Prolog
──Malam
7 September・Sudut Pandang Ichijou Ai──
Hari
Minggu akan segera berakhir. Setelah berkencan
dengan Senpai, aku menghela napas sendirian di ruangan yang terasa sepi. Waktu
yang terlalu bahagia itu telah berakhir, dan sebagai akibatnya, aku tiba-tiba
dipenuhi dengan perasaan kesepian.
Aku dibuat menyadari sekali lagi seberapa lemahnya diriku. Aku tidak
suka kesepian. Aku ingin memiliki keluarga. Aku ingin kembali ke masa-masa yang membahagiakan itu. Oleh karena itu, aku sangat
menyukai kehangatan Kitchen Aono.
Aku ingin selalu bersama dengan semua orang. Namun, masa-masa itu mirip seperti pesta dansa Cinderella.
Seiring berjalannya waktu, semuanya akan berakhir. Waktu yang berlangsung sementara.
Dan aku
harus kembali pada
kenyataan ini.
Alasan
kenapa aku menghela napas berat bukan hanya karena kesepian ini.
Itu juga karena aku teringat kejadian tadi. Tanpa sengaja, aku melakukan
sesuatu yang berani. Dengan sedikit
menyesal, aku tenggelam dalam kenangan hari ini di atas sofa. Sebenarnya, aku
tidak menyesalinya. Aku
terus meyakinkan diriku seperti itu.
Mungkin
karena aku banyak berjalan hari ini,
atau mungkin karena melakukan hal yang tidak biasa sehingga aku merasa cukup lelah.
Sambil memeluk boneka, aku mulai mengantuk. Ketika memeluk boneka itu, rasanya
seperti masih berkencan dengannya.
Aku
perlahan-lahan dibawa ke dunia mimpi.
Aku
bermimpi. Aku segera menyadari bahwa itu
adalah mimpi. Karena aku mengalami mimpi yang sama berkali-kali. Mimpi
tentang hari ketika aku kehilangan ibuku.
Orang tuaku
menjalani pernikahan yang biasa mereka sebut pernikahan
politik. Ayahku berasal dari konglomerat baru yang
berpengaruh, sedangkan ibuku berasal dari keluarga terhormat. Pernikahan itu sangat bernilai bagi kedua keluarga.
Pihak ayahku dapat
mewarisi posisi sebagai keluarga terhormat yang diinginkan, dan koneksi dari
pihak ibu juga dapat dimanfaatkan dengan baik. Aku mendengar bahwa keluarga ibu
berharap ayahku dapat menghidupkan kembali keluarga mereka yang terhormat. Biasanya,
pernikahan yang diatur ini mungkin menghasilkan pasangan yang dingin dan
berpura-pura. Jika itu yang terjadi,
aku takkan pergi ke atap.
Namun,
mereka berdua juga merupakan teman
masa kecil. Menurut cerita
ibu, kurasa mereka berdua mungkin
adalah cinta pertama satu sama lain. Oleh karena itu, meskipun itu pernikahan politik, mereka memiliki pernikahan yang
bahagia. Ketika ibuku
berbicara tentang ayah, wajahnya selalu tampak seperti gadis yang sedang jatuh
cinta, jadi aku bisa merasakannya. Aku juga akhirnya memiliki orang yang kusukai
untuk pertama kalinya, jadi kupikir aku memiliki wajah yang sama dengan ibu.
Aku
dibesarkan dengan kasih sayang
dari kedua orang tuaku. Itu adalah sesuatu yang
tidak bisa kusangkal. Hari-hari yang hilang itu masih membekas di dalam hatiku sebagai
kenangan yang hangat.
Orang tuaku memang sibuk,
tetapi aku tidak pernah merasa kesepian.
Kemudian,
aku bersekolah di sekolah swasta bergengsi di kota sejak SD. Semakin rajin aku belajar dan
berolahraga, semakin banyak pula mereka
memujiku. Ayahku sibuk dengan pekerjaannya dan jarang berada di rumah, tetapi
ia adalah orang yang baik yang selalu berusaha meluangkan waktunya untuk keluarga. Dirinya selalu hadir di acara kunjungan orang tua dan festival olahraga.
Aku membuka
album keluarga yang tersimpan di rak buku. Aku
selalu tersenyum di setiap foto.
Dan hampir di semua foto, ada senyum bahagia orang tuaku yang juga terlihat.
Semua itu adalah kenangan yang sangat berharga.
Namun,
dua tahun yang lalu, pada hari itu. Aku kehilangan segalanya. Aku dan ibuku
terlibat dalam suatu kecelakaan.
Kami
seharusnya pergi jalan-jalan pada hari itu.
Sebenarnya,
kami bertiga seharusnya pergi bersama, tetapi ayahku tidak bisa ikut karena ada pekerjaan mendadak... Mengetahui
hal itu membuatku sedikit terkejut, dan aku tidak bisa mempersiapkan diri
dengan baik, sehingga keberangkatan kami sedikit terlambat.
Itulah
kesalahanku.
Seandainya aku bisa bersiap lebih cepat... Seandainya aku bisa lebih memikirkan
ayah... Hasilnya pasti akan berbeda.
Pada hari
itu, ibulah yang mengemudikan mobil, sesuatu
yang jarang terjadi. Karena itu rencana perjalanan keluarga, jadi kami tidak memanggil sopir.
Perjalanan keluarga yang sudah lama kami nantikan. Ayah juga berencana untuk
segera bergabung setelah menyelesaikan pekerjaannya. Jadi, seharusnya aku tidak
perlu merasa terlalu tertekan. Mengapa aku...
“Ai, apa suasana hatimu sudah baikan?”
Ibuku bertanya sambil menggoda, dan aku
menjawab, “Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit
terkejut, tapi tidak apa-apa.”
“Karena
ini mengenai ayahmu, ia pasti akan segera
menyelesaikan pekerjaannya dan mengganti waktu yang hilang.”
“Benar
juga.”
Aku
memahami bahwa ayahku sering
sibuk dan perubahan rencana mendadak adalah hal yang biasa. Aku tahu bahwa
dengan kemampuannya, ayahku bisa
segera menyelesaikan pekerjaan mendadak itu.
Kami
hanya
melakukan hal-hal secara terpisah untuk sementara waktu.
Sekarang...
setelah kehilangan segalanya, aku menyadari bahwa itu semua merupakan hal yang sepele. Hanya lelucon
bahagia tentang kebersamaan keluarga.
Setelah
itu, aku juga bisa kembali ceria, dan percakapan biasa berlangsung di dalam
mobil. Aku tidak meragukan bahwa kebahagiaan ini akan terus berlanjut. Namun,
tiba-tiba...
Ketika mobil
memasuki terowongan. Takdir berubah di sana.
Di dalam
terowongan, tiba-tiba terdengar suara keras, dan akibatnya, semuanya menjadi
gelap. Aku juga mendengar suara rem yang keras. Suara tabrakan antara mobil dan
suara logam yang terhimpit menggema di dalam terowongan yang sempit.
Setelah kehilangan kesadaran beberapa
saat, aku melihat dinding di depanku.
Aku berpikir mungkin kami mengalami kecelakaan dan melihat sekeliling. Aku
mendengar suara napas ibuku yang
kesakitan. Dari jendela belakang yang pecah di sisi kursi pengemudi, aku bisa
memahami situasi kami. Terowongan runtuh, dan sekeliling kami dipenuhi puing-puing.
Kursi
pengemudi terjepit setengahnya oleh puing-puing, dan darah mengalir deras dari
bagian bawah tubuh ibuku.
Puing-puing itu juga
menusuk tubuhnya dan dia tampak kesakitan.
“Ah, Ibu,
Ibu baik-baik saja?”
Aku tidak
bisa memahami situasi dan hanya bisa mengeluarkan suara ketakutan. Aku menangis
sambil menggenggam bahu ibuku.
“Ai, apa kamu terluka?”
Meskipun
seharusnya ibuku yang
paling menderita, dia tetap
bertanya seperti itu. Dia berusaha keras untuk tersenyum agar aku tidak merasa
cemas.
“Aku
baik-baik saja, tapi, Ibu...”
“Begitu, syukurlah.”
Ibu hanya
memikirkanku dan tidak mempedulikan
dirinya sendiri. Di matanya, aku merasakan sesuatu yang mirip dengan keputusasaan.
Namun, aku juga merasakan kasih sayang yang tulus karena dia merasa lega
melihat putrinya selamat. Mungkin, dia sudah menyadari bahwa dirinya tidak akan
selamat, dan aku baru menyadarinya setelah aku tenang.
Aku
kehilangan kata-kata dan hanya bisa mengulang kata yang sama.
“Ibu...
Ibu, Ibu.”
Dengan
ekspresi pasrah dan
kasih sayang, ibuku
menggelengkan kepalanya.
Wajahnya terlihat lembut
seolah-olah dia menyadari bahwa kematiannya semakin dekat. Dengan
tangan kirinya yang hanya bisa bergerak sedikit, dia dengan lembut mengelus
kepalaku. Aku merasakan kalau
tubuh ibuku semakin
dingin. Ketakutan akan kematian ibuku yang
semakin mendekat membuatku merasa sangat merinding.
“Ai, kamu tidak
perlu mengkhawatirkan ibu, kamu
harus segera keluar dari sini. Mungkin akan terjadi
kebakaran.... Tim penyelamat seharusnya akan
segera datang...”
“Aku
tidak bisa meninggalkan Ibu. Aku juga akan menunggu bantuan bersama Ibu.”
Tubuh ibuku semakin dingin. Aku berusaha
keras menggenggam tangannya.
“Kumohon. Ibu
ingin.. kamu bahagia...”
Melihat
bagaimana Ibu berjuang
untuk berbicara, aku menangis tersedu-sedu di bahunya. Meskipun seharusnya dialah yang menderita, ibu masih berusaha berbicara banyak,
tetapi aku terkejut dan tidak bisa mengingat apa pun. Napas ibuku semakin lemah. Sedikit demi sedikit, asap
mulai memenuhi terowongan.
Kebakaran
telah terjadi. Jika dibiarkan terus seperti ini,
ibu akan... Aku harus memanggil bantuan. Setelah
berpikir demikian, aku berkata, “Aku akan segera memanggil bantuan,”
dan berusaha keluar dari mobil.
Ibu tidak
mengatakan apa pun.
Ketika aku
keluar dari mobil, pemandangan di dalam terowongan benar-benar mengerikan.
Truk sepenuhnya tertimbun puing-puing. Aku melihat orang-orang keluar dari
mobil di belakang. Itu adalah seorang pria dan seorang wanita.
“Tolong,
ibuku ada di dalam mobil itu... kursi pengemudi terjepit di bawah puing-puing
dan dia tidak bisa bergerak...”
Pria itu
segera melihat keadaan mobil tempat kami berada dan matanya membelalak. Jika
dipikir-pikir lagi, aku mengerti. Di kursi pengemudi ada puing-puing besar yang
menancap, dan tidak ada yang bisa dilakukan dengan tangan manusia. Itulah sebabnya ia
menggelengkan kepalanya.
Seorang
wanita muda memelukku.
“Kamu haru segera meninggalkan tempat ini, jika
kamu tetap di sini, kamu juga...”
Kemudian,
wanita itu menarik tanganku.
“Tidak, aku
mau tetap di sini. Lepaskan tanganku!!”
Meskipun aku
berteriak berkali-kali, pasangan pria dan wanita
di mobil belakang tidak melepaskan tanganku. Setelah itu, ingatanku menjadi
samar, dan aku tiba-tiba mendapati diriku terbaring di rumah sakit. Di sana, ayahku
memberitahu bahwa ibu telah meninggal.
Dan kemudian, aku teringat. Mobil kami
berhenti sedikit menyimpang dari arah yang seharusnya. Aku akhirnya menyadari
bahwa ibu menginjak rem dengan keras dan memutar setir untuk menjauhkan kursi
tempatku duduk dari puing-puing.
Seandainya
saja aku tidak terlambat bersiap-siap...
Seandainya
saja aku tidak berada di dalam mobil...
Seandainya
saja aku tetap di sana......
Mungkin aku
bisa mengubah takdir. Mungkin ibu tidak akan menghilang.
Dengan penyesalan, rasa bersalah, dan kehilangan, aku hanya bisa meminta maaf
kepada ayah yang datang menolong. Karena
semuanya adalah salahku.
“Maafkan aku,
Ayah. Maafkan aku. Semua ini karena salahku,
ibu... ibu...”
Sambil
mengatakan itu, aku menangis tersedu-sedu. Ayah tidak mengatakan apa-apa.
Pada akhirnya,
aku tidak bisa menghadiri pemakaman ibu dan harus dirawat di rumah sakit. Aku
telah membebankan semuanya kepada ayah. Padahal, ayah pasti juga merasa sangat
berat.
Setelah
itu, kehidupan berubah drastis. Pertama-tama, ayah menjadi berbeda. Mungkin
karena kehilangan ibu, ia menjadi sangat sibuk pada
pekerjaannya dan hampir tidak pernah pulang ke rumah.
Dan Ayahku yang dulunya begitu baik padaku, tiba-tiba terasa dingin, seolah-olah ia memperlakukan orang lain seperti
benda.
Ditambah
lagi, setelah kecelakaan itu, aku juga mulai mengalami
pembullyan. Aku memang sudah menjadi sosok
yang mencolok, jadi mungkin ada rasa iri dari teman-teman sekelasku.
Aku
menjadi terkenal karena media memberitakanku sebagai penyintas yang selamat
dari kecelakaan, dan semua kebencian yang terakumulasi menjadi tertuju kepadaku.
Teman-teman sekelasku tampak
biasa di permukaan, tetapi di belakang, mereka menyebutku anak iblis yang
selamat dengan mengorbankan ibunya. Paling
parahnya lagi, aku menerima panggilan
anonim dari seseorang yang meniru suara ibu dan
bertanya, “Kenapa kamu tidak menolongku? Kenapa kamu tidak membantuku?” Ibu
tidak akan pernah mengatakan hal seperti itu. Meskipun aku mengetahui itu, luka hatiku semakin dalam setiap kali hal
itu diulang.
Aku tidak bisa berkata apa-apa dan
hanya berdiri di sana sambil memegang ponselku.
Berulang kali.
Setelah lulus
dari sekolah SMP swasta, aku
pindah dan memulai hidup baru di tempat di mana tidak ada yang mengenalku.
Namun, ayah tampaknya ingin menjauh dariku, jadi dirinya tidak ikut denganku. Hal
itu membuatku merasa semakin dikucilkan. Telepon
yang mengganggu tidak lagi datang, tetapi
aku telah kehilangan segalanya.
Seharusnya
aku mati bersama ibu pada hari itu. Ibu berjuang keras untuk menyelamatkanku,
tetapi aku merasa bersalah karena memiliki perasaan yang seolah mengkhianati
itu. Jika aku tidak melarikan diri dan tetap bersama ibuku, mungkin aku tidak perlu
mengalami neraka seperti ini. Mungkin aku tidak perlu menderita. Aku ingin
bertemu ibu sekali lagi. Apa ayah akan memaafkanku jika aku mati?
Dan kupikir perasaan putus asa inilah yang membawaku
menuju atap itu. Tapi, di sanalah aku bertemu dengannya.
Dirinya lah yang menyelamatkan aku dari
neraka.
Meskipun
seharusnya kami berada di kedalaman
neraka bersama, tapi ia justru
memberiku cahaya. Ia berkata,
“Terima kasih telah menyelamatkanku.” Namun, sebenarnya, akulah yang diselamatkan. Dirinya memberiku tempat untuk bernaung, mengingatkanku akan kehangatan
manusia, dan mengajarkanku tentang kebahagiaan jatuh cinta.
Mana
mungkin aku tidak menyukainya sampai sejauh ini. Mimpi buruk yang biasa aku
alami akhirnya ditulis ulang oleh Senpai.
※※※※
Ponselku berdering.
Nada
deringnya membuatku terbangun dengan keadaan mata yang penuh air mata. Boneka yang kupeluk
sebagai pengganti Senpai berada di
dekatku. Itu adalah penyelamatku.
Setiap kali aku bermimpi ini, rasa
kesepian yang menyiksa
hatiku, penuh dengan rasa bersalah, dan membuatku ingin mati...
Saat
melihat wajah boneka itu, aku teringat ciuman pipi yang kulakukan secara
impulsif sebelumnya, dan aku merasa malu serta sedikit bersalah. Namun, berkat
itu, aku bisa menghindari sisa-sisa mimpi buruk. Mungkin ia membantuku ketika aku
berusaha menuju neraka.
Saat aku
memikirkannya, suasana hatiku
terasa lebih ringan. Kata-kata terakhir ibu kembali terngiang
di hatiku.
“Kumohon. Ibu ingin... kamu bahagia...”
Benar, itulah yang dikatakan ibu. Kalau begitu, aku harus bahagia. Aku tidak pernah menyadarinya selama ini. Aku berusaha untuk tidak menyadarinya. Tetapi, berkat
kehadiran Eiji-senpai, aku
bisa menyadarinya. Mimpi buruk ini terasa seperti ditulis ulang berkat Senpai.
Meskipun tidak sepenuhnya hilang, aku tidak ingin siapa pun mengubah perasaan
ibuku. Berkat Senpai, aku
menyadari kebodohanku yang hampir kehilangan nyawa yang diberikan ibu kepadaku.
Terima
kasih, Senpai.
Terima
kasih, Ibu.
Kamu
sudah berusaha keras ya, diriku.
“Aku
ingin bertemu dengannya...
meskipun kami baru saja
bertemu, aku sudah merindukannya lagi.
Apa ini yang namanya kebahagiaan? Iya ‘kan, Bu?”
Aku
melihat ponselku. Aku
telah menerima pesan dari Senpai secara berkala selama satu jam terakhir. Aku
segera meneleponnya.
Hatiku
terasa lebih hangat daripada sebelumnya.
※※※※
──Sudut
Pandang Aono Eiji──
Aku baru saja mengirim pesan ucapan terima
kasih setelah kencan, tetapi aku tidak menerima
balasan dari Ichijou-san.
Mungkin dia sedang mandi atau sudah tidur.
Kupikir
aku akan tidur saja tanpa perlu khawatir jika dia tidak membalas, tetapi entah
mengapa sisa-sisa kenangan saat itu masih terngiang,
dan aku tidak bisa tidur. Sepertinya aku takkan bisa
tidur dengan mudah.
“Ciuman
itu... hanya mengingatnya saja sudah membuat jantungku berdebar-debar.”
Kupikir mungkin ada perbedaannya jika
aku mengungkapkannya dengan kata-kata, tapi hal itu justru
membuatku semakin tidak bisa tidur. Aku tidak menyangka bahwa Ichijou-san akan menyerang secara
mendadak. Tindakannya sangat berbeda
dari citra gadis cantik yang sulit didekati dan menolak semua pengakuan.
Meskipun
mungkin dia adalah gadis yang sulit didekati bagi orang lain, situasi pertemuan
kami terlalu khusus, sehingga aku tidak pernah merasakan kesulitan untuk
mendekatinya.
Saat
bersamaku, dia selalu tampak senang dan tersenyum. Tidak peduli seberapa besar
risiko kerugian yang dia hadapi, dia tetap bergerak demi diriku. Mengapa dia bersedia membantuku, padahal aku telah
dikhianati oleh sahabatku sekaligus teman masa kecilku,
Miyuki?
Ponselku
berdering. Akhirnya, ada pesan balasan yang datang. Aku sudah gelisah
menunggu balasan yang belum dibaca. Dalam benakku, kupikir dia sudah tertidur,
tetapi aku tetap merasa gelisah saat dia tidak membalas. Aku begitu senang
hingga aku langsung melihat layar dan ternyata itu adalah panggilan dari Ichijou-san. Panggilan merupakan rintangan lebih
sulit bagi siswa SMA dibandingkan pesan. Tanpa sadar, aku menarik napas
dalam-dalam sebelum menekan tombol panggilan.
“Ah, ini
Ichijou. Maaf,
Senpai, malah meneleponmu di larut
malam begini. Apa
kamu ada waktu
sekarang?”
“Ya,
tidak masalah.”
“Maaf. Aku
sempat tertidur sebentar, jadi aku terlambat menyadarinya. Aku hanya
ingin meminta maaf.”
“Tidak,
pesan itu tidak terlalu penting, jadi kamu tidak
perlu khawatir.”
Itu
bohong. Aku cukup khawatir karena
tidak ada tanda baca.
“Selain itu, aku
ingin mengatakannya langsung. Kencan hari ini sangat menyenangkan. Oh, dan maaf
jika tiba-tiba melakukan hal aneh. Apa itu mengejutkanmu?”
Cara dia
menekankan kencan dan tidak langsung menyebut ciuman membuatku merasakan
kepribadiannya.
“Aku juga
menikmati kencan itu. Tapi, yang itu memang cukup
mengejutkanku.”
“Benar, ‘kan?
Aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku melakukan hal seperti itu. Tapi,
Senpai?”
“Hmm?”
“Baru pertama kalinya aku mencium
seseorang selain keluargaku.”
Begitu
dia mengatakannya dengan jelas, jantungku rasanya hampir mau copot. Jantungku berdetak tak terkendali saat
mendengar kata ‘ciuman’.
Karena
ini adalah percakapan melalui telepon yang biasanya tidak aku lakukan, jarak di antara kami terasa semakin dekat,
seolah-olah napas kami bisa saling menyentuh.
“Aku juga
sama.”
Setelah aku
mengatakannya, gadis di
ujung telepon tampak gembira dan bahagia. Setelah dikhianati oleh Miyuki
sebelum aku sempat menyentuhnya, aku hampir kehilangan
kepercayaan pada manusia. Jadi, aku tidak menyangka bisa akrab dengan gadis
yang baru kutemui dengan begitu cepat. Dalam arti tertentu, ini mirip seperti keajaiban. Kejadian kali
ini benar-benar merupakan rangkaian kebetulan yang membuat kami berada di sini.
Apa ini takdir? Meskipun aku tidak ingin mendefinisikannya dengan kata-kata
sederhana, aku tidak bisa menahan perasaan bahagia yang muncul di dalam diriku.
“Hmm, jadi ini sama-sama yang
pertama bagi kita berdua, ya?”
Merasa
ada kesenjangan antara dia yang biasanya bersikap lebih
dewasa dan sisi kekanak-kanakan yang ditunjukkannya sekarang, aku merasa inilah
sisi lain dari dirinya yang menarik. Dia adalah gadis yang biasanya terlihat
anggun dan sulit didekati.
“Iya,
benar.”
Aku
menjawabnya dengan nada bercanda yang seolah-olah mengaku kalah, dan aku mendengar desahannya yang lembut di telingaku.
Rasanya seolah dia berada sangat dekat denganku.
“Syukurlah. Itu akan menjadi
kenangan seumur hidup bagi kita berdua, kan?”
Kenangan
seumur hidup, ya? Kedengarannya sedikit mengharukan. Jika
kami tidak bertemu di atap itu, mungkin aku sudah mati. Jadi, sekarang kami
berdua terus melangkah bersama, rasanya seperti sebuah keajaiban. Di atas
keajaiban itu, kami perlahan-lahan memperdalam hubungan kami. Mana mungkin aku tidak merasa senang
dengan hal ini.
Selain
itu, aku merasa senang karena Ichijou-san
sepertinya tidak akan melupakanku. Sungguh
suatu kehormatan jika dia yang mengatakannya.
“Kamu memang hebat sekali ya,
Senpai... meskipun dalam situasi yang sulit, kamu terus berusaha maju.”
Tiba-tiba
dipuji begitu membuatku merasa malu, tapi itu
bukan hanya prestasiku sendiri. Sebenarnya, jika bukan karena dirinya, aku mungkin sudah mati.
Meskipun aku berusaha bertahan,
aku masih akan tersiksa di dasar neraka itu. Itu pasti adalah neraka pembullyan yang lebih menyakitkan daripada
kematian.
Karena aku
telah mengalaminya sendiri,
aku merasa bisa memahami penderitaan para siswa yang memilih mati karena
perundungan.
“Itu semua berkat Ichijou-san ada di sini... jadi...”
“Meski
begitu, aku hanya menjadi pemicu. Tapi, Senpai yang memilih untuk terus maju.
Kamu bisa berbicara dengan keluargamu dengan baik dan meminta bantuan. Ada
banyak orang lain yang juga siap membantu. Aku menghormatimu yang bisa
melakukan apa yang tidak bisa kulakukan.”
Aku segera
menyadari bahwa dia berbicara tentang hari ketika dia mencoba bunuh diri. Dia
pasti telah menanggung semuanya
sendirian dan merasa tidak ada jalan keluar. Aku merasa dia terputus dari
keluarganya. Aku ragu apakah harus turun tangan
dan ikut campur dalam masalahnya. Namun, aku ingat bahwa dia
sengaja mengaburkan hal itu. Kurasa
dia masih belum siap untuk membagikannya
padaku. Dia membawa penyesalan karena tidak bisa meminta bantuan dari siapa
pun. Jika saat itu aku berada di
sampingnya, apakah aku bisa mengubah sesuatu? Meskipun tidak ada gunanya
memikirkan hal itu sekarang, tapi mau tak mau aku
jadi memikirkannya. Namun, yang bisa kulakukan sekarang
hanyalah mendampinginya.
Jadi,
saat ini, kurasa aku harus percaya padanya
dan menunggunya.
“Kupikir aku selalu waspada terhadap orang
lain sampai aku bertemu denganmu, Senpai.
Tapi, kamu berbeda. Tanpa memikirkan dirimu sendiri, kamu langsung membantuku. Jadi, kamu sangat istimewa bagiku.”
Kedengarannya seperti pengakuan cinta. Atau mungkin memang begitu. Meskipun
baru beberapa hari berlalu sejak kami bertemu,
aku merasa ada ikatan yang dalam di antara
kami, seperti teman seperjuangan. Itu adalah perasaan yang lebih dalam daripada
sekadar kasih sayang. Setidaknya, kami saling mendukung kehidupan masing-masing.
“Terima
kasih.”
“Akulah yang seharusnya
berterima kasih. Terima kasih karena telah
menemukanku pada hari itu.”
Kami
terus melanjutkan percakapan kami secara
perlahan, seolah-olah saling menyampaikan betapa pentingnya keberadaan kami satu sama lain.
※※※※
──Sudut pandang Ichijou Ai──
Setelah
selesai menelepon, aku berbaring di sofa. Rasanya sudah lebih dari satu jam
kami berbicara. Aku merasakan suasana manis di antara kami. Jejak mimpi buruk
sebelumnya pun perlahan-lahan menghilang.
Saat ini,
yang tersisa di ruangan ini hanyalah secercah
harapan dari seorang gadis yang sedang jatuh cinta.
“Kenapa rasanya begitu sulit untuk sekadar
mengatakan ‘aku menyukaimu’?”
Tidak ada
yang bisa menjawab pertanyaan itu. Namun, aku yakin jika ibuku masih hidup, dia pasti akan
senang mendengarnya.
