Gimai Seikatsu Volume 14 Chapter 10 Bahasa Indonesia

Chapter 10 — 7 April (Kamis) Ayase Saki

 

“Woahh. Bukannya itu Mac!”

Saat aku menunggu dimulainya jadwal perkuliahan di tempat duduk dekat jendela, aku menoleh ketika mendengar suara yang datang dari belakangku. 

Hal pertama yang menarik perhatianku adalah warna matanya. Meskipun wajahnya orang Jepang, matanya berwarna merah. Dia memakai lensa kontak. Aku baru ingat bahwa pilihan ini tidak ada dalam persenjataanku. 

Rambutnya yang panjang melebihi bahu diwarnai oranye abu-abu. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuat ujung rambutnya terlihat samar dan cantik. 

Meskipun masih awal musim semi, dia sudah mengenakan atasan satu bahu, kuku panjang, dan rok pendek. Dia memakai aksesoris kalung dengan liontin besar dari kaca. Meskipun agak berat, itu justru membuatnya terlihat keren. Ya, dia terlihat bagus. 

“Apa?”

“Ah, ya. Aku hanya berpikir itu keren.”

Aku hanya mengungkapkan pendapatku yang jujur, tetapi saat aku mengatakannya, dia terlihat terkejut sejenak, lalu dia duduk dengan tenang di kursinya. Dia terus menatapku dengan seksama. 

“Kamu... aneh ya.”

“Begitu, ya?” 

“Karena kamu juga cukup mencolok. Kenapa kamu kelihatan begitu terkejut? Kamu sudah mewarnai rambutmu begitu cerah. Kamu bermain-main, ya?”

“Aku tidak tahu. Mungkin...”

Aku benar-benar bingung. Apa aku bermain-main? Mungkin selama di SMA, aku memang dilihat seperti itu. Karena aku tidak mewarnai rambutku dengan tujuan itu, aku tidak merasa sedang bermain-main. 

“Yah, terserah. Itu Mac, ‘kan?” 

Dia menunjuk ke arah laptopku. 

“Iya, tapi....”

“Mac itu mahal, kan?”

Memang benar kalau cuma dilihat dari segi harga, banyak komputer Windows yang lebih murah. Namun, ketika aku memberi tahu Ruka-san, dia bilang kalau ingin bekerja di perusahaannya, lebih baik kalau aku terbiasa dengan Mac. 

“Ini model lama sih, jadi harganya enggak mahal-mahal banget...”

Aku juga membeli tablet grafis dan beberapa software menggambar. 

“Tapi harganya pasti tetap mahal. Aku sendiri malah dapat yang gratisan dari Aniki.”

Sambil berkata begitu, dia mengeluarkan laptopnya dari tas berwarna pink dan menunjukkan padaku. Aku terkejut. Warnanya hitam, besar, dan berat. 

“Luar biasa...”

“‘Tidak ada kompromi. Pakai ini! Pria harus pakai karbon hitam!’ Ia memaksaku seperti itu. Aku kan perempuan! Jangan memaksakan yang berat ini ke perempuan! Ia memang barbar banget, dasar gorila Aniki.”

Jadi dia punya kakak laki-laki ya... laptop itu memang kelihatan berat. Atau mungkin, jika dibeli, laptopnya jauh lebih mahal daripada milikku? 

“Coba pegang deh?”

Dia menyerahkan laptopnya dengan cepat. Aku terkejut dan segera mengulurkan tangan untuk menerimanya. Gawat, aku hampir saja menjatuhkannya. Begitu aku memegangnya, aku langsung berpikir. 

“Berat!”

Apa-apaan ini... 

“Beratnya 3 kilogram, loh.”

“Seberat 1,5 kantong beras...” 

“Apa-apaan itu? Konyol banget.”

Dia tertawa terbahak-bahak.

Sejak menjadi keluarga berempat, kami membeli beras 5 kilogram, tetapi ketika membelinya sendiri, aku cenderung memilih yang 2 kilogram karena bebannya lebih ringan. Ini sudah terjadi sejak aku mulai membantu berbelanja saat SMP. Oleh karena itu, standar beratku adalah di bawah atau di atas 2 kilogram. Jika sampai 2 kilogram, aku bisa membawanya sendiri. Laptop yang aku beli beratnya 1,24 kilogram. Menurutku, inilah batas maksimum untuk dibawa-bawa. 

Terima kasih. Ini memang agak berat, ya.

Saat aku menjawab demikian, terdengar suara, “Apa seberat itu? 

Ketika aku mengalihkan pandangan ke arah suara itu, di sebelah gadis berambut oranye itu ada seorang gadis dengan wajah santai yang menempelkan satu tangan di pipinya dan melihatku dengan penuh minat. Rambutnya berwarna cokelat terang, lebih terlihat seperti rambut asli daripada hasil pewarnaan. Dia mengikat rambutnya dengan longgar di sekitar leher, tetapi jika dibuka, rambutnya tampak halus dan tipis, seolah bisa mengembang. 

Wajahnya yang terawat membuatku ingin menghela napas. Hanya ada satu tahi lalat kecil di bawah mata kirinya yang seakan mengurangi kesempurnaan wajahnya, tetapi justru menjadi salah satu pesona yang menarik. 

Ah, maaf mengganggu pembicaraan kalian. Sepertinya itu laptop yang hebat. 

Suara gadis itu terdengar sangat bagus. Ada istilah yang menyebutkan suara seperti lonceng berdentang, tetapi suaranya yang lembut mengalir ke telinga dan membuat gendang telingaku bergetar, seolah-olah mencairkan otakku. 

Hebat? Kamu lihat ada stiker di sini, kan? 

Laptop hitam milik gadis berambut oranye itu memiliki stiker besar di atas penutupnya. 

Ada ilustrasi gadis imut yang menempel di sana. Dia bilang itu adalah barang watisan dari kakak laki-lakinya, jadi mungkin itu hobi kakaknya. Aku tidak begitu mengenal anime atau manga seperti Maaya atau Maru-kun, tetapi itu pasti karakter yang populer. Karena ilustrasinya begitu imut

Itu memang hebat kok~. Dengar-dengar katanya ada season kedua. Tapi~, mungkin aku ingin lebih banyak popularitas umum~. Standar animasinya tinggi, dan penyajiannya juga bagus. Selain itu, mereka sangat erotis~. 

... Sekarang, sepertinya aku baru saja mendengar kata-kata yang tidak seharusnya keluar dari mulut gadis cantik ini. 

Tidak, aku tidak tahu.

Eh? Kamu tidak menontonnya?

Aku tidak tahu selera Aniki! Aku—

Saat dia mengatakan itu, dia mulai menyebutkan nama-nama idola K-pop dan selebriti Jepang. Aku tidak tahu setengah dari nama-nama itu. 

Kalau mau menempelkan sesuatu, aku maunya menempelkan itu. Tapi ia malah marah kalau aku mencoba melepasnya. Padahal sudah diberikan padaku, jadi tidak masalah, kan?

Tapi, kamu tetap tidak melepasnya. Kamu baik sekali~. 

Ucap gadis berambut cokelat dengan senyuman manis dan gadis berambut oranye itu tampak tertegun. Kurasa tebakannya tepat sasaran

Yah, kurasa itu mungkin pertimbangan dari kakakmu karena memasang desain stiker yang ramah untuk semua usia~,” imbuhnya.

Aku tidak mengerti apa maksudnya dan hanya memiringkan kepalaku. Gadis berambut oranye itu sepertinya juga tidak mengerti dan memiringkan kepalanya dengan sudut yang sama. Gadis cantik dengan gaya santai itu menempelkan tangan di mulutnya dan tertawa dengan anggun. Meskipun senyumnya kelihatan manis, aku merasakan sedikit tekanan seolah-olah dia merasa heran mengapa aku tidak tahu hal ini. Aku mulai berpikir bahwa gadis ini mungkin tidak seperti penampilannya

Suasana kelas tiba-tiba ramai ketika dosen masuk dari bawah tangga. Meskipun begitu, hari ini belum ada pelajaran, hanya penjelasan tentang mata kuliah dan pendaftaran mata kuliah menggunakan laptop. 

Setelah selesai, karena tidak ada kegiatan yang harus dilakukan, aku pulang begitu saja. 

Sewaktu aku mampir ke supermarket untuk berbelanja dalam perjalanan pulang, entah kenapa aku mencoba mengangkat kantong beras 2 kilogram meskipun sebenarnya tidak berniat membeli. Hmm, laptop itu jauh lebih berat daripada ini... 

Setibanya di rumah, aku menemukan Asamura-kun baru saja pulang, jadi kami makan malam berdua. 

Sambil berbicara tentang kesan kami terhadap universitas masing-masing, aku menceritakan tentang dua orang yang duduk tepat di belakangku, dan Asamura-kun juga memberitahuku tentang teman sekelas yang dengan sendirinya terlibat dalam percakapan yang sama. 

Aku sempat khawatir karena berpikir mereka akan tiba-tiba bertengkar, katanya. 

“Hee... 

Asamura-kun merasa ada tanda-tanda keributan saat itu, tetapi jika ia mengatakannya begitu, aku merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan orang yang sangat unik di awal masuk kuliah. 

Mungkin saja universitas memang tempat berkumpulnya orang-orang dengan kepribadian yang unik dan beragam dari seluruh penjuru negeri, lebih dari yang di SMA.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama