masih sedikit terlalu pagi, tapi jika dianggap sebagai sarapan…” 

Dia benar-benar terpancing. 

Kurasa tidak apa-apa untuk mulai makan. Saat kita tiba, pasti sudah waktunya untuk lapar.” 

Ketika aku mengatakan itu, Maru juga mengangguk setuju. 

Astaga, kamu tampak sangat bahagia saat makan.” 

“Enak~. Aku bahagia~. Tomo-kun, ada batas berapa kali manusia bisa makan dalam seumur hidup, kan? Jadi setiap makanan itu penting. Tidak boleh disia-siakan. Mengerti?” 

Iya, iya.” 

“Makanan yang enak, pemandangan indah di luar jendela, dan percakapan menyenangkan dengan teman dekat──oh, ini, aku mengaitkan teman dengan Tomo-kun! Mengerti?” 

“Ya, ya.” 

“Percakapan yang menyenangkan dengan teman. Inilah inti dari perjalanan yang sesungguhnya~.” 

Aku sudah mengerti, jadi makanlah. Makanlah dengan tenang.” 

Mereka tampak akrab. Ayase-san juga berpikir hal yang sama, dia berkata, 

“Maaya, kamu kelihatannya cukup akrab dengan Maru-kun, ya.” 

“Karena kami sudah bersama sejak perjalanan sekolah, dan kita berempat sudah berkumpul lebih dari setahun.” 

Sejak perjalanan sekolah? 

Aku hampir bertanya kepadanya, tetapi kemudian teringat. Oh ya, pada hari kedua perjalanan ke Singapura di kebun binatang, kelompok kami yang dipimpin Maru dan kelompok Ayase-san yang dipimpin Narasaka-san berkeliling bersama. Kami kebetulan bertemu di pintu masuk kebun binatang dan kemudian menyesuaikan jadwal sampai makan malam di Night Safari. 

“Waktu itu, aku juga ingin berkeliling lebih banyak bersama-sama.” 

“Yah, selama dua tahun kami terpisah kelas. Selain Maaya, aku tidak terlalu sering bertemu dengan Maru-kun.” 

“Benar. Kamu datang saat turnamen musim panas, tapi kami tidak banyak berbicara. Aku dengar kamu menemani Narasaka untuk mendukung pertandinganku… meskipun sudah terlambat, terima kasih banyak.” 

“Tidak, sebaliknya. Pertandingan bisbol itu cukup menarik.” 

“Kamu terdengar sangat formal.” 

“Karena aku bilang kami tidak banyak berbicara.” 

“Serius? Rasanya kami selalu bermain berempat. Hmm, enak! Bahkan saat dingin pun masih enak, ya?” 

Narasaka-san mengunyah Fukagawa-meshi sambil berkata. 

“Ya, tapi aku juga merasakan hal yang sama. Seperti yang dikatakan Ayase-san. Aku tidak punya banyak kenangan berbicara dengan Narasaka-san. Aku hanya mendengarnya sesekali dari Maru.” 

Ketika aku mengatakan itu, Narasaka-san mengangguk seolah-olah mengerti. 

“Itu dia! Karena aku dan Tomo-kun sering membicarakan kalian berdua. Jadi rasanya kami sudah menghabiskan waktu berempat selamanya!” 

“Sering?” 

Dia mengangguk-angguk. Dengan makanan di pipinya, dia terlihat seperti hewan kecil. 

Oh, ada sebutir nasi di samping bibirnya. 

Sudah kubilang, makanlah dengan tenang. Jangan berbicara dengan nasi di mulutmu.” 

“Eh?” 

Jangan ‘Eh?’ begitu. Lihatlah.”

Maru mengulurkan jarinya dan mengambil butir nasi yang menempel di bibirnya, lalu Narasaka-san menggigitnya seolah mengambil sisa makanan dari jarinya. 

Hah? 

Eh? Jangan-jangan...

“Maru dan Narasaka-san… kalian berdua pacaran?” 

Kalimat itu tiba-tiba muncul di pikiranku dan keluar dari bibirku sebelum aku menyadarinya. 

Begitu aku mengatakannya, ekspresi Ayase-san yang duduk di sebelahku juga ikutan berubah. 

Dia mengubah bentuk mulutnya menjadi huruf “a” dengan ekspresi terkejut. Oh. Ini, jangan-jangan sesuatu yang tidak seharusnya kukatakan? Maru juga terlihat sedikit panik saat melihat Narasaka-san, tetapi Narasaka-san justru tampak bingung. 

Iya, memang begitu.” 

...Ja-Jadi kalian beneran pacaran ya.” 

Dia mengiyakannya dengan santai. Maru malah terlihat lebih panik dan berkata, “Kamu yang membuatnya terdengar begitu!” sambil menyalahkan Narasaka-san, tapi aku berpikir, tidak, tindakan Maru yang lebih… 

“Eh, kupikir kamu sudah menyadarinya~. Atau lebih tepatnya, Asamura-kun baru menyadarinya sekarang? Aku sudah berpikir kalau kita melakukan kencan ganda saat kita berempat merencanakan perjalanan kelulusan~.” 

Aku memang merasa kalau hubungan mereka berdua sangat dekat. Meskipun begitu, aku tidak pernah menyangka hubungan mereka sampai sejauh itu. 

Ah… jadi begitu. 

“Maru, yang sebelumnya sering mengisyaratkan tentang aku dan Ayase-san, mungkin karena kamu mendengar dari Narasaka-san ya…” 

Hal yang selama ini terasa tidak jelas kini menjadi lebih masuk akal di benakku. Maru, yang jarang terlihat panik, kini tampak kebingungan dan berkata “Ah” dan “Eh…” dengan gagap. 

“Ya, maaf jika aku mendapatkan informasi dengan cara yang tidak pantas.” 

Menurutku itu bukan terlalu tidak pantas. Aku tidak mempermasalahkannya.” 

“Ya. Aku juga tidak mempermasalahkannya.” 

“Hmm. Hmm. Terima kasih jika kamu berkata begitu.” 

Maru berkata dengan canggung, dan aku tidak bisa menahan senyum. Maru yang besar itu tampak kecil dan canggung saat itu. Aku menganggap Maru sebagai orang yang jujur, tulus, dan cerdas, tetapi aku juga berpikir ia adalah orang yang tenang dan tidak mudah terpengaruh, jadi aku jarang melihatnya tampak begitu canggung atau malu. 

Dan ada bagian dari diriku yang merasa senang melihat sisi Maru yang tidak terduga. 

Kenapa kamu malah cengar-cengir begitu?” 

Enggak, aku hanya berpikir ini mengejutkan. Tapi, sisi Maru yang tidak terduga juga tidak buruk.” 

“Jangan menggodaku.” 

Ekspresinya sedikit merengut, yang justru semakin… 

Iya ‘kan! Jadi kamu menyadarinya juga ya, Asamura-kun! Itulah yang membuatnya menggemaskan!” 

Narasaka-san berteriak seolah bisa membaca perasaanku. 

Me-Menggemaskan, kamu ini....” 

“Tidak, tidak. Ekspresi malu-malu dari seorang pria yang biasanya hanya mengatakan hal-hal cerdas!! Itu sangat berharga!” 

Narasaka kemudian mulai menyebutkan semua keimutan’ Maru dengan kecepatan seperti senapan mesin, dan hal itu membuat Maru menunjukkan wajah cemberut. 

Yah, menurutku itu justru akan berdampak sebaliknya jika ia menunjukkan wajah seperti itu.

Aku dan Ayase-san terus menyantap sisa bento dari stasiun sambil mendengarkan cerita tentang bagaimana Maru dan Narasaka-san saling mengenal. 

Sebenarnya──. 

Ketika mereka bertemu, rupanya mereka berdua tidak saling mengetahui bahwa mereka merupakan murid seangkatan di SMA Suisei. 

Mereka berteman di server yang sama dalam sebuah game──meskipun aku tidak bermain game online, jadi aku tidak sepenuhnya paham apa artinya itu. 

Karena mereka sangat klop saat berbicara, jadi mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan offline──aku tahu bahwa ini berarti bertemu secara langsung untuk bermain──dan ternyata mereka adalah teman seangkatan

“Awalnya, aku diminta untuk membelikan barang-barang dari sebuah anime. Mana mungkin aku meminta alamat wanita yang tidak aku kenal, jadi aku mengusulkan untuk mengirimkannya melalui minimarket, tetapi kami berdua sebenarnya sudah menyadari bahwa kami tinggal berdekatan satu sama lain. Dia bilang tidak masalah kalau kami bertemu.” 

Jadi, mereka sudah membangun kepercayaan sampai sejauh itu. Ini memang sangat Maru. 

“Tapi, memangnya kalian sama-sama tidak ada yang menyadarinya?” 

Menanggapi pertanyaanku, Maru menjelaskan alasannya. 

Aku menggunakan nama samaranku di internet, dan Narasaka berpura-pura menjadi mahasiswi dewasa dalam profilnya. Itu penipuan, benar-benar penipuan.” 

Sembarangan saja kalau menuduh! Itu untuk perlindungan diri. Ada orang yang mencoba menggodaku hanya karena aku seorang pelajar SMA. Orang-orang cenderung meremehkanku. Jadi, demi menghindari hal itu, lebih baik mengaku sebagai wanita dewasa.” 

“Begitu?” 

Maru terlihat bingung, dan meskipun aku juga merasa ragu, aku tidak bisa membantahnya

“Kalau sampai harus memalsukan jenis kelamin, aku harus memodifikasi suaraku dengan alat pengubah suara, tapi aku tidak bisa menggunakan bahasa laki-laki. Aku tidak ingin orang-orang menyelidiki di sekolah. Itu adalah perlindungan diri yang minimal!” 

“Baiklah, mari kita anggap begitu saja.” Ujar Maru.

Jadi, ketika mereka benar-benar bertemu, mereka sama-sama terkejut. Meskipun Maru dan Narasaka-san tidak pernah sekelas, mereka ternyata sudah tahu tentang keberadaan satu sama lain. Oh ya, aku juga mendengar dari Maru bahwa Narasaka-san adalah orang terkenal. Hal itu terjadi sekitar waktu keluarga Ayase-san mulai tinggal bersama. 

Sementara kami mendengarkan cerita tersebut, kereta Shinkansen terus melaju. 

Ketika Narasaka-san mulai berbicara, aku bisa melihat Gunung Fuji di luar jendela kereta, tetapi saat dia selesai, kami sudah melewati Shizuoka. 

Jika ceritanya diringkas, Maru dan Narasaka-san bertemu dalam pertemuan offline, dan ternyata mereka berdua merupakan temanku dan Ayase-san, yang membuat kedekatan mereka semakin meningkat. Mereka saling berbagi informasi tentang teman-teman mereka dan tanpa sadar menjadi akrab, meskipun mereka tidak menyangka akan menjadi sepasang kekasih.

Pada saat itu, kereta Shinkansen yang seharusnya tenang tiba-tiba bergoyang sesaat. Jendela di sisi kanan arah perjalanan kami bergetar lembut. Aku juga mendengar suara samar seperti dengungan di telinga. Ketika aku menyadari bahwa kami telah berpapasan dengan kereta Shinkansen lain yang melaju ke arah berlawanan, kereta itu sudah jauh di kejauhan. 

Di luar jendela, pemandangan musim semi yang tenang kembali terlihat. 

“Bi-Bikin kaget saja!” 

Narasaka-san yang duduk di dekat jendela berkata sambil mengelus dadanya. 

Kamu terlalu kagetan. Seharusnya kamu sudah sering mengalami berpapasan dengan kereta di jalur pegunungan.” 

“Itu sama sekali berbeda! Karena itu berlangsung sangat cepat dan aku tidak bisa melihat kereta di dalamnya!” 

Kereta itu penuh sesak.” 

“Kamu bisa melihatnya dengan jelas, ya?” 

“Jangan langsung percaya begitu. Aku cuma mengatakannya sembarangan.” 

“Apaaa? Kupikir Tomo-kun memang bisa melihatnya, jadi aku terkesan. Lagipula, kamu ‘kan kapten klub bisbol!” 

“Kamu terlalu memujiku.” 

“Kembalikan perasaan terkesanku itu!” 

Aku takkan mengembalikannya secara gratis.” 

“Eh? Aku sudah makan bentoku!” 

“Aku tidak memintamu untuk menyerahkan bento.” 

“Bagaimana ini, Asamura-kun, Tomo-kun sangat nakal!” 

Ap—! Apa yang kamu katakana sih!” 

Maru yang sebelumnya tenang tiba-tiba panik dan mengatakannya, membuatku tidak bisa menahan tawa. 

“Lihat, ia jadi menertawakanku.” 

“Karena kamu yang membuatnya tertawa, jadi tidak masalah. Iya ‘kan, Asamura-kun!” 

“Ah, iya, benar. Sebenarnya, aku juga terhibur. Kalian berdua kelihatan sangat serasi.” 

Maru terlihat malu dan menundukkan wajahnya setelah mendengar perkataanku. Melihat itu, Narasaka-san mengarahkan jari V ke arahku. Ah, ya. Kurasa ini jelas-jelas kemenangan Narasaka-san. 

Namun, dari apa yang kudengar, sepertinya mereka baru menjalin hubungan selama sekitar satu tahun, tetapi mereka tampak seperti sudah bersama bertahun-tahun. Jika dibandingkan dengan kedekatan mereka, hubunganku dan Ayase-san terasa sangat lambat. 

Aku menyadari Ayase-san yang ada di sudut pandangku sedang menatap wajah Narasaka-san dan Maru secara bergantian. 

“Ada apa? Ayase-san?” 

“Ah, tidak, ya. Bukan apa-apa.” 

Dia menjawab begitu, tetapi entah kenapa wajah Ayase-san yang menatap mereka tampak merah. Kemudian, dia tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari Maru dan Narasaka-san dan mulai menatap pemandangan di luar jendela. Atau lebih tepatnya, berpura-pura melihat. …Apa yang terjadi? Aku merasa curiga, tetapi Ayase-san tetap menatap ke luar jendela tanpa berusaha menoleh ke arahku.

Saat kami melewati Toyohashi, akhirnya Ayase-san mengalihkan pandangannya dari jendela. Ekspresinya kembali ke wajahnya yang biasanya tenang. Tidak ada perubahan khusus dalam tatapannya saat melihat Narasaka-san dan Maru, dan meskipun aku masih bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, aku melupakan hal itu saat terjebak dalam percakapan yang ceria. 

Kereta Shinkansen meluncur masuk ke peron Stasiun Shin-Osaka sesuai dengan jadwal

Rencana untuk hari pertama adalah berwisata di Osaka. 

“Pertama-tama, kita akan menitipkan barang bawaan kita di hotel. Itu benar, kan, Asamura?” 

Aku mengangguk mendengar kata-kata Maru. Meskipun aku tidak membuat rencana perjalanan yang rinci, aku sudah mencatat jadwal perjalanan di ponselku. Baik aku maupun Ayase-san tidak bisa hanya bergantung pada orang lain; kami ingin secara aktif mempertahankan hubungan persahabatan dengan Maru dan Narasaka-san, itulah sebabnya kami memutuskan untuk melakukan perjalanan kelulusan. 

“Begitulah rencananya. Tempatnya tidak sampai lima menit berjalan kaki dari stasiun.” 

“Maaf karena sudah mempercayakan pengaturan hotel padamu.” 

“Tidak apa-apa. Karena aku dan Ayase-san lah yang mengusulkan perjalanan ini, jadi percayakan saja padaku.” 

Ayase-san juga mengangguk setuju di sampingku. 

“Kalau begitu, mari kita cepat ke hotel.” 

“Selama kita bisa sampai, sih. Kita harus keluar dari Stasiun Shin-Osaka dulu, kan?” 

Narasaka-san menggelengkan kepalanya dengan lembut menanggapi kata-kata Maru. 

“Apa maksudnya?” 

Ayase-san tampak bingung, tetapi aku agak mengerti. 

“Mungkin maksudnya kita harus melewati labirin Shin-Osaka dulu agar bisa sampai ke hotel.” 

Maksudnya kita bisa saja tersesat?” 

“Betul banget.” 

Seperti yang sering terjadi di stasiun besar di Jepang modern, stasiun tersebut menjadi rumit karena banyaknya jalur yang masuk. Tidak jarang orang merasa sudah mengikuti papan petunjuk, tetapi tiba-tiba berada di tempat yang tidak mereka kenal. 

“Syukurlah kita tidak berada di Umeda. Stasiun Umeda benar-benar terkenal sebagai dungeon!” 

“Itu cerita yang sering kudengar. Tapi, stasiun Shibuya juga cukup rumit. Bagi kita yang sudah terbiasa, seharusnya tidak menjadi masalah besar.” 

“Lagipula ada aplikasi peta yang bisa membantu.” 

Kami semua mengangguk serentak mendengar kata-kata Ayase-san. 

Sebagai penjelajah dungeon Shibuya, kami tidak perlu terlalu takut.

Semua orang melakukan perjalanan ke Kansai untuk pertama kalinya, tetapi kami dengan cepat keluar dari peron Shinkansen dan menuju hotel yang telah kami pesan──.

 

◇◇◇◇

 

──Namun, kami tidak bisa sampai ke sana. 

Informasi yang hanya didapat dari internet sangat berbeda dengan informasi langsung di lapangan. Walaupun aku sudah mengetahuinya di kepalaku, tapi sekarang aku benar-benar merasakannya. Begitu keluar dari gerbang tengah Stasiun Shinkansen, pemandangan luar langsung terlihat, tapi aku tidak menyangka bahwa dari lantai itu, hanya kendaraan yang bisa melintas bundaran luar itu

Setelah kembali ke dalam stasiun sekali, aku turun tangga dan akhirnya bisa keluar ke permukaan yang bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dari sana, aku sudah bisa melihat hotel yang dituju, jadi aku bisa menghela napas lega. Dalam waktu sekitar lima menit berjalan kaki, kami akhir sampai di hotel yang telah dipesan. 

“Aku sudah capek banget~” 

“Seharusnya tidak capek di tahap ini, sih.” 

Setelah menyelesaikan proses check-in di resepsi hotel dan memeriksa pembagian kamar, kami memesan dua kamar twin untuk pria dan wanita. Kunci kamar berbentuk kartu diberikan kepada masing-masing orang. Saat menerima kunci kamar, Narasaka-san dengan bingung berkata, “Kalian tidak membagi kamar seperti pasangan, ya?” Maru langsung menanggapi, “Kalau begitu, besoknya bisa jadi canggung, tau,” dan aku serta Ayase-san mengangguk dengan wajah serius── itu benar. 

Cobalah bayangkan. 

Ketika kami bertemu di ruang makan untuk sarapan, apa yang akan langsung terpikirkan ketika kami melihat pasangan lain? Jika ada yang mengatakan hal yang sama seperti pemilik penginapan dalam RPG kuno, rasanya pasti akan canggung meskipun tidak terjadi apa-apa. Dan kami tidak berada pada usia yang bisa meyakini bahwa tidak ada yang terjadi, apalagi Maru dan Narasaka-san tidak memiliki hambatan psikologis seperti aku dan Ayase-san yang dianggap seperti saudara tiri

…Artinya, kedua orang ini mungkin sudah.... dan aku hampir membayangkan hal itu sebelum buru-buru menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran-pikiran nakal dari kepalaku. Jika kami melakukan perjalanan kelulusan dengan pikiran yang tidak baik, rasanya pasti akan sangat melelahkan. 

“Tapi yahh, kurasa aku juga bisa membuat kenangan penting dengan Saki! Jadi kamar wanita juga ada bagusnya!” 

Narasaka-san sudah beralih pikiran dan aku yang mulai terjebak dalam pikiran nakal merasa tertinggal. 

Setelah meletakkan barang bawaan masing-masing di kamar, kami sepakat untuk bertemu di lobi. 

“Jadi, kita mulai dari mana?” 

Ayase-san bertanya sambil melihat aplikasi peta. Aku melihat catatan di ponselku untuk memeriksa rencana selanjutnya. Meskipun itu cuma rencana yang belum sempurna karena aku hanya mencantumkan nama tempat wisata seperti 'Kastil Osaka', 'Dotonbori', dan 'Namba Grand Kagetsu'.

Tentu saja, aku sudah memeriksa lokasi dan rute perjalanan. Namun, aku tidak ingin melakukan wisata yang terburu-buru seperti tur. Tempat yang benar-benar ingin kulihat hari ini hanyalah 'Kastil Osaka'. 

“Selain itu, aku ingin menjelajahinya dengan santai sesuai waktu yang ada.” 

“Aku setuju.” 

“Kalau begitu, pertama-tama mari kita mulai dengan Kastil Osaka!” 

“Hmm, kalau begitu, kita naik dari Stasiun Shin-Osaka ke Stasiun Honmachi lewat Jalur Midosuji, lalu dari sana naik Jalur Chuo ke Stasiun Tanimachi Yonchome. Sepertinya dari situ kita harus berjalan kaki.” 

Ayase-san memberitahuku setelah memeriksa aplikasi peta.

Kami hampir tersesat lagi di Stasiun Shin-Osaka, tetapi satu jam kemudian kami tiba di Stasiun Tanimachi Yonchome. Dari sana, kami harus berjalan kaki. Dikatakan butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai, jadi jaraknya hampir satu kilometer. 

Dalam perjalanan, Ayase-san tertarik pada 'Museum Sejarah Osaka' dan kami berhenti sejenak, tetapi kami akhirnya sampai dengan selamat di pintu masuk wisata Kastil Osaka, yaitu Gerbang Otemon. Setelah melewati gerbang, di sebelah kiri terdapat taman yang luas. 

Bagian tengah kastil disebut 'Honmaru',” kata Ayase-san sambil menunjukkan pengetahuan sejarahnya. 

“Dari sana, ada bagian penting yang dinamakan 'Ninomaru' dan 'Sannomaru'. Tempat ini adalah 'Ninomaru', dan karena terletak di barat kastil, maka disebut 'Nishinomaru'.” 

“Hee~, jadi itulah sebabnya taman ini disebut 'Taman Nishinomaru', ya?” 

Ayase-san mengangguk sambil berkata, “Mungkin.” 

Narasaka-san menatap Maru dengan serius dan berkata,

“Kalau gitu, jika letaknya berada di timur, namanya jadi 'Higashinomaru'?” 

“Mengapa kamu melihatku saat mengatakannya?” 

Dengan kata lain, karena Higashinomaru-kun dan Nishinomaru sekarang digabung, jadi inilah pusatnya, kan! Baiklah, hari ini kita akan menyebutnya sebagai Taman Manmaru!” 

“Kita tidak akan menyebutnya seperti itu!” 

Maru merespons lelucon Narasaka-san dengan serius. Itu adalah percakapan yang mungkin akan membuat penduduk setempat marah jika mereka mendengarnya. 

Pokoknya, taman Nishinomaru yang menghadap Kastil Osaka di sebelah timur ini sebenarnya juga dikenal sebagai tempat mekarnya bunga sakura yang indah. 

Uwahh~! Bunganya sudah mekar!” 

Semangat Narasaka-san langsung melonjak tinggi begitu melihat bunga sakura. Meskipun baru mulai mekar, dengan dua puluh persen bunga terbuka, pemandangannya sudah sangat memuaskan. Menurut panduan wisata, ketika mekar penuh, sekitar 300 pohon sakura akan bermekaran, dan kami bisa melihat Kastil Osaka yang lebih megah melalui sakura. 

“Kelihatannya jauh lebih indah kalau kamu melakukannya seperti ini!” 

Narasaka-san berlari ke bawah pohon sakura dengan sorak-sorai. 

“Woahh” 

Saat dia menengadah ke langit biru, ada tiupan angin berhembus lembut, dan beberapa kelopak bunga melayang ke udara. Mungkin karena baru saja mulai mekar, jadi cuma ada beberapa bunga yang mulai mekar yang jatuh, tetapi gerakan mereka yang berubah posisi seiring waktu membuatnya terlihat seperti kaleidoskop. Kelopak yang melayang di langit biru bergerak dengan cerah setiap detiknya. 

Aku yang melihat ke atas juga bisa melihat pemandangan yang sama seperti yang dilihat Narasaka-san. 

Uwahh” 

Di sampingku, Ayase-san juga berseru. 

“Memang kelihatan indah, ya, bunga sakuranya.” 

Kami berdua melihat ke arah langit selama beberapa saat. 

Ketika aku menyadarinya, Narasaka-san sudah berlari ke ujung taman, sementara Maru dengan antusias membaca papan informasi yang dipasang di area tersebut. Bahkan di tempat seperti ini, perbedaan karakter masing-masing orang bisa terlihat jelas

“Boleh aku mengambil beberapa foto juga?” 

“Ya, silakan. Aku akan melihat bunga sakura sedikit lebih lama lagi.” 

Sambil menunggu Ayase-san yang mengambil banyak foto Kastil Osaka dengan ponselnya, aku menikmati kelopak bunga merah muda yang melayang di langit biru. Rasanya waktu berlalu dengan begitu lambat. 

Setelah itu, kami pindah ke menara utama Kastil Osaka.

Walaupun tampilan luar kastil ini terlihat seperti bangunan kastil Jepang tradisional, tapi sebenarnya bagian dalam menara utama Kastil Osaka telah direnovasi menjadi museum modern. Dengan tiket yang sudah dibeli secara online, kami bisa masuk tanpa harus mengantri di loket. Ini semua berkat persiapan sebelumnya, meskipun ide untuk membeli tiket secara online datang dari Maru. Belakangan ini, tiket masuk bisa dibeli melalui internet, jadi lebih mudah jika sudah dibeli sebelumnya, katanya. 

Aku tidak terlalu mahir dalam hal persiapan seperti ini, dan aku merasa kalah jauh dibandingkan Maru dan Narasaka-san yang sangat pandai dalam bersosialisasi

Tentu saja, orang yang paling antusias menikmati kunjungan di dalam menara utama adalah Ayase-san. Namun, dia bukan tipe yang membaca semua penjelasan dari awal sampai akhir seperti Maru; dia lebih suka melihat dengan seksama benda-benda yang dipamerkan dan foto-foto. Dia sangat tertarik pada dokumen dan lukisan dari masa lalu. 

Di lantai dua, ada sudut untuk mencoba helm dan jubah perang, dan Maru serta Narasaka-san dengan akrab mencoba pakaian tersebut sambil merekam video dengan ponsel. …Mungkin video mereka akan lebih menarik jika diunggah. Keduanya adalah pasangan yang sangat ceria dan sosialita

“Saki, ayo coba kosode juga~!” 

“Tidak mau.” 

Walaupun kelihatan imut begini?” 

Sudah cukup. Aku sudah mengambil banyak foto.” 

Narasaka-san sedikit miringkan kepalanya ketika mendengar itu, tetapi dia tidak memaksa lebih jauh. Aku berpikir bahwa Narasaka-san cukup pandai dalam memilih waktu untuk mundur. 

Pernyataan Ayase-san tentang Aku sudah mengambil banyak foto” mungkin merujuk pada foto-foto yang diambil saat mengenakan hakama kelulusan, tetapi rasanya ada perbedaan antara itu dan ini. Meskipun begitu, jawaban “cukup sudah” tidak berarti dia menolak untuk berfoto di masa depan, jadi dia tidak lagi merasa seburuk sebelumnya ketika harus difoto. 

Mungkin karena kami menghabiskan waktu dengan seksama melihat-lihat area museum, kami jadi menghabiskan sekitar dua jam di sini. 

Setelah meninggalkan Kastil Osaka, kami menuju tujuan berikutnya, yaitu Dotonbori. 

 

◇◇◇◇

 

Kami kembali berganti kereta dan turun di Stasiun Nipponbashi. 

Ngomong-ngomong, ini adalah lelucon klasik, tetapi Nipponbashi diucapkan “Nipponbashi.” Pengucapannya berbeda dengan cara orang-orang dari wilayah Kanto biasa menyebutnya, jadi bisa membingungkan. 

Memangnya tidak boleh disebut Nihonbashi’?”

Narasaka-san bertanya dengan pengucapan yang sudah biasa baginya. Maru dengan serius berkata, “Tidak bisa.” 

Karena itu Nihonbashi yang kita kenal. Tidak masalah jika itu merujuk pada nama tempat di Distrik Chuo, Tokyo. Namun, ini adalah Osaka. ‘Nipponbashi’ adalah pengucapan yang tepat.”

“...Hmm. Hmm? Hmm.” 

“Seperti kata pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.’ Jadi, itulah sebabnya di sini disebuatnya sebagaiNipponbashi.’” 

Yah, sebenarnya, kita yang berasal dari Kanto juga tidak bisa disebut sebagai penutur asli jika kita mengucapkannya dengan aksen Kanto...” 

Sementara kami terlibat dalam diskusi yang tidak ada gunanya, Ayase-san membuka aplikasi peta untuk memeriksa. 

“Jika kita berjalan ke utara dari sini, kita akan sampai di sisi timur Jalan Perbelanjaan Dotonbori—sepertinya begitu,” katanya. 

Kami berjalan beriringan, melewati jalan pertokoan sempit yang memiliki atap, dan keluar ke jalan yang sedikit lebih lebar. Di sanalah Jalan Perbelanjaan Dotonbori. Di depan sebuah toko ada model kepiting besar yang digantung sebagai papan nama. Itu adalah toko terkenal yang juga ada di daerah Kanto. Namun, ketika melihat sekeliling, ada banyak toko yang tidak familiar, yang belum pernah dilihat atau didengar sebelumnya. Dan suara dialek Kansai terdengar di mana-mana. Suasana yang energik membuat kami merasa terkesan. Di antara itu semua, terdengar berbagai bahasa yang diucapkan oleh wisatawan asing.  

Saat kami terus berjalan, Maru berkata pelan, 

Bukannya ada banyak papan nama tiga dimensi?” 

Setelah dia mengatakan itu, aku merasa memang ada benarnya. Jika dibandingkan dengan Shibuya yang dikelilingi oleh papan iklan digital datar, rasanya ada perbedaan dalam sensasi. 

Karena banyak restoran, dan mungkin juga karena sudah mendekati waktu makan siang, aroma yang menggoda tercium dari berbagai arah, menggoda indra penciuman kami. 

Ngomong-ngomong, kami belum makan siang. 

“...Apa kalian tidak ingin makan sesuatu?” 

“Aku lapar.” 

“Sekarang sudah hampir jam dua. Sekarang mungkin toko-toko juga tidak terlalu ramai, jadi sebaiknya kita makan saja dulu.”

Tidak ada yang menentang pendapat Ayase-san, jadi kami mulai mencari toko untuk masuk dan berkeliling di area pertokoan

Saat kami mengamati sekitar, seorang bibi penjual memanggil kami. “Kalau kalian lapar, silakan makan di sini,” katanya. Ketika kami menoleh, ada kios takoyaki kecil, dan seorang wanita paruh baya berwajah bulat tersenyum lebar, mengajak kami dengan lambaian tangannya. Dia berbicara dengan dialek Kansai yang kental dan suaranya cukup keras. 

Karena tekanan suaranya, aku dan Maru sedikit tertegun. 

Namun, ada juga orang-orang dengan jiwa pemberani yang menghadapi situasi seperti ini. Tak perlu dikatakan lagi. Narasaka-san, mantan siswi terkuat di SMA Suisei. 

Wah,  kelihatannya enak sekali ya, tante. Maksudku, Onee-san!”

Dia mendekat dan mengatakan hal itu. 

Meskipun itu terdengar seperti pujian yang basa-basi, tapi bibi penjual takoyaki itu tersenyum lebar dan memberikan satu tusuk takoyaki yang ditusuk. 

Sepertinya itu adalah ungkapan terima kasih atas kata-kata manis yang diucapkan. 

Horee!” 

Dia menerimanya tanpa ragu dan langsung menggigit. D-Dia kuat... 

“Enak! Hmm, rasa ikannya terasa sekali~. Selain itu, rasanya memang sedikit berbeda dibandingkan dengan yang di Kanto! Yup, takoyaki Osaka, enak sekali!” 

“Benar kan?” kata bibi itu sambil membusungkan dada dan mulai membanggakan takoyaki yang dijualnya. Namun, bagi kami yang tidak terlalu tahu banyak tentang takoyaki, kami tidak bisa membedakan apa yang berbeda dari takoyaki lainnya. Narasaka-san pun sama, meskipun dia terus mengangguk dan sesekali menyela percakapan. Setiap tiga detik, mereka berdua saling tertawa, tetapi apa yang sebenarnya lucu? 

Kami membeli empat porsi takoyaki. 

Narasaka-san yang disukai oleh bibi penjual mendapatkan satu topping gratis. 

Yah, takoyaki dengan potongan besar cumi itu enak, jadi kami tidak keberatan. Takoyaki itu dipanggang di depan kami, jadi takoyakinya masih panas. 

Maru berteriak sambil menjelaskan. 

“Takoyaki di Kanto biasanya dipanggang hingga permukaannya menjadi renyah. Jika membandingkannya, takoyaki di sini terasa lebih lembut. Hanya sedikit garing.” 

Begitu ya.

“Dan bagian dalamnya lembut. Saat digigit, adonan yang lembut akan meluap. Rasanya seolah-olah mulut kita bisa terbakar, tetapi justru itulah yang menambah kenikmatannya. Saat menghirup dan menghembuskan napas, potongan besar cumi yang ada di tengah akan berguling di lidah, dan saat digigit, rasa cumi langsung menyebar di mulut. Ah, aku sedang menikmati takoyaki! Dan merasakan kebahagiaan.” 

Kamu memberikan ulasan yang sangat baik, ya.” 

Beberapa orang ada yang sampai menari saat merasakan makanan enak. Ada juga yang bercerita panjang lebar.” 

Jadi sampai ada yang menari juga, ya?” 

“Ada, tuh.”

Narasaka-san menggoyangkan tusuk takoyaki di depan wajahnya sambil menari-nari

...Ehm. 

“Narasaka-san?” 

“Itu adalah tarian kelezatan!” 

Aku tanpa sadar melihat sekeliling, tetapi orang-orang yang lewat tidak terpengaruh oleh keberadaan seorang gadis SMA yang menari karena makanan enak—atau mungkin sebentar lagi akan menjadi mahasiswi. Mereka terus berjalan tanpa berhenti. Rasanya seperti dibiarkan dengan baik. 

“Eh... Apa aku terlalu memperhatikannya... tidak mungkin, kan?” 

“Asamura-kun! Mengekspresikan makanan yang enak adalah tanggung jawab penting terhadap orang yang membuatnya!” 

Ehh... 

Kami yang sedang makan di tempat yang tidak mengganggu di samping toko, tetapi ketika aku menoleh ke arah toko takoyaki, bibi penjual itu menatap kami dengan wajah bahagia. Aku melihat Narasaka-san yang sedang menari. Tanpa disadari, Narasaka-san sudah menghabiskan takoyaki-nya. Dia tersenyum puas. 

...Oh, begitu ya

“Mungkin rasa kaldunya juga berbeda.” 

Ayase-san berkata pelan. Ya, benar... 

“Ah, Saki juga menyadarinya? Itu karena...” 

Narasaka-san mulai menjelaskan. 

“Di Kanto, para penjual biasanya menggunakan katsuobushi untuk kaldu, tetapi di Kansai menggunakan kaldu kombu. Ketika dicampur dengan miso atau kecap asin ringan, rasanya jadi seperti ini.” 

“Hmm. Narasaka tahu banyak, ya.” 

“Yah, orang tuaku sibuk, jadi aku sering memasak untuk adik-adikku. Jadi, aku sering menonton video masak. Dari situ, aku secara alami mengingatnya!” 

“Aku juga kadang-kadang menonton video untuk mempelajari resep dan cara membuat sesuatu... Tapi, mungkin aku tidak mengingatnya.” 

Mungkin Ayase-san hanya menontonnya sebagai buku panduan. 

“Ini memang enak. Aku mungkin lebih menyukai rasa yang ini.” 

“Aku juga suka. Mungkin aku bisa mencoba membuatnya sesuai resep yang dikatakan Maaya. Bagaimana kalau kita membuatnya di rumah lain kali?” 

“Eh. Kamu bisa membuatnya? Kalau kamu bisa, aku ingin memintamu melakukannya. Aku juga ingin mempelajarinya.” 

Iya. Mungkin nanti, ya.” 

“Aku akan menantikannya. ...Eh?” 

Narasaka-san dan Maru melihat ke arah kami dengan senyum yang tampaknya menyiratkan sesuatu

“Ada apa?” 

“Eh, apa itu?” 

Kedengaranya sudah seperti percakapan pasangan baru menikah, ya.” 

Senyuman dan seringaian lebar muncul di wajah mereka berdua

“Jangan menggoda kami.” 

Ayase-san berkata demikian sambil memalingkan wajahnya, tetapi menurutku itu justru mengakibatkan efek sebaliknya.

 

◇◇◇◇

 

Untuk makan siang, kami masuk ke toko okonomiyaki yang menarik perhatian. 

Saat kami keluar dari toko, waktunya sudah lewat pukul 3, jadi kami menuju tujuan berikutnya, yaitu 'Namba Grand Kagetsu'. 

'Namba Grand Kagetsu' adalah teater khusus untuk komedi dan pertunjukan lawak. Dari Dotonbori, jika berjalan ke selatan melalui jalan perbelanjaan Sen'nichimae, tidak butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana. Kami berhasil tiba tepat waktu untuk pertunjukan yang dimulai pukul 4, dengan pintu dibuka pada pukul 3:30. Kami membeli tiket hari itu dan masuk. 

“Tempat ini sudah ada di jadwal yang ditunjukkan Asamura-kun sejak awal, kan?” 

Narasaka-san menyebutkan saat kami melakukan rapat melalui video call. 

“Aku dan Tomo-kun memang suka komedi, tapi aku terkejut bahwa tempat ini sudah ada di rencana Asamura-kun sejak awal.” 

“Ah, ya, itu benar.” 

Saat itu, aku hanya mencari tempat yang bisa dinikmati di sekitar Shin-Osaka dan mengisinya secara acak. Tentu saja, setelah panggilan berakhir, aku berdiskusi dengan Ayase-san. Memang, baik aku maupun Ayase-san tidak terlalu tertarik dengan komedi. Namun, kami tetap menyisakan tempat ini sebagai tujuan wisata. 

“Tapi, mumpung kita sedang liburan di Osaka. Pertunjukkannya dimulai sekarang, bukan?” 

Aku mengangguk di sampingnya. 

“Karena aku biasanya tidak terlalu mempedulikan dan tidak tahu, jadi aku ingin mencoba mengetahuinya.” 

Berwisata pada dasarnya merupakan perjumpaan dengan hal-hal yang tidak biasa. 

Makhluk hidup pada dasarnya konservatif, jadi jika dibiarkan, mereka akan mengulangi hal yang sama. Pemikiran mereka akan menjadi kaku, dan pertumbuhan terhenti. Namun, hewan yang memiliki otak juga takut kehilangan rasa penasarannya, sehingga cenderung mencari pengalaman yang tidak biasa. Terutama Homo sapiens. Mereka ingin melihat pemandangan yang berbeda dengan sadar. Mereka ingin menyegarkan pikiran. 

Perjalanan sebagai hiburan adalah kesempatan untuk mengalami hal-hal yang sering kali ditunda dalam kehidupan sehari-hari. Jika sebagai hasilnya minat kita berkembang, itu menyenangkan, dan bahkan jika hanya itu saja, kita bisa mengetahui batasan minat kita, dan itu pun sudah cukup baik. 

—Meskipun mungkin ada keinginan yang lebih kuat untuk merasakan komedi asli. 

Tak lama setelah kami duduk, pertunjukan akhirnya dimulai. 

Seperti yang kuduga, sepertinya Maru dan Narasaka-san mengenali para pelawak yang tampil, tetapi hampir semua orang tidak dikenal bagiku. Namun, ada beberapa pelawak yang sepertinya pernah aku lihat secara kebetulan saat ayahku menyalakan televisi, jadi ada sedikit kenangan tentang mereka.

Dan, pertunjukan komedi yang penuh dengan sketsa dan sandiwara ini sangat menyenangkan, bahkan untuk pemula sepertiku dan Ayase-san. Aku merasa senang dan tertawa lepas, dan ketika melihat ke samping, Ayase-san juga menahan tawa sambil menutup mulut dan membungkuk. Sepertinya dia merasa malu untuk tertawa terbahak-bahak seperti Narasaka-san, tetapi dia tidak bisa menahan diri dan bergetar sambil berkata, "Maaf, aku tidak bisa tahan, rasanya lucu sekali, sambil bersandar di bahuku. Sebenarnya, kupikir tidak apa-apa jika dia tertawa dengan suara keras seperti Narasaka-san.

Setelah pertunjukan selesai dan kami keluar, malam sudah tiba. 

Waktu menunjukkan sedikit lebih dari pukul 6, dan jalan di depan teater masih terang benderang dengan lampu dari toko-toko. Langit yang kami lihat berwarna hitam dan bintang-bintang tidak terlihat. Cahaya bintang sangat redup, sehingga tidak terlihat di tempat yang banyak cahaya. Seolah-olah ada tirai hitam beludru yang membentang, dan aku berpikir aneh tentang pertunjukan apa yang akan dimulai jika tirai itu dibuka.

Saat kami berjalan kembali di sepanjang Dotonbori, Ayase-san dengan penuh emosi mengatakan bahwa sudah lama dirinya tidak tertawa sebanyak ini. Pada akhirnya, dia benar-benar tidak bisa menahan diri dan tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba, aku menyadari bahwa mungkin inilah pertama kalinya aku melihat Ayase-san tertawa dengan suara keras.

Benarkah?

Aku juga mungkin belum pernah melihat Saki tertawa lebar seperti itu." 

Aku tidak melakukannya. 

Tidak, tidak, tertawa itu baik untuk kesehatan! Saki harus lebih aktif tertawa." 

Ya, tertawa meningkatkan fungsi kekebalan dan mengurangi stres." 

Narasaka-san dan Maru dengan antusias menyarankan Ayase-san, dan sepertinya mereka benar-benar menyukai komedi.

Sketsa dan sandiwara stand-up nya juga bagus, kan?

Ya, itu... aku juga berpikir begitu." 

“Sayang banget kamu tidak memanfaatkannya dengan baik meskipun sudah ada pasangan. 

Apa pasangan yang dimaksud itu aku? 

Lingkungan terbaik adalah selalu berada di bawah atap yang sama. Kalian bisa melakukan stand-up sambil menjalani hidup! 

“Enggak, enggak, kenapa kita harus melakukannya sambil menjalani kehidupan? 

Aku dan Tomo-kun selalu seperti itu saat bertemu." 

Iya, ‘kan?” ucap Narasaka-san mencari pembenaran sambil melihat Maru, dan Maru mengangguk setuju.

Begitu ya... 

Yah, Narasaka memang sering membuat silat lidah yang konyol. Aku terpaksa tertawa bersamanya.

“Hee, masa sih?

Jiguchi?

Apa itu? Ayase-san memiringkan kepalanya dengan kebingungan, jadi aku dan Maru menjelaskan lebih lanjut.

Jiguchi adalah salah satu permainan kata. Ini adalah permainan yang menggantikan ungkapan yang sudah ada dengan kata-kata yang memiliki pengucapan yang mirip untuk bersenang-senang. Misalnya, shita kiri suzume diganti dengan tsukita kiri suzume (yang berarti mengenakan pakaian yang sama terus-menerus).

Poin utamanya adalah seberapa jauh kita bisa menjauh dari gambaran aslinya dengan menggunakan kata-kata yang memiliki pengucapan serupa.

Jika dipikirkan dengan serius, yang ada cuma bikin menguras otak, tetapi yang dilakukan Narasaka hanyalah lelucon biasa.

Jalan untuk menjadi pelawak itu keras. Para amatiran harus mulai dari lelucon sederhana!

“Memangnya kamu sedang menuju ke mana sih...?

"Eh... maksudku, apa itu berarti Maru dan Narasaka-san selalu melakukan percakapan seperti itu saat bertemu? 

Keduanya mengangguk dengan gerakan yang sangat mirip. 

...Tinggi sekali kesulitannya. 

Kalau dipikir-pikir, bahkan di Taman Nishinomaru, Narasaka-san juga pernah berkata, Kalau begitu, Tomo-kun adalah Higashinomaru, dan jika digabung, kita punya taman bulat sempurna. Meskipun itu lelucon yang sepele, Maru juga selalu menanggapi dengan serius, dan mungkin itu adalah cara komunikasi di antara keduanya.

Ah, Tomo-kun, lihat! Sekarang, tidak ada antrean di sana.

Hei, kita akan makan malam, tau..... Oi, tunggu sebentar.

Tanpa memberi Maru kesempatan untuk menghentikannya, Narasaka-san sudah berlari ke sebuah toko kecil. 

Toko macam apa itu? ...Egg tart

Egg tart merupakan kue yang populer di Asia. Dibuat dengan tepung terigu, mentega, gula, telur, dan susu. ...Kenapa kamu terkejut begitu? 

“Yah, aku tidak benar-benar punya kesan bahwa kamu membuat kue, Ayase-san. 

Yah... masakanku biasanya untuk kebutuhan sehari-hari. Selama tiga kali makan mendapatkan nutrisi yang cukup, itu sudah memadai. Yang penting adalah tidak merepotkan. Tapi, ketika mencari resep, aku melihat berbagai resep tart dan bisa membayangkan apa yang digunakan jika melihat hasil akhirnya. 

Meskipun dia berkata begitu, aku sendiri bahkan belum pernah membuat kue panekuk, jadi mendengar dia mengatakan bahwa dirinya bisa tahu hanya dengan melihatnya saja rasanya seperti kemampuan super

“Kamu terlalu berlebihan.”

“Apa iya?

Sambil berbincang-bincang demikian, aku mencari tahu kue egg tart di ponsel. Ternyata, pada tahun 1989, seorang Inggris bernama Andrew menciptakan resep dengan modifikasi unik pada tart Portugal dan menjadi populer di Makau. Oh, jadi itu sebabnya nama toko itu...

Narasaka-san menunjukkan kemampuan komunikasi yang luar biasa, berbincang akrab dengan pelayan toko. Dia ditawari, Bagaimana kalau membeli satu untuk pacarmu? Melihat Maru yang tersipu ketika disebut pacar adalah hal yang baru dan menyenangkan. Akhirnya, mereka membeli dua untuk masing-masing. Dua tart sebelum makan malam... hebat sekali mereka bisa makan sebanyak itu. 

“Percakapan yang seperti sandiwara komedi atau manzai, ya...

Ayase-san bergumam pelan. Aku menoleh ke arah Ayase-san. 

Itu mirip seperti yang dilakukan Asamura-kun dan Shiori-san di tempat kerja. 

Sebenarnya, aku tidak bermaksud melakukan sandiwara komedi dengannya

“Kupikir kalian berdua sangat cocok.

“Kurasa cuma Yomiuri-senpai saja yang pandai menangkap kata-kata dan membuat lelucon.

Kalian berdua terlihat serasi.

"Tunggu, tunggu."

Aku menatap Ayase-san dengan serius dan berkata. Entah kenapa, aku merasa ini adalah hal yang sebaiknya dilakukan. 

Memiliki kemampuan untuk melakukan manzai bukanlah bukti bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Kurasa yang dimaksdu Narasaka-san adalah bahwa pasangan seharusnya menggunakan tawa sebagai bagian dari keakraban mereka. Tentu saja, ada yang cocok dan tidak cocok, dan di dunia ini ada pasangan yang merasa nyaman dalam keheningan.

Selain itu, aku menambahkan sambil sedikit mengangkat sudut mulutku dan tersenyum. 

Jika melakukan manzai merupakan tanda sepasang kekasih, maka semua orang yang tampil di pertunjukan komedi pasti adalah sepasang kekasih, ‘kan?”

Ayase-san terdiam sejenak mendengar kata-kataku. Dia mendongak ke atas seolah memikirkan sesuatu. Mungkin dia sedang mengingat para komedian yang kami lihat sebelumnya. 

Semua orang itu...

Ya, sepasang kekasih. Menurut teori Ayase-san. Mereka adalah pasangan yang kompak, kan? Di bagian akhir, mereka semua keluar untuk mengakhiri acara dan membuat tanda hati raksasa bersama-sama.

...pfft.

Dia mengeluarkan suara kecil dan kemudian berkata, “Ihh, hentikan”. Meskipun dia bilang berhenti, aku hanya menerapkan teorinya. 

Asamura-kun, kenapa kamu bisa memikirkan hal aneh seperti itu?

Terima kasih sudah membalas dengan tanggapan. Yah, maksudku, hanya dengan kamu membalas dengan baik seperti itu saja sudah cukup. 

Ayase-san membuka mulutnya membentuk huruf a, lalu mengeluarkan suara uhm.

Tapi ini karena Asamura-kun yang membuat lelucon, kan?

Itu memang benar. 

Kadang-kadang Ayase-san juga membuat lelucon, lho.

Aku!?

Dia tampaknya tidak menyadari hal itu. 

Maaf membuat kalian menunggu.

Narasaka-san dan Maru kembali. 

Kita sebentar lagi akan makan malam sekarang, apa kamu baik-baik saja?

Aku baik-baik saja!

Narasaka-san kemudian mengejutkan kami dengan masuk ke sebuah restoran Cina dan menunjukkan bahwa dia bisa menghabiskan ramen. 

Dengan begitu, hari pertama perjalanan kelulusan kami pun berakhir.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama