Chapter 1 — Gemetarlah Di Hadapan Keimutanku Ini
Matahari
sudah sepenuhnya terbenam di ufuk barat,
dan ruangan terasa sedikit gelap.
Dua orang saling berhadapan. Yuki menyilangkan kakinya dengan ekspresi penuh
percaya diri, sementara Alisa dibuat terdiam,
pikirannya dipenuhi tanda tanya. Suasana hening yang mendalam.
(Keimutan? Keimutan? Bahasa Jepang yang tidak
aku ketahui? Mungkin istilah khusus... atau bahasa gaul anak muda, atau bahasa gaul di
internet?)
Ketidakjelasan
pernyataan Yuki membuat
Alisa mulai meragukan apakah dia benar-benar berbicara tentang kata ‘keimutan’ yang terlintas di pikirannya.
Namun, tidak peduli bagaimana dia mencoba memisahkan dan mengubahnya, tidak ada
jawaban yang muncul, akhirnya dia mengungkapkan keraguannya secara jujur.
“...............
Apa maksudnya?”
Yuki
mengangkat alisnya dengan
pertanyaan Alisa yang begitu jujur...
dan seolah memahami apa yang ingin dia katakan,
Yuki menundukkan pandangannya dengan
ekspresi sedikit melankolis.
“Begitu
ya. Jadi kamu ingin meminta penjelasan yang lebih
jelas...?”
“U-uhm, iya.”
“Tentang
keimutanku ini.........”
“U-uhm?”
Aneh sekali, dirinya
tidak mengerti bahasa Jepang yang
disampaikan Yuki.
Dalam dimensi yang berbeda dari saat Maria berperilaku alami, percakapan ini tidak
nyambung sama sekali. Apa
orang yang ada di depannya
benar-benar Suou Yuki yang
cerdas dan sopan yang dirinya
kenal?
(Tidak...
siapa sih sebenarnya orang ini? Orang
lain? Mana mungkin....iya, ‘kan?)
Sekilas, Alisa benar-benar berpikir tentang teori
[saudara kembar], tetapi
segera menyadari bahwa jika itu benar, maka percakapan sebelumnya seharusnya
tidak mungkin terjadi. Namun jika memang begitu,
yang ini lantas... apaan?
“?????”
Alisa
merasa seolah-olah tiba-tiba terjebak dalam dunia yang aneh, dan pemikirannya mulai kacau.
Kemampuan
otaknya melambat secara drastis, dan dia hanya bisa berkedip berulang kali. Di
depannya, Yuki tiba-tiba berdiri dari kursi, menempatkan tangannya di dahi
untuk menutupi setengah wajahnya.
“Baiklah...
kurasa mendengar seribu kali tidak ada
bandingannya dengan melihatnya sekali.”
Kemudian,
sambil menyembunyikan mata kirinya dengan tangan kanan yang terbuka, dia
membuka mata kanannya lebar-lebar dan dengan semangat yang seolah-olah disertai
efek suara ‘dodododododo’ di belakangnya, dia mengumumkan
dengan keras.
“Kalau
begitu, biar aku tunjukkan! Keimutanku yang luar biasa ini!”
“Ah,
tidak, itu tidak perlu.”
“............gitu ya.”
Ketika
Alisa secara misterius menolak dengan sopan, Yuki tiba-tiba menunjukkan sikap cemberut
dan langsung duduk kembali di kursi. Meskipun sikap kekanak-kanakan itu semakin
memperkuat pertanyaannya “siapa sih orang ini?”, Alisa merasa tergerak oleh rasa
bersalah yang aneh dan buru-buru memberikan penjelasan.
“Ah, ehm, yah,
maksudku, kalau kamu bisa menjelaskannya tanpa
menunjukkannya padaku... Lah, yang ingin aku ketahui adalah,
itu, keimutan? Bukan, maksudku, aku?
Eh, tadi kamu beneran bilang aku?” (TN: Ingat,
Yuki bilang kata ‘Ore’ yang biasanya cuma digunakan anak cowok)
“Aku memang mengatakannya, ada masalah?”
Sikap
Yuki yang tampak bingung bertanya kembali, berbeda dari sebelumnya, menunjukkan
sisi anggun yang juga dikenal Alisa. Namun, ketidakmampuan untuk berkomunikasi masih tetap ada.
“Meski ditanya ada masalah......”
Kesenjangan
antara pernyataan dan sikapnya
membuat Alisa semakin bingung, dan terdiam. Yuki berbicara dengan nada biasa
seolah-olah tidak ada perilaku aneh sebelumnya.
“... Ah, jangan-jangan, Alya-san, kamu
tidak mengetahuinya? Di
Jepang zaman dulu, kata ganti orang pertama 'boku'
secara harfiah digunakan oleh orang-orang dengan status rendah, sedangkan
bangsawan dan aristokrat menggunakan 'ore' sebagai kata ganti orang
pertama tanpa membedakan gender, loh?”
“Eh, ja-jadi begitu ya?”
“Ya,
seiring berjalannya waktu, wanita perlahan-lahan mulai tidak menggunakannya,
tetapi di keluarga kuno seperti keluarga kami, kata ganti ini masih
digunakan oleh kedua gender.”
“Aku tidak mengetahuinya sama sekali...”
“Yah, mana mungkin ada fakta yang seperti itu.”
“Hmm?”
“Ngomong-ngomong,
tentang 'keimutan'
yang kusebutkan sebelumnya, jika ditulis dalam
kanji, itu menjadi 'kawai' yang berarti 'keindahan di antara sungai'. Dahulu
kala, penduduk desa yang tinggal di antara sungai merendahkan diri kepada
orang-orang yang tinggal di sisi timur sungai dan bersikap angkuh kepada
orang-orang di sisi barat, jadi itulah kata sifat yang merujuk pada orang yang
berubah sikap tergantung pada lawan bicaranya.”
“Ru-Rupanya
ada bahasa Jepang yang seperti itu...?”
“Tentu
saja tidak ada lah.”
“Hmmmm?”
Ketidakpahamannya semakin bertambah,
dan Alisa benar-benar dibuat bingung.
(Eh, hmm?
Jadi, 'ore' itu adalah kata ganti orang yang biasa digunakan oleh pria? Itu
adalah sesuatu yang imut, dan 'imut' berarti 'imut' yang sudah kupahami? Apanya yang imut, karena dia
berakting yang imut, dan karena dia
berakting imut...??)
Di dalam
kepalanya, subjek dan predikat bercampur aduk. Dunia bahasa Jepang yang tidak
dikenal Alisa berada di
sana.
(............??)
Semakin
dia mencoba mengatur pikirannya dan memahami, semakin banyak pertanyaan yang
muncul. Itu persis seperti benang yang terjalin rumit. Jika satu bagian dibuka
secara paksa, bagian sekitarnya akan semakin melimpah dan kusut, dan semakin
banyak yang diurai, semakin tidak teratur semuanya.
(...........ya)
Dengan
begitu, Alisa berhenti berpikir sejenak dan mengatur
ulang pikirannya. Setelah itu, dia menyimpulkan dengan
cara yang sangat paksa dan sederhana.
“Jadi intinya, Yuki-san tuh imut, ya?”
“Iyess, dats raito.”
Yuki
duduk dengan tenang di kursi dan menjentikkan jarinya, sambil menunjuk Alisa. Alisa sekali lagi terdiam oleh
perilaku misterius orang Amerika yang muncul dari sikapnya yang anggun. Tanpa
memperhatikan Alisa, Yuki terus berbicara dalam bahasa Inggris yang terdengar
aneh.
“Ay kenot sutopu may kyuttoness.
So may burada wiru horu mi tai wearing a bannii suutsu.”
“Apa... kamu bilang apaan tadi? Aku
tidak mengerti semuanya, tapi bukannya yang terakhir kamu bilang Masachika-kun
mengenakan kostum kelinci?”
“Ara~ara~,
Alya-san, apa kamu tidak pandai berbahasa Inggris?”
“Tidak,
bukan begitu... Eh, kamu juga sama saja!
Sebenarnya kamu bisa berbicara bahasa Inggris dengan lebih baik, ‘kan? Kamu ‘kan bercita-cita jadi diplomat!
Dan kenapa tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris?”
“Hahaha,
you funny little girl.”
Pipi Alisa
berkedut daat menyadari bahwa dirinya benar-benar sedang dijahili. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar
dari arah pintu.
“Ya.”
Setelah
Yuki menjawab, Ayano masuk ke
dalam ruangan bersama Masachika.
Pada saat yang sama, Yuki berdiri dengan cepat dan melompat memeluk lengan Masachika.
“Dan
inilah Onii-chanku yang imut~♡”
Yuki mengatakan
itu dengan suara manja sambil menggosokkan pipinya ke bahu Masachika.
Pada saat
itu, Alisa merasakan sensasi yang bisa disebut sebagai kerusakan otak.
Apa yang
terjadi di depannya hanyalah kakak beradik yang
sedang bermain-main. Pada dasarnya
tidak ada bedanya
dengan Maria yang sedang memeluk
Alisa. Di dalam pikirannya, dia memahami hal itu. Namun, otaknya tidak bisa
menerima pemahaman itu.
Otak kiri
Alisa berkata, “Karena mereka saudara, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Sementara
itu, otak kanannya berteriak, “Cepetan
menjauh, kegatelan
banget sih!” Dua
suara yang bertentangan bertengkar di dalam kepalanya... otaknya pelahan-lahan menuju kehancuran...!
“~~~~~Nghh, ~~~!!”
Otaknya
sudah linglung karena perkataan dan tindakan Yuki yang tidak dapat dipahami.
Sekarang, dia diserang oleh sensasi yang belum pernah dialaminya sebelumnya,
yang membuat emosinya hampir tidak stabil, dan Alisa menggigit giginya sambil
bergetar.
Menatap
keadaan Alisa yang seolah-olah bisa meledak kapan saja jika terstimulasi lebih lanjut,
Yuki tersenyum lebar dan berseru.
“Ayano!
Ayo kita lakukan!”
“!
Ya!”
Mendengar
panggilan majikannya,
Ayano langsung menegakkan punggungnya
dan berdiri di samping Yuki.
Kemudian,
keduanya saling menyilangkan kaki dan mengambil pose yang serasi.
“Ditulis sebagai teman masa kecil, tapi sebenarnya dibaca sebagai adik perempuan! Suou
Yuki!”
“Ditulis sebagai teman masa kecil, tapi sebenarnya dibaca sebagai
maid. Kimishima Ayano.”
Masachika
dan Alisa terdiam ketika melihat mereka berdua
melakukan pengenalan yang mirip pahlawan super. Tidak hanya
mereka berdua, bahkan suasana di sekitar pun terasa kaku. Yuki dan Ayano
kembali mengubah pose mereka secara bersamaan. Mereka bergerak seolah-olah sedang melindungi Masachika dari
Alisa. Dan secara bersamaan, mereka menyatakan.
“ “Menjadi
teman masa kecil hanyalah kedok untuk bersembunyi dari pandangan dunia. Kami, para sub-heroine sejati, akan
melindung Onii-chan! /Kami akan melindungi Masachika-sama.” ”
Sempurna.
Itu sangat sempurna. Yuki merasa sangat senang
dengan penampilan sempurna yang sepenuhnya menunjukkan hasil latihannya, dan melakukan tos bersama Ayano
dengan ekspresi puas di wajahnya.
“.........”
Alisa
merasa sedikit pusing. Kepalanya berputar-putar
dan dia terhuyung setengah langkah. Saat itu, Yuki tiba-tiba menoleh ke
belakang dengan ekspresi terkejut.
“Ah, aku kelupaaan. Kami ‘kan sedang bertengkar. Cih, jangan
terlalu dekat, pergi menjauh sana, blweeee!”
“Memangnya ada orang yang begitu tidak masuk akal seperti
kamu!?”
“Keluar dari sini! Jangan ikutan nimbrung ke dalam
pembicaraan antara perempuan!”
“Tapi, ‘kan kamu sendiri yang sudah
menjawab ketukan...”
Mengabaikan
argumen yang masuk akal dari kakaknya, Yuki menendang kaki Masachika dan
mengusirnya dari ruangan. Setelah itu, dia juga mengeluarkan Ayano dari
ruangan, menutup pintu, dan kembali menghadapi Alisa.
Saat itu,
Alisa yang sedikit pulih dari keterkejutannya, menahan dahi dengan tangan dan
bertanya lagi kepada Yuki.
“Kamu....... benar-benar Yuki-san, ya?”
“Oi, Oi, memangnya~~~
ada gadis cantik terhormat yang sempurna
seperti ini selain aku?”
“Di mana
letak kesempurnaan itu...?”
Jika dia
memang seorang wanita terhormat, maka dia sudah sangat tidak waras. Kakeknya akan terkejut dan mungkin
pingsan. Alisa sendiri merasakan sakit di bagian otak yang sebelumnya tidak
pernah dia sadari.
“Ehmm... sejauh mana yang asli... dan
mulai dari mana yang cuma akting?”
Ketika Alisa
tanpa sengaja menanyakan itu, Yuki berkedip pelan sebelum... menunjukkan senyuman
anggun yang sangat dikenal Alisa.
“Tentu
saja, inilah diriku yang sebenarnya,
dan sikap kekanak-kanakan dan konyol itu cuma
akting belaka, kok?”
“Be-Begitu ya?”
“Ya,
seperti yang sudah kukatakan
sebelumnya, itu semua merupakan
hasil dari referensi yang aku ambil dari manga dan anime.”
Yuki
menjawab sambil mengangkat bahunya, lalu
tiba-tiba kembali mengenakan aura yang lembut dan misterius, sambil berkata
dengan ekspresi lembut kepada Alisa.
“Aku tuh suka sekali
melihat wajah orang yang tersenyum.”
Dia tiba-tiba kembali melanjutkan pembicaraan seriusnya sendiri, dan Alisa segera merapikan
posisinya. Setelah memastikan Alisa menunjukkan sikap mendengarkan, Yuki
meletakkan tangan di dadanya dan mulai berbicara perlahan.
“Ketika
aku melihat wajah orang yang tersenyum, aku juga secara alami tersenyum dan
merasa bahagia... itulah sebabnya aku ingin orang-orang terdekatku selalu tersenyum.”
“...
Jadi, untuk itu, kamu....
berpura-pura bersikap kekanak-kanakan?”
“Fufufu, yah, bisa dibilang begitu...”
Yuki
tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah pintu tempat dia baru saja mengusir
kakaknya, dengan mata yang penuh kasih.
“Entah itu senyuman yang terkejut atau
lelah pun tidak masalah. Asalkan Onii-tan bisa tersenyum, itu saja sudah cukup.”
“O...?”
Meskipun dia sedikit terkejut, Alisa menelan
kata-katanya dan mengungkapkan hal lain.
“... Kamu benar-benar sangat peduli
pada Masachika-kun,
ya?”
“Ya. Bukannya aku pernah mengatakan itu
kepada Alya-san, kan?”
Usai
mengatakan itu, Yuki memejamkan
matanya sejenak dan berbicara seolah mengucapkan sumpah.
“Aku sangat mencintai Onii-tan.”
“Be-Begitu...”
“Melebihi Ayahanda dan melebihi ibunda. Aku sangat mencintai Onii-tan.”
“Kamu memang pernah mengatakannya...”
“Tidak
ada kebohongan dalam kata-kata itu. Supaya bisa
membuat Onii-tan yang sangat kusayangi tersenyum... aku ingin menjadi adik perempuan manja yang bisa bergantung pada Onii-tan.”
“Onii-tan.........................!”
Karena tidak
sanggup menahan diri lagi, Alisa akhirnya mengeluarkan kata-kata yang sudah
lama mengganggunya. Sambil mengerutkan
kening saat kepalanya mulai berdenyut sakit
lagi, dia meletakkan tangannya di dahinya dan bertanya.
“Umm, maaf jika aku mengganggu
pembicaraan... Yuki-san? Kamu memanggil kakakmu
dengan sebutan ‘onii-tan’?”
Menanggapi
itu, Yuki mengedipkan mata dan dengan heran memiringkan kepala.
“Tidak? Enggak juga.”
“Lalu,
kenapa kamu memanggilnya begitu sekarang!”
Mendengar
Alisa yang tiba-tiba mengangkat suaranya, Yuki meletakkan jari telunjuk di
bibirnya dan berpura-pura berpikir dengan “Hmm~~”, lalu memberikan
tatapan menggoda yang tidak perlu kepada Alisa sambil berkata.
“Karena aku
ingin melihat reaksi itu?”
“Ka-Kamu memiliki hobi yang cukup bagus, ya...”
“Begitukah?
Jika dipuji seperti itu, aku jadi merasa malu.”
Dengan
balasan yang jelas-jelas
merupakan sindiran, Alisa merasa pipinya berkedut.
Pada saat yang sama, sikap Yuki yang seolah-olah menggoda membuat Alisa merasa,
“Ah, dia jelas adiknya Masachika.”
(Dengan kakak yang seperti itu dan adik perempuan yang seperti ini...
ya, atau mungkin, dari pembicaraan
sebelumnya, Yuki-san
yang menularkan sifat itu kepada Masachika-kun?)
Mungkin perubahan
Masachika yang dulunya serius dan pekerja keras menjadi seorang otaku yang
ceroboh ialah akibat ulah adik perempuannya ini... Begitu pemikiran itu muncul, rasa sungkan
Alisa terhadap Yuki menghilang. Seperti yang biasanya
dia lakukan kepada Masachika, dia
menanyakan dengan senyum yang menyimpan kemarahan.
“Nee, Yuki-san... Apa kamu ada niatan berbicara serius enggak sih?”
“Tentu
saja enggak lah? Karena bagian serius sudah
selesai.”
Yuki
menyatakan hal ini dengan acuh tak acuh, dan melanjutkan, “Yuki-chan cuma bisa berbicara serius selama
dua puluh menit dalam sehari dengan
kata lain, setara dengan satu episode anime”.
Alisa cuma bisa menghela
napas dan berkata dengan acuh tak acuh.
“Baiklahhhh~~~~~ aku mulaiiii~~~ mengerti. Jadi itulah jati dirimu yang sebenarnya, dan
bagian gadis sopan itu cuma akting, kan? Kalau diingat-ingat lagi, kamu sendiri yang
mengatakannya sebelumnya.”
“Ya, yah kalau yang itu sih cuma
bercandaan.”
“Apa-apaan sih, mouuu...”
Alisa akhirnya
memegangi kepalanya karena merasa kebingungan antara kenyataan dan
kebohongan. Yuki mengubah ekspresinya dan dengan tenang memberitahunya.
“Baik
sikap sopan maupun sikap kekanak-kanakan... bagiku itu sama-sama acting sekaligus
sama-sama yang asli.”
“...
Akting dan asli?”
Alisa
mendengarnya dengan penuh keraguan, bertanya kembali seolah-olah Yuki akan
mengatakan sesuatu yang membingungkan lagi. Namun, Yuki menerima tatapan itu
dengan serius dan menjawab tanpa berpura-pura.
“Alya-san
juga, ketika kamu berbicara
dengan guru di sekolah, berbicara dengan pelayan di toko, berbicara dengan
teman, berbicara dengan keluarga. Tergantung pada lawan bicara, sikap dan nada
suaramu sedikit demi sedikit berubah, iya ‘kan? Itu sama saja.”
“........”
Memang, Alisa juga bisa memahami perasaan
itu. Alisa pun menggunakan beberapa kata saat berbicara dengan guru atau
pelayan toko, dan bersikap santai dengan
teman dan keluarga. Bahkan, jika diuraikan
lebih lanjut, sikapnya bisa sedikit berbeda tergantung pada kedekatan dengan
teman yang sama, dan dengan keluarga, sikapnya juga berbeda antara orang tua dan kakaknya. Jika ditanya mana yang akting
dan mana yang asli, Alisa mungkin akan menjawab ambigu, “Aku tidak merasa
sedang berakting, tetapi aku juga tidak bisa bilang itu sepenuhnya yang asli.”
Bagian memang itu bisa dimengerti. Tapi....
“... Jika memang begitu, kamu tidak perlu berbicara seperti itu
sekarang, ‘kan?”
“Eh?”
“Tidak...
cara bicaramu itu, kamu hanya ingin membuat Masachika-kun
menganggapmu imut, ‘kan? Jadi, kenapa kamu tidak berbicara
seperti biasa saja sekarang?”
“Jangan
bilang hal sepele seperti itu dong,
Alya-san. Jika Alya-san keluar dengan celana jeans, apa kamu akan memakai
celana dalam beruang di baliknya?”
“Hah? Ap-Apa yang sedang kamu bicarakan?!”
“Ini
tentang bagaimana tidak masalah jika orang-orang memperhatikanmu atau tidak saat kamu ingin berpakaian imut.
Bahkan jika tidak ada yang melihatnya,
memakai pakaian dalam yang imut bisa meningkatkan semangatmu, bukan?”
“... Yah,
kurasa memang begitu.”
“Itu sama
saja. Entah ada atau tidaknya Onii-tan, aku berperilaku sebagai
karakter adik yang imut karena itu membuat semangatku meningkat.”
Setelah
mengatakan itu dengan percaya diri, Yuki berputar di tempat dan, layaknya aktor panggung, meletakkan
tangan kanan di dadanya dan bernyanyi.
“Ahhh~! Hari ini aku juga sangat
imut!”
Melihat punggung Yuki yang berpose dengan bangga, ......
Alisa menempelkan jari telunjuknya di pelipis dan berteriak dalam hati.
(Tidak,
ini sih jelas-jelas
seperti memiliki kepribadian
ganda!)
Dia mengubah
sikapnya tergantung pada situasi
dan kondisi. Mana mungkin semuanya
diselesaikan dengan kata-kata seperti itu. Jika semua orang bermuka dua sampai sebegitu ekstrem,
Alisa mungkin akan menjadi sedikit tidak percaya pada manusia.
(Kepribadian
ganda... Hmm, mungkin lebih baik menganggapnya
sebagai orang yang berbeda.)
Mungkin rasanya lebih baik jika berpikir kalau gadis di hadapannya bukan Suou Yuki yang dia kenal, melainkan
adik perempuan Masachika... ya, orang yang
bernama Kuze Yuki. Setelah memikirkan hal itu, Alisa
tiba-tiba teringat sesuatu.
(Jangan-jangan, dia sengaja menggodaku sebagai bentuk menyembunyikan
rasa malunya...?)
Kakak laki-lakinya kadang-kadang akan
menunjukkan sikap serius, tapi ia
segera bercanda untuk mengalihkan perhatian. Mungkin sikap Yuki yang sekarang
juga sama.
Jika dia
tidak ingin Alisa merasa kasihan padanya,
dan tidak ingin masa lalu yang sulit dan menyedihkannya dipandang serius,
mungkin dia sengaja menunjukkan sikap seperti ini...
“... Haaaahhhh.”
Sambil menghela
napas, Alisa sedikit merasa lelah... tapi dia tetap tersenyum tanpa nuansa
negatif ke arah Yuki.
“Kalian
berdua memang kakak beradik yang
mirip, ya.”
Kesimpulan
yang diambil Alisa membuat Yuki berbalik, dia berkedip
beberapa kali, lalu tersenyum kecil sambil mengangguk dengan meyakinkan.
“Betul sekali... kita berdua, sebagai kakak beradik, memang imut
sekali.”
“Hmmmm?”
Mengapa dia tiba-tiba berubah menjadi “imut” lagi?
Ketika Alisa memiringkan kepalanya,
Yuki berlari cepat ke pintu kamarnya
dan membukanya dengan semangat.
“Gachaan,
Onii-chan juga berpikir begitu,
kan~~~?”
“Ya, aku juga berpikir begitu.”
“Iya, ‘kan!
Brakk!”
Lalu,
entah mengapa, dia membuat
suara efek saat menutup
pintu dengan cepat, kembali berlari ke arah Alisa, dan mengangguk dengan
serius.
“Jadi,
begitulah yang kumaksud.”
“Apanya!?”
Mengapa
dia tiba-tiba meminta persetujuan kakaknya? Lagipula, Masachika yang berada di luar tidak mungkin
mendengar percakapan di dalam. Dan sebelumnya, bagaimana dia bisa mengetahui kalau Masachika masih
ada tepat di luar pintu? Mengapa Masachika, yang seharusnya tidak mengerti,
langsung setuju dengan pertanyaan yang tidak jelas itu?
Kepala
Alisa dipenuhi tanda tanya, tapi yang paling mengganggu pikirannya
adalah...
“Eh, apa ia bisa mendengarnya? Dari luar?”
Alisa
tidak ingat membahas sesuatu yang bisa membuat orang lain merasa tidak nyaman,
tapi dia tetap merasa tidak tenang jika
percakapan terdengar dari luar. Saat Alisa melihat ke arah pintu dengan cemas,
Yuki menggelengkan kepala.
“Tidak?
Rumah ini kedap suara, jadi kecuali kita berbicara dengan suara keras, kurasa
isi percakapan tidak akan terdengar.”
“Eh, lalu
mengapa Masachika-kun bisa langsung
setuju ketika ditanya?”
“Yah, itu sih karena kami sebagai kakak beradik saling memahami, kan? Itu
yang disebut telepati.”
Meskipun
Alisa mengetahui betul kalau Yuki
adalah adik perempuannya, tapi mau tak mau dia tidak
bisa menahan perasaan sedikit kesal saat menatap Yuki yang menunjukkan ekspresi
bangga di wajahnya. Dengan perasaan itu, Alisa
mengarahkan tatapan curiga ke Yuki.
“...
Benarkah? Palingan ia cuma mengangguk karena diminta
setuju?”
“Jika
kamu tidak mempercayainya, kenapa kamu tidak mencobanya? Mari
kita lihat apa Onii-tan benar-benar memahami isi
pertanyaannya atau enggak.”
“... Bagaimana cara kita mencobanya?”
Ketika
Alisa memiringkan kepalanya dengan keheranan,
Yuki mengangkat jari telunjuknya dengan percaya diri dan melanjutkan.
“Gampang saja. Sekarang, coba tanyakan
lagi ‘Onii-chan juga berpikir begitu, kan?’ dan lihat bagaimana
jawabannya. Jika ia hanya menjawab sembarangan, ia akan menjawab ya atau tidak,
tetapi jika kami berdua
benar-benar bisa saling memahami, ia seharusnya menjawab ‘Apa maksudnya?’”
“Kalau
begitu... yah, mungkin?
Itupun jika kalian
benar-benar bisa berkomunikasi... kan?”
“Baiklah,
tunggu saja dan lihat.”
Alisa masih
memasang ekspresi curiga yang masih kentara, dan Yuki
dengan percaya diri berkata dan berlari kembali ke pintu, membukanya dengan
semangat.
“Gachaan,
Onii-chan juga berpikir begitu, iya ‘kan~~~!!”
“Ya, aku
berpikir begitu.”
“Kill
you!”
“Kenapa?”
“Bang!”
Setelah
itu, dia kembali dengan langkah cepat, mengangguk dengan meyakinkan kepada
Alisa yang tampak bingung.
“Nah, ‘kan?”
“Apanya?”
“Seperti
yang diharapkan dari Onii-tan-ku,
ia benar-benar memahami adegan klise dengan
baik.”
“Itu
terlalu dipahami dengan baik.”
“Tidak
begitu. Itu adalah balasan yang sempurna dari seorang komedian terhadap kepura-puraan sikap sopanku.”
“Kalau
begitu, jika kita mencobanya sekali lagi, kali ini pasti berhasil,
kan?”
“Uhuk, uhuk, aku batuk lagi. Uhuk, uhuk.”
“Itu batuk yang gampang sekali dijadikan alasan, ya.”
Setelah
mengatakan ini dengan tatapan kosong kepada Yuki yang hanya pura-pura batuk, Alisa menghela napas pelan.
“Ngomong-ngomong,
aku sudah mengerti bahwa kamu tidak ingin mendapat simpati yang aneh... jadi
bisakah kamu bicara dengan normal?”
Alisa
merasa sudah cukup dengan sikap bercandanya
dan ingin langsung ke intinya. Namun, Yuki menjawab dengan wajah bingung.
“? Apa
yang sedang kamu bicarakan?”
Alisa kembali terdiam ketika
Yuki menjawab dengan ekspresi bingung yang tulus. Dia menatap wajah Yuki dengan
saksama, mencoba mencari tahu niatnya yang sebenarnya, dan bertanya lagi.
“... Bukannya kamu sengaja bercanda
untuk menghilangkan suasana yang berat?”
“Aku cuma ingin
mempermainkan Alya-san, memangnya ada masalah?”
Wajah Alisa berkedut mendengar pengakuan yang
penuh niat jahat. Yuki kemudian menatap lurus ke arahnya dan berkata dengan ekspresi lembut.
“Aku tuh suka sekali melihat orang tersenyum.”
“............
Aku sudah mendengar itu sebelumnya.”
“Tapi tahu enggak? Aku lebih
menyukai melihat wajah orang-orang
yang bingung atau terkejut~~~♡.”
“Itu sih namanya kurang ajar!”
Alisa
tidak bisa menahan diri untuk berteriak ketika
melihat wajah Yuki yang awalnya seperti malaikat tiba-tiba
berubah menjadi senyum iblis. Lalu, Yuki menatap Alisa dengan mata
berkaca-kaca, mengangkat wajahnya.
“Meskipun
aku seperti ini, kita berdua masih tetap
berteman, ‘kan?”
“Umm............”
Melihat
penampilan Yuki yang secara tidak langsung membangkitkan insting untuk melindunginya, Alisa merasa ragu meskipun dia
tahu bahwa itu hanya akting.
(Tidak, tidak, jika aku terjebak dengan temponya di
sini... tapi, yah, teman tetaplah teman... ‘kan?)
Meskipun
sikapnya yang terlalu licik itu bisa diperdebatkan, Alisa
berpikir bahwa itu tidak cukup untuk merusak persahabatan mereka. Namun, Yuki
semakin mendekat dan melanjutkan.
“Aku berpura-pura
sebagai teman masa kecilnya dan
menggodamu habis-habisan, meskipun aku tahu kalau Alya-san tidak suka makanan
pedas tetapi tetap menyarankan bumbu pedas, dan menguncimu bersama Onii-tan di
gudang olahraga... tapi kamu pasti akan memaafkanku dengan hatimu yang besar, kan? Dengan payudara
F-cupmu yang besar, kamu pasti bisa menerimaku, ‘kan?”
“Ap—, H-Haaaa?”
Mendengar
pengakuan Yuki tentang kejahatan yang pernah
dilakukannya di masa lalu, Alisa terdiam dan hanya bisa
membuka dan menutup mulutnya. Di dalam pikirannya,
tiba-tiba satu ingatan muncul seperti kilatan.
“Ja—————— Jadi semuanya itu ulahmu! Kamu lah yang memberi tahu Masachika-kun tentang ukuran dadaku!”
“Eh? ....Oh, kalau dipikir-pikir, hal itu memang terjadi.”
“Ka-Ka-Kamu ini ...lagian, kenapa kamu
bisa tahu ukuran
dadaku...............?!”
“Itu
karena saat kita pergi ke vila ketua selama
liburan musim panas, aku melihat ukuran bra Alya-san di ruang
ganti. Wah, aku seriusan dibuat terkejut
melihat bra kalian berdua kakak beradik
yang sangat besar.”
“Ap-Ap-Ap-Ap....?! Uhm? Hah? Tapi waktu itu, pakaian dalamku tidak ada di ruang ganti...!
Jangan-jangan, kamu yang membawa pakaian dalamku dari ruang ganti ke
kamar!”
“Iya!”
“Ka-Ka-Ka-Ka-Ka-Kamu ini...!”
Kejahatan
Yuki yang lain terungkap satu demi satu. Namun, sikap Yuki yang kurang ajar
tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, membuat
Alisa bergetar dan menggertakkan
giginya sambil mengeluarkan suara seperti merangkak.
“Se-Semuanya
karena salahmu, semuanya ini karena
salahmu, tau...!”
“Eh, memangnya ada sesuatu yang terjadi?”
Yuki
bertanya dengan wajah kebingungan,
dan Alisa berusaha menelan
kata-katanya. Tentu saja, dia merasa malu untuk mengungkapkan perilakunya yang
memalukan di depan Masachika. Namun,
“Oh iya,
ngomong-ngomong, akulah yang mengarahkan Onii-tan supaya ia bertemu Alya-san di tangga setelah mandi~♪ Kyaha~☆”
“Ap—”
Yuki mengucapkan
itu sambil berpose menggenggam tangan kanannya di dagu dan tangan kirinya membuat tanda peace sembari bersikap centil
dan manja. Alisa menyadari kalau Yuki tampak sepenuhnya paham dengan apa yang dia lakukan ―― dan
dirinya teringat dengan
satu lagi kejadian terkait pakaian dalam yang terjadi setelah liburan musim
panas.
Ya,
kejadian yang melibatkan kakaknya, Maria.........
Hanya dengan mengingatnya saja sudah membuatnya merasa sangat malu.
“Jangan-jangan...
kamulah yang membangunkan Masachika-kun dengan
membunyikan smartphone-nya saat aku dan Masha sedang
mengganti pakaian musim panas!”
“Eh, aku
tidak tahu apa-apa soal itu.”
“Eh............”
Keduanya
saling menatap dengan ekspresi serius.
Setelah beberapa detik keheningan ketika mereka berdua mencoba memahami ekspresi
masing-masing, Yuki perlahan membuka mulutnya.
“Membangunkan Masachika-kun saat sedang mengganti
pakaian............? Eh, Alya-san, jangan-jangan kamu melakukannya di depan Onii-chan...”
“~~~~!”
Kecelakaan
total yang mengakibatkan dirinya sendiri terjebak dalam situasi memalukan. Rasa malu meledak dalam diri Alisa........... dan setelah itu, dia sendiri
tidak mengerti mengapa dia melakukan hal seperti itu.
“Ngngngngng~~~~!”
Hanya
saja, ketika dia menyadari, dia sudah berlari menuju pintu sambil mengeluarkan
suara seperti teriakan atau geraman dari dalam tenggorokannya. Lalu setelah membuka pintu, dia langsung terjun ke dalam pelukan Masachika yang terkejut,
sambil memukul-mukul dadanya dan menunjuk ke arah Yuki
di belakangnya. Dia menatap Masachika dengan
wajah cemberut dan mata berkaca-kaca, kemudian dia
menunjuk Yuki seolah-olah berkata, “Apa-Apaan
sih dia itu!?” .... pada
saat yang sama, dia juga terlihat seperti anak kecil yang sedang menangis
kepada guru TK.
“Ngng~~~~~~~!
Ng~~~~~~~!”
“Be-Begitu ya, jadi kamu dijahili oleh anak itu, ya? Cup~cup~,
kasihan sekali.”
“Ngng~~~~!!”
“U-Uhmm? Kenapa kamu tidak
bicara...”
“Ngng~~~~!”
“Ah, jadi
kamu tidak suka diperlakukan seperti anak kecil... maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar minta maaf ya? Memiliki
adik yang seperti itu. Aku juga
bertanggung jawab mengenai dirinya yang
jadi seperti itu...”
Masachika
dengan canggung berusaha menenangkan Alisa
yang berjuang dengan perasaan yang tidak bisa dia kendalikan. Ia kemudian mengarahkan tatapan
tajam ke arah adik perempuannya
di dalam ruangan...
“Hmmm.
Pretty girl.......... Jika kamu
menangis cuma karena segini saja sih, kamu tidak akan bisa menjadi
kakak iparku, tau.........?”
Mendengar
ucapan yang aneh dengan gerakan khas
Amerika, Masachika cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan memmutuskan untuk berpura-pura
tidak menyadarinya.
