Epilog — 30 April (Sabtu) Asamura Yuuta
Malam ini
seperti biasa merupakan jadwal pekerjaan paruh waktuku. Namun, hari ini berbeda
dari biasanya. Bukan hanya karena hari Sabtu yang membuat jumlah pelanggan
lebih banyak dan stafnya juga lebih banyak. Staf yang lebih banyak dari
biasanya tampak semua berbicara dengan Ayase-san. Di kantor, ada camilan yang
dibawa Ayase-san sebagai salam perpisahan, sehingga semua orang tampak
memanfaatkan kesempatan itu untuk menyapanya.
Selama ini,
hubungan mereka tidak buruk. Namun, selama jam kerja, Ayase-san fokus pada
tugasnya dan tidak pernah memulai percakapan. Jika ada yang mendekatinya
seperti Yomiuri-senpai, mungkin bisa terjadi percakapan, tetapi jika lawan
bicara juga serius bekerja, percakapan tidak akan terjadi.
Namun, hari
ini adalah hari terakhirnya bekerja, jadi staf-staf berusaha mencari kesempatan
untuk menyapa Ayase-san. Melihat dia dicintai dan dihargai oleh rekan-rekannya,
aku merasakan sesuatu yang hangat di dalam dadaku.
Ini merupakan
bukti bahwa kamu telah berusaha keras, Ayase-san.
Namun,
bersamaan dengan perasaan hangat itu, ada juga rasa kesepian yang gelap muncul.
Hari ini adalah hari terakhirku bisa bekerja bersama Ayase-san...
Beberapa
waktu lalu, di meja makan malam, dia mengumumkan bahwa dia telah memutuskan
untuk mengikuti magang di kantor Akihiro Ruka-san.
Sejak awal
dia sudah tertarik pada pekerjaan desain, dan ada bagusnya dia bisa menemukan
sesuatu yang ingin dia lakukan. Jadi aku tersenyum dan berkata, “Aku
mendukungmu,” merasa kasih sayang saat melihat dia tersipu dan mengucapkan
terima kasih.
Tidak ada
kebohongan sama sekali dalam perasaanku saat itu. Namun, mengapa sekarang aku
merasa begitu terganggu?
Rasanya
sungguh aneh. Padahal kami masih bertemu setiap hari di rumah.
Meskipun
begitu, waktu kami berdua pasti akan berkurang jika dibandingkan dengan
hubungan kami yang tinggal serumah dan bekerja di tempat yang sama.
Aku jadi
teringat kisah cinta tragis yang diceritakan Nakamura di universitas.
Seiring
berkurangnya waktu bersama, pacarnya bertemu pria baru di komunitas yang bukan
tempat asalnya, dan tanpa disadar pacarnya menjadi akrab dengan pria tersebut dan
akhirnya pacarnya dibawa pergi. Nakamura menganggap kalau sekarang hal itu bisa
menjadi bahan tertawaan, tetapi aku tidak tega menertawakannya.
Ayahku
bercerai setelah diselingkuhi. Aku tahu tentang ketidakpastian hati manusia dan
kesedihan dari pihak yang dikhianati secara tidak langsung. Oleh karena itu,
cerita semacam itu selalu membuat hatiku bergetar.
Ayase-san...
aku mempercayai bahwa Saki takkan berselingkuh.
Kehidupan
universitas. Magang. Pengalaman di dunia baru pasti penuh dengan rangsangan,
dan Ayase-san akan diputar ke kanan dan ke kiri seperti wahana roller coaster.
Dia adalah orang yang penuh rasa penasaran.
Dia lebih memilih pengalaman yang mencolok daripada atraksi yang bergerak
lambat dan membosankan.
Apa benar
bahwa jika waktu kontak berkurang, perasaan cinta
akan memudar? Sama seperti yang terjadi dengan mantan
pacar Nakamura.
Tapi,
Tsukinomiya adalah universitas wanita, jadi seharusnya tidak masalah.
...Tidak, di tempat magang pasti ada pria juga. Dia
pasti memiliki banyak kesempatan untuk bertemu orang baru.
...Perasaan
ini tidak baik.
Meragukan
diri sendiri merupakan sumber kecelakaan. Meragukan
diri sendiri secara positif memang baik, tetapi meragukan diri sendiri secara
negatif akan menghancurkan hati.
Dengan
mengingat hal itu, aku memutuskan untuk mengalihkan pandanganku dari Ayase-san
yang dikelilingi staf dan dihargai, dan memutuskan
untuk berkonsentrasi pada pekerjaanku.
Hari
istimewa berlalu dengan cepat. Ketika aku menyadarinya, waktunya sudah tengah malam, sudah saatnya pulang kerja. Setelah
memeriksa dan membersihkan toko, serta menutup kasir, aku mengganti pakaian dan
kembali ke kantor, di mana manajer menunggu dengan senyuman. Ia menyerahkan sesuatu yang
berbentuk kotak padaku, dan aku hanya mengangguk dan menerimanya tanpa berkata
apa-apa. Lalu, aku menyerahkannya kepada Ayase-san yang masuk sedikit terlambat
dan berkata, “Terima
kasih atas kerja kerasmu selama ini”.
Itu
adalah kertas ucapan yang ditandatangani oleh semua staf untuk Ayase-san.
Bahkan Yomiuri-senpai mampir
setelah bekerja untuk menulisnya secara
diam-diam, dan Kozono-san (yang sudah pulang karena masih pelajar SMA) juga menulis dengan semangat. Meskipun begitu, kalimat
ucapan “Aku pasti
tidak akan kalah” dari Kozono-san
agak sulit dimengerti sebagai ucapan perpisahan.
Ayase-san
memeluk kertas ucapan itu erat-erat ke dadanya, tampak sangat terharu, tapi dia tetap menunjukkan senyum yang
sama seperti saat melayani pelanggan.
“Terima
kasih banyak.”
Hari
terakhir Ayase-san sebagai pegawai toko buku, Ayase
Saki, telah berakhir.
Setelah
menyelesaikan ucapan selamat tinggal, kami keluar dari toko sambil melihat
manajer dan para pegawai senior yang masih mengobrol setelah tutup. Meskipun
rasanya berat untuk pergi, kami tidak bisa tinggal lama. Meskipun kami sudah
mahasiswa, jika terlalu lama pulang, orang tua kami
pasti akan khawatir.
Saat aku
meninggalkan toko dan hendak melangkah keluar menuju hiruk pikuk tengah
malam... tiba-tiba tanganku digenggam.
“Tunggu.”
“...Ayase-san?”
Ketika
aku menoleh, dia menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Ada tempat yang ingin kukunjungi.”
“Di
jam segini? Ehm, ke mana?”
Ayase-san
berpikir sejenak, lalu berkata seolah-olah bercanda, “Ziarah ke tempat suci.”
◇◇◇◇
Jalanan Dougenzaka di tengah malam
memperlihatkan suasana yang pantas disebut kacau. Para
calo yang mencurigakan, orang dewasa yang mabuk, dan
lampu-lampu toko yang tidak padam meski sudah lewat tengah malam.
Kami
berada di atas tangga sedikit lebih tinggi dari deretan restoran yang ada di
dalam gedung. Di tempat beristirahat tangga, kami bersandar pada pagar dan
melihat ke bawah ke jalanan yang semrawut
dan berantakan.
Aku
melihat wajah samping Ayase-san. Pemandangan ini sangat mengingatkanku statusnya sebagai “adik perempuan”.
Akhir-akhir
ini, aku lebih sering memikirkannya sebagai ‘kekasih’, jadi
sudah lama aku tidak memikirkannya sebagai ‘adik perempuan’ seperti
ini.
Lantas
mengapa sekarang aku memikirkannya
sebagai
‘adik perempuan’? Ada alasan di baliknya.
“Tempat ini
jadi bikin nostalgia, ya” kata adik perempuanku sambil menyipitkan mata.
Meskipun
berada di tengah gemerlap cahaya perkotaan, dia tidak pernah tenggelam dalam cahaya tersebut.
Rambutnya
yang keemasan dan mata yang penuh tekad. Sikapnya yang teguh. Dia memancarkan aura kuat yang membuatku merasa
dia bisa berenang dengan kuat di
dunia mana pun.
Namun,
itu adalah pertemuan luar biasa
yang membuatku berpikir bahwa kami memiliki nilai-nilai yang sama.
“Ya.
...Di sinilah kita pertama kali bertemu.”
Benar,
inilah tempatnya.
Di
restoran keluarga yang terletak di atas tangga ini, aku, ayah, Ayase-san, dan
ibunya, Akiko-san, bertemu
untuk pertama kalinya.
Dan di
tempat beristirahat tangga ini, kami membuat
kesepakatan.
Kami
sepakat untuk tidak saling berharap terlalu banyak.
“Pada
hari itu, kehidupan baruku dimulai. Salah satu yang
paling membahagiakan dalam hidupku.”
“Sama.
Aku juga merasa begitu.”
“Dan
kupikir itu karena kita bisa saling memahami satu sama lain dengan baik.”
“Memang.
Karena kita berdua bisa saling memahami di sini, kita
bisa menjalani kehidupan dengan nilai yang sama dengan
tenang setelahnya.”
Mengusulkan
hubungan yang mirip seperti
kontrak mungkin bisa membuat lawan bicara merasa enggan
dan tidak nyaman.
Baginya,
itu adalah bentuk komunikasi untuk menegaskan
sesuatu meskipun menyadari
ada risiko ditolak.
Jika aku tidak merasa tidak nyaman dengan isi pembicaraannya, dia cukup meminta maaf saja.
Itulah
langkah berani yang diambilnya.
Berkat
keberaniannya,
kehidupan kami sebagai kakak beradik tiri bisa
menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.
Dalam arti tertentu, aku seolah-olah memanfaatkan keberanian itu.
Aku
mengerti, semuanya berkat
dari hubungan yang berusaha mengungkapkan segalanya dalam kata-kata dan saling
memahami, yang juga melewati risiko ditolak.
“Oleh
karena itu,” katanya
sambil menatap mataku.
Kata-kata
berikutnya tidak mudah diucapkan.
Seolah mencari kalimat yang
tepat, mata indahnya bergerak bolak-balik antara mataku dan beberapa milimeter
ke kanan.
Sampai saat itu tiba, aku
akan menunggu. Aku akan terus menunggu sampai dia berhasil menemukan kata-katanya.
Karena menurutku itu tidak sopan untuk merebut
kata-kata orang lain atau mewakili perasaannya tanpa izin.
Tapi,
jika kita ingin menciptakan kehidupan
baru──.
“Apa
kamu ingin saling menyelaraskan
nilai-nilai kita? Satu nilai besar yang akan mempengaruhi
kehidupan kita ke depan.”
“……!”
Ketika
aku dengan tegas mengambil kata-katanya,
Ayase-san membuka matanya lebar-lebar.
Kemudian
dia mengangguk berkali-kali.
“Iya.
Begitu. Benar sekali.”
Lalu dia
mendekatkan wajahnya ke arahku, dengan napas yang sedikit terengah-engah karena
kegembiraan.
“Mari kita
bicarakan tentang memiliki anak!”
“……!”
Kini
giliranku yang membuka mataku
lebar-lebar.
Kemudian dia
segera tersadar dan berkata, “Ah,
bukan begitu, aku
lupa subjeknya,
ah tidak, aku lupa kata keterangannya…” sambil memerah tersipu seolah-olah sedang membela diri.
“Pokoknya,
bukan itu maksudku. Begini,
bukannya baru-baru ini ibu kita bertanya tentang memiliki anak, ‘kan?”
“Ah,
ya, benar.”
Dia berpesan supaya kami tidak menggunakan itu sebagai alasan menahan
diri untuk melakukan apa yang kami inginkan.
Dilihat dari
alur percakapan dan suasananya, mungkin saja ibu
tiri Akiko-san sudah menyadari hubungan antara aku dan
Ayase-san.
“Setelah
itu, ibu berkata padaku. Dalam dua tahun ke depan, aku akan mencapai usia di
mana ibuku mengandungku. Jadi, mungkin dalam waktu dekat, aku akan memperkenalkan orang
yang penting bagiku kepada mereka.”
Setelah membahas rencana tentang memiliki anak, ibu tiri Akiko-san hanya menghentikan
Ayase-san untuk berbicara, tapi mungkin pada saat
itulah mereka berdua membahas hal tersebut.
“Dan kemudian, siapa pun orangnya, ibu… dan Ayah tiri
Taichi-san pasti akan merestuinya.”
“Bukannya
itu jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka juga menyadari kalau yang dimaksud itu aku,
‘kan?”
“Iya.
Aku yakin itu sudah kelihatan jelas.”
Ayase-san
mulai menertawakan dirinya sendiri.
“Tapi,
ketika aku mencoba jujur mengungkapkan
'Pasanganku adalah Asamura-kun,' ucapanku
malah disela dulu. Ah, maaf karena aku mencoba mengungkapkannya tanpa
berkonsultasi dulu
sebelumnya. Tapi, saat itu aku merasa harus mengatakannya.”
“Itu
tidak masalah. Sejujurnya, aku juga
samar-samar merasa kalau dia sudah mengetahuinya.”
Tapi
bukan itu yang kukhawatirkan.
“Kenapa
Ibu tiri Akiko-san menyela? Apa itu artinya dia
belum mau mendengarnya?”
Meskipun dia sudah mencurigai hubungan kami, tapi dia berusaha menghindari
memastikannya?
Namun,
Ayase-san segera membantah.
“Ah,
kurasa tidak begitu. Suasanya
tidak kelihatan seperti itu. Hanya saja… dia ingin kita menghargai waktu
yang kita miliki sekarang dan perlahan-lahan memupuk cinta kita.”
Aku
memikirkan kata-kata dan tindakan Ibu tiri Akiko-san, seperti yang diceritakan Ayase-san.
Di bawah pagar, ada banyak
orang berlalu Lalang dan hampir
bertabrakan. Beberapa di antara mereka mungkin sedang minum-minum di tempat ibu tiri Akiko-san bekerja.
Ssama seperti diriku dan Ayase-san yang mulai
berkuliah dan mendapatkan teman baru, kehidupan orang-orang mengalami perubahan
besar setiap beberapa tahun. Perubahan terjadi sebanyak jumlah orang, dan Ibu tiri Akiko-san yang telah lama bekerja di
Shibuya pasti sering melihat banyak
perubahan pada orang-orang yang mengunjungi
Shibuya dan tokonya.
Perubahan
merupakan bagian dari kehidupan, bukan?
Mungkin Ibu tiri Akiko-san merasa bahwa memaksa kami untuk
mengaku jujur di saat itu
justru dapat mengikat kami dalam arti sebaliknya.
Sebagai
seorang ibu, harapannya untuk kami bukanlah agar kami bahagia sebagai pasangan
kekasih. Dia menginginkan kami
masing-masing bebas dan bahagia tanpa terikat oleh sesuatu.
Kita tak
pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hubungan sepasang
kekasih. Tak peduli sebahagia
apapun perasaan kami sekarang, kami bisa saja putus karena hal-hal kecil.
Begitu juga yang terjadi dengan
ayahku dan ibu kandungku, serta ibu tiri Akiko-san dan Ito Fumiya.
Jadi,
jika kami mengungkapkan hubungan ini pada saat kami bahkan belum berencana untuk menikah,
ketika saatnya tiba untuk berpisah, kami harus melaporkannya dalam suasana
canggung. Jika memang begitu,
dia mungkin menginginkan kamu baru memberitahunya kalau hubungan kami sudah lebih serius dan membuat keputusan yang sangat
penting. Mungkin itulah
maksudnya.
Ketika
aku mengungkapkan hipotesis itu, dia tampaknya memiliki pemikiran yang sama dan
segera mengangguk.
“Kita
harus menjaga dan merawat baik-baik
hubungan kita. Kita memang harus begitu, tapi…”
“Tapi?”
Dia
terdengar ragu-ragu.
Melihat
wajah samping Ayase-san, tidak ada lagi kedinginan seperti saat pertama kami
bertemu; wajahnya tampak sedikit lembek, dan kemerahan di wajahnya sulit untuk
dipastikan apa itu karena cahaya lampu lalu lintas atau alasan lain.
“Hari
ini adalah hari terakhir kita bekerja paruh waktu di tempat yang sama, ‘kan?”
“Iya,
benar.”
“Kurasa
gaya hidup kita berdua akan
semakin berbeda karena kuliah dan pekerjaan kita.”
“Mungkin,
itulah yang akan terjadi.”
“Kurasa
waktu yang bisa kita habiskan bersama akan semakin
sedikit.”
“Kita
‘kan tinggal serumah, jadi...… sulit
untuk berpikir seperti itu.”
“…ya.”
Di
masa-masa sensitif seperti SMP dan SMA, Ayase-san mengalami kehidupan yang berbeda dari ibunya.
Dia mengetahui bahwa meskipun kami tinggal serumah, jika gaya hidup
kami sangat bertolak belakang, kami berdua mungkin jarang bertemu.
“Sejujurnya, aku sedikit khawatir. Bukannya berarti aku tidak mempercayai
Asamura-kun, tapi… hubungan yang merupakan kakak
beradik sekaligus kekasih itu memang sangat ambigu,
seolah-olah ada definisinya tetapi tidak ada. Jika kita saling berbicara setiap hari dan saling mengonfirmasi secara
teratur, kita takkan
melupakannya, tapi jika waktu itu berkurang, aku merasa hubungan ini bisa
hancur begitu saja.”
Aku
terkejut. Ternyata Ayase-san juga merasakan kekhawatiran yang mirip denganku. Walaupun aku tidak sampai berpikir bahwa
itu disebabkan oleh ketidakjelasan definisi hubungan kami.
“Jika dia
memang tidak menyukainya, ya sudah, minta maaf. Semuanya langsung beres.
Lagipula, dia itu pacarmu, ‘kan.”
Aku
teringat kata-kata Nakamura.
Jika
ditanya apakah aku setuju dengan cara itu, jau di
dalam hati aku tidak
sepenuhnya setuju. Karena itu merupakan
awal dari prasangka. Karena menurutku melakukan
itu karena dia pacarku sendiri merupakan kurang pantas. Ayase Saki adalah Ayase Saki, dan aku merasa tidak pantas
untuk memberi label yang lain.
Tapi
memang ada benarnya dengan
apa yang dikatakan Ayase-san.
Manusia
terikat pada definisi. Ketika sesuatu dijelaskan sebagai “sesuatu itu begini,” kita mengabaikan pemikiran yang
rumit dan hanya mengenali hal tersebut, sehingga ketika ada sedikit perubahan,
kita tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang berbeda, melainkan
mengelompokkan semua yang serupa menjadi satu. Aku selalu menghindari stereotip
seperti itu, dan Ayase-san juga membencinya. Namun, terikat pada definisi dan
terjebak dalam prasangka tampaknya adalah naluri manusia. Karena tidak melalui
proses berpikir, hal ini menjadi stabil, cepat, dan rendah biaya, itulah
sebabnya hal ini mudah bertahan.
Adik
perempuan atau kekasih?
Aku harus
menegaskannya dan jangan pernah ragu.
“Aku
tidak akan memanggilmu 'Nii-san'
lagi, jadi ketika kamu memanggilku 'Saki', aku ingin kamu tidak
memanggilku sebagai adik
perempuanmu.”
Sesuai janji kita hari itu, dia—Saki,
yang sekarang hanya akan menjadi kekasih—mengatakan demikian.
“Apa
itu nilai besar yang ingin kita berdua selaraskan?”
Ketika aku bertanya demikian, Saki balas mengangguk.
“Bagaimana
menurutmu? …Yuuta.”
“Aku…”
Aku membalikkan
tubuhku dan berhadapan langsung dengan
Saki.
Bahkan
saat bermandikan cahaya jalanan Dogenzaka
yang semrawut, dia tetap mempertahankan garis
wajah yang anggun, tetapi duri yang tampak menyakitkan itu sebenarnya lembut
seperti boneka yang bisa hancur hanya dengan sentuhan jari. Meskipun aku
menunjukkan sisi menyedihkan, dia begitu murah hati sehingga menerimaku ──.
Aku
menyadari bahwa ekspresi yang muncul saat melihatnya kini lebih kaya dibanding
sebelumnya.
Karena
kami berada di tempat yang sama, aku bisa merasakannya.
Saki yang
kulihat sekarang jauh lebih tiga dimensi dibandingkan Saki yang kulihat hari
itu.
Begitu ya,
yang begini jauh lebih
baik.
Jika aku
mendefinisikannya pada hari itu, aku takkan
pernah bisa melihat ‘Ayase
Saki’ dalam
bentuk tiga dimensi seumur hidupku.
Tapi
sekarang, meskipun aku mendefinisikan sesuatu sedikit, aku tidak akan
kehilangan arah.
“Aku
juga ingin definisi yang jelas.”
“Yuuta…,
…!”
Dia
terkejut sejenak dan terengah-engah.
Karena
tanganku menyentuh lehernya.
Tangan
ini secara alami membentang seolah tertarik. Sambil
merasakan tekstur rambutnya di punggung tangan, aku
menyentuh lehernya, lalu bergeran naik
ke pipinya seolah-olah ingin
merasakan bentuk dan suhu tubuhnya.
Apa aku
menakutinya? Haruskah aku meminta
maaf?
Aku dengan
hati-hati mencoba melihat matanya.
“Ah…”
Dan untuk
pertama kalinya, aku mengerti. Untuk pertama kalinya, aku merasakannya. Apa yang dimaksud dengan [OK]
yang tidak melalui kata-kata.
Dia menutupi tanganku dengan
tangannya sendiri saat tanganku
itu menyentuh pipinya.
Dihimpit
antara kehangatan pipi dan tangannya, perlahan-lahan panas itu mulai menyebar,
dan panas itu tidak hanya berhenti
di tanganku, tetapi
juga menyebar melalui pembuluh darah ke
seluruh tubuhku.
Tidak
memperlakukannya sebagai adik
perempuan, melainkan sebagai
kekasih.
Demi mendefinisikan
hubungan kami dan menjadikan keberadaan Yuuta
dan Saki sebagai sesuatu yang pasti.
“Apa boleh?”
“…Boleh, kok.”
Kelembutan
yang saling bertumpuk membakar panasnya suasana di kawasan hiburan, dan cahaya,
suara, serta bayangan orang-orang
di jalan Dougenzaka
perlahan-lahan lenyap di ujung dunia tanpa kata.
● Catatan
di ponsel Ayase Saki
Hal-hal penting. Usahakan supaya tidak terjadi kecelakaan.
Jangan
panik meskipun toko obat tutup. Kita masih bisa membelinya di minimarket.
Tanggal
30 April dan 1 Mei, hari mana yang harus kutulis di buku harianku?
Aku
penasaran hari mana yang akan menjadi hari peringatan?
Aku akan memutuskannya dengan Yuuta
nanti.
(TN: LETS GOOOOOO ASAMURATT!!! UWOAHHHH SEGGGSSSSS)
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
