Chapter 9 — 7 April (Kamis) Asamura Yuuta
Aku pernah
menggunakan tablet pada jam kuliah sebelumnya. Namun, baru pertama kalinya aku
disarankan untuk membeli laptop pribadi, dan ketika dikatakan bahwa laptop itu
akan digunakan untuk membuat dan mengumpulkan laporan, aku merasa bahwa
meskipun ini hanya ‘saran’, sebenarnya laptop itu merupakan ‘kewajiban’.
Oleh karena itu, aku sudah membelinya pada bulan Maret.
Meskipun aku
sudah menggunakan komputer di rumah, tapi ini pertama kalinya aku menggunakan
laptop, jadi aku merasakan pengalaman baru. Sentuhan tombolnya terasa ringan
dan layarnya kecil. Namun, karena bobotnya ringan, jadi rasanya cukup
menguntungkan karena aku bisa membawanya ke mana saja.
Tanggal 7
April. Kehidupan kuliahku akhirnya dimulai. Karena aku disuruh membawa laptop
sejak hari pertama, jadi aku membawanya.
Setelah memasuki
ruang kelas, aku merasa bingung bagaimana cara memilih tempat duduk. Selama
ini, aku hanya duduk di kelas universitas saat ujian, jadi tempat duduk sudah
ditentukan. Jadi, aku tidak menyadari bahwa di universitas, kita bisa duduk di
kursi mana pun yang kosong.
Dengan kata
lain, tempat ini mirip dengan sekolah bimbel. Kalau begitu... Seperti yang
diduga, atau mungkin tak terelakkan, semua kursi di depan podium dosen sudah
penuh semua. Ah sial, sepertinya aku terlambat, pikirku dengan panik.
Aku tidak
punya pilihan lain selain duduk di kursi di tengah. Tidak ada alasan khusus
kenapa aku memilih tempat itu karena kebetulan kursi itu sedang kosong. Hanya
itu saja.
Ada seorang
laki-laki berambut pirang yang duduk di sebelah kiriku, dan ketika aku
bertanya, “Apa kursi ini kosong?” dirinya menjawab, “Oh, kosong kok.”
Setidaknya, begitulah yang kudengar. Aku tahu itu adalah dialek dari daerah
Kansai, tapi hanya sampai pada kesan bahwa itu terdengar seperti bahasa Osaka.
Mungkin karena aku baru saja mengunjungi tempat itu saat perjalanan kelulusan,
aku merasa nostalgia.
“Apa?”
“Ah, bukan
apa-apa. Dari Kansai?”
Setelah
duduk dan mengeluarkan laptop dari tas, aku melanjutkan percakapan.
“Ah, kamu
penasaran? Aku berusaha menyesuaikan diri di sini, tapi entah kenapa
kedengarannya jadi aneh.”
Mungkin itulah
sebabnya terdengar sedikit aneh dengan dialek Kansai.
“Aku tidak
merasa aneh. Karena belakangan ini aku baru saja jalan-jalan mengunjungi Osaka,
jadi aku merasa nostalgia.”
Usai mendengar
kata-kataku, laki-laki berambut pirang yang ternyata memiliki sedikit hitam di
rambutnya itu tersenyum. Ia memiliki postur tubuh yang baik dan tinggi, dan wajahnya
yang tadinya terlihat serius, tapi senyumnya membuatnya terlihat lebih muda
dari sebelumnya.
“Oh, begitu
ya. Makanan di sana enak-enak, ‘kan?”
“Ya, rasanya
sangat enak.”
“Tokyo juga
harus berusaha lebih baik. Makanan di sini tidak enak! Tidak enak!”
“Apa sampai
segitunya?”
“Aku sudah
di sini sekitar satu minggu. Tapi aku selalu berteriak, 'Ah, aku makan
makanan yang tidak enak lagi!' setiap hari.”
“Tidak,
tidak, tidak.”
“Di kampung
halamanku, aku bisa makan sampai tiga porsi, tetapi di sini, dua porsi sudah
batasnya. Seriusan, mereka harusnya berusaha lebih baik—”
Perkataan laki-laki berambut pirang itu terhenti di
situ, dan aku mendengar pertanyaan itu dari sebelah kananku yang kosong.
“Boleh aku
duduk di sini?”
Ketika aku
menoleh ke arah suara itu, ada seorang laki-laki dengan tubuh ramping dan mata
yang mengantuk berdiri dengan linglung. Kulitnya terlihat putih, bahkan sedikit
pucat hingga terkesan tidak sehat, dan rambut hitamnya yang panjang diikat
setengah dengan tali tipis.
“Tempatnya
kosong, jadi kurasa tidak masalah."
“Begitu...
Terima kasih.”
Dia berkata
pelan dan duduk tanpa suara. Begitu duduk, hampir bersamaan, dia mengeluarkan
smartphone dari saku dan mulai melakukan sesuatu. Eh, tunggu...
“Apa?”
“Ah, enggak.
Ehm, jam kuliah sudah mau mulai, jadi...”
“Tapi belum
ada dosen yang datang. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu. Aku belum
menyelesaikan misi harian.”
“Misi
harian...?”
“Benar. Masih
ada tiga musuh yang belum aku selesaikan...”
Aku melihat
tangannya saat ia mengatakan itu, dan di layar smartphone-nya ada permainan
yang ditampilkan. Ah, jadi itulah sesuatu yang disebut sebagai misi harian.
Tugas kecil yang harus dilakukan setiap hari untuk membiasakan pemain dengan
permainan. Aku tidak terlalu sering bermain game, tapi aku pernah bermain game
PC beberapa kali karena diajak Maru, jadi aku mengerti maksudnya.
“Eh, apaan itu?
Kamu kelihatan suram sekali ya.”
“Memangnya
itu kalimat yang pantas kamu katakan kepada orang yang baru kamu temui? Tidak
sopan banget.”
“Apa
maksudmu?”
“Apa?”
Tunggu,
tunggu, tunggu. Kenapa tiba-tiba mereka berdua bertengkar di kedua sisiku? Aku
melihat ke arah kiri dan kanan secara bergantian, berusaha menenangkan mereka,
tetapi saat aku berpikir begitu, pintu di depan kelas terbuka dan seorang pria
yang tampak seperti dosen masuk.
Meskipun
begitu, karena aku belum memilih mata kuliah yang akan diambil, jadi seharusnya
mana mungkin kegiatan perkuliahan langsung dimulai. Seperti yang diperkirakan,
pria yang masuk itu tampaknya datang untuk menjelaskan prosedur pendaftaran
mata kuliah, membagikan kertas yang berisi langkah-langkah, dan mulai memberi
penjelasan singkat.
Aku merasa
kagum karena pendaftaran mata kuliah disarankan untuk dilakukan menggunakan
laptop. Bukan dengan menulis dokumen, tetapi melalui internet. Dari sini, kami
sudah diminta untuk menggunakan laptop. Jika tidak mendapatkan kredit, kita
tidak bisa lulus, itulah sebabnya kedua orang yang sebelumnya bertengkar di
sampingku kini menjadi tenang dan mendengarkan.
Kami pun
melakukan pendaftaran mata kuliah menggunakan laptop yang kami bawa. Setelah
selesai, aku melihat kembali ke dalam ruang kelas. Entah bagaimana takdirnya,
dua orang di sebelahku ini terasa sangat mencolok di dalam kelas.
Dan
kemudian, entah mengapa, kami diundang ke acara dan anehnya kami bisa bertemu
lagi di acara penyambutan mahasiswa baru yang sama. Aku berharap bisa memiliki
pengalaman bertemu orang-orang seperti Maru atau Narasaka-san di
universitas.
Tapi, aku
tidak menyangka akan bertemu dengan cara seperti ini.
