Chapter 3 — Kami Hanya Berpelukan Di Tempat Tidur Dan Saling Mengungkapkan Cinta, Memangnya Ada Masalah?
Waktunya
sedikit mundur
saat Alisa dibawa ke dalam kamar
Ayano. Di kamar Yuki, kedua kakak beradik itu
saling duduk berhadapan.
Ini
adalah pertemuan pertama mereka sebagai kakak
beradik sejak Yuki mengusir Masachika dari kamar dua hari lalu karena marah. Orang pertama membuka suara adalah Yuki
yang duduk di tepi tempat tidur.
“…
Jadi? Apa kamu mengerti mengapa aku marah? Dasar
Onii-chan-sama yang bego dan telmi.”
“Kamu ini
mau menghinaku
atau menghormati sih.....?”
Masachika
tidak bisa menahan diri untuk menanggapinya seperti
biasa atas julukan konyol dan nyeleneh dari adik perempuannya.
Namun, Yuki tidak membalas dengan bercandaan,
melainkan menatap kakaknya dengan tajam. Masachika juga merasa tidak nyaman atas protes diam ini dan
menundukkan kepalanya.
“…
Maaf.”
“Hmph.”
Yuki
mendengus tidak senang mendengar permintaan maaf Masachika, lalu meletakkan
satu lututnya di tempat tidur dan menempelkan pipinya di sana.. Tentu saja,
dalam posisi itu, celana dalamnya terlihat jelas oleh Masachika yang duduk di
depannya. Namun, Masachika memilih untuk tidak mengomentari hal itu… atau begitulah yang seharusnya.
“…
Hei.”
“Hah, apa?”
“Apa-apaan dengan celana dalam beruang itu?”
Ya,
ketika melihat mata bulat dari beruang besar yang terlihat dari bawah roknya, mana
mungkina ia bisa mengabaikannya
begitu saja.
“Jangan
mengolok-olokku!”
“Seharusnya
aku yang bilang begitu!”
“Sekarang,
celana dalam tidak ada hubungannya, ‘kan?”
“Jika
tidak ada hubungannya, jangan menunjukkan
sesuatu yang begitu mencolok sekarang.”
“Apa
kamu sangat penasaran dengan Jodie-ku?”
“Kamu
bahkan memberi nama padanya? Rasanya jadi menjijikkan oi.”
Yuki
terus mengeluarkan pernyataan konyol dengan raut
wajah kesal, sementara Masachika menatapnya dengan campuran
rasa heran dan jengkel.
“Hei,
bukannya sekarang sudah saatnya untuk bicara serius?”
“…
Yah, aku juga berniat begitu, tapi…”
Yuki memalingkan wajahnya dan berbicara dengan ekspresi sedikit.
“Setelah pembicaraan
dengan Alya-san
tadi… aku sudah menghabiskan semua keseriusan untuk
hari ini.”
“Rasanya
mirip seperti stamina di game sosial.”
“Tapi yahh
keseriusan yang berkelanjutan selama itu juga berat buatku, tau.”
“Tapi, kamu menindih Jodie di antara kedua kakimu
selama pembicaraan itu, kan?”
“Apa
maksudnya menindih Jodi di
antara kakiku?”
“Diam!
Aku juga berpikir itu adalah bahasa Jepang yang aneh meski aku sendiri yang mengatakannya!”
“Ngomong-ngomong, Mary juga ada di belakangku.”
“Di
belakang? Oh, maksudnya di sisi pantat, ya… ah, tidak, itu tidak penting.”
Masachika
menghela napas pasrah,
tapi Yuki justru
berguling di atas tempat tidur. Gravitasi
secara alami menarik rok Yuki ke atas. Pantat Yuki jadi terlihat jelas. Dan kemudian, muncul gambar hiu besar.
“Ini dia, Mary.”
“Jangan
memperlihatkannya padaku. Tunggu,
jadi Mary itu maksudnya hiu? Apa-apaan dengan kombinasi agresif itu?”
“Bukannya
itu bisa membuatku kelihatan
lebih kuat?”
“Apa kamu
ingin memamerkan celana dalam keberuntunganmu? Bikin runyam saja! Dan mendingan cepat atur posisi itu!”
Sambil
berbicara dalam posisi yang cukup memalukan bagi seorang wanita, Yuki melakukan jungkir balikke belakang dengan pantatnya
mencuat ke udara, dia akhirnya berhasil berbalik dan berdiri… tapi di tengah jalan, dia kehabisan tenaga dan jatuh terkapar di tempat tidur.
“…
Jadi, apa yang akan kita lakukan? Apa kita akan membicarakan hal serius
sekarang?”
Itu
adalah pertanyaan yang tidak menunjukkan sedikit pun motivasi, dan terdengar
seperti dia hanya ingin bermalas-malasan. Namun, sebagai kakak laki-lakinya, Masachika bisa menangkap maksud
tersembunyi di balik kata-katanya.
(Ah....jadi itulah sebabnya dia bertingkah konyol?)
Yuki
mengatakan bahwa sekarang dia bisa mengabaikan semuanya. Dia mengatakan kalau dia bisa
menganggap bahwa tidak ada pertengkaran di antara
mereka dan kembali ke hubungan kakak beradik seperti biasa tanpa membahas
hal-hal yang lebih mendalam. Sejujurnya.... itu adalah usulan yang menarik
bagi Masachika yang enggan menyentuh hati orang lain.
(Tapi...
aku tidak boleh terus bergantung pada kebaikannya.)
Adik
perempuannya yang tersenyum ceria, bercanda, dan terus menyampaikan bahwa dirinya tidak perlu khawatir tentang
Suou. Sebagai akibat dari terus mengandalkan kebaikannya, Masachika mendapati dirinya memendam rasa
bersalah dan kebencian yang mendalam terhadap dirinya sendiri di dalam hatinya.
Jika dirinya bergantung pada kebaikan adiknya lagi, maka tidak
ada yang akan berubah. Oleh karena itu...
di sini dan sekarang, Masachika
harus melangkah maju.
“...Aku sih ingin membicarakannya baik-baik.”
Ketika
Masachika berkata demikian setelah memantapkan tekadnya, Yuki berbaring telentang dan
berbisik, “Oh gitu ya,” lalu bangkit dengan semangat.
“Ya sudah deh~, mari kita bicarakan dengan serius~”
Nada
suaranya terdengar ringan,
tetapi ekspresinya serius. Yuki merapikan rok dan menyilangkan kakinya, lalu
menyandarkan dagu di atasnya.
Saat
Masachika melihat mata Yuki yang tertuju padanya, dirinya dibuat terkejut.
Yuki yang
sebenarnya ada di sini, sekarang.
Yuki yang
benar-benar asli tanpa adanya akting maupun
tingkah laku yang penuh perhitungan. Dari bibirnya,
pertanyaan yang akan memulai kembali muncul dari
bibirnya.
“Jadi?
Apa kamu paham mengapa
aku marah?”
Masachika
memejamkan matanya sejenak, lalu menatap lurus ke arah adiknya dan menjawab.
“...Aku
telah mengabaikan perasaanmu dan semua yang telah kamu bangun hingga sekarang,
dan mengucapkan hal-hal yang
tidak sopan. Aku dengan sembarangan menganggapmu adalah korban dari keluarga
ini dan melukai harga dirimu.”
“...Benar sekali. Sejujurnya,
aku bahkan masih merasa kesal ketika
mengingatnya lagi sekarang.”
“Maafkan aku.”
“Jangan
minta maaf. Aku masih punya banyak hal yang ingin kukatakan.”
“...Aku
mengerti.”
Saat Masachika
mengangguk dengan serius, Yuki mengerutkan wajahnya dan mengeluarkan kata-kata
dengan nada kasar.
“Seriusan deh, jangan meremehkanku. Baik aku maupun tanggung
jawabku sebagai pewaris keluarga Suou. Rasanya menjengkelkan karena dianggap aku bisa digantikan dengan mudah, dan
aku tidak mengerti mengapa aku harus dikasihani, seriusan
jangan bercanda denganku.”
Dengan
ketidakpedulian dan ketidakberdayaan yang biasanya tidak terpikirkan, Yuki
meluapkan ketidakpuasannya kepada Masachika.
“Tidak,
aku memahaminya, kok? Bukan berarti aku menganggap enteng pendidikan pewaris
keluarga Suou. Sebelumnya, Onii-chan lah
yang memikul tanggung jawab itu, ‘kan?
Tapi, situasinya sekarang
berbeda dari saat itu. Jika kamu datang dengan semangat seperti protagonis
manga shounen yang tiba-tiba tersadar dengan misinya, aku akan berpikir, ‘Kamu mendadak ngomong apaan sih?
Lihatlah kenyataan, dasar bego.’”
“...”
Kata-kata
Yuki tentang “ide mendadak” menusuk hati Masachika
dengan dalam.
Memang benar, bagi seseorang
yang sebelumnya ragu untuk menginjakkan kaki ke rumah Suou, tiba-tiba
mengatakan ingin kembali hanya dalam setengah hari. Perubahan hati yang begitu
mendalam ini bisa dianggap sebagai ide yang sembrono dan tanpa
pertimbangan.
(Sebenarnya
ini bukan ide mendadak, aku sudah tahu sejak lama bahwa ini adalah sesuatu yang harus kulakukan... yah, aku baru
benar-benar merasa termotivasi
setelah melihat adikku menderita, jadi apapun yang kukatakan tidak akan
memiliki bobot atau meyakinkan.)
Tanpa
membantah sama sekali, Masachika terus mendengarkan
kata-kata adiknya dengan diam. Yuki tiba-tiba menurunkan suaranya dan bertanya
pelan.
“Hei, apa aku terlihat begitu
menyedihkan?”
“Tidak...!”
Masachika segera membantah
pertanyaan sama yang pernah diajukan
dua hari yang lalu. Kemudian, menyadari bahwa ia telah meninggikan suaranya, jadi dirinya
menarik napas dalam-dalam sebelum membantah lagi.
“Itu
tidak benar. Aku tidak berpikir kamu menyedihkan.”
Setelah
ditanya dengan nada yang tinggi oleh Yuki, Masachika terus-menerus bertanya
pada dirinya sendiri. Masachika perlahan-lahan
menyampaikan jawaban
yang ditemukannya.
“Bukannya begitu...
Kamu seharusnya punya banyak impian dan
pilihan. Banyak hal yang ingin kamu capai dan lakukan... Aku tidak bisa mempercayai bahwa menjadi pewaris keluarga
Suou adalah pilihan yang benar-benar kamu inginkan... Aku...”
Dengan sensasi sesak seolah-olah
ada seseorang yang mencengkeram dadanya, Masachika mengungkapkan
perasaannya.
“Melihat
dirimu sekarang membuatku merasa tidak nyaman... dan menyakitkan.”
Yuki
menerima perasaan jujur kakaknya
dengan ekspresi serius dan menjawab dengan tenang.
“Onii-chan, kamu sebelumnya pernah bilang, ‘kan? Kamu menganggap ayah yang
memilih menjadi diplomat untuk menikahi Ibu itu keren.”
“...Iya.”
Meskipun dirinya sedikit bingung dengan perubahan
topik yang tiba-tiba, Masachika tetap mengangguk.
Kemudian, Yuki dengan mata yang sedikit sedih bertanya.
“Lalu,
bagaimana denganku? Apa kamu tidak merasa bangga padaku yang memilih menjadi
diplomat demi
melindungi senyuman keluargaku sendiri?”
Dengan
pertanyaan yang penuh harapan, Masachika merasakan hatinya seperti disayat-sayat dan
menjawab dengan ekspresi hampir menangis.
“Aku merasa bangga... Kupikir kamu lebih hebat dan luar
biasa daripada siapa pun. Sungguh, aku hanya bisa menghormatimu. Tapi, justru
karena itulah... aku merasa sangat menyesalinya karena sudah memaksamu
harus memilih jalan itu...”
“...Oh,
begitu.”
Yuki
mengangguk kecil dan mengarahkan pandangannya ke atas. Dia menatap kosong ke
udara, lalu akhirnya mengeluarkan suara seperti berbicara sendiri.
“Jadi keputusanmu... takkan berubah,
ya?”
“...Ah.”
Masachika
memahami betul makna
bisikan abstrak adiknya dan mengangguk dengan
tegas.
“Supaya aku bisa melepaskan diri dari
penderitaan ini .... Aku
akan memaksakanmu untuk bebas. Apa pun yang kamu pikirkan tidak ada
hubungannya. Ini semua demi diriku sendiri──”
Masachika
berhenti sejenak dan dengan tegas mengumumkan.
“Aku akan
merebut posisi pewaris keluarga Suou darimu.”
Yuki
menundukkan pandangannya. Menerima tatapan Masachika yang tegas, dia memejamkan matanya sejenak dan... Yuki
tersenyum dengan sedih.
“Aku juga
ingin membebaskanmu, Onii-chan.”
Masachika
terkesiap saat adiknya mengakui perasaan rahasianya.
“Aku tidak
ingin membuat Onii-chan
menderita lebih jauh... Jadi, aku
ingin membebaskanmu.”
Itulah
harapan yang pernah dimiliki Yuki saat terbaring sakit. Menghadapi kembali
harapan itu, Yuki menundukkan pandangannya dengan penuh rasa sakit.
“Tapi,
ya. Jadi, begitu rupanya... Kurasa menjauh dari
rumah ini lebih menyakitkan untuk Onii-chan
sekarang...”
Ekspresi
yang muram itu disebabkan oleh rasa bersalah terhadap dirinya sendiri karena
membuat kakaknya merasakan hal itu, atau mungkin karena dia juga merasakan hal
yang sama, sehingga merasa terjebak.
(Seandainya saja kami bisa
lahir di keluarga biasa...)
Pikiran semacam itu melintas di benak Masachika.
Tanpa ikatan keluarga yang rumit dan tanggung jawab yang berat, di rumah yang
biasa di mana mereka berdua bisa memilih jalan yang mereka sukai...
(Sungguh pemikiran yang sia-sia.)
Sekarang
pun, jika dirinya mau, dirinya bisa memilih jalan itu. Mereka berdua bisa meninggalkan keluarga Suou
dan melarikan diri. Namun... Masachika
tahu adiknya tidak akan pernah memilih jalan seperti itu. Jadi, dirinya juga tahu apa yang akan
dikatakan selanjutnya.
“Tapi,
aku juga punya hal yang tidak bisa kutinggalkan.”
Adiknya
mendongakkan kepalanya dan menyatakan dengan tatapan yang
kuat, Masachika berpikir, “Ah, seperti
yang kuduga.”
“Aku takkan membiarkan siapa pun menghancurkan apa yang
telah kubangun sejauh ini. Aku pasti akan menjadi kepala
keluarga Suou, dan untuk itu aku akan memenangkan pemilihan dan menjadi ketua
OSIS. Aku takkan kalah dari Nii-sama maupun
Alya-san.”
Pernyataan
tekad yang gemilang dengan keyakinan tak tergoyahkan dan tekad yang kuat. Hanya
mereka yang telah memilih jalannya sendiri dan berjalan lurus di jalan itu,
seperti Alisa, yang bisa memancarkan cahaya jiwa yang begitu cerah.
(Sungguh,
bagi diriku yang selalu tersesat tanpa
tujuan.... ini terlalu menyilaukan.)
Dengan perasaan sinis dan merendakan dirinya sendiri dalam
hati, namun Masachika tidak
menunjukkan hal itu di wajahnya. Ia
berusaha untuk tidak kalah dalam sikap dan menyatakan dengan percaya diri.
“Aku akan
kembali menjadi Suou Masachika
demi bisa menjadi seseorang yang bisa kubanggakan.
Untuk melakukan itu, aku akan mengalahkanmu dalam
pemilihan OSIS dan
bergabung dengan Raikoukai
bersama Alya.”
“Jadi Onii-chan juga tidak berniat untuk
menyerah.”
“Ya, aku
akan menempuh jalan ini. Itulah yang sudah kuputuskan.”
“...Begitu ya.”
“...Tapi,
aku minta maaf karena sudah
meremehkan keputusanmu. Aku benar-benar minta maaf.”
“Ah,
ya... aku juga sempat menendangmu,
jadi itu sudah tidak masalah.”
Masachika
yang menundukkan kepala sekali lagi, membuat Yuki sedikit canggung dan berkata
sambil membersihkan tenggorokannya.
“Hmm...
jadi, berarti kita berdamai untuk saat ini, ya?”
“...Jika
kamu memaafkanku.”
“Ah~mou~ sudah deh, berhenti dengan
sikap merendah seperti itu. Rasanya jadi canggung tau.”
Sambil
melambaikan tangannya seolah-olah ingin mengusir suasana serius, Yuki
menepuk kedua telapak tangannya.
“Baiklah! Dengan
begini kita sudah berbaikan sekarang! Oke?”
“...Baiklah.”
“Sekarang,
pertengkaran kita selesai! Yeaaah~~~~~!”
Dia
berdiri di tempat tidur dengan kedua tangan di pinggul dan menatap Masachika
sambil mendengus “Hmph!”. Yuki lalu mengangkat dagunya dan berkata.
“Ayo kita
main permainan 'Aku mencintaimu'.”
“Kenapa??”
“Kita
saling mengungkapkan cinta sebagai tanda berbaikan.”
“Berkata
saling mencintai... itu permainan di mana
kita saling menatap satu sama lain dan bilang 'Aku
mencintaimu', dan yang pertama merasa malu kalah, kan?”
“Benar.
Tapi kali ini, kita ubah sedikit aturannya; yang merasa puas duluan yang kalah, bukan yang merasa
malu.”
“Puas...?
Apa maksudnya?”
“Yuk,
kita mulai. Ayo sini, sini.”
“...Iya, iya.”
Yuki
duduk di tepi tempat tidur dan mengajak Masachika untuk duduk di sampingnya.
Masachika tahu bahwa apa pun yang dikatakannya
sekarang akan sia-sia, jadi dirinya cuma bisa menurut.
Setelah
duduk di tempat tidur, Yuki menatap Masachika dengan serius dan berkata.
“Onii-chan... aku mencintaimu.”
“...O-Oh.”
Masachika
sedikit terkejut dengan pernyataan kasih
sayang Yuki yang serius, bukan sikapnya yang biasa.
“I-Iya, a-aku juga──”
“Lihatlah
mataku.”
“Ugh...”
Ia
secara refleks mengalihkan pandangannya, tapi dirinya
segera ditegur sehingga Masachika pun menatap Yuki. Dengan susah payah berusaha menahan rasa malunya, Masachika
akhirnya berkata.
“Aku
mencintaimu, Yuki.”
“Aku juga
mencintaimu.”
“Aku
mencintaimu dengan sepenuh hatiku.”
“Aku
mencintaimu lebih dari siapa pun di dunia ini, Onii-chan.”
“...Aku
juga sangat mencintaimu lebih dari apapun.”
“............mufufufu~”
“Bukannya kamu sudah merasa puas.”
Masachika
menatap dengan tatapan curiga ketika Yuki menunjukkan
seringai lebar di wajahnya. Namun, Yuki menggelengkan
kepala.
“Tidak,
aku belum merasa puas. Ayo lanjutkan.”
“Penilaianmu
ngawur.”
Mengabaikan
komentar dingin Masachika, Yuki menatapnya dengan tatapan manja.
“Onii-chan... aku mencintai Onii-chan yang lembut dan imut ini lebih
dari siapa pun, loh?”
“...Bagiku,
kamu adalah adik perempuanku yang
paling imut dan baik hati.
Aku juga mencintaimu.”
“Nyuhuhuhuhuhuhu~~”
“Jadi,
kamu sudah merasa puas, ‘kan?”
“Unnyaa, aku belum puas. Aku masih membutuhkan lebih banyak cinta.”
“Memangnya kamu harus mengatakan itu
sambil memelukku?”
Saat
adiknya memeluknya erat dan menempelkan kepalanya padanya, Masachika menghela
napas dalam hati, bertanya-tanya seberapa serius adiknya ini, dan memutuskan
untuk menanyakan hal itu.
“...Begini, seberapa seriusnya sih itu?”
“Hmm~? Apa maksudmu?”
“...Sejujurnya, aku tidak tahu alasan mengapa kamu begitu menyukaiku.”
Ketika
Masachika mengucapkan itu dengan tekad, Yuki tertegun
sejenak dan melepaskan pelukannya. Dia menatap Masachika
dengan ekspresi kosong, dan Masachika pun menjawab dengan hati-hati.
“Aku... adalah
kakak yang tidak berbuat apa-apa dan hanya menjalani kehidupan yang bermalas-malasan saat kamu berjuang melawan penyakitmu di rumah ini dan berusaha
keras dalam pendidikan sebagai pewaris.
Seharusnya kamu membenciku, bukan mencintaiku.”
Yuki
membelalakkan matanya lebar-lebar menanggapi pertanyaan Masachika... dan
mengucapkan satu kata sambil tersenyum tipis.
“Kamu sok
sekali sampai-sampai nyebelin!”
“Eh──”
“Kalau kamu sampai bilang
begitu, berarti aku adalah adik yang malas-malasan dan bermain-main saat kakaknya sedang belajar dan berusaha keras, ‘kan? Dan aku juga sering
mengganggu kakaknya saat
belajar, ‘kan? Selain
itu, aku sampai sakit asma dan menarik perhatian orang tua kita sepenuhnya? Seharusnya aku
dibenci, bukan dicintai.”
“Itu....”
Kedengarannya
memang benar jika hanya faktanya
saja yang disampaikan. Namun sebenarnya, Masachika tidak
pernah menganggap Yuki sebagai pengganggu maupun
membencinya.
(Tidak,
itu mungkin berlebihan. Sejujurnya, ada kalanya aku
memang merasa kalau dia menyebalkan
beberapa kali... malahan cukup
sering.)
Meskipun
begitu, Yuki selalu menjadi adik perempuan yang
imut bagi Masachika. Baik saat
dia masih menjadi anak nakal yang suka mengerjai orang, saat dia terbaring di
tempat tidur karena asma, saat melakukan hal konyol sebagai otaku, maupun saat
bersikap seperti wanita terhormat. Masachika tidak bisa menahan rasa sayangnya
terhadap Yuki. Ia sangat
mencintai adik perempuannya yang
bebas, ceria, dan terlihat egois namun selalu memikirkan orang lain.
“Aku juga
sama.”
Yuki
tersenyum lebar seolah-olah bisa membaca pikiran kakaknya.
“Kamu
memang pemalas, tapi kamu terlalu banyak berpikir, selalu khawatir dan
menyesal. Kamu mudah
jatuh ke dalam depresi jika dibiarkan. Meski begitu, kamu selalu lembut dan
membiarkanku bergantung padamu. Kamu selalu mencintaiku. Aku juga sangat mencintai Onii-chan yang seperti itu.”
Setelah
mengatakannya, Yuki berlutut dan memeluk
kepala Masachika.
“Aku akan
selalu mencintaimu.”
Sesuatu yang lembut menekan dahi Masachika, dan seketika
terdengar suara ciuman saat itu terlepas, diikuti dengan pelukan erat di
kepalanya.
Berbeda
dengan pelukan anak kecil yang penuh canda sebelumnya, ini adalah pelukan yang
lembut dan hangat, seolah-olah orang tua sedang menyampaikan kasih sayang
kepada anaknya.
(…Ah, jadi begitu. Kita merasakan hal yang
sama, ya.)
Tiba-tiba,
Masachika merasa paham.
Perasaan
mencintai seseorang yang melampaui logika. Perasaan yang dimiliki Yuki terhadap Masachika adalah
sama dengan perasaan yang Masachika miliki terhadap Yuki.
Kemudian,
Yuki melepaskan pelukannya sedikit, dan ketika Masachika melihat ke atas,
adiknya menatapnya dengan senyuman lembut.
“……”
Masachika
diam-diam memeluk adiknya dengan lembut, seperti yang dilakukan Yuki tadi.
“Iya~~~nnn, aku jadi malu~”
Sambil
bersuara manja yang berlebihan, Yuki
juga membalas pelukan Masachika.
“Nyuhuhu~~n♪”
Di dalam
pelukan Masachika, Yuki menjerit kepuasan
dari lubuk hatinya. Mereka
berdua merasakan detak jantung dan suhu tubuh satu sama lain untuk beberapa
saat, tetapi…
“Jadi,
mau bagaimana dengan suasana ini? Mau
bahas tentang payudara?”
“Ya enggaklah! Kenapa pula kita harus membahas
itu?”
Suara
Yuki yang tiba-tiba penuh semangat anak nakal menghancurkan suasana yang
ada.
“Tidak,
aku cuma berpikir kalau terus begini, kita bisa benar-benar
masuk ke dalam cabang cerita yang berbeda…”
“Apanya yang cabang cerita berbeda?”
“Aku… menyukai adikku…
▼Sebagai seorang wanita
▼Sebagai anggota keluarga.”
“Mana ada
cabang cerita begitu! Kelihatannya
mungkin ada, tapi aslinya
tidak! Satu-satunya pilihan
cuma sebagai keluarga!”
“Apa itu
karena aku tidak memiliki payudara yang cukup? Atau memang kurang payudara?”
“Jangan memaksakan bawa-bawa pembicaraan tentang
payudara!”
“Tapi,
jika aku punya payudara besar, kamu
pasti mau menindihku, ‘kan?”
“Payudara
adik perempuan itu mirip seperti
mata sihir dari seorang ayah yang botak dan gendut.”
“Ugh,
kamu bisa menanggapinya dengan
baik sekali…”
Yuki
menjauh dari Masachika dengan
wajah seperti mengunyah serangga pahit. Kemudian, dia meletakkan tangan di dahi
dan dengan ekspresi pahit berkata.
“Tapi tunggu… jika ayah yang botak dan
gemuk itu rupanya mantan
pahlawan yang baru kembali dari dunia lain dan melepaskan mata sihirnya setelah
tiga puluh tahun untuk melindungi keluarganya yang dicintainya… aku bisa merasa
terangsang. Aku bisa merasa terangsang!”
“Sepertinya
kamu sangat mengandalkan kekuatan imajinasi, ya. Rasanya
tidak jauh beda dengan berpura-pura bahwa ‘ini adalah payudara idol gravure xxx-chan favoritku’
ketika di depan payudara adikmu.”
“Gugh! Tapi
membayangkan latar belakang dan menggunakan imajinasi untuk menutupi bagian
yang tidak nyaman adalah dua hal yang berbeda...”
“Itu
saja tidak membuatku terangsang, jadi itu sama saja.”
“Gunununu, ugggh…!”
Yuki
meringkuk di atas tempat tidur sambil
mengeluarkan suara mengerang kesakitan.
Dia kemudian memukul seprai dengan kepalan tangannya dan mengeluarkan suara
seolah-olah ingin memuntahkan darah.
“Kenapa… bukannya semua wanita akan menjadi seksi
tanpa syarat jika memiliki payudara besar…!”
“Bukti
penyangkal: Elena-senpai.”
“Guha!”
“Lagian juga, tidak
peduli seberapa besar payudara perempuan, menurutku mereka tidak kelihatan ‘seksi’
jika tidak mengenakan pakaian yang terbuka. Jika dia cuma berpakaian biasa, yang ada hanya
pikiran ‘payudaranya besar, ya’.”
Saat
Masachika mengibaskan tangan
seolah mengatakan ‘tidak
ada’ dan
mengkritik, Yuki tiba-tiba berhenti bergerak, dan dalam sekejap dia duduk
dengan ekspresi bangga di wajahnya.
“Hmm, ayolah,
jangan bercanda… Masa Anii-ja
yang seharusnya lebih dewasa, masih terpaku
dengan hal seperti itu?”
“Eh?
Kenapa tiba-tiba kamu kembali bersemangat?”
Yuki
menggelengkan kepalanya dengan wajah meremehkan dan kedua
tangan terangkat. Tanpa sedikit pun takut dengan tatapan dingin kakaknya, dia
menundukkan mata dan mengangkat poni dengan lembut sambil berbicara.
“Memang benar,
pakaian yang terbuka… seperti bikini atau pakaian dalam itu sangat luar biasa…
kulit lembut gadis yang tidak pernah bisa dilihat sehari-hari. Namun, ada rasa
frustrasi karena bagian pentingnya tidak terlihat. Jika payudaranya besar, sensasi bergoyang dan memantul itu bisa membuat kita
membayangkan kelembutan dan kekenyalan saat menyentuhnya… Tapi. Akan tetapi....”
Kemudian
Yuki melirik dengan penuh gaya dan berkata dengan ekspresi yang sangat
menjengkelkan.
“Dengan
sengaja, ya dengan sengaja, pakaian seragam atau jas… pakaian kaku yang jauh
dari keterbukaan… Payudara besar yang tertekan
sampai penuh di bagian dada itu juga memiliki daya tarik erotisnya tersendiri…”
“……
Tidak, seperti yang sudah kubilang
sebelumnya, melihat itu tidak berarti kelihatan
erotis──”
“Bagaimana
pun juga, itu erotis tau!!”
“Eh,
menakutkan! Menakutkan! Kegerimbaanmu menakutkan
sekali, tau!”
Masachika dibuat terkejut dengan ekspresi
Yuki yang membuka matanya lebar-lebar dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Kemudian, Yuki mendadak mengerutkan wajahnya dan
berteriak dengan ekspresi hampir menangis.
“Baka! Onii-chan no baka! Kamu masih saja tidak
mengerti!”
“Eh, ada
apa tiba-tiba kamu jadi seperti itu?”
“Bukannya Onii-chan sendiri yang
bilang! ‘Melihat semuanya justru membuatmu kehilangan semangat. Melihatnya secara sekilas itulah
keadilan!’”
“!!”
Masachika
terperangah mendengar kata-kata yang pernah
diucapkannya kepada
adik perempuannya. Yuki menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca dan berteriak.
“Bukannya Onii-chan sendiri yang mengajariku…
daya tarik erotis dari
menyembunyikan sesuatu, ‘kan? Tapi kenapa, Onii-chan…
kenapa kamu tidak memahami daya tarik erotiss dari menyembunyikan
segalanya!?”
“……!!”
Mendengar
seruan penuh memilukan dari adik perempuannya, Masachika menutup mulutnya
dengan tangan yang bergetar. Lalu, ia mengalihkan
pandangannya dan perlahan-lahan berbisik dari dalam hatinya.
“Ahh… iya, kamu benar… itu memang benar…”
Setelah
mengucapkannya seakan-akan sedang
berbicara pada dirinya sendiri,
Masachika menatap Yuki dengan ekspresi sedih.
“Maaf,
akulah yang salah.”
“Bodoh! Bodoh! Dasar Onii-chan bodoh!”
Sambil
terus memaki, Yuki melompat ke pelukan kakaknya dan memeluknya dengan erat.
Masachika membalas pelukan itu dan dengan suara lembut mengakui
kesalahannya.
“Benar…
payudara besar itu seksi. Mereka tetap kelihatan
erotis meskipun tertutup pakaian. Seperti yang kamu
katakan.”
“Benar!
Di dalam pakaian yang ketat, jelas-jelas ada payudara besar yang tertekan!
Kerutan pakaian yang tidak alami karena itu! Siluet yang terlihat jelas! Kancing yang hampir
copot! Itulah yang seksi! Uwaaa~~!!”
Suara
tangisan adik perempuannya membuat kakak laki-lakinya memeluknya seolah
menghibur. Pemandangan mereka
berdua yang saling berpelukan itu… diperhatikan oleh Alisa dengan ekspresi yang
sangat kaku.
“N-Nee, Ayano-san… apa yang sedang
dilakukan kedua orang itu dari tadi?”
“Mereka
sedang memastikan ikatan persaudaraan mereka.”
“Benarkah~~?”
Alisa
menatap Ayano dengan mata yang sangat skeptis setelah mendapat jawaban yang langsung dan tanpa
ragu. Melihat Ayano yang memiliki tatapan berbinar-binar
seolah melihat sesuatu yang berharga, Alisa merasa sedikit menjauh.
Dia
samar-samar bisa mendengar teriakan Yuki yang menuduh melalui pintu, dan ketika
dia dengan hati-hati mengintip ke dalam, inilah pemandangan
yang dia lihat. Dari sudut
pandang orang luar, mereka adalah kakak beradik yang berusaha berbaikan dengan
penuh air mata, tetapi isi percakapan mereka justru
mirip seperti obrolan bodoh antara remaja laki-laki.
Informasi yang masuk dari mata dan telinga terlalu tidak cocok sehingga otaknya
terasa seperti error. Apa ini bukan video kolaborasi?
“……”
Alisa
melirik sedikit ke arah payudaranya
yang jelas-jelas termasuk kategori payudara besar di Jepang… yang masih terus
tumbuh, dan dia dengan lembut menyembunyikannya
dengan kedua tangan. Sementara itu, Ayano yang tubuhnya kecil memiliki sesuatu
yang cukup mengesankan, tetapi dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda
untuk menyembunyikannya.
“Ngomong-ngomong,
kapan Onii-tan akan menyadari daya tarik erotis dari perut?”
“Sejujurnya,
aku benar-benar tidak tahu. Maksudku, bukannya perut
itu tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan?”
“Kamu bilang apa, brengsek… tapa
kamu bisa mengatakan hal yang sama tentang bokong atau paha?”
“Hmm,
jika kamu mengatakannya begitu…
tapi ya, mungkin ada keunikan di pusar pada setiap orang.”
“Hohou~, jadi begitu
ya? Memang benar, ada yang namanya tindik
pusar. Mungkin itu bisa menjadi salah satu daya tariknya.”
“Ya,
meskipun aku juga tidak terlalu paham tentang keindahan tindik pusar…”
“Orang-orang punya selera yang
berbeda soal tindik~. Hmm~, bagaimana dengan sesuatu yang
lain yang kamu taruh di perutmu...… mungkin tanda yang erotis?”
“Tiba-tiba
datang yang sangat dua dimensi, ya… Sejujurnya,
aku juga tidak terlalu paham tentang tanda erotis itu.”
“Hmm, aku
setuju. Aku juga tidak berpikir tanda erotis itu seksi.”
“Pada
kenyataannya, itu mirip dengan tato. Dalam arti bahwa selera orang berbeda, itu
mirip dengan tindikan. Secara
pribadi, aku tidak terlalu suka menulis huruf atau pola di kulit yang
indah…”
“Tapi
menurutmu huruf 'æ£' itu erotis, bukan?”
“Karakter
'æ£' memang erotis banget.”
“Dasar
lelaki mesum!”
Sambil
terus berpelukan, percakapan antara kakak
beradik itu semakin meriah, sementara kedua gadis polos itu hanya
bisa memiringkan kepala mereka sambil bertanya penasaran, “Karakter 'æ£' …?”. (TN: If you know, you know ( ͡° ͜Ê– ͡°))
Obrolan
ala remaja laki-laki antara kakak beradik
itu berlanjut sampai Masachika menyadari keberadaan Alisa.
*Yuki
sudah menyadari ketika Alisa mengintip*
