
Chapter 15 — 29 April (Jumat) Asamura Yuuta
Di tengah kegiatan
perkuliahan di universitas, aku merasa sulit untuk berkonsentrasi.
Efek samping
terburuk dari rasa bersalah ialah hal itu perlahan-lahan menggerogoti pikiran
kita selama waktu yang lama. Penggerogotan mental ini menyelimuti tubuh seperti
karet yang ditarik tipis, menambah beban satu gram demi satu gram, membuat
kepala dan tubuh terasa semakin berat. Dengan kesadaran akan kelelahan yang
samar, kadang-kadang tanpa sadar aku mengeluarkan helaan napas dari mulutku.
Walaupun beberapa
hari telah berlalu sejak Ibu tiri Akiko-san menyatakan keinginannya untuk
memiliki anak, namun pengaruh kata-katanya terus-menerus menghantuiku. Rasanya
seperti aku terus diingatkan akan kebodohanku sendiri.
Aku percaya
bahwa memiliki anak di antara orang tuaku adalah hal yang sangat membahagiakan
dan baik. Bagian otakku yang paling rasional menilai demikian, dan di sana
tidak ada ruang untuk emosi negatif.
Namun, di
dalam lapisan yang lebih dalam lubuk hatiku, ada perasaan “kotor” yang
muncul dari naluri. Rasanya sama seperti saat kita melempar batu ke danau yang
terlihat bersih dan lumpur di dasar danau akan muncul ke permukaan.
Tiba-tiba,
tanpa berpikir panjang, aku secara refleks mengaitkan “tindakan semacam itu”
dengan diriku sendiri.
Tentu saja, aku
tidak membayangkan atau berkhayal secara detail. Aku tidak ingin memikirkan hal
seperti itu, dan aku tidak mungkin melihat keluarga sebagai objek yang tidak
senonoh. Sebaliknya, aku ingin segera menghapus imajinasi yang salah itu.
Namun, hanya dengan melihat wajah ibu dan ayah di rumah, mau tak mau aku jadi
mengasosiasikannya. Dan setiap kali itu terjadi, meskipun hanya sejenak, aku
merasa jijik pada diriku sendiri yang memproyeksikan hal tersebut dalam pikiranku,
membuatku diliputi rasa bersalah yang mendalam. Ini adalah hal yang serius dan
penting yang dibicarakan, tetapi mengapa aku malah mengaitkannya dengan hal
seperti itu?
Jika hanya
terhadap orang tua, itu masih bisa dimengerti. …Tidak, meskipun tidak baik, aku
masih bisa mengatakan bahwa itu hanya asosiasi refleks dan bukan karena keinginanku
sendiri.
Yang paling
menyulitkan ialah saat aku menghabiskan waktu dengan Ayase-san──saat aku secara
tidak sengaja mengaitkan “tindakan itu” dengan Saki.
Hanya dengan
menggenggam tangannya atau merasakan kehangatan dan aroma tubuhnya saja
membuatku merasa aneh, dan percakapan sehari-hari terasa canggung, dan aku
menyadari bahwa aku menghabiskan hari-hariku dengan kurang konsentrasi.
Kalau
dipikir-pikir kembali, aku merasa akhir-akhir ini kami tidak banyak melakukan
hal-hal yang biasanya dilakukan sepasang kekasih.
Karena ujian
dan kesibukan menjelang kelulusan dan persiapan kuliah, suasana seperti itu
tidak pernah muncul… meskipun sekarang sudah lebih tenang, aku masih terjebak
dalam kebiasaan selama periode itu, kami bahkan belum berciuman lagi.
Bagaimana
caranya agar suasana seperti itu bisa muncul lagi?
Aku masih
mengingat hari di mana kami saling menyentuh kulit. Sama seperti saat itu, jika
kami saling memastikan apakah kami boleh melakukan hal itu sambil berinteraksi
fisik… tapi, mengusulkan itu tiba-tiba tanpa ada alasan… Hmm, ini
membingungkan. Rasanya benar-benar membingungkan dan aku merasa jijik pada diriku
yang memikirkan hal seperti ini di tengah-tengah jam kuliah.
Setelah
kuliah pagi selesai, aku diundang oleh Nakamura dan Kikuchi untuk makan siang
dan dalam perjalanan ke kantin mahasiswa, aku merasa melamun dan tidak terlalu
memperhatikan percakapan mereka. Aku mengambil udon tempura renkon (yang
ringan, tetapi cukup untuk mendapatkan sayuran akar yang sering kurang) dan
menuju ke meja teras yang kosong. Sambil menunggu Nakamura yang bingung memilih
dan Kikuchi yang bergerak lambat, aku menyedot mie dengan pikiran linglung.
…Tidak, pemikiran
linglung itu mungkin bohong.
Aku berusaha
untuk tidak berpikir, tapi setiap kali melihat mahasiswa yang berbicara dalam
pasangan pria dan wanita, asosiasi yang tidak senonoh itu kembali muncul. Pada
titik ini, aku mulai khawatir apa aku mengidap semacam penyakit.
“Ada apa, Yuuta?
Kamu terus-menerus menghela napas. Jiwamu akan keluar dan menjadi mumi. loh!”
“Yang keluar
jadi mumi bukan jiwa, tapi cairan tubuh, ‘kan?”
“Oh, bagus.
Komentar cerdas. Rasa Yuuta mulai muncul.”
“Aku akan
menganggap itu sebagai pujian.”
Aku mulai
terbiasa dengan suasana Nakamura. Setelah beberapa hari bersama, aku bisa
melihat seperti apa orangnya secara permukaan.
Kalau
dipikir-pikir lagi, rasanya sama saja ketika aku bertemu Ayase-san. Itu terjadi
sekitar seminggu setelah kami mulai tinggal bersama. Kami mulai memahami
seperti apa satu sama lain dan berbagi sedikit cerita pribadi.
“…………!”
Seminggu. Aku
teringat kejadian yang terjadi saat itu, dan desahan serta kehangatan yang kurasakan
dari dirinya di ruanganku yang gelap muncul kembali, membuatku hampir
tersedak.
Melihat keadaanku
yang seperti itu, Nakamura berkata,
“Ahhh, ini pasti
masalah perempuan, ‘kan?”
“Hah?
Kenapa?”
“Kenapa
tidak? Masalah yang membuat mahasiswa melamun seperti ini pasti biasanya
tentang perempuan atau judi.”
Itu adalah
pilihan yang terlalu bias.
Dengan mata
yang berbinar-binar seperti anak kecil, Nakamura mencondongkan badannya ke
depan.
“Pacarmu? Atau
bar? Tenang saja, keduanya adalah yang terbaik. Makanan di Tokyo mungkin tidak
enak, tapi perempuan di sini cukup menarik. Jika kamu ingin lulus dari status
keperjakaan, aku akan membantumu, mari kita eksplor tempat yang bagus bersama-sama!”
“H-Hal-hal
semacam itu tidak perlu. Gimana bilangnya ya, yah ini tentang… pacarku.”
Setelah
berpikir sejenak, aku memutuskan untuk jujur.
“Woahh!
Jangan-jangan... ini masalah yang berbau erotis?”
“...
sedikit.”
“Seriusan?
Ayo, ceritakan!”
Posisi
tubuhnya semakin condong ke depan.
Aku tidak pernah
menyangka dirinya akan begitu tertarik. Tingkat antusiasme ini benar-benar di
luar dugaan, dan aku hanya bisa tersenyum pahit.
Aku belum
pernah berinteraksi dengan orang yang sangat terbuka seperti Nakamura
sebelumnya. Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang yang dangkal. Meskipun aku
tidak terganggu dengan candaan jorok yang humoris seperti yang dilakukan
Yomiuri-senpai, aku tidak menyukai topik-topik yang terlalu vulgar, seperti
siapa yang berhubungan seksual dengan siapa atau apa yang mereka sukai. Aku
merasa pembicaraan semacam itu sangat tidak sopan dan tidak menghargai orang
lain sebagai manusia.
Namun,
mungkin karena aku sedikit lebih dewasa sekarang, atau mungkin cara Nakamura
berbicara yang meskipun berbicara tentang hal-hal yang vulgar tidak menunjukkan
sedikit pun rasa malu, atau mungkin karena universitas merupakan tempat yang
terpisah dari rumah dan orang-orang yang berharga bagiku tidak ingin
disalahpahami, aku merasa seolah-olah aku bisa sedikit memperlihatkan “sisi
vulgar” dari diriku.
Pokoknya, aku
merasa bahwa aku bisa membicarakan masalahku di sini...
“Eh, apa?
Pembicaraan tentang apa nih?”
Kikuchi yang
datang dengan nampan berisi kari bergaya Eropa, berkata dengan wajah curiga karena
mungkin merasakan suasana aneh di antara kami.
“Ini
pembicaraan erotis. Sepertinya Yuuta sedang galau soal pacarnya.”
Terlalu blak-blakan.
Aku berharap dirinya tidak menggunakan ungkapan itu.
“Eh, kamu
sudah punya pacar? Uwahh, bikin iri saja...”
Dia menatapku
seolah-olah melihat sesuatu yang kotor.
Sejujurnya, aku
merasa heran apa ada hal yang bisa membuatnya merasa iri padaku. Nakamura
biasanya memang bercerita tentang pengalaman romantisnya, jadi itu bukan hal
yang mengejutkan, tetapi Kikuchi juga terlihat cukup menarik meskipun
suasananya suram, wajahnya cukup tampan, dan penampilannya juga rapi dan
modis.
Dirinya
merasa iri mungkin karena ia tidak punya pacar, tetapi jika ada kesempatan baik
dan dirinya mau, seharusnya ia bisa menemukan pasangan kapan saja.
…Tapi, mari
kita tinggalkan pembicaraan tentang Kikuchi.
“Aku takkan
membahas detailnya, tapi, yah, aku punya pacar yang sudah kupacari sejak
sebelum ujian masuk. Selama belajar untuk ujian, kami hampir tidak melakukan
hal-hal yang berhubungan dengan itu... Sekarang setelah sekian lama, aku tidak
tahu harus bagaimana jika ingin mengajaknya ke hal-hal seperti itu.”
Seperti yang
diharapkan, aku tidak bisa terlalu blak-blakan seperti Nakamura, jadi aku
menjelaskan sambil mengaburkan kata-kataku.
“Bukannya
itu hubungan mandul! Eh, ada apa, kamu jadi tidak bisa bergairah karena sudah
berapa bulan tidak berhubungan!? Aku mengerti, aku master yang bisa
membangkitkan gairahku sendiri!! Hanya master saja!”
“Ah, ya,
sepertinya kamu harus menurunkan suaramu.”
“Oops,
maaf.”
Aku terkejut
dengan jawaban yang jauh lebih vulgar daripada yang kubayangkan. Sekarang aku
menyesal karena seharusnya tidak membagikan masalah kehidupan seksualku kepada
pria ini.
“Yahh,
karena ini masalah serius, kurasa aku akan mendengarkannya. Hmm, sampai sejauh
mana kamu sudah melakukannya dengan cewek itu?”
“Cuma ciuman
dan, mungkin, sedikit bersentuhan kulit.”
“Jadi belum
sampai ke tahap itu, ya. Kalau begitu, itu bukan masalah hubungan badan
ya.”
“Ya, benar.
Mungkin karena sudah lama tidak melakukannya, atau mungkin aku hanya tidak tahu
bagaimana memulai langkah pertama.”
Begitu ya,
ternyata penting sekali untuk mengungkapkan perasaan.
Sambil
berbicara, aku merasa seolah-olah bisa melihat bentuk asli dari masalahku.
Sentuhan
fisik yang telah kulakukan sebelumnya dan apa yang akan datang ke depannya
sepertinya berada di jalur yang sama, tapi keduanya jelas-jelas berbeda.
“Nakamura punya
banyak pengalaman dalam hal seperti itu, kan?”
“Ya! Serahkan
saja padaku. Aku sudah pernah melakukannya dengan gadis-gadis setengah kelasku pada
umur 15 tahun.”
“Eh,
menjijikkan. Itu pasti bohong…”
Kikuchi yang
sebelumnya diam tiba-tiba menyela.
“Berisik. Aku
hanya bercanda kok. Tapi yah, sebagai senior dalam kehidupan, aku akan
memberitahu kalian, Duo Yuuyu. Kalian berdua, pasti tidak bisa melakukannya,
dari segi mental.”
“Itu bukan
urusanmu. Semoga kamu mati karena penyakit menular seksual.”
Kikuchi
menatapku dengan mata penuh penghinaan.
Namun, sebaliknya,
aku merasa tertarik dengan kata-kata Nakamura.
“Apa
maksudmu… eh, apa aku kelihatan seperti tidak tertarik dengan tindakan seperti
itu?”
“Eh, Asamu,
kamu sangat tertarik?”
Kikuchi
menatapku dengan wajah terkejut. Meskipun aku dipandang seperti pengkhianat.
Ini adalah urusanku, jadi tolong maafkan aku. Dan tiba-tiba, julukan Asamu mendadak
muncul. Mungkin karena merasa aneh memanggilku dengan panggilan Yuuta karena
namanya sendiri ialah Yuuma, tetapi ini adalah jenis julukan yang baru bagiku,
jadi aku sedikit belum terbiasa.
Melihat
sikapku yang antusias, Nakamura tersenyum menyeringai.
“Rasa
penasaranmu bagus sekali,” katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya seperti
seorang guru. “Dengarkan, tidak ada orang yang memulai dengan kata-kata seperti
‘Baiklah, mari kita mulai.’”
“...Jadi
maksudnya, kita baru bisa melakukannya jika ada arus atau suasana yang begituan?”
“Ya.”
“Tanpa
menggunakan kata-kata, itu sepertinya sangat sulit... Kamu tidak bisa memulai
tanpa mendapatkan persetujuan.”
“Penggunaan
kata-kata itu hanya diperlukan sebagai konfirmasi terakhir. ‘Apa boleh?’, ‘Boleh,
kok.’ Cukup itu saja! Kamu tidak membutuhkan yang lain.”
“Ehhh…”
Rasanya
terlalu sulit untuk dipahami. Pertama-tama, kapan waktu yang tepat untuk
bertanya apa itu bisa dianggap boleh?
Ketika aku
mengungkapkan keraguanku, Nakamura tampak bingung.
“Yang begitu
sih, kamu bisa mengetahuinya kalau kamu menyentuhnya, ‘kan?”
“Menyentuh...
seperti tangan atau semacamnya?”
“Tangan juga
boleh, rambut, kaki, leher, wajah, punggung, bokong, semuanya boleh. Jika
kalian berdua sedang bermesraan, kalian pasti akan saling menyentuh, ‘kan?”
“Meski
dibilang saling menyentuh itu sudah menjadi hal yang wajar....”
“Itu dia!
Hal-hal seperti itulah ciri orang yang tidak bisa melakukannya. Menyentuh
perempuan itu hal yang biasa. Jika kamu menyentuh bagian tubuhnya dan dia tidak
keberatan, lalu matanya yang sayu menatapmu, jelas-jelas itu sudah hampir pasti
oke! Semua orang melakukannya.”
“Tidak,
tidak, tidak.”
Aku tidak mempercayai
ia bicara begitu tegas tentang sesuatu yang bisa punya banyak teori berbeda.
Saat aku
bersekolah di SMA Suisei, tidak ada orang dengan tipe seperti ini di sekitarku,
jadi aku merasa sangat terkesan. Memang ada Narasaka-san yang mirip, tapi
meskipun dia kelihatan seperti itu, merupakan orang yang lebih memperhatikan
orang lain, sedangkan Nakamura Hironobu seolah-olah telah meninggalkan kata ‘norma
sopan santun’ di kampung halamannya, dan sikapnya benar-benar terasa
segar.
“Lihat,
banyak wanita yang tidak suka disentuh, ‘kan? Terutama rambut dan wajah mereka,
karena gaya rambut dan makeup mereka bisa rusak.”
“Yah,
jelas-jelas itu tidak boleh. Melakukan sesuatu yang tidak disukai orang lain
itu tidak bisa diterima. Itu tindakan kurang ajar.”
“...Iya, ‘kan?
Itulah sebabnya, kita tidak boleh sembarangan menyentuhnya tanpa mengonfirmasinya...”
“Tidak,
tidak, tidak, itu salah. Jika dia memang tidak
menyukainya, ya sudah, minta maaf. Semuanya langsung beres. Lagipula, dia itu pacarmu,
‘kan?”
Aku
merasakan sensasi deja vu saat Nakamura mengatakannya dengan santai.
Aku memiliki
kenangan tentang nilai-nilai yang mirip di suatu tempat. Itu adalah saat ayahku
menikah lagi dan hari pertama pertemuan tiga pihak. Ketika aku berbicara dengan
ibu tiri Akiko-san, di koridor sekolah.
Saat ibu
tiri Akiko-san dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa membaca niat terselubung
pria, aku merenungkan apakah itu benar. Lalu dia mengatakan kalimat ini:
“Jika kamu melakukan
kesalahan, kamu tinggal mengatakan ‘maaf’ saja.”
Saat itu,
aku berpikir kalau perilaku tersebut cukup licik.
Sambil
melihat Nakamura yang bercanda bahwa tidak boleh sembarangan menyentuh wanita
yang tidak ada hubungannya dengan kita, aku mulai berpikir.
Aku mengingat
hari di mana aku dan Ayase-san berciuman. Di antara cahaya lilin labu, kami
saling bertukar pandang dan mendekatkan wajah kami. Berapa banyak kata yang
telah kami ucapkan saat itu?
『Untuk kalian
yang terlalu pintar, aku akan memberikan kutukan agar kalian menjadi bodoh.
』
Kata-kata
kutukan dari Profesor Kudo kembali terlintas dalam pikiranku.
Jika saat
itu aku benar-benar terkena kutukan, alasan mengapa aku bisa melangkah maju
tanpa perlu banyak kata ──. Dan seperti yang dikatakan
Nakamura katakan, alasan mengapa sebagian besar pasangan dapat memulai
aktivitas malam tanpa diajari siapa pun──.
“Bodoh, ya.
...Iya, karena bodoh...”
“Eh?”
“..........................pfft.”
Ketika
aku mencapai kebenaran dan mengangkat wajahku sambil bergumam, Nakamura
terlihat terkejut, sementara Kikuchi tertawa terbahak-bahak.
...Eh?
“Apa aku
baru saja mengatakan sesuatu yang aneh?”
“Asamu,
luar biasa. Ku, kukuku.”
“Oi, bukannya
itu keterlaluan!? Padahal aku
sudah dengan baik hati memberikan saran!”
“Ah,
maaf. Bukan maksudku mengatakan Nakamura itu bodoh.”
“Kukuku.
Ahahaha.”
Semakin
aku berusaha menjelaskan, Kikuchi semakin terpingkal-pingkal,
membungkuk dengan punggung melengkung dan bergetar.
Aku
merasa sedikit lebih lega.
Meskipun
aku belum menemukan jalan keluar yang jelas, rasanya menyenangkan bisa
berbicara tentang topik seperti ini dengan jujur. Mungkin terdengar berlebihan,
tapi aku merasa diselamatkan.
Ah,
ternyata aku bukan satu-satunya pria mesum
di dunia ini.
Aku
merasa ini adalah cara berpikir yang merosot. Jika aku mengatakan bahwa semua
orang di sekitarku juga mesum, dan itu
membuatku merasa nyaman, mungkin orang yang berambisi akan memarahiku. Ibu
kandungku pasti akan marah. Dia pasti akan berkata bahwa itu tidak boleh
terjadi. Namun, aku tidak ingin berbohong pada diriku sendiri yang merasa
terhibur oleh percakapan bodoh ini.
Mungkin
terinspirasi oleh ucapan
ibu tiri Akiko-san, kadang-kadang aku membayangkan Ayase-san dalam situasi seperti itu...
itulah yang benar-benar mencerminkan diriku yang sebenarnya, sosok Asamura Yuuta yang apa adanya.
Kemudian,
sebelum pelajaran kuliah
berikutnya dimulai, kami bertiga melanjutkan obrolan santai tentang seks.
Mungkin
sebagai balas densam atas panggilan bodoh, Nakamura mulai
mengancam dengan nada seperti sedang bercerita hantu, “Kamu harus cepat-cepat berhubungan
saat masih mesra-mesranya.
Jika terlalu lama dibiarkan, pacarmu bisa diambil oleh pria lain.”
Rupanya itu
berdasarkan pengalaman pribadinya, meskipun ia sendiri yang
mulai bercerita dan tampak tersakiti.
Dari situ, kami hanya mendengarkan Nakamura yang terus menceritakan episode
ditolaknya dengan air mata, sambil sesekali
menyela dengan candaan.
Namun,
pengalaman Nakamura terlalu spesifik sehingga tampaknya tidak mungkin itu
bohong, tapi terlalu banyak detail yang membuatku merasa waktu kehidupannya tidak mungkin sama panjangnya
dengan kami. Aku merasa dirinya
sedikit lebih dewasa, tapi mungkin ia aslinya
sudah mengulang tahun ujian masuk
beberapa kali dan lebih tua dari kami?
Aku
penasaran, tapi tidak ada momen yang tepat untuk bertanya, jadi aku mengakhiri
percakapan tanpa bisa menanyakannya. Nanti, di lain waktu, aku akan mencari
kesempatan untuk menanyakan hal itu.