Chapter 4 — Pantai, Baju Renang, dan Pasangan Bucin Halu
“Kamu
bilang itu kondisinya? Nama resmi
penyakitnya
adalah gangguan koma kronis.”
“Jadi
kamu
tahu tentang itu ya, Keiji.”
“Ya,” Keiji mengangguk
tanpa ragu.
Seperti
yang kuduga dari putra seorang dokter. Dia sangat berguna sebagai sumber
informasi.
Tiba-tiba aku mendapati diriku melihatnya dari sudut pandang
baru.
“Aku
mengenal
seseorang dengan kondisi yang sama. Kabarnya kondisi itu akan segera ditanggung
oleh asuransi kesehatan lanjutan. Setahuku, belum ada pengobatan yang
benar-benar efektif untuk itu. Sejujurnya, ini gila.”
Masaomi
tidak tahu banyak tentang struktur ‘asuransi kesehatan
lanjutan’ yang dimaksud, tapi Keiji pun memasang
ekspresi serius saat menjelaskan. Sewaktu dirinya bilang ‘gila’, apa yang ia
maksud asuransinya, atau penyakitnya?
Saat itu
jam istirahat makan siang hari Senin. Upacara akhir semester akan diadakan
besok, dan di tengah suasana kelas yang ramai dan riang—sesuatu yang bisa
dibumbui dengan slogan ‘Suasana Musim Panas yang Hebat’—mereka bertiga sedang
makan roti seperti biasa, ketika Keiji menuduh Masaomi dengan
mengatakan,
“Jadi,
kamu
akan diam-diam saja tentang pengakuanmu yang berhasil, ya?” dan Masaomi
menimpali, “Dan kenapa kalian diam-diam mengganggu kencanku, ya?” Keduanya beradu
pendapat tentang siapa yang lebih berhak marah. Masaomi dengan santai
menyinggung gejala Hibari tanpa menyebut namanya atau penyakitnya, dan inilah
hasilnya.
“Tetap
saja, sulit dipercaya Sasuga punya kondisi seperti itu. Begitu mendengar hasil
tesnya, semuanya mulai masuk akal. Tapi itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan
ke semua orang, jadi kesalahpahaman pasti akan terjadi. Sekilas, sepertinya dia
punya kebiasaan berbohong kompulsif atau semacamnya. Pantas saja dia terlihat
aneh dan membuat orang-orang menjauh dengan aura nyentriknya.”
Keiji dengan
cepat
mencerna roti dan informasi itu. Masaomi baru saja terkejut mendengar penyakit
Hibari,
tetapi Keiji sudah berbicara seolah-olah ia sudah tahu sejak lama. Ia mencerna
semuanya dengan begitu lancar hingga membuat Masaomi pun merasa sedikit iri.
“Aku
tidak pernah bilang siapa yang aku bicarakan. Aku hanya bilang pernah
mendengarnya, itu saja.”
“Kalau
percakapan ini akhirnya membahas orang lain sepenuhnya, aku akan meragukan
kewarasanmu. Tapi, hei, ini informasi pribadi, jadi jangan khawatir—aku tidak
akan menyebarkannya. Lagipula aku tidak akan mendapatkan apa-apa darinya.”
Keiji,
dengan nada tajamnya, mengakhiri diskusi. Aku percaya padanya, tapi fakta
bahwa dia mungkin akan membocorkan rahasianya jika memang ada untungnya... meresahkan. Seperti yang kuduga dari si brengsek itu. Aku tarik kembali
ucapanku sebelumnya.
“Kalau
begitu jelaskan padaku bagaimana hal itu berubah menjadi kamu yang diam-diam
memantau kencanku dengan Hibari.”
“Hah?
Tentu saja itu karena kedengarannya menghibur.”
Masaomi
mempertimbangkan untuk meninjunya.
Dirinya sudah setengah
condong ke depan, tinggal satu dorongan lagi dan ia akan memanjat meja untuk
mencengkeram kerah Keiji. Wajah konyol dan menyeringai itu praktis dibuat
seperti samsak tinju. Mungkin aku harus mendaftarkannya di
lelang online suatu hari nanti.
“Maksudku,
ayolah! Berkat pengaturanku yang hebat, kamu berubah dari yang
tadinya benar-benar menentang pengakuan menjadi punya pacar dan pergi ke
liburan musim panas yang panas dan lembap ini dengan bangga! Aku pantas
mendapatkan parade ucapan terima kasih, bahkan mungkin tepuk tangan dan
anggukan merendahkan diri! Dan sekarang kamu malah memelototiku seakan-akan aku ini penjahat? Dasar
tidak tahu diuntung.”
Keiji
merentangkan tangannya lebar-lebar seperti aktor di atas panggung, menyampaikan
monolog yang megah. Jelas-jelas ia sengaja melakukannya untuk membuat
Masaomi
jengkel, dan itu berhasil—sangat berhasil. Sorotan dua warna di bagian dalam rambutnya
itu
berkibar seperti kunang-kunang dengan setiap gerakan dramatis. Suatu hari nanti aku bersumpah akan memotong rambutnya yang panjang
itu.
“Untuk
seseorang secerdas dirimu, kamu benar-benar bego
ya,
Keiji. Kamu pakai baju lengan panjang di cuaca sepanas ini—mungkin
otakmu sudah mendidih. Sudah kubilang dari awal: hanya karena aku dan Hibari
berpacaran sekarang, bukan berarti kamu boleh memata-matai kami.”
“Yah,
kamu
seharusnya bisa jujur dari awal, tau?”
“Mengapa
aku harus jujur?”
“Karena
sudah menjadi tugasmu untuk melaporkan perkembanganmu kepada Cupid yang
menciptakan semua ini. Aku bahkan memberimu petunjuk tentang kondisi Sasuga,
memenuhi rasa ingin tahuku, dan kita mencapai kesepakatan. Lantas
nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”
Dia malah terlihat seperti tidak mengerti. Yang malah
membuatnya semakin menyebalkan.
“Jangan
ikut campur kalau kamu tidak diinginkan. Apa pun yang menyebabkan kita berpacaran,
itu tidak penting. Mulai sekarang, ini urusan kita berdua. Jangan ikut campur. Memangnya
kamu pikir kamu itu siapa, bicara seolah-olah kau lebih tinggi dari kami?”
Ucapannya
terdengar kasar dan tajam. Mungkin agak berlebihan, karena kelas mulai riuh.
Biasanya, Masaomi seperti karakter sampingan di kelas, jadi ketika ia
tiba-tiba bersikap agresif, tentu saja itu menarik perhatian. Dan fakta bahwa
lawannya adalah Keiji justru membuatnya semakin menarik perhatian.
“Ada
apa denganmu, Tuan 'Protein Ringan'? Biasanya kamu tidak mudah tersinggung
seperti ini. Situasi Sasuga bukan hal baru.”
Kini
giliran Keiji yang mendecakkan lidahnya kesal. Ia benci menonjol. Semakin
banyak mata yang tertuju padanya, semakin jelas ketidaksenangannya.
Tapi itu
bukan berarti Masaomi mundur. Ini bukan hanya tentang dirinya
sendiri—ketenangan pikiran Hibari juga dipertaruhkan. Ia tak mungkin menyerah
begitu saja dan membiarkan Keiji terus memata-matai mereka.
Tepat
ketika ketegangan mencapai titik puncaknya—
“Ayolah,
kalian berdua, tenanglah dulu—mungkin kalian hanya bicara tanpa mengerti maksud
satu sama lain?”
—suara
tak terduga memecah kebuntuan. Kasuka yang biasanya tersenyum,
berperan sebagai pengamat yang pendiam, telah turun tangan untuk mendinginkan
suasana.
“Maksud…”
“…kita
tidak sejalur?”
Benar.
Keiji mungkin salah paham. Dan Masaomi salah paham karena Keiji tidak salah
paham.
“...Kasuka,
atur pikiranmu sebelum bicara. Apa sebenarnya yang kusalahpahami di sini?”
Masih
dengan senyum polosnya yang biasa, Kasuka menunjuk langsung ke arah Masaomi.
“Karena,
Masaomi—kamu sudah jatuh cinta padanya.”
Krek. Suara benda pecah
bergema di udara.
Apa
karena runtuhnya asumsi Keiji yang kokoh? Atau karena retaknya rasa malu
Masaomi yang rapuh?
“Ah...
begitu. Jadi begitu. Kamu sudah tergila-gila padanya, ya, Masaomi?”
“…Ya,
kurasa itu salah satu hal yang belum terselesaikan.”
“Jangan
berkelahi~,” kata Kasuka, meskipun dia jelas-jelas menikmatinya sambil
tersenyum cerah.
Dengan
caranya masing-masing, keduanya melepaskan permusuhan dan menunjukkan ekspresi
pemahaman yang enggan. Rasanya seperti anak panah tunggal yang menembus balok
es.
Dalam
permainan asumsi yang salah ini, Keiji tidak dapat mengerti mengapa Masaomi
begitu marah, dan Masaomi tidak dapat mengerti mengapa Keiji bercanda.
Saling bersinggungan. Bertengkar nggak
ada gunanya, kan? Cuma bikin orang sedih, kan? Ayo kita rukun, oke?
Handuk
yang dilemparkan Kasuka mengakhiri pertandingan dengan tegas, dengan akurat
menunjukkan kesalahpahaman kedua belah pihak.
Kesenjangan
emosional di antara mereka memang wajar. Keiji masih menganggap Masaomi sebagai
badut kelas, sementara Masaomi telah melepaskan peran itu dan turun panggung
untuk mencurahkan isi hatinya bersama Hibari. Keiji tidak menyadari perubahan
itu, dan Masaomi tidak menjelaskannya. Keduanya hanya... kurang
komunikasi.
“…Kamu ternyata pandai
sekali dalam hal ini ya, Kasuka.”
“…Serius.
Untuk orang sepertimu, Kasuka.”
“Ehehe~!
Ayo puji
aku lagi~!”
Kasuka
membusungkan dadanya dengan bangga. Makhluk kecil yang konyol
dan seperti hewan peliharaan ini terkadang memang suka berkata kasar. Saat
dia
mulai berputar ditempat dengan satu kaki seperti balerina, roknya
berkibar, dan anak-anak laki-laki harus memarahinya karena bersikap tidak
sopan—meskipun itu semua hanya untuk bersenang-senang.
Kalau
dipikir-pikir, Kasuka memang selalu memainkan peran ini. Setiap kali Keiji yang
pemarah berselisih dengan Masaomi yang ternyata keras kepala, Kasuka-lah yang
selalu melerai mereka berdua. Alasan mengapa trio ini tetap seimbang
selama hampir setahun ini sebagian besar berkat kata-kata Masaomi yang tepat
sasaran.
Dengan
senyum yang begitu cerah hingga kamu hampir dapat mendengar
bunyi ding, ia mengangguk hanya dengan matanya.
“Yah,
kalau begitu, ya sudahlah. Memata-mataimu dan membocorkan informasi itu agak
keterlaluan. Tapi, aku tidak menyangka kamu begitu tertarik pada si
cewek nyentrik.
Seleramu
memang unik.”
“Kalau
kamu tidak mau minta maaf, bilang saja. Aku bakal
benar-benar menghajarmu kali ini... Terserah. Aku juga salah. Begitulah
situasinya sekarang. Aku tidak merencanakannya, tapi ya sudahlah. Kalau ada apa-apa,
aku akan membicarakannya denganmu. Mungkin aku juga akan
minta saranmu. Jadi... aku mengandalkanmu.”
Dengan
ancaman pertempuran terakhir di belakang mereka, yang tersisa hanyalah jabat
tangan biasa antara teman lama yang suka membuat onar.
Tanpa mereka
sadari, perhatian kelas telah kembali normal, tanpa ada yang menguping
pembicaraan mereka lagi. Kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa.
“Tentu.
Maksudku, aku tidak berbohong soal rasa penasaranku. Karena
ini
juga bisa menjadi studi kasus yang bagus. Itu... apa itu—'Sisi
Astral' dari alam mental? Aku ingin kamu menggalinya lebih dalam.
Jika kita cocokkan dengan kondisi kenalanku, kita mungkin bisa menemukan
pengobatan yang bagus. Dan hei, ini juga tidak gratis. Aku
menawarkan ini sebagai pembayaran.”
Keiji
mengeluarkan dua lembar tiket kusut dari sakunya, dengan dramatis seperti
sedang melakukan trik sulap.
Masaomi
mengambilnya, dan melihat foto norak dengan sosok buram seorang pria dan wanita
bermain di pantai dengan lautan dan pasir di belakang mereka. Di atasnya,
dengan font mencolok, tertulis
“Tiket
Undangan Pra-Pembukaan Pantai Jyogadai!!!!” dengan empat tanda seru.
Upaya di balik foto itu sangat jelas.
Masaomi
membaliknya.
Satu
orang per tiket. Tersedia yakisoba gratis di Beach Shack ‘Soleil’. ※ Ban apung dan perahu karet tersedia dengan
harga sewa diskon. ※ Harap membawa pakaian renang sendiri. ※ Bawa pulang sampah. ※ Alkohol mulai usia 20 tahun. ※ Berciuman mulai usia 18 tahun. ※ Apa pun yang lebih dari itu—lakukan saja di rumah.
—Oke, ini
sih terlalu
berlebihan.
Dirinya
tak kuasa menahan diri untuk berkomentar dalam hati. Bagian terakhir itu
sungguh tak perlu.
“Ayahku
mendapatkannya dari seseorang. Rupanya mereka membagikan banyak, jadi
rasanya tidak seperti pantai pribadi atau semacamnya, tapi mungkin lebih sepi
dari biasanya. Sekarang musim panas, ‘kan? Kamu harus pergi dan
mengagumi penampilan Sasuga yang berani dengan baju renangnya~!”
“Kamu
bertingkah di luar karakter. Lupa kalau kamu seharusnya jadi orang yang lurus
atau semacamnya? ...Baiklah, aku akan menerimanya."
Masaomi masih cowok. Hibari pakai baju renang— ya,
aku penasaran banget.
“Begitu
ya. Sambil mengagumi penampilan pantai Sasuga, pastikan juga untuk mengumpulkan
informasi tentang dunianya yang misterius.”
“Dia
bahkan belum bilang mau pergi... dan Hibari bukan subjek percobaan. Kamu selalu
fokus banget sama tujuanmu, hal itu sendiri cukup menakjubkan...”
Tetap
saja, pikir Masaomi, ada sesuatu yang
tidak beres.
Kesimpulannya
sama, tapi ada sesuatu dalam prosesnya yang terasa... janggal. Sebuah
ketidaksesuaian yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Keiji
mendesah dan meliriknya sekilas—seperti karakter rival dalam drama penuh
gairah.
“Sasuga
itu pacarmu, bukan pacarku. Tentu saja aku akan memprioritaskan kenalanku
sendiri. Tapi, kalau ada yang bisa membantu mengobati penyakit Sasuga, aku akan
membaginya. Bahkan, aku bisa mengenalkanmu pada ayahku. Maksudku, bukannya
kamu
lebih suka pacar yang cantik dan normal daripada yang cantik dan nyentrik ?”
Masaomi
tidak
bisa langsung menjawabnya. Ia mengerti maksudnya, tapi ada sesuatu dalam
cara Keiji mengatakannya yang memicu penolakan mendalam dan
tak terjelaskan dalam dirinya. Kejanggalan yang dirasakan sebelumnya
telah lenyap sepenuhnya dari pikirannya.
“Ya ampun...
aku tidak mempercayainya. Dari semua orang,
Masaomi sudah punya pacar duluan... Jadi sekarang aku terpaksa menghabiskan
liburan musim panas sendirian, ya.”
“Lagipula,
kamu tidak pernah nongkrong selama masa liburan. Siapa ya, yang selalu
mengeluh kayak radio rusak soal kesibukannya? Kalau kamu kesepian banget, main
aja sama Kasuka.”
“Mau
main? Kita mau ke mana? Mau lihat bendungan? Ayo kita pergi bareng-bareng—pasti
seru!”
“Kenapa
bendungan...? Dan serius, kalau kamu ke sana, kamu pasti langsung jatuh. Itu
benar-benar pertanda kematian.”
“Ya,
mungkin,” jawabnya terlalu tulus, yang sebenarnya tidak membantu.
Sejujurnya, rasanya takkan mengejutkan kalau dia sudah jatuh dua atau
tiga kali sebelumnya.
“Yah,
mungkin bendungan kalau aku mau. Mampirlah sesekali dan beri kami kabar
perkembangannya atau apalah, Masaomi—ah, waktunya hampir habis. Hei Kasuka, ayo
pergi denganku
sebentar.”
“Apa? apa? Jangan
bilang kamu benar-benar ingin pergi ke bendungan?”
Tepat
pada waktunya, obrolan santai mereka berakhir. Keiji melambaikan tangan malas
dan kembali ke tempat duduknya, memberi isyarat agar Kasuka mendekat, sementara
Kasuka mengikutinya tanpa sadar, masih terbayang-bayang bendungan dan menabrak
meja teman-teman sekelasnya. Masaomi diam-diam menatap balik Kasuka dengan
tatapan kosong, sementara ia memutar ulang percakapan itu di kepalanya.
— Mengobati penyakit Hibari.
Dirinya menelan kembali
jawaban itu, sensasi itu mengalir ke tenggorokannya saat ia menjadi sangat
sadar akan bagian tengah tubuhnya.
— Pacar yang normal, ya.
Dengan
kata lain, apa yang dimaksud Keiji… adalah Sasuga Hibari tanpa
Sisi Astral—dunia spiritual.
Jika Masaomi bertemu dengan
versi dirinya yang itu…
Apa aku akan tetap jatuh
cinta padanya dengan cara yang sama?
※※※※
“Hei, Kasuka. Jadi,
Masaomi sudah punya pacar sekarang. Bagaimana menurutmu?”
Dengan
ekspresinya yang tak terbaca seperti biasanya—dan dengan Masaomi yang masih
tenggelam dalam pikirannya—Keiji dengan santai bertanya pada Kasuka, yang
mengikuti langkahnya yang biasa.
“Hmm?
Bagaimana menurutku? Kalau Masaomi bahagia, itu sudah cukup bagiku. Bagaimana
denganmu, Keiji?”
“Yah,
bagiku… kurasa semuanya berjalan sesuai rencana.”
Keiji memang
sengaja melakukannya demi kesenangannya sendiri, tapi kalau berhasil, ia
tak bisa mengeluh. Mungkin sekarang ia bisa melihat sahabatnya sesekali
memamerkan senyum konyol penuh cinta.
“Jadi,
kamu yang menarik benang di balik layar demi Masaomi, ya. Kamu
benar-benar seperti itu, Keiji.”
“Ya,
mungkin kamu bisa bilang begitu. Tapi dengar, kamu mungkin tidak
menyadarinya, Kasuka... sekarang Masaomi sudah punya pacar, artinya ia akan
punya lebih sedikit waktu untuk bersama kita.”
Mata
Kasuka terbelalak lebar seolah-olah dia baru saja dikejutkan.
Mengingat kepribadiannya, dia mungkin belum sepenuhnya memahami arti
seorang anak SMA punya pacar. Persis seperti dugaannya.
“Oh...
begitu ya. Rasanya... agak menyedihkan.”
Gumamnya
dengan ekspresi cemas dan sedih yang tak seperti biasanya. Suaranya yang sudah
lembut pun semakin pelan.
“Yah,
maksudku, begitulah anak SMA pada umumnya. Jadi mungkin kita takkan pergi ke
bendungan bertiga lagi. Tapi, kalau hubungan Masaomi berjalan
lancar
dan mendapatkan apa yang ia mau, meskipun dirinya agak menyebalkan dan bertingkah
mesra-mesraan dengan pacarnya, mungkin kita harus senang karena kita
adalah
temannya.”
“Tapi
kita bukannya beda kelas atau semacamnya, ‘kan? Kita tetap
bakal ketemu tiap hari. Mungkin... bukan bendungannya, tapi...”
“Memannya kamu tidak melihat wajahnya? Pria itu benar-benar posesif 'pacar
duluan, yang lain belakangan'. Kalau ada waktu luang, dia pasti akan
memikirkan Sasuga. ... Ah, maaf, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa
buruk. Cuma bilang—mungkin begitu , mungkin juga tidak. Itu saja.”
Melihat
Kasuka akhirnya menundukkan kepalanya, Keiji buru-buru menambahkan kalimat
lanjutan. Bahkan baginya, membuat seorang gadis menangis di siang bolong—meskipun
gadis itu Kasuka—akan membuat seluruh kelas berbalik melawannya. Dan itu
akan jauh lebih merepotkan daripada manfaatnya.
“Hei
Keiji, kamu mau punya pacar?”
“Hah?
Kenapa?”
Keiji
tampak benar-benar bingung dengan pertanyaan yang tak terduga
itu.
“Karena...
kalau kamu punya pacar juga, Keiji... maka kita
benar-benar tidak akan bisa bertiga lagi.”
“Hah hah
hah, Kasuka, kamu tiba-tiba terdengar seperti orang yang romantis—”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau begini—bagaimana kalau kamu jadian denganku ? Kalau Keiji, aku sih tidak masalah. Tapi... bersikaplah
sangat lembut padaku, ya?”
Untuk
sekali ini, Kasuka menyela di tengah kalimatnya, tatapannya tulus
dan tak tergoyahkan. Bahkan Keiji pun tampak tidak nyaman. Seandainya suaranya
sedikit lebih keras, perkataannya pasti akan menarik perhatian seluruh kelas.
“...Maaf.
Kurasa aku membuatmu merasa lebih buruk dari yang seharusnya. Jadi, jangan
menatapku seperti itu. Dan juga—jangan bilang begitu pada siapa pun selain aku
atau Masaomi, oke? Kita bisa menertawakannya, tapi banyak orang di luar sana
yang tidak mau. Ada banyak orang brengsek di luar sana—monster sungguhan.”
Sebenarnya,
meskipun Kasuka sendiri tidak menyadarinya, dia sebenarnya cukup populer.
Kebanyakan perhatiannya seperti mainan hewan peliharaan, tapi Keiji juga pernah
mendengar obrolan-obrolan menjijikkan itu. Cowok-cowok membicarakan
bagaimana
mereka mau meraba-raba payudara besar yang tersembunyi di balik kepolosannya,
atau bagaimana dia cukup bodoh untuk menuruti apa pun yang
mereka katakan. Obrolan yang menjijikkan.
“Oke.
Kalau Keiji bilang begitu, aku nggak akan bilang lagi.”
Dialah
yang memulainya, tapi Kasuka membalas begitu cepat hingga membuatnya kesulitan
mengejar ketertinggalan. Sekalipun ia memahaminya, refleks bicaranya lebih
cepat daripada kecepatannya. Memang gegabah, tapi begitulah Kasuka.
“Kenapa
kamu malah bilang sesuatu seperti 'jadian denganku' dari awal?”
“Karena
kupikir... kalau kita bersama, Sasuga-san juga bisa ikut, dan kita berempat
bisa bersenang-senang. Dua pasangan kedengarannya pas, ‘kan?
Entahlah—rasanya, kalau dibiarkan begitu saja, Keiji pun bisa melayang entah ke
mana.”
Keiji mengembuskan
napas, melepaskan sedikit ketegangan di bahunya, lalu dengan lembut menjentik dahi
Kasuka.
“Aduh,
apaan sih?” protesnya—tapi
tentu saja Keiji mengabaikannya.
“Jangan
khawatir. Lagipula, aku sudah sibuk banget untuk hal-hal kayak gitu...
Maksudku, aku Hardline, ingat? Aku bahkan tidak pernah kepikiran
seperti ingin memiliki pacar.”
“Oh,
oke. Itu membuatku merasa sedikit lebih baik. Tapi tetap saja, aku ingin kamu
bahagia juga, Keiji—bukan hanya Masaomi saja. Kalau kita bisa tetap
bersama, hanya kita bertiga, aku bahkan bersedia membantu sebisa mungkin. Aku
tidak tahu apakah aku bisa, tapi aku ingin mencobanya.”
Keiji tak
sanggup menatap mata yang murni dan hampir murni itu. Ia mengalihkan
pandangannya.
“...Baiklah.
Kalau begitu, kurasa setidaknya aku bisa melakukan satu hal kecil. Karena Masaomi
bertingkah seperti itu, dirinya mungkin tidak akan
pernah bisa benar-benar maju. Jadi, anggap saja ini hanya semacam jimat
kecil—sesuatu yang bisa kamu lupakan meskipun tidak ada hasilnya.
Dengar—”
Saat Kasuka
memiringkan kepalanya karena penasaran, Keiji terus mengulangi kata-katanya.
Seperti
menanam benih secara diam-diam di tanah masa depan yang mungkin tidak akan
pernah datang—masa depan yang lahir dari sekadar kebetulan yang lewat.
“Cerita itu kedengarannya
menarik,
ya? Hmm, aku kurang paham sih, tapi... ini untukmu dan Masaomi, kan? Kalau
begitu aku takkan melupakannya. Kalau saat itu tiba, aku
akan memastikan untuk tidak melupakannya.”
—Ding,
dong, ding, dong.
“Tentu
saja tidak. …Lagipula, kamu adalah Kasuka.”
Gumaman
terakhir Keiji menghilang dalam suara lonceng, tidak pernah sampai ke
telinga Kasuka.
※※※※
Masaomi
terkapar
di pasir. Matahari bersinar dengan senyuman, hampir memperlihatkan
gigi-gigi putihnya—liburan musim panas sedang berlangsung.
Hari
terakhir bulan Juli. Panas terik pertengahan musim panas. Pasir yang membakar.
Kulit kecokelatan. Butir-butir keringat berhamburan bagai kembang api. Ombak
naik turun. Panas, panas, dan semakin panas.
Dan—pakaian
renang. Baju renang di mana-mana, memenuhi seluruh pandangannya.
Cukup
ramai. Cukup berisik. Cukup ramai. Cukup meriah. Hari pantai yang sempurna dan
telah lama dinantikan.
Namun,
meskipun semua itu merupakan unsur yang pasti untuk meraih kesuksesan, di
sinilah dirinya, berlutut, kepala tertunduk dalam kekalahan.
Apa yang
membuatnya begitu terpuruk? Jawabannya ada di sampingnya—saat ini sedang berada
di tengah-tengah ‘penyelaman’ yang gemilang.
Pelakunya,
tentu saja, tak lain adalah Sasuga Hibari. Pacar Masaomi. Si cantik yang
memukau. Pucat, ramping, dengan kaki panjang.
Menggunakan
tiket undangan yang didapatnya dari Keiji sebagai umpan, ia mengajak Hibari ke
pantai—dan Hibari setuju. Fantastis.
Cuacanya?
Cerah benderang. Mereka naik kereta, bersemangat untuk hari itu. Sempurna.
Berbekal
pengetahuan dari membaca sekilas majalah hiburan semalaman, Masaomi menyewa
payung pantai dan tempat tidur musim panas. Mereka sibuk menata semuanya sambil
mengobrol riang. Dan begitu mereka duduk—Hibari langsung tertidur. Masih sesuai
harapan.
Masalahnya
terletak pada bagaimana Hibari tidur.
“Kenapa...
kamu pakai perlengkapan lengkap? Memangnya kamu kubu anti-ekspos kulit
atau apa? Mati aja. Ya Tuhan, mati aja.”
Bukanlah
hal yang tidak masuk akal baginya untuk mengutuk langit. Kencan di
pantai, berpasangan—tentu saja, acara baju renang. Begitulah adanya. Masaomi
sendiri dengan bangga memamerkan celana renang tropis norak yang dibelinya di
menit-menit terakhir. Sejak mereka mulai berpacaran, ia
semakin banyak memikul tanggung jawab ‘Guardian’ yang meninggalkan
bekas-bekas samar di tubuhnya—bukti dari cobaannya. Ia bahkan memohon matahari
untuk hari ini, dan sebagai balasannya, terpaksa membiayai pakaian, ikat rambut,
dan es krim Hibari. Sebuah investasi pra-kencan yang membuat air matanya
menguap begitu saja.
Sebaliknya,
Hibari hanya berkata, “Aku tidak mau kulitku kecokelatan,” dan sejak mereka
memasang payung, Hibari langsung mengenakan rash guard lengan panjang dan
celana tiga perempat. Meskipun dia memperlihatkan sedikit kulit seputih
salju dari mata kaki hingga tulang kering, seragam sekolah mereka pun
menunjukkan lebih dari itu. Harapan Masaomi terlalu tinggi, sehingga
perpisahan yang kejam di antara mereka membuatnya terpuruk dalam duka yang
mendalam dan sunyi.
Lima
belas menit telah berlalu sejak Hibari tertidur. Biasanya, ini adalah waktu dia terbangun. Bagi
Masaomi,
lima belas menit itu terasa seperti ia sedang duduk bermeditasi di atas
lempengan besi panas yang membara. Seandainya Hibari setidaknya
mengenakan pakaian renang, lima belas menit itu akan menjadi berkah
visual—sesuatu yang layak diukir dengan emas murni di linimasa hidupnya.
“Aku
tidak bisa meninggalkan Hibari di sini untuk berenang… atau bahkan menggunakan
kamar mandi…”
Air mata
berdarah tak cukup untuk menenangkan pantai kering di sekitarnya. Sambil
mendesah, Masaomi mengeluarkan aplikasi berita yang biasa ia
gunakan. Ia sedikit membenci dirinya sendiri karena masih asyik membuka
ponselnya, bahkan di pantai ini—tapi mau bagaimana lagi.
Dan tentu
saja, tidak ada tulisan yang layak dibaca. Kasus yang menjadi berita utama
di dekat lingkungan mereka tidak ada kabar terbarunya; sepertinya sudah sepi. Hal
tersebut cukup
melegakan, tapi juga agak antiklimaks. Dengan kesal, ia menggeser artikel
berjudul “Tembak Sasaran
Hati Pacarmu! Spesial Baju Renang Wanita Seksi”.
Setelah
mengetuk-ngetuk sebentar, suara mengantuk akhirnya terdengar dari tempat tidur
musim panas di sampingnya.
“Selamat
pagi, Hibari. Aku merasa takjub kamu masih bisa menyelam di cuaca
panas seperti ini.”
“…Pagi.
Sejujurnya, lebih mudah bagiku untuk menyelam daripada tertidur seperti
biasa.”
Sambil
berkedip perlahan, Hibari menyingkirkan sisa rasa kantuknya
dengan menggelengkan kepalanya.
“...Meskipun
aku masih bangun dengan keringat bercucuran,” tambahnya, sambil
mengambil dua ikat rambut dari pergelangan tangannya dan dengan santai mengikat
rambut panjangnya menjadi kuncir dua yang longgar. Saat rambut tergerai ke
depan di atas dadanya, dia menepuk-nepuk handuk di belakang lehernya—gerakan yang
elegan dan sensual.
“Aku
harus menjadi lebih kuat.”
Keputusasaan
apa pun yang dirasakan Masaomi sebelumnya telah sirna; ia begitu terfokus pada
tengkuk Hibari yang anggun hingga dia butuh waktu lama untuk menanggapi.
“...Hah?
Lebih kuat bagaimana? Kulitmu?”
“Tidak,” jawab Hibari
sambil menatapnya dengan tatapan basah.
“Aku
hampir saja berhadapan satu lawan satu dengan panglima perang Diver di wilayah
ini—tokoh sentral di antara para Selphie. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Mereka lolos. Angin —bukan seperti di 'Itachi', tapi
kecepatan kabur mereka benar-benar seperti angin.
Setahuku, tak ada Guardian bersama mereka, tapi mereka sendiri sudah lebih
dari cukup berbahaya.”
“Oh,
maksudnya
tentang Sisi Astral lagi. Kalau kamu menghancurkan mereka,
ceritanya selesai, kan?”
Sejak
mereka mulai berpacaran, Hibari sudah menegaskan: Sisi Astral lebih diutamakan
daripada segalanya, termasuk Masaomi. Ia tidak keberatan. Setiap kali Hibari selesai menyelam,
Masaomi
akan bertanya tentang hal itu, dan lambat laun, ia mulai memahami cara kerja
Sisi Astral—setidaknya sampai batas tertentu. Dunia
mental Hibari
masih terasa asing baginya, tetapi Masaomi mengikutinya karena
penasaran. Seperti menonton seseorang bermain judi berisiko tinggi.
Menurut
Hibari, di dalam grup Selphie—yang pada dasarnya adalah penjahat masa
perang—ada bos utama. Bos ini telah menghabiskan banyak waktu di Sisi Astral,
dan tidak lagi menjadi agen bebas seperti para Diver penjahat lainnya.
Sebaliknya, mereka telah membentuk faksi dan terus-menerus menyabotase para
Mesianik—yang konon menjadi penyelamat. Seorang penjahat besar, seperti yang
digambarkan Hibari. Bos terakhir tipe raja iblis klasik.
Rupanya, Astral
Diver
memiliki semacam kasta mereka sendiri, dan kekuatan umumnya
berkaitan erat dengan berapa lama mereka bisa menyelam. Julukan
Hibari sendiri adalah “Tingkat Ketiga dari Empat
Kilatan Surgawi Bunga Angin”, atau semacamnya, dan
sistem peringkat semacam itu masuk akal bagi Masaomi. Dalam kasta apa pun, yang
terkuat akhirnya menjadi raja. Saat ini, si Angin ini—atau apa pun
sebutannya—adalah sumber masalah terbesar Hibari.
“Setidaknya,
kekacauan skala besar yang terjadi di belahan dunia ini seharusnya membaik.
Jika 'Angin' ditumbangkan, jumlah orang yang mencoba menimbulkan kekacauan
di Sisi Astral secara terorganisir jelas akan berkurang. Tapi...”
Tiba-tiba
dia berhenti bicara, jadi Masaomi menatapnya untuk melihat
apa yang terjadi. Sasuga Hibari menengadah langit, wajahnya tampak
linglung seolah tenggelam
dalam pikirannya.
“Aku
merasa para Diver menjadi tidak stabil.”
“Maksudmu
pembicaraan tentang orang-orang yang tiba-tiba menghilang?”
“Itu
sebagiannya,” Hibari mengangguk.
“Diver
lain yang aku temui saat menyelam—entah mereka Mesianik atau
Pengganggu—tiba-tiba menghilang, atau tiba-tiba muncul. Ada ribuan lainnya
seperti aku yang 'terkena dampak', dan meskipun kami tidak menyelam
bersamaan... yah, ini hanya berdasarkan pengalamanku sendiri, tapi kita
seharusnya tidak sering berpindah-pindah antara sadar dan koma. Kamu
tahu bagaimana,
dalam permainan, orang biasanya keluar di titik perhentian yang bersih? Kecuali
jika mereka terputus koneksinya.”
Bagi
Kusonoki Masaomi, yang hanya memiliki Hibari sebagai sampel, menyelam selalu
terasa seperti sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Jadi, bagi seorang Diver untuk
menggambarkan seseorang sebagai “tiba-tiba muncul” mungkin berarti
sesuatu seperti, “mereka seharusnya tidak bisa kembali secepat itu
karena masa cooldown mereka belum berakhir”. Ia tidak
sepenuhnya memahami mekanisme menyelam, tetapi mungkin seperti login dan logout
paksa dalam game.
“Tetap
saja, aku bisa membayangkan bagian yang menghilangnya. Seperti saat
kamu berada di lobi game online yang mati—semakin banyak pengguna yang berhenti
bermain, dan kamu merasa dunia sedang sekarat.”
“Sisi
Astral sekarat… sama seperti penyakit yang disembuhkan, mungkin. Entah
kenapa, rasanya tidak nyaman.”
Sambil
mempertahankan ekspresi seriusnya, yang menyerupai ketegangan, Hibari
mengakhiri topik dengan cara itu.
“...Maaf.
Percakapan ini pasti membosankan, ya?”
“Sejuta
kali lebih baik daripada melihatmu menyelam tepat di depanku. Setidaknya dengan
cara begini, kamu benar-benar berbicara
kepadaku.”
Masaomi
mengatakannya dengan nada bercanda, mencoba menghilangkan kesuraman samar yang
selama ini mengendap di dalam hatinya. Hibari tersenyum dan
menyipitkan mata. Lalu dia meminta maaf lagi—mungkin dia pikir Masaomi mengatakannya
karena kesal.
Aku
harus menyelesaikannya, pikirnya, dan menguatkan dirinya.
“Baiklah,
aku akan beli minuman untuk kita. Kamu pasti haus, kan? Kamu
mau apa?”
“Kalau
begitu, sesuatu yang dingin dan bersoda. Lebih baik lagi kalau sesuatu yang
menyegarkan.”
Tentu
saja dia tidak menginginkan sesuatu yang panas di pantai, pikir
Masaomi.
“Ya,
ya,”
jawabnya dengan enteng—jauh dari sikap yang pantas bagi seorang
pengikut setia yang menuruti perintah tuannya—sambil berjalan menuju gubuk
pantai.
※※※※
Ketika adirinya kembali dari
gubuk pantai Soleil, situasinya telah berubah total.
Siapa
sih orang bodoh yang kegirangan dapat yakisoba gratis? Betul sekali—orang
tersebut adalah Kusonoki
Masaomi. Dia sampai melotot melihat mi yang terlalu matang dan basah kuyup
sausnya, lalu mabuk karena segunung rumput laut dan acar jahe yang ia tambahkan
sendiri.
Benar-benar
orang bodoh yang tidak dapat diselamatkan.
Kalau
bicara soal suasana pantai musim panas, yang paling mudah dibayangkan adalah
gerombolan pria dan wanita nafsuan yang mencari pasangan.
Mereka cepat. Mereka tak ragu. Mereka tak menyerah. Berbeda dengan mereka yang
kelebihan berat badan yang terus-menerus berdiet tapi tak pernah berubah,
mereka menjelajahi pasir, melantunkan mantra mistis ‘karena ini musim
panas, karena ini musim panas,’ untuk mencari kencan
singkat dan kenikmatan seksual. Mata pemburu mereka tajam. Jika mereka melihat
sekelompok pria atau wanita, mereka langsung menerkam seperti burung pemangsa,
memamerkan lidah dan cakar mereka yang bermandikan nafsu. Mereka tak peduli
soal ramah lingkungan. Para pemburu tanpa henti ini membakar
hati mereka dengan panasnya musim panas, membuat mereka bersinar lebih terang
dari kembang api, berdetak lebih ganas dan flamboyan dari sebelumnya.
“Wah,
kamu imut banget! Jangan cuma berdiri sendiri—yuk main bareng kami!”
“Kamu
benar-benar bisa menguasai suasana di sini, sungguh! Kamu sudah seperti ratu
pantai!”
Dan kini,
penglihatannya yang sayangnya masih bagus
membenarkan umpan yang mereka incar: seorang gadis cantik berbalut baju renang,
berdiri sendirian tak berdaya di pantai. Pakaiannya tidak terlalu mencolok atau
terbuka—hanya dua potong baju renang berwarna pastel. Dia tidak benar-benar
menggairahkan, lebih ke arah yang kurang berkembang—tetapi tungkainya yang
jenjang, kulit putih mulusnya, dan, yang terpenting, wajahnya yang luar biasa
cantik yang bahkan bisa membuat para gadis mendesah iri, semua itu mengangkat
ketidakberpengalaman dan kepolosannya menjadi semacam daya tarik bonus.
Si cantik
berbalut baju renang itu melirik gugup antara laut, pantai, dan gubuk. Bahasa
tubuhnya yang canggung dan tak menentu menunjukkan seseorang yang berada di
luar elemennya, seseorang yang tampak seperti sedang menunggu dengan cemas
satu-satunya orang yang ditakdirkan untuk membuatnya merasa aman. Dengan kata
lain, orang itu tidak ada di sini. Wali atau pelindungnya tidak ada untuknya
saat ini.
Mana
mungkin predator itu mengabaikan mangsa yang begitu mudah.
Singkatnya—Sasuga
Hibari terus-menerus dirayu cowok tak dikenal.
Bahkan di
tahap ini, si idiot yang dimaksud—Kusunoki Masaomi—masih terpaku
pada realisasi sederhana dan primitif Sasuga Hibari yang
berganti pakaian renang. Astaga, keren sekali. Sepertinya
beberapa
simpati memang pantas. Lagipula, Masaomi berasumsi takkan ada
kesempatan melihatnya memakai pakaian renang hari ini. Asumsi tersebut telah
dijungkirbalikkan, dan sekarang dirinya menikmati apa yang terasa
seperti jackpot tak terduga. Menyuruh anak laki-laki enam belas tahun untuk
tidak bersemangat agak tidak masuk akal.
Tetap
saja, Masaomi tidak merasakan urgensi.
Sambil
memegang sebungkus yakisoba di satu tangan dan dua botol minuman di tangan
lainnya, dirinya berjalan santai ke arah
tempat Hibari
seperti jenderal yang baru pulang dari pertempuran—sama sekali tidak menyadari
bahwa, saat ini, seorang gadis cantik sedang menangkis gelombang rayuan yang
tak henti-hentinya. Jika dia menolak satu pria, dua pria lagi akan menggantikannya.
Katakan tidak pada dua pria, dan tiga pria lagi akan menyerbu. Seperti tikus
yang beranak pinak, mereka mengerumuninya dengan kata-kata manis dan tatapan
mesum, seolah ingin menjilatinya dan menyeretnya keluar dari pantai.
“Eh...
permisi... kamu agak mengganggu.”
Sasuga
Hibari dengan ekspresi jijik memandang mereka seolah-olah mereka adalah sejenis
makhluk koloni menyeramkan yang takkan mati, tidak peduli berapa kali mereka
dihancurkan.
Ekspresi di
wajahnya, seakan-akan air matanya adalah halusinasi, mengirimkan sentakan pada Masaomi—dan
menyadarkannya kembali.
Bodohnya aju, gerutunya dalam hati. Siapa
yang membuat Hibari yang menggemaskan itu memasang ekspresi seperti itu? Apa
kakek di gubuk pantai yang malas memasak yakisoba? Atau kakek satunya yang
memberikan botol air hangat dan membuat keributan?
Tidak.
Pasti ada satu orang brengsek yang meninggalkan Sasuga Hibari. Sampah yang
merajuk karena tidak sempat melihatnya pakai baju renang. Orang bodoh yang lupa
betapa bahagianya bisa pergi ke pantai bersama pacarnya.
Masaomi
secara mental memasang sebuah roda gigi. Roda gigi yang diam-diam ia sebut
sebagai Roda Gigi Kejantanannya . Biasanya ia
menyendiri dan acuh tak acuh, tetapi begitu roda gigi itu terpasang, ia
mampu
berhadapan dengan dewa atau takdir demi seorang wanita. Sebuah mekanisme
tersembunyi yang terkait langsung dengan harga diri seorang pacar—kedok mencolok untuk
gaya maskulin.
Pria baik
mana pun seharusnya memiliki setidaknya sifat itu dalam dirinya.
Lupakan
kepulangan yang anggun. Singkirkan kepura-puraan dan pergilah. Tendang pasir
dan kembalilah padanya!
Sosok
Hibari dalam balutan baju renang semakin terlihat dan begitu mempesona. Di
saat yang sama, dua sosok yang tak diinginkan memasuki pandangan
Masaomi—berambut
pirang, berkulit kecokelatan, sosok klise yang biasa ditemui para perayu. Mungkin lebih
tua dari Masaomi, yang satu berambut panjang dan yang satunya lagi runcing.
Gaya rambut mereka memang berbeda, tetapi selain itu mereka tak bisa dibedakan:
fisik buatan massal seperti model plastik, gigi putih mencolok, perut buncit
yang terlalu mereka banggakan, dan kini mereka menatap Hibari dari kedua sisi
dengan tatapan tajam dan manis.
“Ayolah,
jangan terlalu cuek begitu. Kami akan menunjukkanmu waktu yang menyenangkan,
ya? Maksudku, kami akan memperlakukanmu seperti putri!”
“Sudah
kubilang—aku sedang bersama seseorang. Tolong jangan ganggu aku.”
“Oh
ya? Kamu pikir pacarmu lebih baik dari kami? Ia meninggalkanmu
di sini, kan? Kedengarannya seperti pecundang sejati bagiku. Ikut saja dengan
kami. Kami tak akan pernah membuatmu terlihat sesedih ini.”
“Ya,
ya, tepat sekali. Jangan khawatir. Ada nanyak cewek di luar sana.
Kami bukan orang mencurigakan atau semacamnya. Malahan, kami akan melindungimu
dari yang mencurigakan. Jadi, ayo!”
Tepat
saat si Pirang B mencoba mencengkeram lengan Hibari dengan kuat—Masaomi datang
sambil mengulurkan sebungkus yakisoba.
“…Hah?”
“Apa kalian keberatan
untuk tidak
merayu gadisku?” Wah, aku selalu ingin bilang begitu setidaknya sekali seumur hidupku. “Jadi, ya, terima
saja isyaratnya dan pergi.”
Dengan Roda gigi kejantanan yang
berfungsi,
Masaomi tak punya ruang untuk takut, siapa pun yang dihadapinya. Intimidasi
dengan tenang. Tampillah dengan percaya diri yang tak tergoyahkan. Jangan
mengalihkan pandangan. Incar tenggorokan tanpa ragu. Dan yang
terpenting—lindungi Hibari. Di bawah pengaruh zat kimia otak yang berlebihan, Masaomi menyerahkan kendali
tubuhnya kepada sebuah struktur komando yang sederhana.
Jangan
mundur. Apa pun yang terjadi.
“Oh, jadi
kamu pacarnya, ya?”
Si rambut
panjang menatap Masaomi dengan kasar, matanya mengamati dari kaki hingga kepala
seperti lampu sorot.
Mulutnya
melengkung membentuk seringai puas.
Si rambut
jabrik mengikuti, keduanya memasang ekspresi merendahkan yang sama. Masaomi
langsung mengerti apa maksud tatapan itu.
Orang
ini? Hanya segini?
Masaomi
bisa saja melupakan hal itu. Tentu, sebagai anggota klub
langsung pulang,
ia tidak terobsesi latihan beban atau berolahraga, dan tidak mempersiapkan diri
untuk liburan pantai musim panas sebelumnya. Dirinya datang ke sini
karena iseng. Kulitnya pucat—tidak sepucat Hibari, tapi jelas tidak
kecokelatan. Dirinya tidak gemuk, tapi juga tidak berotot.
Satu-satunya ciri khasnya mungkin adalah matanya yang tajam.
“Baiklah,
pacar-kun, waktunya melakukan hal yang benar dan mundur. Kamu tahu siapa di
antara kita yang lebih baik untuknya. Memalukan, Bung—padahal
ada gadi secantik
ini
di bawah terik matahari musim panas, dan kau membawanya dengan penampilan
seperti itu? Dan kenapa dengan memar aneh itu? Kalau kamu berencana pergi
ke pantai, mungkin kamu perlu sedikit persiapan, berjemur, atau semacamnya? Serius,
kamu
tidak mengerti? Kalian tidak cocok."
Masaomi
tidak menyangkal bahwa orang-orang ini mengira mereka bisa "menang".
Jika peran mereka dibalik, dia mungkin juga tidak akan berkelahi.
Tetapi
meskipun iris matanya lebih kecil dari rata-rata, tetap saja ada hal yang tidak
dapat ia abaikan.
“Kalian
berdua… Kalian mengabaikanku selama ini, melakukan apa pun yang kalian
inginkan—!”
“Tidak masalah. Benar ‘kan, Noble Lark ?”
Hibari,
yang tadinya hendak menolak dengan tegas, membeku di tengah kalimat, terkejut
dengan penggunaan tanda pengenalnya yang tiba-tiba. Dia meliriknya,
bertanya-tanya, “Apa
itu?” dengan matanya,
tetapi Masaomi tidak memberikan penjelasan.
Karena
cara itu lebih efektif.
“Apa-apaan
maksudnya?
Noble...
apa?”
Pria
berambut panjang itu mengerutkan kening dan menatap tajam ke arah Masaomi,
bingung dengan istilah yang tidak dikenalnya.
Rasakan sendiri akibatnya, pikir Masaomi.
Orang-orang ini tak lebih dari sekadar kenalan biasa. Mana mungkin mereka tahu apa
artinya ‘selevel dengannya’.
“Kamu
bisa menyelam ke Sisi Astral sebanyak yang kamu mau dalam sehari, kan?”
“Astral...
apa? Menyelam? Apa yang kamu bicarakan? Jangan abaikan aku!”
Masaomi
mengabaikan mereka sepenuhnya dan menatap langsung ke arah Hibari.
“Hah?
Um... Ya. Rasanya cukup melelahkan sih, tapi tidak ada
batasan yang berarti.”
Hibari kelihatan sama bingungnya, menjawab sambil mencoba mencari tahu maksud
Masaomi.
“Kalau
begitu—bagaimana kalau kamu masuk sekarang dan menakuti mereka sedikit? Mungkin mereka
akan mengerti dan pulang. Perkara Sisi Lain itu penting, kan? Kalau
panjang gelombang kalian tidak cocok, semuanya jadi lebih rumit. Lagipula, ada
cara untuk mengatasi gangguan sinyal.”
Sambil menatap
ke arah Hibari,
Masaomi sengaja menghindari detail-detail spesifik, menjaga nadanya tetap datar
dan tanpa emosi. Dikombinasikan dengan ekspresi kosongnya yang biasa, efeknya
memperdalam kebingungan di wajah para pria yang sedang merayunya. Apa pria ini gila? —pemikiran semacam
itu
hampir terlintas di benak mereka. Sepertinya pendekatannya
berhasil dengan sempurna.
“Aku
juga cuma anak SMA biasa, lho... Tapi, ada beberapa hal yang membuatku merasa
kesal.
Bekas-bekas di tubuhku—rasanya seperti medali. Kalau ada yang mengejekku lalu
pergi begitu saja, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.”
Belum
lama ini, wali kelasnya bertanya tentang bekas memarnya itu. Entah itu
karena masalah di rumah, atau sesuatu yang terjadi di luar sekolah.
Masing-masing mungkin kelihatan cuma seperti luka kecil, tetapi jika digabungkan,
semuanya menonjol. Dengan kata lain, gurunya memang memperhatikannya dengan
saksama.
Itulah sebabnya Masaomi dengan bangga menjawab, “Tidak ada yang
terjadi yang perlu aku sembunyikan”.
“Masaomi-kun…”
“Hei,
jangan
khawatir. Aku ini Guardianmu
,
‘kan?
Aku akan melindungimu... jadi semuanya akan
baik-baik saja.”
Ada
sesuatu dalam nada serius Masaomi yang tampaknya meyakinkan Hibari, dan
keraguannya hanya berlangsung sesaat.
“...Oke.
Kalau begitu—aku akan melakukannya.”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu, dia mulai menyelam. Saat tubuhnya ambruk,
Masaomi dengan lembut menangkapnya dan memeluknya erat. Kontak fisik itu tidak
disengaja, jadi dirinya harus mencari alasan yang bagus nanti.
Merasakan
napas Hibari yang pendek dan dangkal di lehernya, Masaomi
membiarkan dirinya merasakan kebahagiaan sesaat.
Rasanya
benar-benar nyaman. Dia terasa lembut, wanginya enak... dan pakaiannya juga
terbuka lebar.
Daya
tarik kulitnya yang halus hampir membuatnya melupakan tujuan mereka—sampai
situasinya berubah secara dramatis.
“Aduh!”
“Ahh!
Sialan!”
Tiba-tiba
kedua pria itu berteriak. Sambil memegangi
berbagai bagian tubuh mereka, mereka melolong kesakitan, memeriksa bagian yang
tersengat.
Mereka
menatap dengan gelisah pada bekas luka yang muncul di kulit mereka, lalu
menoleh ke arah Masaomi seolah-olah mereka baru saja menyadari
sesuatu—orang ini, yang mereka pikir berada di bawah mereka, memiliki tanda
aneh serupa di sekujur tubuhnya.
Masaomi
membalas tatapan mereka dengan senyum tak kenal takut.
“Sudah
kubilang, ‘kan? Kalian bahkan tidak setara denganku. Bikin marah
gadis perangku, dan semuanya jadi nyata . Kalian akan kena kutukan
selanjutnya. Jadi—apa yang akan terjadi? Mau kita incar wajah sombongmu itu
selanjutnya?”
Masaomi
sengaja meniru nada bicara mereka, sambil menunjukkan rasa percaya diri saat
mengklaim bertanggung jawab penuh atas serangan itu.
“Ap-Apa-apaan ini?!
Apa-apaan kalian berdua?! Dasar aneh! Sakit banget!”
Tatapan
maut mereka sama sekali tidak menggoyahkan Masaomi. Ketahanannya terhadap
orang-orang brengsek berambut panjang telah diasah dengan baik melalui berbagai
kejadian.
“Sebaiknya
kamu pergi sebelum keadaannya makin parah. Aku tidak mau berakhir dengan
sesuatu yang tidak bisa disembuhkan dokter.”
Darah
mengalir deras dari wajah mereka dengan kecepatan yang nyata, seolah mereka
baru saja melihat hantu. Perut mereka yang indah berkedut seolah-olah mundur ketakutan.
Keruntuhan
terjadi seketika.
“Sial!
Kamu
akan menyesali ini nanti, sialan!”
“Gah—!
Jangan pukul pantatnya! Jangan pukul pantatnya!”
Mereka
menjerit dan berhamburan dengan panik, hanya menyisakan kepengecutan mereka.
Masaomi menghela napas, lalu mengangkat tubuh Hibari ke dalam pelukannya dan
dengan lembut membaringkannya di ranjang musim panas bagaikan malaikat yang
sedang tidur.
Hampir
seketika, mata Hibari terbuka lebar.
“Mm…
Jadi, itu berhasil?”
"Ya.
Sempurna. Serangan nyentrik-mu benar-benar membuat mereka terpojok."
“Memanggil
pacarmu sendiri 'nyentrik'… kamu benar-benar aneh, Masaomi-kun.”
“Tidak
apa-apa. Asal aku bisa menangkap sinyalnya. Tidak masalah kalau itu denpa—kalau
tidak sampai padamu, itu tidak berarti. Tapi kalau sampai , ya
sudahlah. Kita hanya perlu tetap menyinkronnya dengan cara kita
sendiri. Gangguan seperti itu tidak berarti apa-apa.”
Meski
masih mengantuk, Hibari membiarkan senyum kecil muncul di wajahnya.
“...Ya.
Kamu
benar. Aku tak pernah membayangkan bisa menangkis rayuan gombal dengan menyelam ke Sisi Astral.”
Cara yang
digunakan Masaomi sama persis dengan yang digunakan Hibari untuk menghindarinya
sebelumnya—tapi dia tidak menunjukkannya. Kalau dipikir-pikir, menyelam di tempat umum
itu seperti memamerkan diri, sebuah langkah berisiko yang hanya berhasil jika
ada orang tepercaya di sampingmu. Agar umpan berhasil, dibutuhkan seorang Guardian untuk
mendukungnya.
Mungkin Hibari sudah sangat
percaya padanya, saat dia menunjukkan kegiatan menyelamnya. Mungkin itu
hanya delusi sepihak, tapi intinya: Masaomi telah menangkap sinyal
Hibari.
Hanya itu
yang penting.
“Masaomi-kun,
kurasa kamu cocok jadi penyelam hebat. Imajinasi bebas seperti itu... itu
senjata ampuh.”
Dia jelas
tidak berbicara tentang jenis penyelam yang menyelam ke lautan.
“…Entahlah,
aku harus tersanjung atau khawatir. Tapi hei—kalau aku berhasil melindungimu,
itu sudah cukup bagiku.”
“Anggap
saja ini suatu kehormatan. Cuma kamu satu-satunya orang yang
akan kubiarkan melakukan hal seperti itu.”
Masaomi
tidak dapat menahan senyum pahitnya.
“Ngomong-ngomong,
seberapa parah kamu menjadi liar di sana?”
“Untuk
seseorang yang tidak terbiasa dengan hal itu… mimpi buruk selama seminggu.”
“…Aku
ingin bertanya bagaimana kamu bisa melakukan itu—tapi juga tidak.”
“Yah,
namanya Sisi Astral, jadi intinya adalah
pikiran—intinya, keyakinan. Kalau kamu merasa sesuatu itu kuat, kamu bisa
memanggil senjata yang ampuh. Kalau kamu merasa bisa menang, kamu bisa
mengalahkan NPC dengan mudah.”
“Noble
Lark”,
tampaknya, cukup kejam.
Bahkan
Masaomi, si ahli wajah datar, pasti keceplosan—karena Hibari, yang sedikit
gugup, menjelaskan seolah-olah mencari alasan: kalau dia tidak sekeras itu
melawan NPC acak, bahkan seorang Guardian pun tak akan
bisa menghindari efek yang menyebar ke “sisi ini”. Sungguh...
menggemaskan.
“Ngomong-ngomong,
Hibari... kenapa kamu tiba-tiba pakai baju renang? Maksudku—kamu
terlihat luar biasa.”
“Kamu
lebih suka bertanya atau memuji? Pilih salah satu—itu akan membantu. Tapi...
kamu kelihatan sangat kecewa waktu kita menuju gubuk pantai, seperti
mengharapkan sesuatu. Kupikir... mungkin aku bisa memberimu sedikit kejutan.”
“Maksudku,
aku datang jauh-jauh ke pantai bukan cuma buat ganti baju,” tambahnya sambil
duduk. Nada suaranya yang agak cemberut, mungkin untuk menutupi rasa malunya,
membuatnya semakin menawan.
Suasana
hati Masaomi, yang selalu oportunis, melambung tinggi melebihi matahari di atas
kepala. Ia mengabaikan niat melirik—alih-alih menguncinya seperti stabilisasi
gambar pada kamera video terbaru. Tanpa ragu, ia menikmati pemandangan Hibari
yang duduk bersila di ranjang musim panas. Kakinya yang jenjang dan
anggun—sesuatu yang biasanya tak bisa ia lihat—kini terlihat sepenuhnya. Dan
sebagai pacarnya, Masaomi memanfaatkan sepenuhnya hak istimewanya tanpa
rasa malu. Bahkan bisa dibilang mengagumkan.
Hidup
memang tak terduga, selangkah lagi dari kegelapan setiap saat. Jika kamu tidak
menikmati masa kini, kamu hanya menipu diri sendiri.
Dan
Hibari, yang merasakan tatapannya yang tak tergoyahkan menggelitiknya, tidak
mengatakan bahwa dia tidak menyukainya.
“Aku
mungkin tidak menyebutkannya, tapi Sisi Astral… adalah tentang pengendalian
wilayah.”
“Hah?”
“Tapi…
mungkin Sisi Material tidak begitu berbeda.”
Lalu Hibari menundukkan
pandangannya, menyembunyikan matanya di balik rambutnya yang diikat rapi.
Dengan suara pelan, hampir gemetar, sangat berbeda dengan ketenangannya yang
biasa, dia ragu-ragu mencubit ujung celana renang Masaomi dan berkata,
“Hei,
Masaomi-kun… aku mencintaimu.”
“…Apa?”
Pikiran Masaomi seketika menjadi kosong, terpana oleh
kekuatan gelombang kasih sayang yang begitu menawan. Dan sebelum ia sempat
tersadar, jemari Hibari mencengkeram kain itu lebih erat, wajahnya menyentuh
bahunya.
“Tempat
ini… sudah menjadi bentengku sekarang. … Canda deh.”
Namun
pukulan terakhir belum berakhir. Masih dalam
keadaan dekat,
dia memalingkan mukanya seperti orang malu.
“Dan...
terima kasih. Sudah menyelamatkanku. Kamu sebenarnya cukup keren waktu itu.”
Tidak perlu dikatakan lagi, melihat tingkahnya yang malu-malu itu justru membuat Masaomi semakin terpikat.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya

