Omaera Hayaku Kekkon Vol 1 Chapter 1 Bahasa Indonesia

 Penerjemah: Maomao

Bab 1Bersama Lebih Menyenangkan Daripada Sendirian, ‘kan?

 

 

Seusai jam pelajaran, di ruang kelas yang hanya dibasuh jingga senja yang perlahan memudar.

Di dalam ruang hening tempat aku hanya berdua dengan gadis pirang nan cantik, satu-satunya suara yang terdengar hanya detak jarum detik jam dinding, berdenting samar namun terasa menyiksa karena ritmenya yang begitu teratur.

“Aku… sudah sejak lama menyukai Tanaka-kun! Maukah kamu pacaran denganku?!”

Sekejap, angin bertiup masuk lewat jendela yang terbuka, menyingkap gorden, membuat rambut panjang keemasan si gadis cantik berkibar lembut laksana sutra, sambil membelai pipiku seakan hendak menyejukkannya.

Saat angin mereda, aku pun membuka mulut untuk memberi jawaban.

“Aku juga… sudah sejak lama menyukaimu!”

“Aku senang sekali, Onii-chan!”

Si gadis cantik menitikkan air mata mendengar jawabanku, lalu berlari dan melompat ke pelukanku.

“Ahaha, aku juga senang. Mulai sekarang kita akan selalu bersama. ………………Onii-chan?”

“Onii-chan!”

“Eh, eeh, bukan, aku ini bukan kakakmu, lho?”

“Onii-chan!”

Jilat. Si gadis cantik menjilat pipiku.

“Eh, eh, haa? Ahaha… geli banget… haa? Kenapa kamu jilat aku?”

“Onii-chan!”

Jilat. Jilat. ……Jilat-jilat-jilat-jilaaat!!

“Haha… ya, ya, jadi ini semacam ekspresi rasa sayang versimu sendiri, ya? Bau!! Bau banget!! Hah!? Busuk apa ini busuk banget! Bau hewan!! Bau bau bau!!”

Jilat-jilat-jilat-jilat-jilat-jilat-jilat-jilat-jilat-jilaaat!!

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh!!!!!!”

 

◇◇◇◇

 

“Oi, Onii-chan!”

Saat membuka mata, aku melihat Meg, anjing betina (3 tahun, bodoh) yang kami pelihara di rumah, sedang menjilat-jilat seluruh wajahku. T-tadi cuma mimpi. Sedikit lagi aku hampir benci sama heroine pirang.

“Duh, akhirnya bangun juga! Nih, Meg, bagus.”

Dan di samping tempat tidurku, berdiri seorang gadis berambut pendek, Ema. Adikku yang umurnya setahun lebih muda dariku.

Begitu Ema memberi komando pada Meg, Meg langsung terlihat puas, lalu rebahan tengkurap di atas dadaku yang masih telentang, menatapku dari atas dengan gaya sok berkuasa. Rasanya seperti… Sphinx.

“Selamat pagi, Onii-chan.”

“Ema… sudahlah, hentikan kebiasaan membangunkanku dengan menyuruh Meg menjilat mukaku…”

“Soalnya, kalau nggak begitu Onii-chan nggak bakal bangun, kan? Ya nggak, Meg~♪”

Meg hanya menguap santai, sementara Ema menggesekkan pipinya ke punggung Meg yang berbulu putih dan lembut sambil berkata, “Pintarnya kamu ya~ Aku, ini sebenarnya lagi disuguhi tontonan apa di atas perutku sendiri?

Aku menggendong Meg sambil mengangkat tubuh bagian atas, dan tanpa sadar ikut menguap gara-gara Meg.

“Duh, rambut Onii-chan berantakan banget, tahu? Habis mandi harusnya dikeringin dulu baru tidur. Rambut Onii-chan kan gampang ngembang.”

“Uuh, ya, jangan bilang gitu…”

Padahal masih pagi, Ema menatapku dengan mata lebar yang kini menyipit seolah prihatin, lalu merapikan rambutku yang mencuat ke sana-sini sambil mengusap-usapnya. Kakak yang dielus-elus adik. Apa aku ini setara sama hewan peliharaan, ya.

Begitu merasa cukup, Ema pun memeluk Meg dengan pof lalu berdiri dari tempatnya.

“Ibu marah tuh, bilang makanannya keburu dingin. Terus, benerin rambutmu dulu sebelum pergi sekolah.”

“Iya...”

 

◇◇◇◇

 

Akhir-akhir ini aku merasa bulan September masih terasa seperti musim panas. Panas sekali. Padahal sudah akhir bulan, tapi aku benar-benar ragu apakah musim gugur akan datang kalau keadaannya begini terus. Selain itu, karena harus berangkat sekolah naik sepeda plus lewat tanjakan yang curam banget, setiap sampai di sekolah aku selalu basah kuyup oleh keringat. Serius, rasanya setiap hari kayak jadi karakter di Yowamushi Pedal.

Begitulah, hari ini pun seperti biasa, aku tiba di kelas 1-3 SMA Uozumi, tempat aku bersekolah.

Haa, rasanya sungguh muram.

Pertama-tama, aku paling tidak suka momen waktu masuk ke kelas. Begitu aku melangkah masuk, semua pandangan langsung tertuju padaku, lalu setelah mereka memastikan, “Oh, cuma Tanaka, toh.” pandangan itu langsung buyar begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Padahal, ada atau tidaknya aku di kelas ini rasanya sama saja, tapi hanya gara-gara keberadaanku, semua orang harus meluangkan beberapa detik buat “menyadari keberadaan Tanaka,” dan itu rasanya sungguh bikin tidak nyaman.

Aku duduk di bangku milikku yang letaknya di tengah kelas, meletakkan ransel dari pundak ke sisi meja, lalu menghela napas.

──Dan yang ada hanyalah kehampaan.

Ah, iya. Seperti yang kalian lihat, aku ini anak yang penyendiri. Kehidupan sehari-hari cowok SMA biasa memang sering dianggap berharga di cerita romcom, tapi kenyataannya, beginilah hasilnya. Malah rasanya kehidupan SMA-ku sedikit lebih buruk dari yang kubayangkan. Padahal dulu tidak pernah kepikiran bakal begini. Yah, sudahlah, tidak apa-apa. Toh aku punya lima belas follower di internet. Itu hampir setengah jumlah orang di kelasku, tahu? Keren juga kan aku.

Merasa makin nelangsa karena memuji diri sendiri pun terasa sia-sia, aku melirik ke arah jam. Sekarang pukul delapan lewat sepuluh pagi. Fakta bahwa aku harus terkurung di kelas ini lebih dari tujuh jam lagi, rasanya membuatku hampir gila. Aku juga benci waktu seperti ini. Tidak ada yang bisa kulakukan.

Karena tak ada pilihan lain, aku pun membuka ponsel, berniat melihat jumlah bacaan untuk bab terbaru novel yang kuunggah kemarin. Oh, sejak kemarin ternyata ada dua orang pembaca baru! ……Cuma dua orang, ya.

──Saat itulah.

“Tanaka-kun, lagi ngapain?”

DOKKIINNNNNNN!!!!!!

Tiba-tiba suara polos itu menyentuh gendang telingaku, membuatku panik dan buru-buru menyembunyikan ponsel. Saat aku menoleh, kulihat seorang gadis manis berambut panjang sebahu yang kelihatan lembut dan mengembang, …sedang menikmati Pocky rasa stroberi.

“T-Takeuchi-san!?”

“Ehehe~ selamat pagi!”

“Pa… pag… selamat pagi!”

Tanpa sengaja, aku malah membalas sapaan itu seperti burung beo yang payah menirukan kata-kata.

Dia adalah Takeuchi Yuzuri-san, teman sekelasku. Seorang gadis yang populer di kelas karena dianggap imut oleh semua orang. Kalau di cerita romcom ada tokoh heroine tipe malaikat yang klasik banget, maka dialah perwujudannya di kelas ini. Dia adalah gadis tercantik dan paling populer di kalangan cowok, akrab dengan semua orang tanpa pandang bulu, dan seperti yang bisa dilihat, bahkan mau menyapa bocchi sepertiku—benar-benar malaikat kelas kami.

Matanya bulat dan jernih, bibirnya kecil dan terlihat lembut, semuanya tampak begitu menggemaskan.

Sementara itu, aku, yang menyandang gelar "mob of the mobs", cuma bisa gugup total.

Kenapa Takeuchi-san tiba-tiba menyapaku pagi-pagi begini……?

“…T-Takeuchi-san sendiri, ada apa, ya?”

“Ah, iya iya!”

Takeuchi-san duduk di bangku tepat di depanku, memutar-mutar batang Pocky seperti tongkat sihir sambil menjawab dengan ceria.

“Ehm, jadi begini! Soal tugas kepanitiaan waktu makan siang hari ini, lho!”

Aku sudah tahu. Aku tahu, tapi tetap sengaja bereaksi kayak tokoh utama romcom.

Kena sihir Takeuchi-san mentah-mentah, aku malah terjebak dalam situasi deg-degan ala Mahou Shoujo Madoka Magica, sementara sang gadis penyihir, Takeuchi-san, sedang menjelaskan soal tugas kepanitiaan dengan mulut mungilnya yang terus bergerak dengan serius.

Aku dan Takeuchi-san berada di kepanitiaan yang sama. Hari ini sebenarnya tugas tertentu ditangani oleh anggota panitia dari kelas lain, tapi entah kenapa mereka tiba-tiba ada urusan, jadi pekerjaan itu dialihkan ke kami. Katanya, Takeuchi-san yang menawarkan diri untuk menggantikan mereka. Baik sekali dia.

“Itu sebabnya! Maaf ya, gara-gara Yuzu nekat mengambil alih tugas mereka……”

“Tidak apa-apa! Waktu istirahat makan siang, kan? Oke, aku mengerti……!”

Lalu, Takeuchi-san sedikit memerah di pipi sambil menyodorkan Pocky ke arahku.

“……Nih, buat kamu!”

“Eh, boleh……?”

“Boleh, dong! Makan saja! Sebagai tanda terima kasih? Atau permintaan maaf? Pokoknya semacam itu!”

“Ah, tapi tidak perlu sampai makasih segala, kok! Ini kan memang tugas kita......!

“Sudah, tidak apa-apa, kok ♪”

Saat aku masih ragu-ragu, Takeuchi-san sambil berkata “A~n ♪” mengarahkan ujung Pocky ke bibirku.

“Kalau begitu, ya…….”

........Krek.

Aku pun akhirnya mengambil satu batang, mengunyahnya pelan sambil menunduk, lalu mencuri pandang ke arah Takeuchi-san. Saat itu juga mata kami bertemu, dan Takeuchi-san menatapku sambil tersenyum.

“Enak? Yuzu belakangan ini lagi suka banget sama Pocky, lho!”

“B-Begitu ya! Enak banget…!”

Serius, memang enak banget. Baik rasanya, maupun jalannya kejadian ini.

“Yuzurin~? Ah, maaf, apa aku menganggu ya?”

Terdengar suara dari seberang kelas memanggil Takeuchi-san. Sepertinya waktu yang bisa kuhabiskan bersama Takeuchi-san memang ada batasnya bagi orang sepertiku. Yah, mau bagaimana lagi. Namanya juga gadis populer, pasti banyak yang mencarinya.

“Ah, maaf ya Tanaka-kun, Yuzu harus pergi……”

“Ah, iya! Tidak perlu dipikirkan! Makasih Pocky-nya!”

“Iya! Sampai nanti, ya!”

Dengan langkah ringan tetete~, Takeuchi-san pergi meninggalkanku begitu saja. Begitu bergabung kembali ke circle teman-temannya, ia malah berkata “Mou~!” dengan sedikit kesal, sambil memukul pelan bahu temannya seperti kucing yang menepuk-nepuk. Imut sekali.

“Maaf… Eh, tapi Yuzurin, lagi-lagi makan camilan, ya? Yuzurin tuh bener-bener selalu saja ngemil sesuatu. Kayak tupai, tahu tidak?”

“Apa Yuzu kelihatan gigi depannya maju, ya?”

“Bukan begitu maksudnya… Maksudku, kamu itu kayak hewan kecil gitu, imut banget.”

“Eeeh~ Yuzu sih lebih pengin dibilang cantik daripada imut.”

“Itu sih kayaknya susah tercapai kalau kamu terus-terusan ngemil melulu?”

“Ke-kenapa kalau makan camilan terus jadi nggak bisa cantik?”

“Iya iya, dan sifatmu yang super polos itu juga harus diperbaiki, ya.”

Pelan-pelan, circle teman-teman yang mengelilingi Takeuchi-san makin membesar. Di sana juga mulai kelihatan beberapa cowok.

“Eh, Takeuchi~ kasih gue satu batang juga dong!”

“Takeuchi, dia makan lagi, loh (haha).”

Aku memandangi dari kejauhan sosok Takeuchi-san, yang dikelilingi teman-temannya dan juga membagi Pocky pada cowok-cowok selain aku.

Memang ada ya… orang yang baik bahkan sama anak yang kesepian kayak aku. Dia begitu penuh kasih pada semua orang. Benar-benar seperti malaikat.

.......Waktu itu, aku kira cuma sebatas itu saja.

 

◇◇◇◇

 

Pertemuanku dengan Takeuchi-san terjadi waktu awal-awal masuk sekolah, saat jam HR di mana kami harus menentukan siapa saja yang akan menjadi anggota berbagai kepanitiaan.

Satu demi satu anggota panitia mulai ditentukan: panitia kelas, panitia olahraga, panitia budaya, panitia tata tertib, dan seterusnya. Tapi hanya untuk kepanitiaan “Panitia Relawan”, sama sekali tidak ada yang mau mengajukan diri.

Panitia Relawan. Tugasnya meliputi kegiatan kebersihan di dalam dan luar sekolah, membantu kegiatan OSIS, lalu setiap kali ada acara selalu kebagian mengurus pekerjaan remeh-temeh, bahkan sampai harus turun tangan ke masyarakat untuk merencanakan dan menjalankan berbagai event. Benar-benar seperti tukang serba bisa yang dimanfaatkan seenaknya, jauh lebih merepotkan dibanding kepanitiaan lain.

“Kalau tidak ada yang mau mengajukan diri, terpaksa akan diputuskan lewat undian.”

Di dalam kelas yang waktu itu masih kaku karena baru saja masuk sekolah, guru wali kelasku, Murakami-sensei, akhirnya mulai kehilangan kesabaran. Kupikir itu bukan urusanku. Padahal tadinya aku merasa hal itu tak ada hubungannya denganku, tapi gara-gara ucapan sensei barusan, tiba-tiba aku merasa terpanggil.

Kalau di sini tidak ada yang mengajukan diri sebagai panitia, maka mau tak mau akan ada seseorang yang sebenarnya tak mau, tapi dipaksa untuk jadi panitia. Kalau membayangkan orang “siapa pun” itu, dadaku rasanya sesak.

Sejak kecil aku memang begitu. Walau tak ada hubungannya denganku, kalau mendengar kabar duka atau skandal artis, aku bisa sampai sakit selama dua hari, atau kalau melihat orang yang sedang kesulitan, aku jadi cemas membayangkan bagaimana kalau aku yang berada di posisi itu.

Karena terdengar seperti omong kosong sok suci, aku tak pernah bilang pada siapa pun soal sifatku yang seperti ini, tapi bagaimanapun juga, situasi saat ini sungguh tak bisa kuanggap sebagai urusan orang lain.

“Mungkinkah, kamu yang mau melakukannya, Tanaka-kun?”

Tahu-tahu aku sudah mengangkat tangan.

Dan dalam sekejap, namaku tertulis di papan tulis. Jujur saja, aku langsung menyesal dan merasa kalau ini cuma rasa tidak enak hati yang sia-sia. ……Tapi,

“Selanjutnya untuk perwakilan perempuan, kalau tetap tidak ada yang bersedia──”

“Ya, aku mau!”

Saat itu, yang mengangkat tangan tinggi-tinggi dan memecah suasana muram di kelas adalah Takeuchi-san.

Itulah hari di mana aku pertama kali mengenal sosok malaikat bernama Takeuchi-san.

Sejak waktu itu pun, Takeuchi-san sudah terkenal dan selalu berada di pusat circle semua orang.

Bersama gadis seperti itu, aku berada di komite yang sama.

Aku sangat berharap banyak. Kupikir akhirnya masa remajaku pun telah datang.

Tapi setelah itu aku mulai tahu. Bahwa Takeuchi-san adalah gadis yang baik hati.

Semakin aku mengenalnya, aku sadar kalau hanya berada di komite yang sama bukan berarti aku ini orang yang istimewa baginya.

Cerita adalah cerita, kenyataan adalah kenyataan. Justru karena aku orang yang suka menulis, aku paham betul soal itu.

Tapi……

“Tanaka-kun!”

“Y-ya!”

Tapi bagaimanapun juga, setiap kali dia menyapaku, aku jadi sangat senang…!

Saat waktu istirahat siang yang sudah dijanjikan. Dalam perjalanan menuju halaman tengah untuk menyiram taman bunga—salah satu kegiatan Komite Relawan—Takeuchi-san memanggilku dari belakang.

“Duh! Padahal kita satu komite, jangan pergi duluan, dong!”

“Ma-Maaf! Soalnya tadi Takeuchi-san lagi ngobrol sama teman, jadi aku takut ganggu…”

“Jangan pikir kayak begitu! Mulai sekarang panggil langsung saja kalau ada keperluan! Atau nanti Yuzu yang bakal manggil duluan, lho!”

“Y-ya. Makasih.”

Padahal ini pekerjaan yang tidak menyenangkan, tapi Takeuchi-san mengatakannya tanpa terlihat keberatan. Dia memang gadis yang baik…

Kami pun keluar ke halaman tengah, mengambil watering can (penyiram tanaman) dari gudang dan mengisinya dengan air. Kami selalu berdiri berhadapan di sisi-sisi taman bunga yang memanjang ke samping, dan mulai menyiram bunga bersama-sama dari sisi barat.

“Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, sebenarnya kamu tidak perlu repot-repot melakukannya berdua denganku. Bagaimana kalau kita bagi giliran saja setiap hari?”

Penyiraman tanaman oleh panitia relawan dilakukan secara bergiliran per kelas. Biasanya, meski ditugaskan dua orang dari satu kelas, banyak yang menerapkan sistem giliran. Tapi Takeuchi-san selalu mau menyiram tanaman berdua denganku setiap kali giliran kelas tiga.

“Tidak apa-apa, kok! Kan lebih seru berdua daripada sendirian!”

Se-seorang malaikat!

Saat aku melongo karena kebaikan Takeuchi-san yang kelewat suci, dia menatapku dengan cemas sambil menunggu jawabanku.

“Ah… apa mungkin kamu tidak suka nyiram tanaman bareng Yuzu?”

“B-Bukan begitu maksudnya! Justru sebena… uhuk, uhuk. A-aku senang, kok! Jadi kalau kamu tidak keberatan, aku juga tidak apa-apa.”

“Begitu, ya? Syukurlah…”

Biasanya aku cuma orang biasa yang tidak menonjol, tapi setidaknya saat sedang bekerja seperti ini, aku bisa bersama malaikat kelas sendirian. Dan bukan karena paksaan dari aku ataupun orang lain, tapi murni karena kebaikan hati si malaikat. Waktu seperti inilah satu-satunya hal yang membuat hidupku di SMA jadi menyenangkan.

“Ah, ngomong-ngomong, katanya besok di jam pelajaran ke-6 saat HR kita bakal nentuin acara apa yang mau ditampilkan di festival budaya! Kamu sudah tahu, Tanaka-kun?”

“B-Begitu, ya? Aku tidak tahu… Padahal masih cukup lama juga, kan?”

“Katanya supaya tidak sama dengan kelas lain, makanya mau diputuskan lebih cepat!”

Sebagai seseorang yang kesepian, pada dasarnya aku jarang sekali mendapatkan informasi soal hal-hal di sekolah. Sungguh memalukan.

Tapi meskipun aku seperti ini, Takeuchi-san selalu dengan ramah mengajakku mengobrol. Benar-benar menenangkan hati.

“Untuk kelas satu, katanya hanya boleh membuat pameran! Kakak-kakak kelas ada yang membuat rumah hantu, pohon Natal, bahkan ada kelas yang hebat sekali sampai membuat roller coaster, lho!”

“Wah, ternyata banyak juga, ya, pilihannya.”

“Tapi Yuzu, nih, ingin sekali membuat planetarium!”

“Planetarium? Bagaimana caranya di festival budaya?”

“Pakai kardus dan kain hitam, lalu bersama-sama membuat semacam iglo besar! Nah, di atap iglo itu nanti diproyeksikan bintang-bintang yang kita buat sendiri dengan alat proyektor buatan. Katanya, itu akan terlihat sangat indah!”

Takeuchi-san tampak sedang membayangkan festival budaya di dalam pikirannya, lalu tersenyum kecil sambil berbisik, “Fufu…”

“Aku benar-benar tidak sabar menantikan festival budaya!”

Sejujurnya, untukku yang sering sendirian, festival budaya mungkin hanya akan menjadi waktu yang harus kuhabiskan seorang diri, jadi rasanya sulit untuk merasa antusias. Namun saat melihat senyum Takeuchi-san, aku sungguh berharap festival budaya nanti bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan untuknya, dan tanpa sadar, aku pun ikut tersenyum kecil.

“Semoga festival budaya kali ini berjalan dengan baik, ya.”

Saat aku mengatakan itu, Takeuchi-san mengangguk dua kali dengan kuat tanpa berkata apa-apa, lalu entah kenapa menatapku sambil tetap memiringkan watering can-nya.

“…Eh, lho? Ta-Takeuchi-san! Kamu nyiram air di tempat yang sama terus!”

“Eh! Ah! Ahaha… maaf, tadi aku sempat melamun sebentar…”

Kenapa, ya, dia? Apa aku barusan bilang sesuatu yang aneh?

“Hei, Yuzurin!”

Tiba-tiba terdengar suara dari arah gedung sekolah, membuatku mendongak. Takeuchi-san yang tadi agak panik juga ikut menoleh ke atas.

“C-Chiyo-chan! Ada apa?”

Dari jendela koridor lantai empat tempat kelas kami berada, Kanagawa Chiyo-san, teman Takeuchi-san di kelas tiga, sedang menatap ke arah kami dari atas. Kanagawa-san adalah sosok yang bisa dibilang pemimpin di kelas. Dia juga akrab dengan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. …Ya, kecuali aku yang memang tidak terlalu dekat dengan siapa pun.

“Sebentar lagi aku mau ke vending machine, nih! Yuzurin mau jus jeruk yang biasa, kan?”

“Eh! Boleh, ya!? Makasih banyak~!”

“Iya~! Aku beliin, nanti kutunggu di sini, ya~!”

Setelah mencatat pesanan Takeuchi-san, entah kenapa Kanagawa-san masih menatap ke arah kami cukup lama.

“A-Ada apa, sih!”

Takeuchi-san memandang Kanagawa-san seperti itu sambil wajahnya memerah dan tampak sedikit cemberut.

“Tidak apa-apa! Aku lihat kalian berdua selalu bareng terus!”

Karena jaraknya cukup jauh, aku tidak terlalu bisa melihat ekspresinya, tapi rasanya aku mendengar suara tawa kecil Kanagawa-san, “Fuh,” yang samar-samar menggema dari atas.

“C-Chiyo-chan, sudahlah!”

“Hehe~. Ya sudah, sampai nanti, ya~!”

Setelah ditegur oleh Takeuchi-san, akhirnya Kanagawa-san menarik kepalanya dari jendela. Sepertinya dia benar-benar pergi. Tapi tetap saja, aku masih penasaran apa sebenarnya yang sedang ditertawakan Kanagawa-san tadi.

“…Eh! T-tunggu, Takeuchi-san! Airnya! Tumpah, tuh!”

Kali ini dia bahkan bukan lagi menyiram bunga, melainkan menyiram air ke lantai beton.

Takeuchi-san, memang cukup unik, ya.

 

◇◇◇◇

 

Baiklah, kalau begitu, aku ingin kita memilih salah satu dari ini lewat voting!”

Keesokan harinya, pada jam keenam setelah sesi menyiram tanaman. Kanagawa-san, yang merupakan anggota panitia budaya kelas, sedang menatap daftar pilihan acara festival budaya yang dituliskan di papan tulis oleh salah satu anggota panitia budaya laki-laki yang bertugas sebagai sekretaris pada jam HR ini.

Seperti yang dikatakan Takeuchi-san, pilihan-pilihan yang muncul antara lain rumah hantu, roller coaster, planetarium, selain itu juga ada seni kardus, seni botol plastik, seni mosaik, kemudian ada juga Nebuta (lampion raksasa khas Jepang) dan iluminasi lampu sebagai kandidat.

“Sebelum melakukan voting final, apa perlu kita diskusi dulu?”

“Roller coaster jelas tidak mungkin. Ribet banget.”

Begitu rencana diskusi diumumkan, langsung saja terdengar suara protes dari kelompok cowok-cowok populer terhadap usulan roller coaster, yang sebenarnya merupakan ide dari para anggota laki-laki klub budaya bernama <Klub Ilmu Sains Kreatif>. Salah seorang laki-laki dari klub itu bergumam pelan, “K-Kalau memang tidak bisa,… tidak apa-apa….” Kasihan juga… Padahal sepertinya dia sangat ingin melakukannya…

“Kayak mosaik art tuh cuma dua dimensi doang, kelihatannya ngebosenin. Terus seni botol plastik juga kayaknya agak jorok. Itu kan dibuat dari sampah botol yang habis diminum orang lain, kan?”

Kali ini kelompok cewek-cewek populer yang melontarkan komentar seperti itu. Takeuchi-san dan Kanagawa-san juga sering terlihat berada di kelompok itu. Sementara itu, pilihan-pilihan bertema seni ini sebenarnya hanyalah usulan guru yang setiap tahun asal memasukkan beberapa ide sebagai kandidat acara festival budaya.

“Eh, bukannya bagus, ya? Kayaknya juga gampang.”

Anak-anak laki-laki pada dasarnya terlihat tidak terlalu bersemangat. Yah, memang, pameran itu terkesan agak sepi dan kurang meriah dibandingkan drama atau stan makanan.

Di tengah suasana itu, ada seseorang yang melontarkan pertanyaan kepada guru, “Kalau seni kardus itu, biasanya bikin apa, Pak?”

“Biasanya, tiap tahun ada yang membuat dinosaurus besar, robot, atau kastil. Karena biayanya juga tidak terlalu mahal, makanya saya rekomendasikan.”

Saat para siswa laki-laki mulai tertarik dan berkata, “Wah, ternyata bisa bikin begituan, ya,” salah satu anak laki-laki yang cukup berpengaruh di kelompok anak-anak populer juga menyahut dengan suara yang jauh lebih positif dibanding saat membahas roller coaster.

“Kayaknya tidak terlalu susah, deh. Kalau dibikin besar, pasti kelihatan keren juga, kan? Kayaknya pas banget, tuh.”

“Eeh, aku sih maunya yang kayak rumah hantu, yang bisa pakai seluruh kelas~”

Mendengar suara protes dari salah seorang siswi, Kanagawa-san tiba-tiba berseru, “Ah!” seolah mendapat ide.

“Kalau begitu, bagaimana kalau digabungin sama iluminasi lampu? Bikin kastil dari kardus, terus dihias lampu-lampu supaya menyala terang, lalu kelasnya juga dibuat gelap semua, biar kelihatan gemerlap banget! Kayak kastil Cinderella di Disney!”

“Eh! Kedengarannya estetik juga!”

“Itu bagus banget, tuh!”

Berkat usulan kompromi dari Kanagawa-san, akhirnya pandangan seisi kelas mulai mengarah ke satu titik. Memang luar biasa, ya. Sebagai seorang pemimpin, dia memang pandai menyatukan pendapat. Tapi...

“Kalau begitu, mari kita lakukan voting berdasarkan semua ide yang sudah muncul! Karena mungkin ada juga yang masih punya pilihan lain, kita voting dengan menundukkan kepala, supaya tidak kelihatan siapa pilih apa.”

Lalu──

“Oke! Sudah diputuskan!”

Acara kelas kami pun akhirnya ditetapkan: membuat kastil dari seni kardus.

Setelah itu, kelas dibubarkan. Bagi aku sendiri, sebenarnya tidak terlalu peduli apa pun hasil pilihan acara kelasnya.

Yang hanya terus terpikirkan olehku adalah: dari semua suara, hanya satu yang memilih planetarium—usulan dari Takeuchi-san.

 

◇◇◇◇

 

Setelah sesi homeroom untuk menentukan acara selesai, Takeuchi-san tampak agak berbeda saat mengikuti rapat rutin panitia sepulang sekolah. Saat diajak bicara pun, dia tampak tidak fokus, dan anehnya kadang-kadang aku merasa dia sedang memperhatikanku diam-diam.

Bahkan sekarang, ketika kami berdua sedang berganti sepatu di rak sepatu, saat aku melirik ke arah Takeuchi-san, seperti yang kuduga—mata kami bertemu. Tapi begitu itu terjadi, Takeuchi-san langsung terlihat gugup dan mengalihkan pandangannya dengan gelisah.

“Ta-Takeuchi-san, kamu kenapa?”

“Eh!? A-a-a-apa maksudmu!?”

“Tidak, soalnya dari tadi, kamu kelihatan aneh.”

“A-a-a-aneh!? Di-di-di, di mana yang aneh!?”

Ya ampun… bukan cuma “bagian mana” lagi, ini sudah kelihatan banget…

“Yah, tidak apa-apa kalau memang tidak mau bilang…”

Aku memang tidak berniat memaksa orang buat cerita kalau dia sendiri kelihatan tidak mau bicara. Lagipula, rasanya aneh juga kalau masalah Takeuchi-san didengarkan sama aku yang cuma anak penyendiri begini…

“Eh, kalau begitu, aku pulang duluan, ya. Takeuchi-san kan mau nungguin Kanagawa-san, kan?”

“A-ah, i-iya…”

“Ah, Yuzurin, Tanaka-kun!”

Tepat saat itu, sepertinya rapat panitia budaya juga baru selesai, karena Kanagawa-san datang menyusul ke rak sepatu. Ya sudah, berarti habis ini kami bubar.

Lalu, pada saat itulah Kanagawa-san berkata.

“Oh iya, Yuzurin, kamu sudah nanya ke Tanaka-kun soal itu?”

Soal itu? Soal apa, ya? Ada hal yang harus ditanyakan ke aku?

“E-ehm… belum…”

“Eeh, padahal kalau tidak ditanyain sekarang, nanti tidak ada kesempatan lagi, lho? Kamu mau nanya, kan?”

“Tapi… bagimana kalau ternyata cuma aku saja yang terlalu mikirin, kan tidak sopan…”

Eh, apa-apaan. Jadi ini gara-gara aku? Ada sesuatu yang bikin dia kepikiran? Celana aku kayaknya tidak kebuka, kan? Jangan-jangan… bulu hidung!?

Tapi tunggu sebentar, masa iya cuma soal sepele begitu? Kalau cuma hal kecil, Takeuchi-san tidak mungkin sampai segelisah itu, kan? Ahh, pasti aku sudah ngelakuin sesuatu. Di depan satu-satunya orang di kelas yang mau bersikap baik padaku. Serius, aku memang selalu begini.

Aku ini, penyendiri yang tidak bisa diandalkan.

Sambil panik sendiri dan mencoba menyelamatkan diri dengan mengusap hidung buat memastikan bulu hidungku tidak kelihatan, Takeuchi-san tiba-tiba membuka suara dengan wajah yang merah padam.

“U-um…!”

“Y-ya…!?”

“So-soal satu suara buat planetarium waktu kita milih kegiatan kemarin… apa itu mungkin… suara dari Tanaka-kun?”

“Eh, ah, iya.”

Syukuuuur banget. Jadi cuma itu tohhh. Padahal aku tadi sudah siap-siap dibilang kayak, “Celana kamu kebuka!” atau semacamnya.

Setelah lega, aku jadi ingat sesuatu dan mencoba menjelaskan.

“Ah, iya, itu aku, kok. Soalnya, Takeuchi-san bilang pengin bikin planetarium, kan? Tapi pas cuma dapat satu suara, aku mikirnya, mungkin kamu sudah berubah pikiran…”

Tatapan mata Takeuchi-san yang tertuju padaku tampak sedikit bergetar. Tapi ia tetap menatap langsung ke mataku, tidak berpaling sedikit pun.

“...Takeuchi-san?”

“Um, te… te… teri… terima kasih…”

“U-uh…? Tidak apa-apa, kok.”

“Syukurlah, ya, Yuzurin.”

“Aku malu! Chiyo-chan, ayo pulang!”

“Eh! Sekarang? Bukannya kamu masih mau ngobrol sama Tanaka-kun?”

Takeuchi-san tampak berpikir sejenak sambil cemberut, lalu ia mulai mengobrak-abrik isi ransel pink-nya tepat di hadapanku.

“I-Ini, buat… kamu…”

Dengan nada cadel yang jarang kudengar darinya, Takeuchi-san tiba-tiba menyodorkan satu kotak penuh Takenoko no Sato padaku.

“B-beneran dikasih!? Satu kotak penuh!?”

Takeuchi-san mengangguk cepat-cepat. Saat aku ragu menerima karena rasanya terlalu banyak, Kanagawa-san tersenyum dan menyemangatiku, “Ambil saja, tidak apa-apa.”

“Ah, makasih…!”

Begitu aku menerima kotaknya, Takeuchi-san langsung berkata, “Daaah…!” lalu menarik tangan Kanagawa-san dan membalikkan badan. Kali ini mereka benar-benar pulang, dengan Kanagawa-san yang tertawa geli di sampingnya.

Entah kenapa, aku merasa agak bingung, tapi… ternyata Takeuchi-san tim Takenoko no Sato, ya.

Sama sepertiku. (malu)

 

 

 

Sebelumnya |  Daftar isi  | Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama