Chapter 10 — 7 April (Kamis) Ayase Saki
“Woahh. Bukannya
itu Mac!”
Saat aku
menunggu dimulainya jadwal perkuliahan di tempat duduk dekat jendela, aku
menoleh ketika mendengar suara yang datang dari belakangku.
Hal pertama
yang menarik perhatianku adalah warna matanya. Meskipun wajahnya orang Jepang,
matanya berwarna merah. Dia memakai lensa kontak. Aku baru ingat bahwa pilihan
ini tidak ada dalam persenjataanku.
Rambutnya
yang panjang melebihi bahu diwarnai oranye abu-abu. Cahaya matahari yang masuk
melalui jendela membuat ujung rambutnya terlihat samar dan cantik.
Meskipun masih
awal musim semi, dia sudah mengenakan atasan satu bahu, kuku panjang, dan rok
pendek. Dia memakai aksesoris kalung dengan liontin besar dari kaca. Meskipun
agak berat, itu justru membuatnya terlihat keren. Ya, dia terlihat bagus.
“Apa?”
“Ah, ya. Aku
hanya berpikir itu keren.”
Aku hanya
mengungkapkan pendapatku yang jujur, tetapi saat aku mengatakannya, dia
terlihat terkejut sejenak, lalu dia duduk dengan tenang di kursinya. Dia terus
menatapku dengan seksama.
“Kamu...
aneh ya.”
“Begitu, ya?”
“Karena kamu
juga cukup mencolok. Kenapa kamu kelihatan begitu terkejut? Kamu sudah mewarnai
rambutmu begitu cerah. Kamu bermain-main, ya?”
“Aku tidak
tahu. Mungkin...”
Aku
benar-benar bingung. Apa aku bermain-main? Mungkin selama di SMA, aku memang
dilihat seperti itu. Karena aku tidak mewarnai rambutku dengan tujuan itu, aku
tidak merasa sedang bermain-main.
“Yah, terserah.
Itu Mac, ‘kan?”
Dia menunjuk
ke arah laptopku.
“Iya, tapi....”
“Mac itu
mahal, kan?”
Memang benar
kalau cuma dilihat dari segi harga, banyak komputer Windows yang lebih murah. Namun,
ketika aku memberi tahu Ruka-san, dia bilang kalau ingin bekerja di perusahaannya,
lebih baik kalau aku terbiasa dengan Mac.
“Ini model
lama sih, jadi harganya enggak mahal-mahal banget...”
Aku juga
membeli tablet grafis dan beberapa software menggambar.
“Tapi
harganya pasti tetap mahal. Aku sendiri malah dapat yang gratisan dari Aniki.”
Sambil
berkata begitu, dia mengeluarkan laptopnya dari tas berwarna pink dan
menunjukkan padaku. Aku terkejut. Warnanya hitam, besar, dan berat.
“Luar biasa...”
“‘Tidak
ada kompromi. Pakai ini! Pria harus pakai karbon hitam!’ Ia memaksaku
seperti itu. Aku kan perempuan! Jangan memaksakan yang berat ini ke perempuan! Ia
memang barbar banget, dasar gorila Aniki.”
Jadi dia
punya kakak laki-laki ya... laptop itu memang kelihatan berat. Atau mungkin,
jika dibeli, laptopnya jauh lebih mahal daripada milikku?
“Coba pegang
deh?”
Dia
menyerahkan laptopnya dengan cepat. Aku terkejut dan segera mengulurkan tangan
untuk menerimanya. Gawat, aku hampir saja menjatuhkannya. Begitu aku
memegangnya, aku langsung berpikir.
“Berat!”
Apa-apaan
ini...
“Beratnya 3
kilogram, loh.”
“Seberat 1,5
kantong beras...”
“Apa-apaan
itu? Konyol banget.”
Dia tertawa
terbahak-bahak.
Sejak
menjadi keluarga berempat, kami membeli beras 5 kilogram, tetapi ketika membelinya sendiri, aku cenderung memilih
yang 2 kilogram karena bebannya lebih ringan. Ini sudah terjadi
sejak aku mulai membantu berbelanja saat SMP. Oleh karena itu, standar beratku
adalah di bawah atau di atas 2 kilogram. Jika sampai 2 kilogram, aku bisa
membawanya sendiri. Laptop yang aku beli beratnya 1,24 kilogram. Menurutku,
inilah batas maksimum untuk dibawa-bawa.
“Terima
kasih. Ini memang agak berat, ya.”
Saat aku
menjawab demikian, terdengar suara, “Apa seberat itu?”
Ketika
aku mengalihkan pandangan ke arah suara itu,
di sebelah gadis berambut oranye itu ada seorang gadis dengan wajah santai yang
menempelkan satu tangan di pipinya dan melihatku dengan penuh minat. Rambutnya
berwarna cokelat terang, lebih terlihat seperti rambut asli daripada hasil
pewarnaan. Dia mengikat rambutnya dengan longgar di sekitar leher, tetapi jika
dibuka, rambutnya tampak halus dan tipis, seolah bisa mengembang.
Wajahnya
yang terawat membuatku ingin menghela napas.
Hanya ada satu tahi lalat kecil di bawah mata kirinya yang seakan mengurangi
kesempurnaan wajahnya, tetapi justru menjadi salah
satu pesona yang menarik.
“Ah,
maaf mengganggu pembicaraan kalian.
Sepertinya itu laptop yang hebat.”
Suara
gadis itu terdengar sangat
bagus. Ada istilah yang menyebutkan suara seperti lonceng berdentang, tetapi suaranya yang lembut
mengalir ke telinga dan membuat gendang telingaku bergetar, seolah-olah
mencairkan otakku.
“Hebat?
Kamu lihat ada stiker di
sini, ‘kan?”
Laptop
hitam milik gadis berambut oranye itu memiliki stiker besar di atas
penutupnya.
Ada
ilustrasi gadis imut yang menempel di sana.
Dia bilang itu adalah barang watisan dari
kakak laki-lakinya, jadi mungkin itu hobi kakaknya. Aku tidak begitu
mengenal anime atau manga seperti Maaya
atau Maru-kun, tetapi itu pasti
karakter yang populer. Karena ilustrasinya begitu
imut.
“Itu
memang hebat kok~. Dengar-dengar
katanya ada season kedua. Tapi~, mungkin aku ingin lebih banyak
popularitas umum~. Standar
animasinya tinggi, dan penyajiannya juga bagus. Selain itu, mereka sangat erotis~.”
...
Sekarang, sepertinya aku baru saja mendengar kata-kata yang tidak seharusnya
keluar dari mulut gadis cantik ini.
“Tidak,
aku tidak tahu.”
“Eh?
Kamu tidak menontonnya?”
“Aku
tidak tahu selera Aniki! Aku—”
Saat dia
mengatakan itu, dia mulai menyebutkan nama-nama idola K-pop dan selebriti
Jepang. Aku tidak tahu setengah dari nama-nama itu.
“Kalau
mau menempelkan sesuatu, aku maunya menempelkan itu. Tapi ia malah marah kalau aku mencoba
melepasnya. Padahal sudah
diberikan padaku, jadi
tidak masalah, ‘kan?”
“Tapi, kamu tetap tidak melepasnya. Kamu baik
sekali~.”
Ucap gadis
berambut cokelat dengan
senyuman manis dan gadis
berambut oranye itu tampak tertegun. Kurasa
tebakannya tepat sasaran?
“Yah, kurasa itu mungkin pertimbangan dari kakakmu karena memasang desain stiker yang ramah untuk semua usia~,” imbuhnya.
Aku tidak
mengerti apa maksudnya dan hanya memiringkan kepalaku. Gadis berambut oranye
itu sepertinya juga tidak mengerti dan memiringkan kepalanya dengan sudut yang
sama. Gadis cantik dengan gaya santai itu menempelkan tangan di mulutnya dan
tertawa dengan anggun. Meskipun senyumnya kelihatan
manis, aku merasakan sedikit tekanan seolah-olah dia
merasa heran mengapa aku tidak tahu hal ini. Aku mulai berpikir bahwa gadis ini
mungkin tidak seperti penampilannya.
Suasana
kelas tiba-tiba ramai ketika dosen
masuk dari bawah tangga. Meskipun begitu, hari ini belum ada pelajaran, hanya
penjelasan tentang mata kuliah dan pendaftaran mata kuliah menggunakan
laptop.
Setelah
selesai, karena tidak ada kegiatan yang
harus dilakukan, aku pulang begitu saja.
Sewaktu aku mampir ke supermarket
untuk berbelanja dalam perjalanan pulang,
entah kenapa aku mencoba mengangkat kantong beras 2 kilogram meskipun sebenarnya tidak
berniat membeli. Hmm, laptop itu
jauh lebih berat daripada ini...
Setibanya
di rumah, aku menemukan Asamura-kun baru saja pulang, jadi kami makan malam
berdua.
Sambil
berbicara tentang kesan kami terhadap
universitas masing-masing, aku
menceritakan tentang dua orang yang duduk tepat di belakangku, dan Asamura-kun
juga memberitahuku tentang teman sekelas yang dengan sendirinya terlibat dalam
percakapan yang sama.
“Aku
sempat khawatir karena berpikir mereka akan tiba-tiba bertengkar,” katanya.
“Hee...”
Asamura-kun
merasa ada tanda-tanda keributan saat itu, tetapi jika ia mengatakannya begitu, aku merasa sangat beruntung
bisa bertemu dengan orang yang sangat unik di awal masuk kuliah.
Mungkin saja universitas memang tempat
berkumpulnya orang-orang dengan kepribadian yang unik dan beragam dari seluruh penjuru
negeri, lebih dari yang di SMA.
