Chapter 4 — Otak Alisa Dihancurkan Berulang Kali
“Oi,
Yuki, Alya sedang melihat! Alya sedang melihat kita,
lho!”
“Tidak ada
salahnya ‘kan~, kita tinggal tunjukkan
saja padanya… Weeei~, Bendahara-chan, apa kamu melihatnya~? Masachika sedang memelukku di tempat tidur loh~!”
“Jangan
campur adukkan semuanya. Lepaskan”
Menerima
tatapan dingin dari Alisa, Masachika mencoba mendorong Yuki menjauh. Namun,
Yuki tetap menggenggam leher Masachika dengan kedua tangannya dan tidak mau
melepaskannya.
“Mou~,
kamu kenapa sih, Masachika-kun? Bukannya kita berdua baru saja
berpelukan begitu mesra~♡?”
Sambil
mengeluarkan suara manis dengan
nada seperti putri, Yuki mulai bersikap manja.
Pada saat
itu, Alisa berjalan mendekati mereka lalu dengan cepat menarik
kerah belakang Yuki dan
memisahkannya dari Masachika.
“Ah~~~lohh~~~~~”
Yuki
berteriak dengan suara datar yang dibuat-buat sambil menggulingkan tubuhnya
dengan cara yang komikal. Alisa
memandangnya dengan tatapan mata dingin dan mencoba mengalihkan
pandangannya ke arah Masachika—tetapi,
dia melihat bokong Yuki yang terbuka tiga kali.
“Eh!?”
“Oi~
Mary, cepat sembunyikan Mary~!”
“Ups,
maafkan aku.”
Alisa
menunjukkan ekspresi langka dengan mata terbelalak, hampir tertawa, dan Masachika
mengalihkan pandangannya untuk memanggil
Yuki. Kemudian, Yuki yang terbaring dalam posisi konyol
mirip seperti adegan
di komik lama, bangkit dan merapikan rok. Dia menatap Alisa sambil mengangkat
alisnya.
“Oi,
oi, pretty girl… Apa yang terjadi dengan
wajahmu? Kalau kamu hampir tertawa hanya karena ini, kamu takkan bisa bertahan
di rumah ini, loh~?”
“Jangan
merendahkan martabat keluarga Suou.
Hanya kamu satu-satunya yang aneh
di rumah ini.”
“Benar sekali. Aku yang aneh ini, akan
berusaha sekuat tenaga untuk membuat kakek dan ibuku tertawa dari tempat yang
tidak terlihat. Mari kita
sebut saja, kunjungan ke rumah Suo yang tidak boleh tertawa...”
“Seriusan, hentikan itu, oke? Jangan pernah menunjukkan Jodie-mu dari belakang kakek, ya? Seriusan!”
“Jodie...?”
“Ini dia,
Jodie.”
“Hhhh!?”
Saat Yuki
mengangkat roknya untuk
menunjukkan celana beruangnya, Alisa kembali menutup mulutnya
lagi karena dia hampir tertawa terbahak-bahak.
Kemudian, setelah entah bagaimana berhasil menahan
tawa yang hampir keluar, dia menatap Yuki dengan campuran rasa kagum dan
keheranan.
“Kamu
benar-benar bisa menyembunyikan sifat aslimu di sekolah, ya...”
“Ini
adalah penyamaran yang sangat baik, ‘kan?”
“Ya,
seriusan.... Sampai-sampai aku mengira
kamu punya kepribadian ganda.”
“Ara~ara~sampai
dicurigai kepribadian ganda segala.... sebut saja itu sebagai 'mode Ojou-sama', oke?”
“Ugh,
kepalaku lama-lama jadi ikutan gila...”
Dengan
sikap, cara bicara, dan bahkan nada suara yang berubah drastis,
Yuki membuat Alisa menggelengkan kepala dan mengeluarkan suara yang belum
pernah dia dengar sebelumnya. Melihat itu, Masachika berpikir bahwa “Yuki yang bersemangat terlalu
berlebihan untuk Alya yang
serius,” Ia kemudian turun dari tempat
tidur dan mendekati Alisa.
“Baiklah,
Alya, mari kita pergi ke kamarku
sebentar."
“Oh,
aku juga~ aku juga~!”
Namun,
sebelum Alisa sempat menjawab, Yuki mencondongkan tubuhnya ke atas ranjang dan
memeluk Masachika.
“Whoa...
Enggak, kamu sih jangan ikutan!”
“Kenapa
sih, jangan tinggalin aku dong...
ayo, aku mau naik!”
“Jangan
naik, jangan naik!”
Adiknya yang lincah itu mulai memanjat dengan tangan di bahu kakaknya dan
kaki melilit tubuhnya. Masachika berusaha bertahan agar tidak terjatuh sambil
memberikan komentar. Namun, Yuki tidak peduli dan memegang bagian bawah dada Masachika
dengan kedua kakinya, lalu memeluk kepala kakaknya dengan erat.
“Enggak mau~!
Padahal kita baru saja berbaikan! Aku tidak mau jauh darimu! Jangan tinggalkan aku!”
“Aduh, aduk, tunggu, leherku bisa sakit,
hentikan!”
Melihat
Yuki yang bermain-main seperti
anak TK, pipi Alisa mulai berkedut.
“…Hei,
apa kalian berdua selalu seperti
ini…?”
“Hmm?
Itu sih, tentu saja—”
“Tidak,
itu tidak benar. Rasanya lebih mirip
seperti hujan yang membuat tanah menjadi padat.”
“Mouu~,
kamu kenapa sih, Onii-sama♡ Apa kamu
merasa malu karena ada Alya di sini?”
“Kenapa
kamu—”
Bersikap
lebih manja dan menjadi lebih lengket dari
biasanya? Hanya karena mereka berdamai, tidak mungkin hanya itu...
Saat berpikir sejauh itu, Masachika tiba-tiba menyadari. Dia melihat ke atas
dengan tatapan curiga.
“Kamu
mulai menikmatinya, ‘kan?”
Merasa
Yuki berhenti mengusap pipinya di atas kepala, Masachika melanjutkan.
“Ini
pertama kalinya kamu menunjukkan sisi itu di depan teman, jadi... pasti kamu
merasa senang, kan?”
“…Seperti
yang diharapkan dari My sweet Onii-chansama. Kamu tahu segalanya dariku.”
Yuki
berkata demikian dengan nada serius dan
melompat turun dari tubuh Masachika. Dia kemudian tersenyum sedikit minta maaf
kepada Alisa dan berkata,
“Maaf ya, Alya-san. Ini pertama kalinya
aku menunjukkan sisi seperti ini di depan orang lain selain keluargaku dan Ayano... jadi aku sedikit
terlalu bersemangat.”
“Ah,
be-begitu…”
Ekspresi
muram Alisa langsung memudar, dan dia
bergumam, 【Aku, yang pertama…】 lalu menunjukkan ekspresi yang sedikit angkuh
namun tampak senang.
“Yah,
jika itu yang pertama kalinya…
kurasa mau bagaimana lagi.”
“Hehe,
terima kasih. Itu sebabnya aku sangat menyukai Alya-san.”
“Be-Begitu?
Terima kasih...”
Alisa
terkejut sejenak ketika mendengar pernyataan
langsung yang tiba-tiba, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan sibuk
memainkan rambutnya. Itu jelas merupakan cara untuk menyembunyikan rasa
malunya.
((Dia memang gampangan banget,
ya…))
Suara batin
kakak beradik itu secara tidak sengaja bersatu. Kemudian, Yuki
dengan senyum lebar mengangkat kedua tangannya.
“Kalau
begitu, mari kita berpelukan untuk berdamai. Tenang saja, tidak ada niat buruk
sama sekali, kok!”
“Apa
yang kamu katakan dengan wajah om-om hidung belang seperti
itu?”
Saat Yuki
mulai berlari dengan kedua tangannya
menggenggam di ketinggian bahu, Masachika menangkap kerahnya dengan kuat untuk
menghentikannya. Beberapa detik kemudian, tampaknya Alisa juga menyadari maksud
dari tindakan itu, lalu cepat-cepat menyilangkan kedua lengan di depan dada dan
mundur.
“Ka-Kamu
ini... maksudku, kenapa kamu begitu tertarik dengan payudara? Bu-Bukannya
kamu juga punya sendiri?”
“Hah...
itulah sebabnya kamu masih gadis
yang polos."
Dengan
Masachika masih memegang kerah bajunya, Yuki menggerakkan bahunya dengan
ekspresi kesal.
“Dengarkan
baik-baik! Di dunia ini, ada empat jenis payudara... Payudara yang tidak bisa
diremas. Payudara yang bisa diremas. Payudara yang bisa digenggam.
Dan... payudara yang bisa dijepit.”
“Memangnya itu hal yang harus dikatakan dengan ekspresi bangga?”
Tanpa
menghiraukan komentar dingin dari kakaknya, Yuki terus mengangkat tangannya ke
dadanya.
“Aku
memiliki payudara yang bisa diremas.
Ayano memiliki payudara yang bisa digenggam. Sedangkan
Alya-san... sepertinya sudah bisa dijepit."
“Ap-Apanya...”
“Eh?
Tentu saja maksudnya adalah titi—”
“Pengemasan!”
Masachika
melemparkan adiknya ke atas tempat tidur, menggulungnya bersama selimut, dan
sebagai sentuhan terakhir, meletakkan bantal di atas wajahnya, mengabaikan
suara “guhee” dari
Yuki dan mengarahkan Alisa ke arah pintu.
“Ayo,
kita pergi. Jika terus bersama orang ini, rasanya pasti
akan melelahkan.”
“Pria
yang mencoba membawa seorang wanita ke kamarnya untuk alasan yang masuk akal berhak ngomong apaan sih... bukannya yang begitu~ jauh lebih melelahkan~? Bukannya main tusuk-tusukkan jauh lebih melelahkan~?”
“Yup, sebaiknya
jangan mendengarkan omongannya.”
Mengabaikan
suara teredam dari bawah bantal, Masachika mendorong Alisa keluar. Saat mereka
hampir keluar dari ruangan, dia memberi tahu Ayano yang berdiri di samping
pintu dengan suara pelan.
“(Karena
dia terlalu bersemangat setelah sembuh, tolong biarkan dia istirahat.)”
“(Baik,
saya mengerti.)”
“Hm?
Ayano?”
“(Ada
apa?)”
Masachika merasa ada yang aneh dengan ekspresi Ayano yang
mengangguk dan menatap
wajahnya dengan seksama, tetapi Ayano hanya menundukkan kepala dengan ekspresi
datar seperti biasanya.
“…Baiklah,
aku menyerahkan sisanya padamu.”
“Ya.”
Masachika
berpikir dalam hati, ‘Apa
itu cuma
perasaanku saja?’ dan mengikuti Alisa keluar dari
ruangan.
Kemudian
sambil mengkhawatirkan perilaku Ayano, dirinya menuju ke bekas kamarnya, membuka
pintu, dan menyambut Alisa.
“Silakan
masuk... meskipun aku tidak tahu apa bisa menyebut ini kamarku.”
“Permisi...”
Alisa
yang masuk dengan sedikit ragu-ragu
diikuti oleh Masachika yang menutup pintu dari belakang. Kemudian, Alisa perlahan-lahan melihat sekeliling ruangan di
mana waktu seolah berhenti beberapa tahun, tampak sepenuhnya melupakan
keributan sebelumnya, dan bergumam
dengan emosi mendalam.
“Jadi kamu
dibesarkan di sini, ya?”
“Ya,
aku juga terkejut ruangan ini masih seperti ini.”
“…Boleh
aku menyentuhnya?”
“Silakan.”
Dengan
izin Masachika, Alisa berdiri di depan rak buku, menarik buku terdekat dan
membolak-balik isinya sambil mengerutkan dahi.
“Kamu
membaca ini saat masih SD?”
“Hm? Mana, mana? ....Oh,
aku ingat pernah membacanya. Tapi rasanya aku tidak sepenuhnya memahaminya saat
itu.”
Masachika
terkekeh sambil menatap buku tentang sejarah modern dan urusan dunia yang
dipegang Alisa
dengan penuh rasa nostalgia.
“Begitu...
ya, rasanya
jadi mulai terasa nyata.”
"Eh?
Apanya?”
Saat Masachika mengangkat pandangannya, matanya
bertemu dengan senyuman Alisa. Dia
menunjukkan sekeliling ruangan dengan tatapannya dan berkata dengan suara
lembut,
“Bahwa kamu
pernah menjadi Suou Masachika... dan berusaha keras untuk menjadi penerus keluarga
Suou di rumah ini... semuanya itu merupakan
kenyataan. Ya. Sekarang, aku akhirnya mengerti.”
“...”
Di mata Alisa
yang berbicara, mungkin dia sedang membayangkan
sosok Masachika yang masih kecil belajar dengan giat. Masachika tidak tahu
harus bereaksi bagaimana dan hanya mengangguk samar, lalu Alisa bergumam,
“Kamu
juga... sudah berusaha keras,
ya?”
“Eh?”
“Ah,
tidak. Aku berpikir... bahwa
kamu itu orang yang bisa melakukan apa saja tanpa perlu berusaha.”
Setelah
melihat tatapan bingung Masachika, Alisa
sedikit merasa canggung, lalu dia melihat
rak buku yang penuh dengan buku tebal dan melanjutkan,
“Tapi
kamu benar-benar berusaha sejak kecil. Upayamu
pasti lebih keras dariku... setelah memikirkan hal itu... ya. Aku
merasa sangat menyesal telah salah paham tentangmu.”
“...”
Itu
adalah sesuatu yang belum pernah dipikirkan Masachika sebelumnya, sehingga dirinya tidak bisa langsung
memahaminya. Namun, Alisa menyentuh punggung buku di rak sambil berbicara
dengan suara lembut,
“Setiap
buku di sini... setiap usaha yang kamu lakukan membentuk dirimu yang
sekarang... aku sangat senang bisa menyadari hal itu.”
“...”
Masachika
terdiam ketika mendengar kata-kata yang tak
terduga tersebut.
Usaha. Dirinya merasa bahwa itu adalah sesuatu
yang paling jauh darinya.
Selama
ini, Massachika merasa bisa beradaptasi dengan
baik hanya dengan bakat yang diwarisi dari orang tuanya. ...Ya, ia selalu berpikir demikian. Namun...
(Usaha
sebagai Suou Masachika...)
Jika
dipikir-pikir, memang ada hal-hal yang terlintas.
(Setelah dipikir-pikir kembali.... alasan aku bisa masuk Akademi Seirei itu karena
aku belajar dengan giat saat tinggal di rumah ini...)
Meskipun Masachika
memiliki kemampuan belajar yang luar biasa, sulit untuk masuk ke sekolah SMA yang paling sulit di Jepang
hanya dengan enam bulan belajar untuk ujian. Hal itu mungkin bisa dilakukan
karena dirinya sudah
belajar dengan fokus untuk masuk Akademi
Seirei saat tinggal di rumah ini.
(Dari
rumah ini, aku belajar keterampilan sosial yang membuatku bisa berbicara dengan
siapa saja. Sikap yang tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman.)
Tak
diragukan lagi, semuanya berkat usahannya di masa lalu sehingga Masachika mampu
bersaing dengan anak-anak dari kalangan
kelass atas di Akademi Seirei,
walaupun ia berasal dari keluarga kelas menengah.
(Dan,
kemampuan bermain pianoku juga...)
Bagi Masachika,
piano adalah pusat dari hari-hari bahagianya bersama ibunya, sekaligus menjadi
pemicu keretakan hubungan mereka, dan simbol dari cinta dan benci terhadap
ibunya. Namun... piano tersebut kini bermanfaat dalam kampanye pemilihan.
Kemampuan Masachika dalam menggagalkan konspirasi Yushou dan mendapatkan
dukungan dari Elena merupakan hasil dari kerja kerasnya dalam
mengasah keterampilan bermain piano.
(Ah,
begitu ya...)
Dirinya tidak perlu menyangkal
hari-hari yang telah dilaluinya sebagai Kuze Masachika. Ia tidak
perlu merasa bahwa itu adalah kesalahan. Itulah yang
diajarkan Alisa padanya tiga
hari yang lalu.
Dan itu juga
berlaku untuk Suou Masachika. Sekali lagi, Alisa mengajarinya tentang hal ini.
Hari-hari di mana dirinya berusaha keras untuk menjadi
penerus keluarga Suou. Ia ingin
memenuhi harapan kakeknya dan mendapatkan pujian dari ibunya... Namun, Masachika kehilangan nilai dari kedua hal
tersebut dan menganggapnya ‘semua
sia-sia’ pada
hari-hari itu.
(Tapi... Alya
mengakuinya.)
Hanya itu
saja. Hanya dengan hal itu, Masachika
merasa bahwa dirinya sangat dihargai. Dirinya bisa merasa bahwa hari-hari itu
tidaklah sia-sia.
“...”
“Eh,
a-ada apa?”
Tanpa
disadari, buliran air mata perlahan-lahan mengalir dari sudut mata Masachika.
Alisa
terkejut dan membuka matanya lebar-lebar, lalu dengan penuh perhatian bertanya,
tetapi Masachika sendiri tidak mengerti arti dari air mata ini. Mungkin ini
adalah... air mata Suou Masachika.
(Ah,
sekarang aku bisa...)
Massachika merasa bisa mengakui diri masa
lalunya yang ingin dipuji oleh ibunya. Diri yang menolak saat merasa kecewa
dengan ibunya. Ia
menyadari bahwa dirinya merupakan
orang bodoh yang berjuang untuk sesuatu yang tidak berharga, dan bahwa ia hanyalah Suou Masachika yang murni dan
polos yang telah diabaikan.
“Apa
kamu baik-baik saja...?”
Alisa
menyentuh pipi Masachika dengan
tatapan khawatir. Sentuhan
dingin itu membuat Masachika
menyadari bahwa pipinya terasa panas.
“Ah,
tidak, aku baik-baik saja—”
Masachika
berusaha tersenyum seperti biasanya dan ingin mengalihkan perhatian... tetapi
entah mengapa kata-kata tersebut
tidak bisa keluar.
(Begitu rupanya,
sebenarnya aku tidak baik-baik saja selama ini...)
Dirinya menyadari hal itu.
“Aku...”
“Eh?”
“Aku...”
Dengan
suara lembut Alisa dan sentuhan tangan yang canggung mengusap pipi, Masachika
perlahan mengeluarkan suara bergetar.
“Aku..... benar-benar, sudah berusaha keras... ‘kan?”
“…Iya.”
“Aku
ingin dipuji oleh ibuku... jadi,
aku sudah berusaha keras selama ini...!”
Ketika Masachika mulai menumpahkan semua unek-unek
dari lubuk hatinya, air mata mengalir deras. Namun, pada saat yang sama, ia
merasakan sedikit demi sedikit beban di dadanya mulai ringan... Masachika memejamkan matanya. Alisa terus mengusap
pipinya dengan lembut.
◇◇◇◇
“…Kamu sudah sedikit tenang?”
“Ah,
iya.”
Sudah
berapa lama waktu berlalu?
Saat air mata mereda, hati Masachika terasa luar biasa tenang.
(Aneh sekali, sekarang aku tidak
merasakan penderitaan apapun melihat pemandangan di rumah ini...)
Perasaan
tidak nyaman seperti menggores kenangan pahit yang terpendam di dalam hati.
Perasaan yang selalu mengikutinya selama berada di rumah ini kini sepenuhnya
menghilang.
Semua ini
berkat gadis yang sekarang ada di sampingnya... Masachika mengambil tangan Alisa
yang ada di pipinya, menempelkan dahinya di punggung tangannya, dan berlutut di
tempat itu.
“Eh,
Ma-Masachika-kun!?”
Sambil
menggenggam tangan Alisa, Masachika menatap wajahnya yang bingung dan dengan
tulus mengungkapkan.
“Terima
kasih, Alya. Kata-katamu... telah menyelamatkanku yang sekarang dan diriku yang dulu. Perkataanmu itu membuatku mulai bisa melangkah maju setelah sekian lama terhenti.
Sungguh, aku benar-benar sangat
berterima kasih padamu.”
Alisa
membelalakkan matanya ketika mendengar kata-kata tulus Masachika...
dengan ekspresi sedikit malu, dia
mengalihkan pandangannya.
【Ekspresi itu, curang
banget...】
“Eh?”
“In-Ini sudah
cukup, ‘kan! Mouu! Rasanya memalukan, jadi
cepatlah berdiri!”
“…Iya,
iya.”
Saat Alisa berteriak dengan suara yang
tak tertahankan, Masachika berdiri dengan senyum masam.
“…Tapi,
apa yang kukatakan tadi itu berasal dari
hati, oke? Aku benar-benar berterima kasih
padamu, Alya."
“Ah,
ya... aku juga memiliki hal yang bisa kuucapkan terima kasih, jadi kita saling
berterima kasih, ‘kan?”
Setelah
mengatakan itu dengan nada yang datar, Alisa menambahkan
pelan, 【Berkatmu,
duniaku jadi terlihat lebih luas...】
“…Begitu ya. Baiklah, mari kita anggap saja begitu.”
Melihat partner-nya mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi tersipu, Masachika
mengangguk dengan wajah lembut. Lalu, ia menyeka jejak air mata dan mengubah nada bicaranya menjadi lebih ceria.
“Ngomong-ngomong,
aku sudah menceritakan semuanya pada Alya, jadi mungkin aku harus menjelaskan
situasi yang lebih detail kepada orang-orang yang diundang ke pesta ulang
tahun.”
“Eh...?
Ah iya,
ngomong-ngomong, katanya Nonoa-san dan Sayaka-san sudah tahu tentang hubunganmu
dengan Yuki.”
“Eh?
Siapa yang memberitahumu?”
“…Dari
Nonoa-san sendiri. Dan... maafkan
aku."
“Hah?
Kenapa?”
Masachika
terkejut ketika Alisa tiba-tiba menundukkan kepalanya, dan Alisa berkata dengan
penuh penyesalan.
“Semalam
Nonoa-san bertanya apa kamu baik-baik saja
pergi ke rumah Suou... saat itu, aku tidak sengaja memberitahunya bahwa kamu
berencana kembali ke rumah Suou.”
“O-Ohh,
begitu ya? Hmm, kurasa dia tidak akan
membicarakannya dengan aneh, jadi tidak apa-apa...”
Masachika
mencoba memahami situasi dan berpikir bahwa mungkin Alisa merasa khawatir dan
tidak sengaja membicarakan masalahnya dalam bentuk curhat.
(Hmm? Gadis itu khawatir tentang seseorang...?)
Sekilas
perasaan aneh itu melintas di pikirannya, tapi Masachika
segera berpikir bahwa ‘mungkin
itu hanya rasa penasarannya’ dan
mengabaikannya. Namun, meskipun Masachika sudah memaafkannya, ekspresi Alisa
masih terlihat tidak ceria.
“Begitu
sih, tapi... aku berpikir kamu lebih dulu mengungkapkan rahasiamu kepada Nonoa-san dan Sayaka-san dibandingkan aku... Jadi, aku
merasa sedikit marah dan tanpa sengaja membicarakan masalahmu padanya... jadi, maafkan aku.”
“AAh,
jadi begitu...”
Akhirnya Masachika
menyadari apa yang membuat Alisa merasa bersalah dan mengangguk.
“Tidak,
kurasa wajar saja kamu mengeluh begitu, jadi
kamu tidak perlu khawatir. ...Benar,
rasanya tidak bisa disalahkan jika kamu
berpikir begitu. Tapi, asal kamu tahu saja,
sebenarnya Nonoa pernah bertemu denganku di masa
lalu. Aku juga tidak mengingatnya,
tetapi katanya kami pernah bertemu
di acara pertunjukan piano.”
“Oh,
jadi begitu...”
“Iya.
Karena dia mengetahui kalau aku
memiliki nama belakang Suou dan... ada alasan samar yang mengatakan bahwa
mataku dengan Yuki kelihatan mirip, jadi dia bisa menebaknya. Dan kemudian, Sayaka mengetahuinya dari Nonoa.”
“Begitu rupanya. Aku
benar-benar minta maaf, aku...”
“Tidak,
itu benar-benar tidak masalah.”
Masachika
menghentikan Alisa yang ingin menundukkan kepala sekali lagi, sambil berpikir
samar di sudut kepalanya, “Eh?
Sepertinya ada sesuatu yang
terlupakan...” Namun,
ia kembali melanjutkan pembicaraan.
“Jadi,
kurasa sudah saatnya memberitahu anggota
lainnya bahwa aku dan Yuki adalah saudara
kandung. Mereka pasti takkan membicarakannya ke orang
lain... Tentu saja, aku harus berdiskusi dengan Yuki juga.”
“…Begitu.
Jika kamu merasa itu tidak masalah, kurasa
itu juga tidak apa-apa.”
Setelah
mengatakan itu, Alisa sedikit menundukkan kepalanya.
“Tapi kalau
begitu, Yuki-san...
itu...”
Alisa merasa ragu-ragu untuk mengatakannya, tetapi Masachika
yang menangkap maksudnya langsung melambaikan tangan.
“Tidak,
kurasa dia tidak akan mengungkapkan sifat aslinya, kan? Cukup membicarakan bahwa kami adalah kakak beradik kandung saja...”
“Oh,
begitu. Iya, benar...”
“…Ngomong-ngomong,
aku ingin menanyakan sesuatu padamu,
apa kamu baik-baik saja tadi? Aku bisa membayangkan
kalau Yuki terus-menerus
menggodamu...”
Mengingat
Alisa yang memukul-mukul dadanya dengan wajah cemberut, Masachika bertanya
dengan penuh perhatian, dan Alisa tersenyum pasrah seolah-olah sudah menyerah.
(Oh,
sepertinya dia sudah menyerah untuk
berpikir)
Masachika
hampir mengangguk sebagai tanda setuju... tapi,
tiba-tiba Alisa menangkap kerahnya dengan kedua tangannya.
“Apa
itu! Hei, apa-apaan sih dia itu!?”
“Ah,
jadi kamu belum bisa mencerna semuanya ya...
Hmm, aku juga tidak tahu apa itu.”
Meskipun Alisa mengguncangnya ke sana
kemari dengan ekspresi yang menakutkan di wajahnya, Masachika tahu betul
perasaannya dan tidak
bisa membantahnya.
“Gadis
itu... meskipun aku tidak ingin mengatakannya, di
dalam kepalanya pasti ada yang tidak beres, ‘kan!?”
“Hmm,
aku tidak bisa membantahnya sama
sekali.”
Sebenarnya,
Masachika sudah berkali-kali memiliki
pemikiran kalau ‘dia itu gila’
tentang Yuki dalam mode adik perempuannya,
jadi dirinya tidak bisa membantah. Bagi Alisa
yang hanya tahu tentang mode Ojou-samanya,
perbedaan tersebut pasti
terasa lebih mencolok.
Justru
karena ia memahami situasi tersebut, Masachika hanya
menerima kemarahan Alisa dengan tenang... Namun, ketika Alisa berhenti dan
mulai menghembuskan napas berat, ia mengangkat kedua tangannya dan
berkata.
“Ahh~ Aku sih cuma bisa
memberi satu saran... jangan coba-coba berbicara dengan Yuki dalam keadaan
seperti itu. Ketika dia bercanda dengan serius, dia sering berbicara tanpa berpikir, hanya
mengikuti suasana dan semangat. Jadi, tidak ada gunanya mencoba memahami
kata-kata yang tidak keluar dari otaknya.”
“Jadi,
apa yang harus kulakukan...?”
“Kurasa mau
tak mau kamu harus menjawab dengan nada yang sama...
meskipun itu kelihatannya sulit,
yah.... kurasa mau tak mau kamu harus membiasakan diri.”
“Aku
tidak ingin terbiasa dengan itu.”
“Tenang
saja, jangan khawatir. Kamu
sudah bisa menanggapi leluconku lebih baik daripada sebelumnya, kan? Aku yakin kamu
pasti bisa!”
“Kamu
malah mengatakannya dengan santai
sekali... maksudku, kamu sadar bahwa kamu sedang mempermainkanku, ‘kan?”
“Uh...
ya, gitu deh.”
Alisa
menatap Masachika dengan tajam, lalu menghembuskan napas dan melepaskan
tangannya dari kerahnya. Setelah melihat kemeja Masachika yang kusut dan dasi
yang berantakan, dia sedikit mengerutkan alisnya dan mulai merapikannya dengan
bibir yang sedikit mengerucut.
“Yah...
aku minta maaf karena sudah melampiaskan kemarahanku padamu.”
“Tidak
masalah kok. Aku mengerti perasaanmu yang sulit untuk langsung
melampiaskan kemarahanmu padanya yang kecil dan baru pulih. Seperti
yang kukatakan sebelumnya, aku ikut bertanggung jawab atas apa yang membuatnya
menjadi seperti itu...”
“Begitu....Ngomong-ngomong,
bagaimana caramu mengikat
ini? Sepertinya selalu condong ke satu sisi.”
“Jadi
kamu melakukan ini tanpa mengetahui caranya?”
“Mau
bagaimana lagi, aku belum pernah mengikat dasi sebelumnya...”
“Ugh, kalau gitu, kamu tidak
perlu memaksakan diri untuk merapikannya...”
“Aku
tidak suka menyerah di tengah jalan!”
“Meskipun
kamu bilang begitu, aku juga tidak bisa tahu situasi sekarang tanpa cermin.”
Meskipun Masachika menundukkan pandangannya sejauh
mungkin, simpul dasi di lehernya tidak terlihat. Sebagai gantinya, yang
terlihat adalah wajah cantik Alisa yang berjuang keras
membenarkan dasi dengan ekspresi serius. Kulitnya yang putih
halus dan mata berkilau yang dikelilingi bulu mata panjang. Setelah menatapnya dari jarak yang sangat dekat, Masachika
tiba-tiba merasa malu karena pernah menangis di depan gadis ini.
(Mumumu... sangat memalukan...)
Ditambah
lagi, situasi di mana dasinya sedang diperbaiki membuatnya merasa seolah
kembali menjadi anak kecil... Masachika pun menundukkan wajahnya.
“Mm...
Baiklah. Bagaimana dengan ini?”
Alisa
melepaskan tangannya dari dasi dan menatap wajah Masachika dengan cepat.
Melihat Masachika yang berpaling seolah menyembunyikan sesuatu.... Alisa berkedip
beberapa kali, lalu dengan ekspresi terkejut, dia langsung menutupi dadanya dengan cepat dan
melangkah mundur. Melihat sikap itu, Masachika
menyadari bahwa ia sedang dituduh melakukan sesuatu yang tidak pantas, dan buru-buru menyuarakan
pembelaannya.
“Tunggu
sebentar. Sepertinya kamu salah
paham tentang seuatu?”
“Salah
paham...?”
“Aku
tidak melihatnya.
Sungguh, aku tidak melihatnya
sama sekali.”
“Apanya?”
“Jadi,
umm... maksudku tentang... dadamu.”
“Kalau
begitu, kenapa kamu berpaling dengan wajah canggung dan malu-malu begitu?”
“Itu
karena...”
Masachika
terdiam dan tidak bisa menjawab karena harga
diri sebagai pria, Alisa kemudian
semakin menurunkan tatapannya.
“Kamu
benar-benar bejat... Jadi, kamu memang melihatku dengan cara
seperti itu, ya?”
“Tidak,
itu mungkin salah paham! Kurasa kamu sudah
mendengarkan pembicaraanku dengan Yuki... tentang payudara
besar, ‘kan? Itu hanya untuk menyamakan pembicaraan
dengan Yuki! Seriusan! Aku
hanya menjawab dengan semangat yang sama!”
“Jadi,
kamu mengakui bahwa kamu menganggapku memiliki payudara besar?”
“Itu...
karena, sebenarnya memang besar, ‘kan...”
Dalam
situasi yang hanya akan menggali lubang lebih dalam dan hanya akan berujung
pada pelecehan seksual, Masachika mengecilkan
suara dan mengalihkan pandangan.
“Tapi,
sungguh, aku tidak melihatnya
dengan cara yang cabul... bahkan sekarang, aku benar-benar tidak melihat
dadamu...”
“…Oh,
benar juga. Masachika-kun, kamu tidak menganggap pakaian
yang tidak terbuka sebagai cabul, ‘kan?”
“Tidak,
uh, yah, iya.”
Masachika
semakin mengalihkan pandangannya
dan menjawab dengan ragu-ragu di mulutnya... di luar jangkauan pandangannya, ekspresi Alisa
berubah.
“~~♪”
Setelah
sebelumnya menunjukkan ekspresi dingin, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi
ekspresi menyenangkan dan sumringah seolah-olah menemukan lawan yang
bisa diajak bermain. Tanpa sadar, ekspresinya sangat mirip dengan yang ditunjukkan
Yuki kepada Alisa sebelumnya, tetapi Alisa tidak mengetahuinya dan perlahan-lahan mendekati Masachika.
“Jadi...
kamu berpikir aku terlihat seksi dalam pakaian renang, ‘kan?”
“…Tanpa
komentar.”
“Diam
dianggap sebagai persetujuan.”
“…Tanpa
komentar.”
“Oh iya,
benar juga.... ngomong-ngomong, sewaktu
aku memakai gaun saat malam festival kemarin, kamu juga sangat
antusias mengintip dadaku... Apa kamu juga berpikir itu kelihatan seksi saat itu?”
“Mau sampai
kapan ini bakal berlangsung?”
“Sampai
kamu mengakui semuanya
dengan jujur.”
“Kenapa
kamu berusaha mencoba membuatku
mengaku!?”
“Karena
aku merasa tidak nyaman jika pasanganku selalu melihatku dengan cara seksual.”
Pada
tahap ini, nada suara Alisa sepenuhnya kehilangan nuansa penghinaan, dan digantikan
oleh nada geli yang
menyenangkan. Masachika pun menyadari hal ini dan mengerutkan alisnya sambil
menatap Alisa.
“Tidak,
seperti yang sudah kukatakan
sebelumnya, aku tidak selalu menatapmu
dengan cara seksual. Seriusan.”
Mengenai
hal ini, Masachika benar-benar berbicara jujur, jadi ia menegaskan
ketidakbersalahannya dengan nada yang lebih tegas... Namun, bertentangan dengan
perkiraannya, Alisa tidak menunjukkan tanda-tanda gentar. Dia menyipitkan mata dengan
anggun dan mengangkat dagunya, bertanya.
“Hmm~?
Meskipun begitu, sepertinya kamu selalu mencuri pandang ke arah dadaku?”
“…Itu
karena naluri pria.”
“Hee, jadi,
kamu tidak memandangku dengan
cara seksual, ya?”
“Tentu
saja.”
“Oke, baiklah.”
Alisa
menjawab dengan nada yang sepertinya tidak sepenuhnya percaya pada jawaban Masachika,
dia lalu menyilangkan tangan di bawah
dadanya dan dengan sengaja mengangkat bahunya. Payudaranya yang montok nan mengesankan terdorong ke atas
dari bawah dan terlihat
menonjol ke depan.
“…”
“Sekilas, kupikir
kamu jelas-jelas melihatnya?”
“Itu jelas-jelas curang.”
“Curang
apanya? Jika tidak ada yang terbuka,
kamu tidak akan melihatnya dengan cara yang mesum,
‘kan?”
“Kamu
menyadari apa yang sedang kamu lakukan, ‘kan? Lagipula, terkejut
melihatnya bukan berarti aku melihatnya dengan cara seksual.”
Sambil
menghela napas dalam-dalam, Masachika sengaja membuat wajah lelah dan
berkata.
“Ngomong-ngomong,
kenapa kamu terkadang bersikap agresif seperti itu?”
“Agresif
seperti apa?”
“Sudah
kubilang, itu... seperti saat malam festival kemarin, yang
itu...”
“Yang
itu?”
“Jadi...
tidak, kamu pasti tahu maksudku, ‘kan!”
Alisa dengan
sengaja mengangkat alisnya seraya berpura-pura
tidak tahu sehingga membuat Masachika tidak bisa menahan diri
untuk berteriak. Kemudian, dengan ekspresi curiga di wajahnya, Alisa mencondongkan tubuhnya
sedikit ke depan, menyilangkan lengan kirinya di bawah dadanya, dan dengan
tangan kanannya.... dia membuka kancing ketiga dari kemeja putihnya dan
menariknya ke samping.
“…Maksudnya yang begini?”
“Ka-Kamu?!”
Dari
celah kemejanya, Masachika bisa melihat dua bukit
kembar yang besar terlihat saling berdekatan
membentuk lembah yang jelas dan... bahkan bra
berwarna biru muda pun terlihat sedikit, membuat Masachika mau tak mau jadi menatapnya.
“Ara~,
jelas sekali kalau pandangan
matamu jadi berubah.”
Namun, dirinya terkejut oleh suara Alisa yang
sangat menyenangkan, sehingga Masachika mengerahkan semua akalnya untuk menarik pandangannya dari
situ dan berteriak dengan suara campur aduk.
“Su-Sudah
kubilang! Kenapa kamu tiba-tiba melakukan hal
seperti itu?!”
“…Karena
reaksimu sangat menghibur?”
“Kamu,
kamu ini... badanmu pasti terlalu tegang!”
Masachika
menggertakkan giginya karena benar-benar terguncang dan
menggaruk kepalanya dengan kedua tangan sambil mengeluarkan suara.
“Ngomong-ngomong,
serius, jangan lakukan hal seperti itu pada pria…!”
“Kenapa?”
“Karena
kamu tidak bisa mengeluh apapun jika terjadi sesuatu!”
Setelah
mengucapkan itu dengan nada lepas, Masachika menatap Alisa dengan tajam. Namun,
Alisa tidak terpengaruh dan kembali menyilangkan tangannya, mengangkat bahunya
dengan bingung.
“Ara, kamu mau menyentuhnya?”
“!?”
“Aku sama
sekali tidak keberatan, kok?
Jika kamu mau menyentuhnya.”
Alisa
menekan dengan kuat dari bawah, semakin memperlebar celah bajunya dan memperlihatkan
lembah yang menggoda.
“Tapi...
Kamu harus mengatakannya dengan jelas jika
kamu ingin menyentuhnya.”
Alisa
tersenyum menggoda dan bersuara dengan nada
provokatif.
Masachika
yang sudah terbiasa melihat Alisa dalam seragamnya, kini terhenti berpikir
karena pemandangan tidak realistis di mana dadanya yang montok terlihat sedikit dari bawah pita
merahnya.
Di otaknya yang terhenti, suara Alisa yang sedikit malu dalam bahasa Rusia kembali terdengar.
【Apa kamu mau
mencoba.... menjepit sesuatu di
sini?】
(~~~~~!!)
Pernyataan
bombastis yang keluar dari mulut Alisa membuat pikiran Masachika
mendidih──
(Hei!
Kamu pasti tidak tahu apa yang harus dijepit, kan!?)
Alisa mungkin salah paham bahwa itu maksudnya tentang tangan
karena setelah ‘memijat’ dan ‘menggenggam’ muncul kata ‘menjepit’. Begitu menyadari... saat yang
sama suara akal sehatnya bergema di dalam otak, “Bagaimana mungkin bisa melakukan
sesuatu pada gadis yang begitu polos ini!” Masachika menggenggam tinjunya erat-erat, mencakar telapak tangannya
dengan kuku.
“Ugh,
ggg...”
Sambil
menggeram, dia menundukkan wajahnya dan menatap ke bawah.
Kemudian, dengan suara yang terdengar seperti memuntahkan darah, Masachika menyatakan.
“Aku ingin
menyentuhnya, tapi aku tidak akan menyentuhnya... karena aku ini, seorang pria sejati...!”
Dengan
ekspresi pahit yang membuat Masachika ingin berkomentar seolah-olah dia sedang
melakukan seppuku, Alisa mengedipkan matanya beberapa kali sebelum
tertawa kecil.
“Araa~
begitu ya? Tapi dengan
wajah yang begitu tegang, kurasa kamu tidak
terlihat seperti pria sejati atau semacamnya.”
“…Pria sejati ialah seseorang yang behasil mengatasi hawa
nafsunya sendiri.”
“Fufu,
benar juga... kamu memang
seorang pria sejati.”
“…Jadi, mm,
apa kamu bisa mengancingkannya
kembali?”
“Mm~?”
Alisa mencondongkan tubuhnya dan
menatap Masachika, yang memohon sambil menunduk. Lalu dia menyeringai lebar dan berkata,
“Kalau
begitu, sebagai imbalan karena aku sudah
memperbaiki dasimu...
maukah kamu mengancingkannya untukku?”
“Ugh,
apa?!”
“Kalau
kamu seorang pria sejati, kamu pasti bisa mengancingkannya dengan rapi, ‘kan?”
Dia mengatakannya dengan
senang hati sambil duduk tegak, Alisa lalu menyilangkan
kedua tangannya di belakang. Pose itu seolah-olah dia tidak berniat memasangnya
sendiri, membuat Masachika terdiam.
(Eh, seriusan?!)
Masachika
tak kuasa menatap wajah Alisa dengan tajam, tetapi Alisa
tetap tersenyum gembira... Masachika merasa bingung.
(Tidak, jelas-jelas ini sudah terlalu
berlebihan!! Apa yang terjadi?! Kamu, biasanya sangat memegang teguh prinsip moral,
‘kan?! Apa kamu terpengaruh oleh
sesuatu dari Yuki?!)
Jangan-jangan
ini kerena rasa persaingannya dengan Yuki yang terlihat sangat
akrab dan selalu menempel erat padaku.
Meski begitu, ada yang namanya batasan juga kali...
Setelah berpikir sejauh itu, Masachika tiba-tiba
menyadari.
(Tidak,
ini bukan persaingan... lebih mirip seperti dia berusaha melampiaskan emosinya padaku?
Karena dia sudah dipermainkan dan diolok-olok
Yuki.)
Yuki sedang menggila dan menggodanya secara sepihak,
memperlakukannya seperti
mainan... apa dia tanpa sadar melampiaskan stres itu kepada Masachika? Jika
dipikirkan baik-baik, dia
sendiri pernah mengeluh, “Aku bakalan jadi gila...”
(Begitu rupanya.
Sebagian dari rasa kesal karena sudah
dipermainkan Yuki dan
sebagian lagi karena dia ingin menggodaku ya...)
Menyadari
hal itu, Masachika merasa tenang, lalu dengan ekspresi kasihan, ia meletakkan
tangannya di kedua bahu Alisa dan berkata lembut.
“Alya, kamu pasti merasa Lelah, ya...”
“…Apa-apaan dengan reaksimu yang mirip seperti dokter di rumah
sakit itu?”
Masachika
yang tiba-tiba beralih dari pria sejati
menjadi dokter membuat Alisa sedikit kecewa.
Namun, Masachika menggelengkan kepalanya dengan tatapan sedih.
“Tidak,
tidak apa-apa. Aku mengerti perasaanmu.”
“Apa-apaan dengan cara bicaramu yang menjijikkan...”
Alisa
menatapnya dengan tatapan tajam ketika Masachika berbicara dengan nada feminin yang mencurigakan, lalu Alisa melepaskan tangannya yang
disilangkan di belakang dan mengangkatnya hingga ke dadanya.
“Benar,
pasanglah kancingnya dengan benar,
oke? Karena kamu seorang gadis, jadi kamu harus menjaga kesehatanmu dengan baik.”
Masachika
merasa lega karena Alisa tampaknya kembali ke akal sehat... namun, itu hanya berlangsung sesaat. Karena Alisa tersenyum lebar dan
berkata,
“Kalau
tidak cepat dikancingkan...
jumlah kancing yang terbuka akan bertambah,
lho?”
Dengan
tekanan dari dalam yang seolah-olah akan meledak, Alisa meletakkan tangannya di kancing kedua. Dalam serangan
yang tidak terduga, Masachika
membuka matanya lebar-lebar dan tersentak
mundur. Melihat reaksinya
itu, Alisa tersenyum menggoda dan perlahan-lahan membuka kancingnya──
“Jangan
sok pamer begitu meski
kamu masih perawan ting-ting yang mulus!!
BANG!”
…Tiba-tiba,
peluru tajam terdengar dari arah pintu. Dan, peluru itu pergi tanpa jejak.
““........””
Mereka
berdua dibuat tertegun bersamaan, menatap pintu yang sebentar
terbuka dan kemudian tertutup.
“…Apa-apaan itu? Tadi?”
“…Apa
yang baru saja terjadi?"”
Mereka
berdua bergumam dengan linglung, tapi mereka
akhirnya memahami apa yang baru saja dikatakan. Alisa menggenggam kedua
tangannya erat-erat, matanya terbuka lebar, dan dia mengeluarkan suara
terengah-engah.
“Eh,
ha...? Apa... apa yang dia katakan? Ap-Apa dia
barusan bilang pe-perawan? Eh, maksudnya mulus itu apa...?”
Meninggalkan
Alisa yang tampak tidak bisa tenang dalam berbagai arti, Masachika mendekati
pintu, membukanya, dan memeriksa koridor. Namun, sosok adiknya sudah tidak ada
di sana.
“Memang
benar kalau aku masih... tapi, kenapa... maksudnya,
sampai mana dia mendengar... eh, sebenarnya aku sedang... kok, jadi terlihat
seperti, pelacur, begini!?”
Saat Masachika berbalik, Alisa tampak cepat
kembali ke kesadarannya. Melihat wajahnya yang semakin memerah, Masachika
menyimpulkan bahwa lebih baik baginya untuk tidak ada di sini, lalu berkata
dengan suara pelan.
“Beristirahatlah
dengan tenang.”
Setelah
berkata demikian dan menutup pintu, Masachika menghela napas.
(Aku terselamatkan...
tidak, aku diselamatkan.
Apa bisa dianggap begitu?)
Masachika
bertanya pada dirinya sendiri dan sedikit menggelengkan kepala sebelum menuju
ke kamar Yuki. Setelah mengetuk dan menerima jawaban, dirinya masuk dan menemukan Yuki
tersenyum menantang seperti bos terakhir yang menunggu penantangnya di atas
kursi.
“Oya?
Apa kamu baik-baik saja meninggalkan Alya-san?
My brother yo~.”
“Kamu
ini... apa maksudnya dengan perkataanmu
tadi?”
“Yang mana?”
“Apa maksudmu dengan mulus... sejak
kapan dan bagaimana kamu bisa mendengar percakapan di dalam?”
“Jika
ditanya bagaimana, itu sih...”
Yuki
mengambil gelas dari meja dekatnya, membalikkan gelas itu, dan menempelkan
bagian bawahnya di telinga.
“Begini,
dengan menempelkan gelas ke pintu.”
“Betapa
klasiknya. Eh, apa itu benar-benar bisa didengar?”
“Tidak,
jujur saja tidak terlalu kedengarannya...
tapi entah kenapa, aku bisa merasakan
kalau Onii-chan sedang panik dan Alisa
tampak senang, jadi aku merasa Alisa sedikit terbawa
suasana.”
“Apa-apaan dengan kemampuan yang bisa mendeteksi kehadiran itu...”
“Hehe,
aku memiliki sensor ahoge yang
bisa mendeteksi gelombang komedi romantis...”
“Gitu, ya.”
Yuki
terlihat ceria sambil menunjuk kepalanya dan mengatakan
hal-hal konyol, tapi ketika Masachika memberikan reaksi dingin, dia segera
melepaskan sikap berlebihan itu dan mengangkat bahu.
“Jadi,
kalau ditanya dari mana aku mendengarnya, mungkin jawabannya adalah aku tidak
mendengar apa-apa? Oh, dan soal perawan mulus,
ya? Yah, aku cuma berpikir kalau Alya-san kelihatan seperti gadis perawan
polos yang belum pernah melihat 'tit*t'.”
“Apanya yang 'tit*t',
memangnya kamu masih anak SD!?”
“Ah,
ngomong-ngomong, maksudku 'tidak tumbuh' dalam arti perawan mulus──”
“Mendingan tidur saja sana.”
Masachika
dengan cepat mendekat, mengambil gelas
dari tangan Yuki, menggendongnya ala
putri, membawanya ke tempat tidur, menutupi dengan selimut, dan membaringkannya
dengan lembut.
“Zzzzzzz.”
“Baiklah, dia sudah tidur.”
Saat Masachika
mengangguk puas, diirnya mendengar suara
ketukan pintu, dan Ayano masuk dengan membawa
botol kecil.
“Masachika-sama...?”
Dia pasti
mengira Masachika bersama Alisa. Melihat Ayano yang memiringkan kepalanya dengan penuh tanda tanya, Masachika berbicara
pelan.
“(Aku
percayakan sisanya padamu. Oh, dan juga...)”
Masachika
merasa sedikit ragu sejenak dan
menutup mulutnya. Namun segera setelah itu, ia menguatkan tekad dan menatap
langsung ke mata Ayano.
“(Kamu tahu ibu sedang ada di mana?)”
“(Yumi-sama,
ya...? Jika Anda mencari Yumi-sama,
dia mungkin ada di kamarnya...)”
“(Begitu ya, terima kasih.)”
“(?
...Ah, dan nenek bilang
jika Anda tidak keberatan, dia ingin mengundang anda untuk makan malam... Alisa-san juga diundang.)”
“(...Tidak,
aku akan menolak. Alisa juga pasti
makan malam di rumahnya.)”
“(Baiklah,
saya mengerti.)”
“...”
Masachika
mengamati ekspresi Ayano yang menunduk.
“(?
Ada yang salah?)”
“(...Ayano,
apa ada sesuatu yang terjadi?)”
“(Tidak,
tidak ada apa-apa...)”
“(Benarkah?)”
Entah
kenapa, Masachika merasa ada yang berbeda dari biasanya, tetapi jika itu hanya
perasaannya, ia memutuskan untuk menerima.
“(Jika
ada sesuatu yang terjadi, kamu bisa mencertikannya padaku
atau Yuki kapan saja, oke?)”
“(Ya,
terima kasih.)”
“(...Hmm.)”
Masachika
dengan lembut meletakkan tangannya
di kepala Ayano dan keluar dari ruangan.
“…Baiklah.”
Dirinya mengumpulkan keberanian dan
memutuskan untuk menuju ke kamar ibunya.
◇◇◇◇
“Masachika-san...
eh, benarkah?”
Ruang
piano keluarga Suou. Masachika
membuka tutup tuts piano besar yang
terpasang di sana, sementara Yumi mengamati dari pintu masuk ruangan.
Seolah-olah
takut untuk mendekat, tapi juga tidak bisa melarikan diri, Yumi tidak bergerak
dari tempatnya. Setelah melirik ibunya sejenak, Masachika menatap tuts piano
dan mulai berbicara.
“Sebenarnya,
aku tidak begitu menyukai
piano.”
“!!”
Merasa
kehadiran Yumi yang terkejut, Masachika melanjutkan tanpa melihat ke
arahnya.
“Yah,
bukan hanya piano saja sih...
Semua les yang aku ambil di rumah ini, aku tidak terlalu ingat pernah merasa
suka atau senang saat melakukannya.”
Meskipun
terdengar seperti sindiran, Masachika mengungkapkan perasaannya tanpa emosi
negatif. Yumi terus
mendengarkan dengan tenang.
“Tapi
baru-baru ini... aku melakukan sesi mendadak dengan teman-teman band di sekolah. Saat itu, entah kenapa, aku
merasa senang... Kupikir itu
adalah pengalaman pertamaku menikmati musik.”
Masachika
melihat sekeliling ruangan piano yang hampir tidak berubah sejak dulu dan
tersenyum kecil. Tidak ada lagi rasa sakit di matanya, hanya ada kerinduan yang
menyentuh dan kehangatan terhadap masa lalu.
“Aku
teringat... dulu sekali.
Ketika aku dan Yuki masih sangat kecil... sepertinya, sebelum kami mulai
belajar piano dari guru piano... aku pernah bermain piano bersama ibu. Yah, aku
tidak tahu apakah itu bisa disebut 'bermain'.”
Sebenarnya,
rasanya lebih seperti mereka hanya mengganggu permainan ibunya. Yuki yang suka usil sejak
kecil, akan menyela saat ibunya
bermain dan mengeluarkan nada rendah yang keras. Sementara Masachika sendiri,
dengan nada tinggi yang mungkin tidak bisa disebut sebagai harmoni, ikut
menambah suara. Meski begitu, ibu mereka
hanya tersenyum lembut dan menyesuaikan diri dengan permainan
anak-anaknya.
“Walaupun
kami hanya mengeluarkan suara sesuka hati... tapi aku menyukai masa-masa itu.”
Tanpa
mengetahui dasar-dasar piano dan tanpa niat untuk memainkan lagu, mereka hanya
bermain-main dengan ibu dan adiknya melalui piano. Saat itu, Masachika pasti
menikmati piano. Dirinya
menyukai piano.
Dirinya menyampaikan
dengan jelas perasaan tersebut
kepada ibunya.
“Aku...
suka piano ibu. Sungguh.”
Mata Yumi
terbelalak mendengar kata-kata Masachika. Sambil terus
menatap matanya, Masachika memohon dengan tulus.
“Jadi...
maukah Ibu memainkannya untukku?”
Jika
begitu, Masachika merasa bisa mengingatnya. Saat
mulai belajar piano dengan serius dan berusaha untuk memainkannya dengan baik,
dirinya kehilangan... perasaan bahwa
meskipun tanpa tujuan, ia bisa menikmati piano dengan murni. Dan juga...
perasaan Suou Masachika yang menyayangi ibunya.
“Setidaknya
sekali saja. Kumohon,
bisakah Ibu melakukannya?”
Yumi
menerima tatapan putranya dalam keheningan... Dia
hampir mengalihkan pandangannya sesaat,
tapi kemudian dia menutup mata dan menatap Masachika kembali.
“…Baiklah.”
Kemudian,
Yumi melangkah masuk ke dalam ruangan piano──
◇◇◇◇
Tiba-tiba,
bunyi permainan piano menggema di dalam
rumah keluarga Suou.
Ayano,
yang sedang mengawasi Yuki di samping tempat tidur, mendongak sejenak dan
menyadari bahwa suara itu berasal dari Yumi, sambil berpikir dalam hati, “Mengapa di waktu sekarang?”.
Namun,
ketika nada baru ditambahkan ke dalam
permainan, Ayano terbelalak.
“Eh...”
Suara
keterkejutannya terlepas dari mulutnya tanpa
disadari.
Bunyi
itu jelas berbeda dari pertunjukan pertama. Ayano
sangat mengenal baik bunyi itu...
hanya saja, permainan itu terdengar cukup canggung untuk pemilik bunyi yang dia pikirkan. Namun...
(Ah...)
Tidak ada
niat khusus untuk bermain dengan baik, dan sebenarnya tidak terlalu baik,
bahkan terdengar seolah-olah hanya saling membalas
tuts. Namun, permainan itu sangat menggugah hati
Ayano.
(Ah,
ah...!)
Ayano
memejamkan mata, mencengkeram roknya, dan menyembunyikan wajahnya. Di hadapannya... Yuki sedang berbaring
di tempat tidur sambil tersenyum tenang menghiasi wajahnya.

